Menuju Jurnalisme Alkitabiah, Utopiskah?

“There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry: ‘Mine!’ – Abraham Kuyper

Demikian salah satu ucapan termasyur dari Abraham Kuyper (1837-1920) yang sangat familiar bagi kita di kalangan Reformed. Bukan kata-kata kosong, tapi dibuktikan oleh Kuyper dalam segala aspek hidupnya. Entah itu sebagai theolog, pengkhotbah, pakar lingustik, politisi dan pemimpin partai, filsuf, ilmuwan, kritikus, dermawan, pendidik dan profesor universitas; semua dibaktikan bagi Tuhan dan kemuliaan-Nya.

Dikenal sebagai pendiri Free University of Amsterdam dan Perdana Menteri Belanda pada tahun 1901-1905, Kuyper juga adalah seorang jurnalis. Di usia 35 tahun, dia diangkat menjadi editor surat kabar De Standaard, harian yang merupakan organ resmi bagi gerakan politik Anti-Revolusi, yang kelak dipimpinnya. Tak lama sesudahnya, Kuyper diangkat sebagai editor De Heraut, koran mingguan Kristen. Kedua jabatan penting ini dipegangnya selama 45 tahun dengan kekuatan dan semangat yang luar biasa.

Pada usia 75 tahun, ia mulai menulis artikel mingguan di kolom De Heraut: “Van de Voleinding” (Mengenai Akhir Dunia) dengan total 306 artikel selama 6 tahun. De Maasbode, terbitan Katolik Roma merujuk kepada karyanya sebagai “yang paling unik dan tanpa tandingan di segala literatur tentang tema tersebut.”[1]

Ketika pria yang dipuji oleh lawannya sebagai “lawan yang berkepala sepuluh dan bertangan seratus” ini menyampaikan ceramah termasyurnya — Lectures on Calvinism — dalam Stone Lectures di Princeton Theological Seminary, dia telah menulis lebih dari 4.700 (!) editorial di halaman depan surat kabarnya. [2]

Menurut Mckendree R. Langley[3], tulisan editorial Kuyper begitu jelas sehingga dapat mempesona hati dan pikiran orang-orang Reformed di Belanda. Sebagai contoh, dalam De Standaard edisi 8 Juni 1877, selama kampanye, Kuyper sang jurnalis menuliskan beberapa prinsip Kristen yang sesuai dengan situasinya, tapi memiliki dampak yang jauh lebih besar:

1.     Ide bahwa manusia menentukan apa yang normatif dalam hidup (popular sovereignty) adalah melawan firman Allah, seharusnya adalah Allah yang berdaulat sebagai final lawgiver.

2.     Orang Kristen mengakui relevansi firman Allah bahkan untuk politik dan menolak konsep hukum natural atau rasio manusia yang sudah kabur oleh dosa.

3.     Gerakan politik Kristen seperti Partai Anti-revolusi harus mempertahankan independensinya terhadap segala bentuk humanisme dan pandangan politik yang tidak biblikal dan hanya berdasarkan Alkitab semata.

Dalam salah satu komenteri di Der Standaard pada 18 September, 1877, Kuyper juga menyinggung pergumulan kosmis antara orang Kristen dan non-Kristen yang terlihat dalam kontroversi mengenai pendidikan swasta dan pendidikan Kristen. Kuyper menuliskan:

Those who have definitely broken with Christendom defend the religiously neutral public school with all their might. They may claim that such a school is not anti-Christian, but that is what it promotes. Christians, on the other hand, recognize that education in Christian virtues without Christ leads to doctrinal vagueness. They deny that Christian education leads to rank intolerance. The Liberals in public express their hatred for Christian education, while many Christian schools witness to the truth of our claims.

Dengan setia – melalui dua harian ini – Kuyper berusaha mendidik, menyalurkan inspirasi, dan memobilisasi umat Kristen untuk sungguh-sungguh melayani Tuhan dengan berbagai talenta yang mereka miliki serta di dalam berbagai aspek kehidupan yang mereka jalani. [4]

Menuju Jurnalisme Alkitabiah

Kehidupan Kuyper sebagai jurnalis tentu menjadi inspirasi bagi setiap orang Kristen yang bergerak dalam dunia jurnalistik. Terlebih dalam theologi Reformed yang mengutamakan kedaulatan Allah di atas segala bidang, entah itu seni, politik, hukum, ekonomi, maupun pendidikan. Tentu kita juga  mengharapkan adanya suatu arus jurnalisme yang takut akan Allah, suatu arus jurnalisme yang ingin menyatakan kasih Kristus kepada dunia berdosa, suatu arus jurnalisme yang dengan segala kerendahan hati ingin agar nama Allah dimuliakan. Suatu Jurnalisme Alkitabiah.

Namun di tengah praktik jurnalisme yang sering kali kotor dan korup namun mengagungkan netralitas dan ketidakberpihakkan, bukankah jurnalisme alkitabiah terdengar seperti satu oxymoron yang tidak masuk akal?

Berusaha menjawab pertanyaan tersebut, dalam artikel ini penulis akan menunjukkan peranan worldview dalam dunia jurnalisme untuk meninjau kembali konsep-konsep dasar dalam jurnalisme seperti netralitas, objektivitas, ketidakberpihakan, serta epistemologi jurnalisme (bagaimana proses jurnalis memperoleh informasi atau pengetahuan sebagai dasar dari berita), lalu melihat bagaimana worldview Kristen dalam jurnalisme – terutama dalam masalah epistemologi.

Meninjau Konsep Dasar Jurnalisme

“My intellectual framework through which I look the world is out of date. If I don’t upgrade it, I’m going to write something really stupid at New York Times – Thomas L. Friedman

Peranan worldview dalam hidup manusia tidak pernah bisa dilepaskan. Semua orang melihat dunia ini dengan worldview yang ia miliki, dan worldview atau presuposisi dasar yang ia imani akan menentukan apa yang ia lihat. Tidak terkecuali seorang jurnalis. Kalimat di atas diucapkan Friedman, kolumnis New York Times, ketika ia memberikan kuliah umum di Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengenai buku fenomenalnya, The World is Flat.

Ketika Friedman, yang juga salah satu dewan juri Pulitzer Prize – penghargaan tertinggi untuk jurnalisme setara Nobel – menjelaskan perlunya dia meng-upgrade cara dia melihat dunia, itu tidak lain adalah pengakuan bahwa seorang jurnalis – apakah dia ateis, Kristen, Islam, Marxis, dan sebagainya – menulis berdasarkan cara pandang atau worldview yang dia miliki.

Sedangkan dalam buku “Mediating the Message”, Stephen D. Reese dan Pamela J. Shoemaker  menggunakan istilah ideologi untuk merujuk pada hal yang mengatur cara jurnalis melihat dunia dan mengonstruksi berita yang ditulisnya.

Raymond Williams defines ideology as a “relatively-formal and articulated-system of meanings,values and beliefs, of a kind a-kind that can be abstracted as a ‘worldview’-or ‘class outlook”(Williams, 1977, p. 109).

According to Samuel Becker (1984), ideology “governs the way we perceive our world and ourselves; it controls what we see as ‘natural’ or ‘obvious’ “(p. 69).

 ”An ideology is an integrated set of frames of reference through which each of us sees the world and to which all of us adjust our actions” (Becker, 1984, p. 69).

Semua proses jurnalisme yang kita lakukan – pengamatan, wawancara, penghimpunan fakta, penentuan narasumber, angle dan framing dari sebuah berita, editing, dan sebagainya – diatur dan dikendalikan oleh worldview yang kita hidupi.

Para pemikir sekular ini mengkonfirmasi pemikiran Van Til, bahkan dalam dunia jurnalistik, bahwa netralitas adalah sebuah mitos. The myth of neutrality. Tidak ada brute fact atau fakta mentah di dunia ini, yang ada adalah fakta yang telah kita intepretasikan sesuai dengan worldview kita. Objektivitas yang subjektif. Bukan fakta mentah tapi fakta bermakna.[5] The knower (jurnalis) bukanlah seorang yang netral, tapi akan selalu berpihak pada worldview-nya.

Ambil contoh sederhana kasus pemerkosaan anak kecil oleh guru agama. Celakalah jika dalam kasus ini jurnalis berusaha untuk netral dan berusaha mencari kemungkinan bahwa apa yang dilakukan sang pemerkosa adalah mungkin benar. Semua jurnalis pasti sepakat bahwa itu adalah tindakan yang keji dan mengutuk perbuatan itu.   

Lebih lanjut, worldview ini menentukan bagaimana kita melihat realitas (ontologi) dan bagaimana mengetahui kebenaran akan realitas tersebut (epistemologi).

Dalam jurnalisme sekular, realitas adalah semata-mata dunia material ini dan segala tindakan manusia dalam dunia material tersebut. Realitas jurnalisme sekular tidak pernah mengakui adanya realitas di luar dunia materi ini. Dengan kata lain, jurnalisme sekular tidak memberikan tempat bagi Allah.

Pandangan realitas seperti inilah yang memberi ruang bagi epistemologi yang umum dipegang para jurnalis, objectivist epistemology[6]: kita bisa mengetahui sesuatu secara empiris. Kita terhubung dengan dunia lewat indera. Jurnalis sampai pada kebenaran lewat metode induksi dengan cara mengumpulkan data menggunakan indera dan penalaran melalui data ini untuk menggeneralisasi tentang dunia.

Jika meminjam konsep epistemologi Augustinus,[7] jelas terlihat bahwa epistemologi ini berhenti hanya pada tahap Sensation dan Cogitation. Pada tahap Sensation, tubuh berperan sebagai tempat masuknya sensasi. Ini adalah segala hal yang dirasakan setiap makhluk hidup dengan inderanya. Panas ataupun dingin, gelap ataupun terang. Dalam konteks jurnalisme, para jurnalis menggunakan mata dan telinga untuk mendapatkan informasi, entah itu wawancara atau pengamatan. 

Sedangkan pada tahap Cogitation, informasi yang masuk melalui Sensation dikumpulkan, dipilah, digabungkan, dinalar dengan kemampuan rasio manusia, sehingga menjadi scientia. Di sini informasi yang telah didapat para jurnalis dikembangkan menjadi suatu berita yang utuh dengan data, alur berita, argumen, dan penalaran lainnya.

Epistemologi ini tidak akan pernah mencapai tahap yang disebut Agustinus sebagai Intellection,  pengetahuan sejati yang didapat dari pergumulan, perenungan, dan kontemplasi di hadapan Allah. Untuk bisa mencapat tahap ini, manusia memerlukan anugerah dari Allah, sebuah divine illumination. Bagaimana epistemologi ini dapat diterapkan di dalam jurnalisme?

Dasar-dasar Jurnalisme Alkitabiah

Sebagai orang yang percaya kepada Allah yang berdaulat dan memelihara umat manusia, tentu para jurnalis Kristen menolak pandangan jurnalisme sekular. Jurnalis Kristen percaya bahwa realitas sejati tidak terbatas pada dunia materi, tapi juga dunia di luar materi. Jurnalis Kristen percaya bahwa Allah adalah Realitas Ultimat Sejati.

Jurnalis Kristen tidak melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia sebagai suatu kebetulan belaka, tapi percaya ada tangan Tuhan yang berdaulat memimpin jalannya setiap peristiwa yang ada di atas muka bumi ini.

Jurnalis Kristen tidak berhenti pada tahap hanya sekadar melaporkan fakta begitu saja, tapi berusaha merenungkan, menggumuli, dan mencari jejak tangan Tuhan dalam setiap fakta – tanpa peduli seberapa besar tekanan yang dia hadapi. Jurnalis Kristen tidak boleh berhenti pada kesombongan indera dan rasionya dalam mengonstruksi berita, tapi harus dengan rendah hati memohon iluminasi dari Allah untuk menuliskan kebenaran.

Dalam rangka menghasilkan jurnalisme yang Akitabiah, jurnalis Kristen harus memiliki worldview yang alkitabiah pula. Usaha ini telah coba dilakukan oleh World Journalism Institute (WJI) di Amerika Serikat, sebuah sekolah jurnalisme yang bertujuan memperlengkapi jurnalis Kristen dengan pengertian alkitabiah untuk bekerja dalam dunia jurnalisme.

Sadar akan pentingnya worldview, didirikanlah Francis Schaeffer Chair of Cultural Apologetics di WJI. Beberapa pengajar yang diundang untuk memperlengkapi para mahasiswa antara lain, William Edgar dari Westminster Theological Seminary dan Nancy Pearcey (muridnya Francis Schaeffer). Selain itu, tokoh seperti Carl Henry dan Bryan Chapell juga pernah memberikan kuliah umum seputar kekristenan dan jurnalisme.

Robert A. Case II, founding chairman dari Francis Schaeffer Institute Board of Advisors dalam monograph[8]-nya mencetuskan 3 “tanda” yang mencerminkan worldview seorang Jurnalis Kristen.

Ketiga tanda itu adalah:

1.     The metaphysical mark

2.     The anthropological mark

3.     The epistemological mark

Metaphysical Mark

Pengertian realitas yang berdasarkan Alkitab adalah sumber penghiburan, kepercayaan diri, dan cinta kasih bagi para jurnalis Kristen. Pengertian ini akan menentukan arah yang diambil para jurnalis. Di sini, jurnalis mengerti bahwa: A) God is in control, B) God is a public God, dan C) God requires our mind.

A)     God is in control

Allah adalah Kasih dan Allah yang memelihara manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Tidak ada satu pun hal terjadi tanpa seizin Allah. Kedaulatan dan providensia Allah menjadi sumber pengharapan bagi umat manusia. Ini berarti jurnalis Kristen memiliki sikap yang positif dan penuh pengharapan karena ia tahu tangan kasih Allah ada di balik setiap kejadian. Harapan positif ada di setiap kejadian yang diamati oleh jurnalis.

B)     God is a public God

Kekristenan mengajarkan bahwa dunia ini adalah panggung di mana Allah berinteraksi dengan umat manusia. Allah bekerja di hadapan manusia yang skeptis dan berdosa, dan Ia sadar itu. Allah memberikan cahaya di tempat-tempat tergelap sekalipun. Demikian juga jurnalis Kristen harus bisa menerangkan hal-hal atau peristiwa yang paling gelap dan tersembunyi sekalipun dengan pimpinan firman Allah. Jurnalis Kristen sadar, memojokkan Allah hanya dalam wilayah privat adalah hal yang salah.

C)     God requires our mind

Kekristenan tidak berbangga terhadap segala macam bentuk un-informed, ill-informed, maupun miss-informed. Standar Kristen adalah firman Tuhan sehingga semua hal harus diperiksa di bawah kebenaran Allah. Jurnalis Kristen harus memperhatikan standar kebenaran alkitabiah dan berusaha sekuat mungkin menggunakan segala aspek hidupnya, khususnya rasio, untuk bisa mengerti kehendak Allah dalam melihat segala peristiwa yang ia hadapi. Metaphysical mark ini membuat jurnalis Kristen sadar bahwa realitas selalu memilki dua sudut pandang untuk setiap peristiwa, sudut pandang Allah dan sudut pandang manusia. Sehingga tidak mungkin kita bisa mengerti dualitas natur dari setiap kejadian tanpa bantuan Allah. Intellection – melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah – hanya dimungkinkan oleh iluminasi Roh Kudus.

Anthropological Mark

Antropologi atau studi tentang esensi manusia adalah hal yang sangat fundamental bagi jurnalis Kristen karena mahkota dari jurnalisme adalah selalu berbicara mengenai manusia. Sebagai contoh, jika terjadi bencana yang dahsyat, yang paling ingin diketahui adalah kabar para penduduk sekitar, berapa korban jiwa, ataupun berapa orang yang selamat, bagaimana mereka bisa selamat, dan sebagainya.

Antropologi Kristen mengajarkan bahwa manusia adalah Imago Dei atau peta teladan Allah yang: 1) valuable being, 2) finite being, 3) fallen being. Pengertian tentang esensi manusia ini akan membawa konsekuensi yang sangat besar bagi jurnalis Kristen.

A)     Valuable being

Dalam pandangan Kristen, tidak ada “orang kecil,” maupun “orang yang tidak penting.” Karena itu setiap jurnalis Kristen melakukan setiap wawancara, mendekati sumber berita, pergi ke suatu acara, melakukan setiap pekerjaan dengan pengertian bahwa setiap manusia adalah berharga. Jurnalis Kristen memperlakukan setiap orang dengan hormat dan cinta kasih, entah itu seorang pengemis, pembunuh, ataupun presiden. 

B)     Finite beings

Manusia adalah makhluk yang dicipta dan bukan pencipta. Manusia adalah makhluk yang terbatas. Ini berarti jurnalis Kristen harus menerima ketidaksempurnaan individu maupun kebudayaan manusia. Jurnalis Kristen tidak menjadi sinis terhadap keterbatasan ini.

C)     Fallen beings

Manusia juga adalah ciptaan yang telah jatuh dalam dosa. Kita adalah makhluk yang mengalami kerusakan total. Hanya anugerah Allah semata yang menopang kita sehingga kita tidak menjadi sejahat mungkin. Setiap aspek hidup kita, baik rasio, emosi, maupun kehendak telah tercemar oleh dosa. Ini menjelaskan kenapa ada kebrutalan, korupsi, dan segala bentuk kejahatan dalam dunia yang akan menjadi menu makanan sehari-hari jurnalis. Anthropogical mark ini menyadarkan setiap jurnalis untuk memperlakukan setiap orang yang terlibat dalam suatu cerita dengan penuh hormat, bahkan terhadap orang-orang yang tidak kita setujui. Sebagaimana Yesus bersikap di hadapan pembesar seperti Pontius Pilatus maupun orang marginal seperti para pemungut cukai dan pelacur, demikianlah jurnalis harus bersikap terhadap sesama manusia.

Epistemological Mark

Berangkat dari pengertian akan metafisika, terutama tentang Allah dan manusia, para jurnalis Kristen mulai membangun epistemologi mereka dalam dunia jurnalisme. Pengertian proses epistemologi ini akan sangat fundamental bagi usaha jurnalis untuk menyampaikan kebenaran. Di sini kita akan mendefinisikan istilah objektivitas yang begitu diagungkan dalam dunia jurnalisme dalam dua cara: A) metaphysical  objectivity, B) methodological objectivity.

A)     Metaphysical  objectivity

Dengan  pengertian metafisika Kristen, kita menyadari bahwa manusia tidak mungkin memiliki objektivitas yang mutlak 100%. Kenapa? Karena setiap aspek hidup kita terbatas oleh status kita sebagai ciptaan yang terbatas dan telah rusak oleh dosa. Setiap pemikiran manusia berdosa adalah subjektif. Setiap manusia memiliki biasnya. Faktor interpretasi tidak pernah bisa dihindarkan oleh manusia.

Seperti yang telah disinggung di awal, kita menggunakan presuposisi-presuposisi dalam pemikiran kita. Di sini, poin bagi jurnalis Kristen adalah: jurnalis tidak mungkin menjadi saksi atau pelapor yang netral dalam dunia ini. Kita akan berusaha mengerti makna  dari segala sesuatu, entah menggunakan lensa divine revelation atau lensa naturalistic reasoning. Segala sesuatu dalam dunia ini bisa dimengerti dengan dua lensa fundamental yang berbeda bahkan terkadang bertentangan.

Alkitab menjelaskan bahwa heart (hati) menentukan perkataan kita (Mat. 12:34). Ini berarti pengetahuan tidaklah pernah netral secara moral karena dosa mengorupsi kehendak, merusak rasio, dan mengacaukan emosi kita. Keberdosaaan ini membuat kita membutuhkan bantuan Allah untuk menjelaskan dan mengintepretasikan setiap hal yang terjadi dalam dunia ciptaan Allah ini dengan benar.

B)     Methodological objectivity

Secara jurnalistik, apakah bias ini menyebabkan kita sembarangan dan sesuka hati dalam melakukan pekerjaan kita? Tentu tidak. Walaupun kita dapat mencapai metaphysical objectivity, jurnalis Kristen harus berusaha untuk mencapai methodological objectivity.

Methodological obejectivity berarti berusaha dengan sekuat tenaga dan memohon pertolongan Allah untuk mencari fakta, memberikan konteks yang benar, serta memberikan intepretasi yang alkitabiah.  Secara metodologis kita berusaha untuk “akurat, jujur, dan objektif.”

Allah kita menciptakan realitas yang terstruktur dan pikiran kita yang telah diiluminasi Allah bisa mengamati realitas dan melaporkan hasil pengamatannya. Kita bisa mendapatkan cukup kebenaran untuk menghasilkan berita yang bisa kita katakan “akurat, fair, dan objektif”.

Epistemologi Kristen membuat jurnalis menyadari ketidaksempurnaannya sekaligus mendorong jurnalis untuk sekuat tenaga berusaha secara metodologis dan memohon iluminasi Allah. Epistemologi Kristen tetap menggunakan indera untuk menerima data dan fakta, tapi tidak berhenti di sana. Epistemologi Kristen memohon iluminasi dari Allah agar memiliki kebenaran yang cukup untuk disampaikan.

Penutup

Artikel ini menggunakan istilah “menuju” karena tidak pernah bermaksud menjadikan tulisan singkat  ini sebagai dogma. Integrasi antara bidang-bidang yang kita geluti dengan iman Kristen adalah sesuatu yang sulit tapi wajib dikerjakan. Pengertian kita bahwa arah hidup manusia ditentukan oleh komitmen hati atau worldview-nya membawa kita pada dua konsekuensi ultimat: memberikan komitmen hati kita pada Allah atau melawan Allah.

Membangun jurnalisme yang alkitabiah adalah sesuatu yang terlalu besar bagi tulisan yang singkat ini. Artikel ini masih menyisakan banyak ruang untuk perdebatan maupun hal-hal yang belum terbahas. Penulis akan sangat bersyukur kepada Tuhan jika artikel ini bisa membawa pembaca melihat bahwa jurnalisme alkitabiah bukanlah sekadar oxymoron, atau setidaknya merangsang jurnalis-jurnalis Kristen lainnya untuk sama-sama menggumuli bagaimana memuliakan Allah dalam setiap kegiatan jurnalistik kita. Sebab, segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! (Roma 11:36). Soli Deo Gloria.

 

Harry Febrian

Pemuda GRII Pusat

 

 

Referensi:

Collins, Kimberly (ed.). Speaking the Truth. New York: World & Life Books, 2008.

Reese , Stephen D. dan Shoemaker, Pamela J. Mediating the Message. USA: Longman Publisher, 1996. 

Abraham Kuyper. Iman Kristen dan Problema Sosial. Surabaya: Momentum,  2004.

Abraham Kuyper. Lectures on Calvinisim . Surabaya: Momentum,  2005.

Luwi Ishwara. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit  Buku Kompas, 2005.

Cline, Andrew R. “Toward A Field Theory of Journalism,” Rhetorica: Press-Politics Journal.

Andre Winoto. “Augustine’s Theory of Knowledge,” Pillar April 2010.

Mckendree R. Langley, “Abraham Kuyper: A Christian Worldview”, New Horizons, January 1999.

 


[1]Abraham Kuyper, Lectures on Calvinism (Surabaya: Momentum, 2005) hal. ix.

[2]Mckendree R. Langley, “Abraham Kuyper: A Christian Worldview”, New Horizons, January 1999.

[3] Ibid.

[4]Abraham Kuyper, Iman Kristen dan Problema Sosial (Surabaya: Momentum, 2004) hal. 8.

[5] Luwi Ishwara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar (Jakarta: Penerbit  Buku Kompas, 2005) hal. 43-47.

[6] Andrew R. Cline, Ph.D., “Toward A Field Theory of Journalism,” Rhetorica: Press-Politics Journal 

[7] Andre Winoto, “Augustine’s Theory of Knowledge,” Pillar Edisi 81 (April 2010)

[8] Robert A. Case II , “The Marks of the Journalist of Faith,” World Journalism Institute Monograph Series 2008.