Mission: (Im)possible?

Di dalam gerakan ini, ada begitu banyak acara dan program yang dimulai oleh pendiri gerakan ini, Pdt. Dr. Stephen Tong, sering kali dengan satu slogan yang mungkin terdengar arogan: “Making mission impossible to become mission possible.” Tentu saja frasa ini harus dimengerti bahwa bukan Pak Tong (apalagi kita) yang menjadikan hal-hal yang dikerjakan dalam Gerakan Reformed Injili, mungkin untuk dikerjakan atau diwujudkan – melainkan Tuhanlah yang menjadikan segala sesuatu mungkin.

Kita sendiri sering kali ketika hendak memulai suatu pelayanan yang sulit, lebih sering memulai dengan frase “it’s not possible” – itu tidak mungkin, daripada dengan kalimat di atas yang sering diucapkan Pak Tong dari mimbar. Lalu ketika ada orang yang mengatakan, “Mari kita buat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin,” kita mungkin akan berpikir: “Maksa banget sih,” atau, “Dasar keras kepala. Susah diomongin,” atau mungkin kita dengan rendah hati berpikir, “Siapakah kita sehingga kita berani mengaku mampu melakukan hal-hal yang besar seperti itu?”

Namun sejarah juga menyatakan bahwa Gerakan Reformed Injili Indonesia memulai beberapa hal yang bagi kita tampak sulit bahkan mustahil, pada awalnya, untuk dikerjakan. Sebut saja KPIN (Kebaktian Pembaruan Iman Nasional) yang pada awalnya direncanakan untuk dilakukan di 40 kota di seluruh Indonesia. Sebagian orang merasa hal ini akan sangat sulit, bahkan akan merupakan anugerah Tuhan yang sangat besar, jika berhasil dilaksanakan – mengingat usia dan kesehatan Pak Tong, serta besarnya cakupan wilayah serta pekerjaan yang harus dilakukan. Lalu ternyata jumlah ini kemudian berkembang menjadi 60 kota dan hari ini KPIN sudah menginjakkan kaki di kota yang ke-87.[1] Jumlah ini pun belum mencakup kota-kota di luar Indonesia, yang mungkin jika dijumlah seluruhnya sudah mencapai lebih dari 100 kota. Apa artinya mustahil? Firman Tuhan berkata, “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat. 19:26).

Misi yang paling tidak mungkin telah Allah genapkan terlebih dahulu ketika Anak Allah berinkarnasi menjadi manusia dan turun ke dalam dunia untuk menanggung hukuman dosa bagi orang-orang yang melawan Dia. Kristus telah melakukan mission impossible ketika Tuhan harus menjadi manusia, yang tidak terbatas menjadi terbatas, yang kekal harus dimatikan, dan yang kudus harus menanggung kutuk dosa – seluruhnya demi menggenapkan rencana kekal Allah. Mission impossible yang diemban Kristus menggenapkan lebih banyak lagi hal-hal yang sulit untuk kita pahami dan mustahil bagi kita, yaitu ketika kita yang berdosa dimungkinkan untuk datang ke hadapan Allah, menerima pengampunan, diperdamaikan, dibenarkan, dan diperkenankan untuk memuliakan Allah; ketika kita yang adalah pemberontak-pemberontak, dimungkinkan untuk dipanggil kembali menjadi anggota keluarga Allah dan disebut sebagai anak-anak Allah, serta menjadi pewaris Kerajaan Allah; ketika hati kita yang mati dan membatu, dihidupkan, menjadi hati yang selembut daging; ketika kita yang adalah tulang-belulang yang mengering, dibangkitkan menjadi prajurit-prajurit yang berperang bagi Kerajaan Allah.[2]

Di dalam Kristus, Allah sudah membuang segala hal yang dapat menghalangi kita untuk datang dan melayani Allah. Maka, kesulitan apa yang sebenarnya menghambat kita di dalam melakukan kehendak dan misi Allah dalam dunia ini? Alasan kita menolak atau mundur dari panggilan Tuhan sering kali sebenarnya bukan karena melihat ketidakmungkinan dalam melakukan kehendak Allah, melainkan karena merasa takut akan kesusahan-kesusahan yang akan kita alami jika kita memberikan diri untuk melakukan pelayanan tersebut.

Alkitab dan sejarah dunia telah menyaksikan berbagai macam kesulitan yang mungkin dan telah ditanggung oleh orang Kristen dalam mempertahankan iman mereka, serta apa yang diwujudkan Allah melalui mereka, seperti yang ditulis dalam Kitab Ibrani:
“Dan apakah lagi yang harus aku sebut? Sebab aku akan kekurangan waktu, apabila aku hendak menceriterakan tentang Gideon, Barak, Simson, Yefta, Daud dan Samuel dan para nabi, yang karena iman telah menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat. Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat dalam peperangan dan telah memukul mundur pasukan-pasukan tentara asing. Ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati, sebab dibangkitkan. Tetapi orang-orang lain membiarkan dirinya disiksa dan tidak mau menerima pembebasan, supaya mereka beroleh kebangkitan yang lebih baik. Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. … Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung.” (Ibr. 11:32-38)

Para pahlawan iman tersebut rela menanggung segala kesulitan yang ada karena adanya iman akan janji dan penggenapan kehendak Allah. Hal terburuk apakah yang mungkin kita hadapi ketika kita memperjuangkan kehendak Allah dalam hidup kita? Kelaparan? Kesedihan? Penderitaan? Siksaan? Kematian? Orang-orang beriman sepanjang sejarah telah membuktikan bahwa bahkan hal-hal ini pun tidak dapat menghalangi mereka untuk mempertahankan iman mereka pada Kristus dan melakukan kehendak Allah – seperti yang diungkapkan oleh Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:13). Umat Allah dapat menanggung segala hal karena Kristus telah terlebih dahulu menanggung penderitaan terberat dan menaklukkan musuh yang terbesar bagi kita, yaitu dosa dan kematian.

Ia menyelamatkan kita, memanggil kita keluar dari kegelapan hidup dalam dosa dan kematian, bukan hanya untuk membawa kita menikmati hidup dalam sorga. Allah telah mempersiapkan bagi kita masing-masing berbagai misi untuk kita jalankan selama Ia mengizinkan kita hidup di tengah-tengah dunia ini. Ia memanggil kita untuk menjalankan rencana-Nya dalam dunia ini,[3] dalam waktu yang telah ditentukan-Nya pula. Dan siapa atau apakah yang dapat menghalangi Allah untuk menggenapkan rencana-Nya dalam diri kita? Tidak ada! Baik dalam dunia ini ataupun di luar dunia ini, baik manusia maupun roh-roh, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang.[4] Ia telah membuat segala sesuatu mungkin, bagi mereka yang bersama-sama dengan Dia. Maka, apalagi yang kita takutkan?

Satu-satunya yang harus kita takutkan adalah jika kita akhirnya dipakai menjadi alat di tangan setan untuk merusak pekerjaan Allah dengan menyia-nyiakan hidup kita, menyalahgunakan anugerah Tuhan, dan ketika kita akhirnya dibuang oleh Tuhan. Selayaknya natur manusia berdosa yang bodoh dan buta, kita sering kali lebih memilih membuang jaminan kesuksesan yang Tuhan berikan di dalam melayani-Nya untuk mengejar misi hidup kita yang justru lebih impossible untuk terwujud: otonomi diri. Kita mengejar uang, karier, aktualisasi diri, kesenangan, kebebasan hidup, dan segala pilihan-pilihan yang dunia tawarkan untuk memuaskan ambisi pribadi kita. Kita mungkin berpikir, “Setelah saya dapat apa yang saya inginkan, saya akan puas, dan setelah itu saya akan melayani Tuhan.” Kita mengharapkan dengan mengejar dan memiliki apa yang dunia ini tawarkan, kita akan mendapatkan kebahagiaan, life-fulfillment, makna hidup, dan kepuasan – baru setelah itu kita mencari kehendak Tuhan. Betapa sia-sianya! It’s really mission impossible! Segala sesuatu yang kita lakukan di luar kehendak Tuhan hanya akan berujung pada kehampaan. Dunia ini dan segala isinya adalah milik Tuhan dan sebagai pemilik, Tuhan telah menjamin bahwa dunia ini dan segala isinya akan berlalu[5].

Kebahagiaan dan makna dari hidup tidak akan dapat kita temukan dalam dunia ini. Life-fulfillment hanya dapat kita alami ketika kita mengejar tujuan yang Allah tetapkan bagi kita, umat Allah, yaitu menjalankan dan menggenapkan misi Kerajaan Allah dalam dunia – karena untuk itulah kita diciptakan dan diselamatkan.

Maka ketika kita melihat orang-orang yang mengikuti pergerakan visi Allah, berbagian dalam misi Kerajaan Allah, dan mengatakan “let’s make mission impossible to become mission possible”, seperti yang pendiri gerakan ini katakan – mari kita melihat bahwa ini bukanlah sebuah arogansi, melainkan sebuah iman kepada kedaulatan Allah yang menggenapkan kehendak-Nya, keberanian untuk taat pada kehendak Allah sekalipun sulit, sekaligus kesadaran diri untuk mengakui bahwa apa yang mustahil di mata manusia, tidak pernah sulit bagi Allah. Arogansi, adalah ketika kita mengatakan “tidak mungkin” pada misi yang telah Allah tetapkan untuk kita kerjakan, ketika kita menilai Allah sebagai Allah yang tidak mampu mewujudkan kehendak-Nya.

Jika sekarang visi bagi Kerajaan Allah sudah dibukakan untuk mata kita, misi dan ladang pelayanan sudah terbentang di hadapan kita, lalu Tuhan memanggil kita untuk bekerja – ketika “impossibility” menghadang kita – mari kita katakan dengan semangat seperti yang Gimli[6] dalam film The Lord of the Rings (The Return of the King) ungkapkan, “A certainty of death, small chance of success… What are we waiting for?” Let’s roll!

Chrissie M. Limuissa
Pemudi FIRES

Endnotes:
[1] Per tanggal 30 Agustus 2014.
[2] Yehezkiel 37:1-14.
[3] “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Ef. 2:10).
[4] “Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia? Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka? Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita? Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:31-39).
[5] Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu (Mat. 24:35)
[6] Seorang tokoh dwarf dalam buku Trilogi The Lord of the Rings yang bersama-sama dengan perwakilan ras Middle-Earth lainnya berusaha untuk mempertahankan kedamaian Middle-Earth melawan kejahatan dan kekuasaan Sauron. Kekuatan mereka tampak lemah dan kecil dibandingkan kekuatan Sauron, namun dengan segala kekuatan yang mereka miliki, mereka maju berperang melawan Sauron.