Obaja: Senang Lihat Orang Lain Susah

Obaja: Senang Lihat Orang Lain Susah

Sebelum memulai khotbahnya, seorang pendeta mengajak jemaat untuk membuka Kitab Obaja.
Hah? Obaja? Kitab apa tuh?”
“Iya, di Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru sih?”
“Kayaknya ga pernah denger deh ada kitab namanya Obaja.”

Melihat kegelisahan dan bisik-bisik yang terjadi di bangku jemaat, sang pendeta kemudian menjelaskan bahwa Kitab Obaja ada di Perjanjian Lama, sebelum Kitab Yunus.
“Oh, sebelum Kitab Yunus,” serentak jawab jemaat.

Mungkin kita memang tidak familier dengan Kitab Obaja. Kitab ini merupakan kitab terpendek di dalam Perjanjian Lama, hanya terdiri dari satu pasal dengan 21 ayat. Walaupun kitab ini terdiri dari sedikit kata, kita tidak bisa serta-merta menyepelekan pesan yang terkandung di dalamnya. Sependek-pendeknya kitab ini, Tuhan mau kitab ini masuk ke dalam kanon Perjanjian Lama. That means we really have to take heed to what this book has to say to us!

Sesuai judulnya, kitab ini ditulis oleh Obaja dan tidak ada informasi lain tentang latar belakang Obaja. Satu-satunya yang kita tahu adalah nama Obaja berarti the Lord’s servant. Obaja adalah seorang nabi yang mendapatkan penglihatan dari Tuhan mengenai penghakiman Tuhan atas bangsa Edom (ay. 1-15). Obaja juga menuliskan tentang janji Allah untuk memulihkan bangsa Israel (ay. 16-18) dan menegakkan Kerajaan-Nya (ay. 19-21).

Obaja memakai 70% dari tulisannya (15 dari 21 ayat) untuk berbicara mengenai bangsa Edom. Hah? Seorang nabi yang dipanggil oleh Allah yang Israel sembah, kok malah berbicara lebih banyak tentang bangsa lain yang bukan umat Tuhan? Kita tidak perlu terkejut akan hal ini. Memang ada beberapa nabi yang memiliki pesan lebih terfokus kepada bangsa lain selain Israel. Ini menunjukkan bahwa Allah yang Israel sembah adalah Allah yang sejati, Allah di atas segala manusia (mankind), termasuk mereka yang tidak mengakui otoritas-Nya. Melalui nubuat tentang kehancuran Edom ini, Obaja hendak menceritakan tentang kuasa dan kedaulatan Allah, karakter-Nya yang tidak berkompromi terhadap dosa, dan keadilan-Nya yang tidak bisa dibengkokkan.

Kitab Obaja ditulis kira-kira tahun 570 SM. Ini merupakan masa atau waktu antara kejatuhan Yehuda saat diserang oleh Babel (586 SM) dan saat Babel menyerang Edom (553 SM). Tulisan ini menjadi peringatan bagi bangsa Edom, sekaligus menjadi penghiburan bagi bangsa Israel bahwa Allah tidak akan selamanya diam terhadap musuh umat-Nya. Tuhan akan membuat Edom menjadi kecil di antara bangsa-bangsa dan akan dihinakan sangat (Ob. 1:2).

Who is Edom?
Edom adalah bangsa keturunan Esau, kakak Yakub (Israel). Secara geografis, bangsa Edom adalah tetangga Israel, karena ia terletak persis di sebelah timur Israel. Wah, ini seharusnya merupakan keuntungan ganda! Brothers share and protect, neighbors do too! Seperti pepatah mengatakan: tetangga adalah saudara terdekat kita. Mengenal tetangga dengan baik bisa memberikan rasa aman, karena kita bisa saling mengandalkan di saat kesulitan menimpa. Juga, tetangga yang baik saling berbagi di tengah-tengah kelimpahan yang ada. Edom dan Israel sudah kakak-beradik, tetangga pula. Ini sih namanya sharing kuadrat dan protection pangkat dua.

But instead, what did Edom do?
Kita tahu bahwa sejak dalam kandungan dua saudara kembar ini sudah berseteru. Esau dan Yakub beranjak dewasa dengan persaingan yang tidak ada henti-hentinya. Sang adik yang licik terus menipu dan berusaha mengambil keuntungan dari sang kakak yang disetir oleh nafsunya dan bukan oleh takut akan Allah. Walaupun di Kejadian 33 diceritakan bahwa Esau dan Yakub berbaikan, tetapi nyatanya keturunan mereka tetap tidak akur. Kita bisa melihat di Bilangan 20:14-21 bahwa Edom menolak permintaan Israel untuk melalui negeri mereka ketika Israel baru keluar dari Mesir hendak menuju Tanah Perjanjian. Di dalam Kitab Obaja, sekali lagi diceritakan bahwa Edom menolak untuk membantu Israel yang kala itu sedang diserang oleh Babel. Alih-alih berbagi dengan adiknya, Edom malah ikut serta dalam mengangkut kekayaan Yerusalem (Ob. 1:11). Bukannya melindungi, Edom justru setuju bangsa Babel menghancurkan Yerusalem sampai ke dasarnya (Mzm. 137:7) dan bersukacita di atas penderitaan Israel ini (Ob. 1:12). Atas perilaku inilah, Tuhan mengatakan melalui Nabi Obaja bahwa cela akan meliputi Edom dan Edom akan dilenyapkan untuk selama-lamanya (Ob. 1:10).

Schadenfreude
Kita tidak perlu buru-buru mengecam Edom karena bersukacita di atas penderitaan Israel. Sadar ataupun tidak, kita juga sering kali puas di atas kegagalan orang lain. Akui saja, saat menyaksikan sebuah pertandingan, kita pasti tersenyum lebar dan berteriak lega ketika lawan dari tim yang kita bela gagal mencetak skor. Mungkin kita anggap ini hal yang wajar, karena memang ada persaingan di sini. Tetapi, kita pun sering merasa bangga karena hidup kita lebih baik dari orang lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kita. Misalnya, ketika membaca berita tentang salah satu artis yang kelihatannya hidup sangat nyaman dan mapan, tetapi ternyata menderita depresi karena kesepian. Ada perasaan hangat di dalam dada kita ketika membaca hal ini, seperti merasa beruntung karena hidup dia ternyata lebih malang daripada kita. Contoh-contoh sederhana ini menjadi bukti bahwa kita sebenarnya senang melihat orang lain susah.

Bahasa Indonesia tidak memiliki silabel yang pas untuk menerjemahkan perasaan ini. Ada satu kata di dalam bahasa Jerman yang bisa melukiskan emosi ini, yaitu Schadenfreude. Schaden berarti rusak atau celaka, Freude artinya senang. Schadenfreude berarti sensasi nikmat atau bahagia, atau kepuasan diri yang muncul karena menyaksikan orang lain memiliki masalah atau mengalami kegagalan atau dipermalukan.

Psikolog-psikolog melakukan penelitian untuk menggali apa yang menjadi motivasi di balik perasaan ini. Proposal mereka mengatakan bahwa orang yang merasakan Schadenfreude memiliki elemen yang menganggap orang lain tidak penting, bahkan seakan tidak sepenuhnya manusia. Para psikolog ini mengatakan bahwa Schadenfreude merupakan hal yang natural untuk dialami. Ini merupakan salah satu emosi yang wajar untuk timbul dalam diri kita. Maka, mereka mengatakan kita tidak perlu khawatir jika kita merasakan emosi ini.

Antonym of Schadenfreude
Bertolak belakang dengan pendapat para psikolog di atas, Alkitab mengatakan bahwa kita seharusnya bersukacita dengan orang yang bersukacita, dan menangis dengan orang yang menangis (Rm. 12:15). Kita dipanggil untuk turut bersukacita saat keadaan berjalan baik bagi orang lain, walaupun kondisi kita tidak demikian! Kita tidak boleh melihat orang lain sebagai less human atau bahkan binatang. Dalam hubungan antarmanusia, diperlukan sebuah tali ikatan, yang mengikat keduanya berdasarkan emosi yang sangat indah, yaitu simpati.

Kata simpati berasal dari bahasa Yunani: sun yang berarti “dengan” atau “sama” + pathos yang berarti “perasaan”. Kita memerlukan pengertian dan perasaan bersama, bahwa dia manusia, saya pun manusia. Maka, kita harus mengerti apa yang dirasakan orang lain dari sudut mereka.

Alkitab mengajarkan tentang simpati, yaitu bagaimana kita memiliki belas kasihan dan kemurahan. Kita harus siap setiap saat untuk menyatakan kemurahan yang didorong oleh belas kasihan. Bukan menjadikan ini sebagai umpan untuk mendapatkan berkat yang lebih besar, tetapi karena kasih Tuhan yang menggerakkan hati kita untuk mengingat orang yang kesusahan.

Belas kasihan adalah prinsip dan ajaran Alkitab yang harus kita taati. Allah memberikan perintah untuk kita berbelaskasihan kepada orang lain dan kita tidak dapat menolak perintah ini. Kita harus memiliki belas kasihan dan kemurahan hati kepada sesama sebagai bukti bahwa kita menaati Allah.

Pula, hal ini menjadi bukti bahwa kita menghormati orang lain dan menganggap mereka berharga. Kita harus belajar mengerti bagaimana orang lain seharusnya diperlakukan, apa yang mereka perlukan, dan apa yang bisa kita berikan kepada mereka. Jika kita tidak melakukan sesuai taraf yang seharusnya, kita berdosa. Dosa bukan hanya tentang perbuatan jahat yang aktif kita lakukan. Menurut firman Tuhan, ketika kita tidak mencapai apa yang seharusnya kita lakukan, kita sudah berdosa. Jadi, sekadar tidak merasakan Schadenfreude saja tidak cukup. Kita harus aktif mengupayakan yang maksimal demi menunjukkan simpati kita kepada orang lain.

Alkitab menyatakan bahwa seorang Kristen yang sejati memiliki tanda atau kualitas dalam dirinya, yaitu mempunyai roh pengasih dan roh pemurah. Artinya, ada suatu kecenderungan untuk berbelaskasihan dan menolong sesama manusia ketika mereka sedang membutuhkan atau menderita. “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:35).

Kegagalan untuk berbelaskasihan merupakan produk dari self-righteousness (merasa diri benar) yang akan menghasilkan perasaan superior dari orang lain. Inilah yang terjadi pada diri sang kakak di dalam perumpamaan anak yang hilang. Dia marah karena ayahnya menyambut kepulangan sang adik dengan meriah. Dia merasa adiknya sudah begitu egois dan kurang ajar, sehingga tidak pantas menerima pesta penyambutan seperti itu. Sang kakak seolah mau mengatakan bahwa ayahnya tidak adil, karena dialah yang selama ini ada bersama-sama sang ayah melalui suka dan duka, dia sudah giat bekerja dengan bertanggung jawab, tetapi ayahnya tidak pernah menyelenggarakan sebuah pesta untuknya. Sang kakak tidak terima bahwa adiknya yang melawan justru disambut dengan pesta yang meriah, sedangkan dia yang sudah menjadi anak yang taat selama bertahun-tahun malah tidak dihargai sama sekali. Tentu sang kakak merasa lebih baik daripada adiknya. Dia merasa bahwa dia tidak mungkin melakukan apa yang adiknya telah lakukan, maka tidak ada simpati sedikit pun kepada sang adik. Dia gagal melihat bahwa dirinya pun sebenarnya sama dengan sang adik, sama egoisnya, sama kurang ajarnya, dan sama berdosanya.

Sang kakak tidak memiliki roh pengasih ataupun roh pemurah. Tidak ada catatan bahwa dia pernah pergi mencari adiknya yang hilang untuk membawanya pulang. Jangankan pergi mencari, menunggu atau mengharapkan adiknya pulang pun tidak. Maka, tidaklah heran, kepulangan sang adik dalam keadaan hidup dan utuh tidak berarti apa-apa baginya.

Kita akan bertindak sama persis seperti sang kakak jikalau kita gagal melihat kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Kakak Sulung kita yang mati di atas kayu salib, bukan bagi orang benar, melainkan orang berdosa.

Ini merupakan cerita tentang tiga anak. Anak bungsu yang hilang dan akhirnya pulang ke rumah, anak sulung yang sebenarnya hilang di dalam rumah bapaknya, dan terakhir, ada Sang Anak Allah yang menceritakan perumpamaan ini–Anak Allah yang meninggalkan rumah-Nya demi mencari dan menyelamatkan saudara-saudara-Nya yang terhilang, yaitu engkau dan saya.  

Inilah gambaran dari belas kasihan dan kemurahan yang sejati. Imam besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita. Ia sama dengan kita, hanya tidak berdosa (Ibr. 4:15).

Maka, marilah kita menjadi orang Kristen yang sejati. Marilah kita menjadi manusia yang sejati, yaitu ketika kita memanusiakan manusia yang lain dengan mengasihi mereka dengan kasih Tuhan.

Widya Sheena
Pemudi FIRES