Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan, tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus. (Flm 1:8-9)
Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri. Dan kalau dia sudah merugikan engkau ataupun berhutang padamu, tanggungkanlah semuanya itu kepadaku– aku, Paulus, menjaminnya dengan tulisan tanganku sendiri: Aku akan membayarnya–agar jangan kukatakan: “Tanggungkanlah semuanya itu kepadamu!” –karena engkau berhutang padaku, yaitu dirimu sendiri. (Flm 1:17-19)
Introduksi dan Kesan Pribadi
Di tahun 2021, Buletin PILLAR membahas tema besar mengenai Rasul Paulus. Bagi penulis pribadi, ada kesan mendalam mengenai surat terpendek tulisan Paulus, yakni Surat Filemon. Surat ini mungkin tidak selengkap dan sedetail Surat Roma dalam menjelaskan mengenai doktrin dan keselamatan. Surat ini juga tidak sepanjang Surat Korintus di mana Paulus menjelaskan dan mengoreksi jemaat dengan begitu rupa. Surat Filemon hanya terdiri dari satu pasal dan 25 ayat. Meskipun demikian, dalam surat ini terkandung berbagai poin perenungan yang kerap kali direnungkan oleh penulis, terutama mengenai tema rekonsiliasi, otoritas, dan hidup sebagai gereja atau jemaat Allah. Surat Filemon telah menjadi inspirasi dan dorongan bagi penulis untuk hidup dan bertumbuh dalam pelayanan dan hidup berjemaat, terutama ketika mengalami situasi konflik, gesekan, atau ketegangan.
Signifikansi Surat Filemon
Surat ini adalah surat yang begitu personal, cukup sebanding dengan surat kepada Timotius. Surat ini ditujukan kepada seorang pribadi yang bernama Filemon. Filemon adalah seorang murid binaan dan buah pelayanan Paulus. Filemon juga adalah orang yang cukup mapan dari segi ekonomi. Inti surat ini adalah Paulus meminta agar Filemon mengampuni dan menerima kembali budaknya yang bernama Onesimus. Onesimus pernah bersalah kepada Filemon dan melarikan diri. Namun kemudian Onesimus bertemu dengan Paulus, dilayani, bertobat, dan menjadi seorang yang berguna bagi Paulus.
Meskipun singkat, ada beberapa poin atau prinsip penting yang bisa kita gali melalui Surat Filemon ini:
• Inti Injil: kita semua adalah Onesimus yang pernah berdosa dan memerlukan pengampunan serta rekonsiliasi dengan Allah dan sesama.
• Kehidupan bergereja: ada dinamika dari orang-orang yang pernah melakukan kesalahan, bertobat, terjadi perubahan hidup, dan bagaimana aspek perubahan ini juga perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam berelasi dengan orang-orang tersebut.
• Sukacita: salah satu pendorong sukacita adalah ketika kita bisa melihat saudara seiman bisa tumbuh di dalam iman dan kasih. Ini berbeda dengan “sukacita” egois dan self-centered yang kerap kita lihat dalam dunia berdosa.
• Doktrin dan aplikasi: kebenaran yang kita tahu dan renungkan akan memiliki aspek praktis, termasuk di dalam relasi antarsesama dan pengambilan keputusan sehari-hari.
Otoritas: Dorongan dan Bukan Paksaan
Zaman kita saat ini (konteks postmodern) biasanya cukup anti dan alergi dengan otoritas. Otoritas seperti pemerintah, bos perusahaan, orang tua, dan bahkan pemimpin gereja dianggap semena-mena dan melakukan hal-hal yang memaksa dan menindas. Otoritas dianggap selalu keras, kejam, mengikat, dan semena-mena. Tidak heran semangat untuk memberontak ataupun keluar dari ikatan otoritas menjadi suatu fenomena yang kerap kita temui. Memang tidak bisa disangkal, dalam zaman atau tahun-tahun sebelumnya ada konteks sejarah yang memang menunjukkan sosok otoritas yang zalim dan kejam, seperti pemerintahan yang kerap memikirkan diri sendiri dan menindas rakyat di bawahnya. Namun reaksi yang seharusnya bukanlah dengan berlaku anti terhadap otoritas atau ingin menghilangkan otoritas. Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan penebusan dan pendefinisian ulang mengenai prinsip otoritas tersebut.
Koreksi dan pendefinisian ulang terhadap konsep otoritas bisa kita dapatkan melalui Surat Filemon. Dalam Surat Filemon, sama seperti Kristus, kita menemukan konsep otoritas dalam diri Paulus yang memiliki aspek kasih, kelembutan, pengertian, dan ruang untuk memberikan kebebasan bagi orang lain. Konsep otoritas seperti ini mungkin sangatlah asing bagi orang-orang yang kerap memberontak di zaman ini. Sangatlah jelas bahwa Paulus adalah seorang pemimpin rohani bagi Filemon, dan secara umur ia lebih senior dan tua. Seperti yang dituliskan dalam Surat Filemon, sebetulnya Paulus memiliki hak penuh untuk memerintahkan Filemon. Sama sekali tidak ada yang salah dan aneh jika Paulus melakukan hal tersebut. Namun sangat menarik, di sini Paulus tidak menggunakan jabatan, kekuasaan, atau keunggulan aspek sosial untuk memerintah Filemon. Dituliskan bahwa Paulus “meminta” kepada Filemon, bukan “memerintah”.
Dari hal ini, ada dua poin yang bisa kita renungkan:
1. Kasih dan inisiatif
Paulus mengingat kasih dari Filemon dan inisiatif yang bisa dilakukannya. Ketika orang sudah memiliki dua kriteria ini, ruang kebebasan bisa diberikan kepada orang tersebut (Filemon) . Sosok Filemon bukanlah sosok kanak-kanak yang masih dangkal dan belum bertumbuh; Filemon memiliki pertumbuhan dan kemahiran rohani yang dilihat baik oleh Paulus. Filemon tidak perlu lagi diperintah dengan detail dan “disuruh ini itu” . Tentu ini juga menjadi sukacita seorang pembimbing rohani ketika melihat anak binaannya bisa memberikan pertimbangan kerohanian yang matang dan membuat keputusan dengan baik.
2. Menghormati dan menghargai orang yang pernah kita bina dan bimbing
Dengan “meminta” kepada Filemon, Paulus menunjukkan suatu penghormatan dan penghargaan kepada Filemon. Paulus percaya bahwa cukup dengan meminta (tanpa memerintah), Filemon akan melakukan hal yang diminta oleh Paulus. Sedikit refleksi singkat, penulis juga pernah membimbing kelompok kecil rohani. Salah satu ujian bagi seorang pemimpin rohani adalah ketika ia mulai bisa lebih menghargai dan memberikan kebebasan bagi anak binaannya. Dalam tahap ini, seorang pemimpin rohani perlu mulai “meminta” bukan memerintah, “memberikan masukan dan pertimbangan” bukan mewajibkan, dan “mendorong” bukan mendikte.
Konflik dan Rekonsiliasi
Penulis pernah mengalami momen sangat berkesan ketika mendengar khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong mengenai peranan Roh Kudus. Salah satu peran Roh Kudus adalah untuk melakukan “normalisasi relasi universal”. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, seluruh relasi dalam dunia ini menjadi kacau dan mengerikan. Allah murka kepada manusia. Adam yang seharusnya taat kepada Tuhan malah lebih “taat” kepada Hawa, dan kemudian menyalahkannya. Hawa yang seharusnya mengaku salah malah melempar kesalahan kepada ular. Alam dikutuk dan menumbuhkan semak duri. Inilah sedikit gambaran kejatuhan manusia yang ditulis dalam Kitab Kejadian. Penulis sepertinya tidak perlu memberikan elaborasi terlalu detail mengenai contoh perang antarnegara, konflik suku, perceraian, kekerasan dalam konteks kantor, sengketa antarsaudara, dan lain-lain. Hanya melalui peranan Roh Kudus, secara khusus bagi manusia, berbagai aspek relasi bisa dipulihkan: relasi dengan Allah, dengan alam, dengan sesama manusia lain, dan dengan diri sendiri.
Tanpa kuasa Injil (berita mengenai Kristus, Anak Allah yang tersalib dan bangkit), tidak ada alasan bagi Filemon untuk menerima kembali Onesimus. Sebagai budak, hanya ada satu kemungkinan bagi Onesimus, yakni menerima hukuman dari tuannya. Sungguh aneh permintaan Paulus agar Filemon bisa menerima Onesimus.
Dan sungguh, berita Injil adalah “keanehan” bagi dunia berdosa! Namun inilah Injil yang aneh dan sekaligus sangat dibutuhkan oleh dunia berdosa. Hanya melalui kuasa transformasi Injil, ada kemungkinan bagi Onesimus untuk diterima kembali oleh Filemon. Bahkan bukan hanya diterima kembali sebagai budak, namun diterima
sebagai “saudara seiman” seperti Filemon menerima Paulus sendiri, sosok pemimpin rohani yang ia hormati. Inilah kuasa Injil yang begitu ajaib dan menjadi harapan bagi dunia yang sudah jatuh di dalam dosa.
Penutup
Sebagai penutup, penulis memiliki harapan sederhana melalui artikel singkat ini. Penulis berharap agar pembaca Buletin PILLAR lebih menggali dan menikmati keindahan Surat Filemon. Juga melalui prinsip rekonsiliasi yang sudah kita bahas dan renungkan, semoga kita bisa menjadi orang-orang yang berbahagia dengan membawa damai, sebab “berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” .
Every soul we long to reach
Every heart we hope to teach
Everywhere we share His peace
Is only by His grace
Grace Alone
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
– Douglas J. Moo, The Letters to the Colossians and to Philemon.
– https://www.thegospelcoalition.org/course/philemon.
– https://www.thegospelcoalition.org/article/relational-warnings-wisdom-tucked-away-pauls-shortest-letter.