Pembenaran – Mengapa Imputasi?

Definisi

Katekismus Singkat Westminster pertanyaan nomor 33, “Apakah itu pembenaran?” diikuti oleh jawaban berikut, “Pembenaran adalah tindakan Allah yang semata-mata berdasarkan anugerah-Nya, di mana Dia mengampuni semua dosa kita, dan menerima kita sebagai orang benar di hadapan-Nya, hanya karena kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita, dan hanya dapat diterima melalui iman.”

Begitulah definisinya, artinya manusia tidak memiliki jasa apapun dalam pembenaran. Pembenaran adalah tindakan Allah berdasarkan karunia-Nya, berdasarkan kebenaran Kristus yang diimputasi (bukan diinfus) kepada orang berdosa. Perbedaan antara kedua pembenaran ini (imputasi dan infus) akan dibahas nanti. Juga adalah kedaulatan Allah yang menanam iman di dalam hati mereka yang Dia pilih untuk diselamatkan, agar mereka dapat dibenarkan melaui iman di dalam Kristus.

Tantangan

Tantangan-tantangan terhadap pandangan pembenaran ini dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Individualisme – Humanisme

Di sini kita mendengar seruan klasik, “Saya tidak membunuh dan tidak berzinah. Memang saya tidak sempurna, tapi orang-orang toh merasa saya ini baik dan suka membantu. Yang benar saja, masa saya layak dibakar di api neraka selama-lamanya? Allah itu kok begitu kejam and keras?” Seruan seperti ini biasanya didampingi oleh rasionalisasi bahwa hukuman kekekalan adalah taktik yang dipakai oleh para pemimpin agama yang haus kuasa untuk menakut-nakuti dan mengontrol orang-orang yang kurang berpendidikan. 

Landasan argumen ini adalah berdasarkan standar manusia di mana ada banyak orang-orang yang baik di dunia ini dan sangat sulit membayangkan orang-orang ini mengalami kebinasaan kekal. Lagi pula, sangat sulit untuk menerima bahwa seseorang yang terhormat tetapi tidak percaya kepada Kristus harus mati binasa, sementara seseorang yang kurang ajar tetapi percaya kepada Kristus akan diterima ke dalam kebahagiaan abadi.

Masalahnya, pandangan individualisme-humanisme ini tidak menawarkan definisi alternatif untuk pembenaran sebab konsep pembenaran sama sekali tidak relevan. Mereka percaya bahwa setiap orang sebaiknya sibuk dengan kehidupannya sendiri dan menghormati kebebasan orang lain.  Asalkan orang-orang masih berperikemanusiaan, tidak seorang pun berhak meng-condemn siapapun.

Kalau kita mencoba memberikan definisi pembenaran berdasarkan filsafat individualisme-humanisme, akan terbukti bahwa ini merupakan hal yang sangat sulit. Walaupun individualisme-humanisme memakai standar pribadi sebagai dasar untuk menantang definisi pembenaran oleh Westminster, ia sendiri tidak memiliki standar yang tetap. Oleh karena itu, di atas fondasinya sendiri individualisme-humanisme juga sudah goyah. Individualisme-humanisme protes bahwa cara pembenaran melalui imputasi kebenaran Kristus tidak menjalankan keadilan yang sepantasnya terhadap orang yang baik dan yang jahat. Akan tetapi, individualisme-humanisme tidak sanggup menentukan secara konsisten siapakah orang yang baik dan siapakah orang yang jahat. Seseorang mungkin dianggap pahlawan oleh satu pihak, dan dibenci sebagai penjahat oleh pihak lain. Kadang-kadang, seseorang dianggap baik di satu saat dan dianggap jahat di saat lain, oleh orang yang sama.

Di Atas Timbangan

Pandangan ini cukup umum di antara orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu selain keKristenan. Kira-kira seperti ini, “Suatu hari semua perbuatan kita akan ditimbang di atas timbangan. Kalau perbuatan baik kita lebih banyak, kita selamat. Kalau perbuatan jahat kita lebih banyak, kita dihukum.” Pandangan ini sedikit seperti sistem debit kredit, di mana yang penting pada akhirnya adalah balance-nya.

Masalah pertama adalah bagaimana sistem ini bisa benar-benar dijalankan.  Perbuatan seseorang adalah hal yang sangat kompleks, disebabkan oleh motivasi yang berbeda-beda, didasarkan oleh tingkat pengertian seseorang, kemampuan serta konteks keadaan yang berbeda. Karena itu, sangat sulit untuk menentukan apakah suatu tindakan itu baik atau buruk, khususnya dari segi motivasi yang tidak kelihatan. Tindakan yang sama dapat memiliki makna dan mutu yang berbeda karena perbedaan motivasi si pelaku. Demikian juga setiap tindakan tidak terpisah satu dengan lainnya, tetapi saling berhubungan.

Satu masalah lagi dengan cara timbangan ini adalah kenyataan bahwa pengadilan dunia sendiri juga tidak dapat berfungsi seperti ini. Untuk menjadi kriminal, seseorang cukup melanggar SATU hukum; sama sekali tidak penting apakah orang itu menaati hukum-hukum tertulis yang lain.

“Aku kan cuma melanggar satu hukum di antara beribu-ribu hukum lainnya. Aku merampok sekali, itu saja. Kenapa aku dihukum sebagai kriminal hanya karena satu tindakan? Bagaimana dengan begitu banyak perbuatan baik yang telah aku lakukan? Aku baik terhadap teman dan menyumbang kepada fakir miskin. Sangat tidak adil kalau aku dihukum hanya karena SATU tindakan pelanggaran!”

Tidak dapat dibayangkan kalau hakim pengadilan melepaskan dia dari hukuman berdasarkan argumen yang seperti itu. Herannya, kita pikir argumen ini sangat pantas dipakai di hadapan pengadilan Allah, Sang Penghakim alam semesta.

Anugerah Ditambah Perbuatan Baik

Sekarang kita mulai menjelajahi pandangan Kristiani yang memiliki konsep anugerah. Definisi oleh Westminster mewaliki pandangan monergisme di mana hanya kedaulatan anugerah Allah yang mengakibatkan pembenaran, berbeda dengan sinergisme, di mana anugerah Allah dan perbuatan baik manusia dua-duanya saling bekerja sama untuk menghasilkan pembenaran. Sinergisme lebih mudah dimengerti dan diterima oleh mayoritas. Ada berbagai variasi sinergisme, tetapi secara esensi sinergisme selalu melibatkan perubahan hidup yang dapat diamati dari mata manusia.

Pandangan Arminian dari aliran Protestan menerima bahwa keselamatan adalah anugerah Allah, akan tetapi manusia memiliki kebebasan untuk memilih menerima atau menolak karunia ini. Akibatnya adalah pembagian orang-orang berdosa ke dalam dua jenis, yang akan memilih Allah dan yang akan menolak Allah. Sebaliknya, monergisme mempertahankan bahwa orang berdosa tidak memiliki iman untuk menerima karunia Allah; maka iman itu pun merupakan pemberian Allah kepada mereka yang ingin Dia benarkan.

Satu variasi dari sinergisme adalah pandangan gereja Katolik, yang juga menerima bahwa keselamatan merupakan anugerah Allah, akan tetapi keselamatan ini berdasarkan kebenaran yang diinfus, bukan diimputasi.  Perbedaan keduanya adalah sebagai berikut: Seperti halnya penyakit, antibiotik tidak secara langsung menyembuhkan seseorang, tetapi memberikan seseorang kekuatan untuk melawan virus dan daya tahan tubuh orang tersebutlah yang akhirnya memungkinkan dia sembuh total.  Demikianlah dengan kebenaran yang diinfus. Dalam skenario kebenaran yang diinfus, Allah memberikan anugerah keselamatan dengan cara menginfus (atau menyuntik) kebenaran Kristus ke dalam hati orang berdosa.  Melalui suntikan kebenaran Kristus ini, orang berdosa mendapat kekuatan untuk berubah dan memulai hidup kudus. 

Kekudusan pribadi dalam hidup individu inilah yang akhirnya membenarkan dia di hadapan Allah, bukan suntikan itu. Ini adalah sinergisme sebab Allah dan orang berdosa bekerja sama untuk menghasilkan kebenaran. Allah memberikan suntikan kebenaran Kristus, dan setelah diinfus, orang berdosa sendiri akan mengalahkan dosa dan mencapai hidup kudus. Maka pembenaran ini sangat bergantung kepada kekuatan dan respon orang berdosa terhadap anugerah Allah.  Pandangan ini juga memperkenalkan konsep pembenaran yang progresif, tahap demi tahap, bukan pembenaran yang once and for all

Sebaliknya, kebenaran Kristus yang diimputasi berarti orang berdosa dibenarkan hanya karena kehendak Allah yang berdaulat. Sesungguhnya orang berdosa tidak akan pernah dapat mencapai standar kekudusan yang dituntut oleh Allah. Kebenaran Kristus diperhitungkan kepada orang berdosa, maka Kebenaran Kristus tersebut akan membenarkan mereka yang beriman kepada-Nya. Orang berdosa tidak dapat percaya kepada Kristus dari dirinya sendiri, oleh karena itu iman pun merupakan anugerah Allah. 

Ringkasan Tantangan

Kita sudah membahas tiga macam tantangan terhadap definisi pembenaran sebagai tindakan kedaulatan Allah yang memperhitungkan kebenaran kepada orang-orang berdosa. Seruan protes yang pertama diutarakan oleh mereka yang berpusat kepada hal-hal yang pragmatis dalam hidup ini, mereka yang menganggap pembenaran adalah isu yang tidak berhubungan dengan hidup mereka dan tidak perlu dibahas. Yang kedua diutarakan oleh mereka yang menganut sesuatu kepercayaan yang bukan Kristen, yang cenderung melihat pembenaran sebagai hasil jerih payah individu. Yang terakhir adalah pandangan dari dalam mayoritas Kristen, yang percaya bahwa karunia Allah dan kerja sama dari individu diperlukan untuk mencapai pembenaran.

Lalu mengapa monergisme, pandangan minoritas di antara umat Kristiani, bahwa pembenaran adalah tindakan Allah sepihak, semata-mata oleh anugerah-Nya, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang individu lakukan, merupakan pandangan yang lebih konsisten dengan kebenaran Alkitab? Jelas-jelas pandangan ini tidak begitu populer dan merupakan konsep yang lebih sulit dimengerti oleh manusia. Tidak sulit untuk melihat alasannya. Monergisme membuat manusia kehilangan kontrol sepenuhnya maka secara alami kita sudah cenderung menolaknya. Satu lagi alasan mengapa pandangan monergisme sulit diterima akan dijelajahi juga dalam artikel ini, yaitu kenyataannya bahwa tanpa standar yang universal, kita secara tidak sadar dan tidak konsisten selalu memakai standar pembenaran yang berbeda-beda.

Menentukan Standar yang Universal

Saat kita mengatakan bahwa seseorang tertentu seharusnya diterima sebagai orang benar di hadapan Allah, sistem penilaian seperti apakah yang sedang kita pakai? Seringkali kita tidak menyadari bahwa kita tidak sedang memakai sesuatu standar dari Allah, akan tetapi hanya menyatakan berdasarkan pandangan dan perasaan kita terhadap orang tersebut. Dan landasan dari pandangan serta perasaan kita adalah bermacam-macam standar di masyarakat yang jarang kita pertanyakan. Kalau terus ditantang untuk menjelaskan secara detail posisi kita, kita akan menyadari bahwa sebenarnya manusia tidak memiliki ukuran penilaian untuk menentukan apakah seseorang patut dibenarkan.

Lalu, apakah standar penilaian yang akan dipakai oleh Allah, Sang Hakim semesta alam untuk pembenaran? Kita berharap Dia akan memakai standar yang membenarkan siapa saja yang tidak pernah menjadi kriminal.  Kita hampir berharap kita dapat memaksa Allah memakai standar ini. Kalau tidak, kita berharap kita bisa menyarankan Dia untuk membenarkan mereka yang bertingkah laku baik di dalam masyarakat. Atau mungkin kita tidak memiliki pilihan tetapi menyarankan hati nurani dipakai sebagai standar pembenaran, walaupun kita tidak menginginkan ini, sebab kita tahu hati nurani kita sering menuduh kita. Dan kalau kita memakai standar ini, kebanyakan dari kita pasti sudah celaka. Karena standar ini masih tidak cukup akibat masalah perbedaan kualitas dan makna dari ‘hati nurani yang bersih’ setelah kejatuhan. 

Pada akhirnya, kita benar-benar tidak dapat menyarankan apa-apa. Kita menyadari bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan satu standar yang universal. Yang lebih penting, kita juga tidak memiliki posisi untuk menyarankan, sebab Dia adalah Allah dan Hakim, kita adalah ciptaan yang dihakimi. Maka Dia akan memakai standar-Nya sendiri, yang tidak seperti standar-standar kita yang loyo, dapat dipakai secara universal untuk menghakimi manusia sepanjang zaman. Di hadapan standar yang menakutkan ini, tidak seorang pun dapat berdiri.

Dengan menyatakan perlunya sebuah standar yang universal, argumen-argumen dari tantangan pertama (individualisme-humanisme) dan tantangan kedua (di atas timbangan) sudah runtuh. 

Letak Infus di dalam Imputasi 

Menurut pandangan monergisme, kebenaran yang diinfus (yaitu hidup pribadi yang semakin kudus) adalah bagian dari karunia keselamatan, yang juga disebut pengudusan (sanctification). Proses pengudusan ini tidak menyelamatkan orang berdosa, tetap orang berdosa yang diselamatkan pasti akan melewati proses ini. Proses ini tidak akan berakhir sampai akhir hidup manusia, karena itu jika keselamatan tergantung kepada kekudusan hidup pribadi, tidak ada seorang pun yang akan mencapainya.

Setiap orang terperangkap oleh kelemahannya, bahkan juga kesuksesannya, dan oleh sebab dosa kita kehilangan kemampuan untuk menyeimbangkan hidup kita dengan integritas total di hadapan Allah.  Keberhasilan di satu aspek seringkali didampingi oleh kegagalan di lebih banyak aspek. Kesetiaan di satu hal seringkali ternoda oleh kelalaian di banyak hal. Kita mudah puas oleh satu kemenangan, tanpa menyadari bahwa kemenangan itu sering menjadi perangkap yang menghambat pertumbuhan kita yang selanjutnya. 

Dari lubuk hati yang terdalam, orang berdosa tegar tengkuk dan tidak mau berubah. Satu perubahan seringkali menjadi hambatan untuk perubahan yang lain. Kita merayakan terhapusnya satu noda hitam, tetapi Allah melihat kertas itu masih penuh dengan noda. Untuk membersihkan satu noda, kita sering menambah banyak noda lainnya. Hidup kita gagal dan sangat jauh dari total integritas yang dituntut Allah, total integritas yang kita miliki ketika Allah pertama kali menciptakan kita penuh kemuliaan-Nya.  Kita rusak total di mata Allah.

Pembenaran yang diinfus, yang progresif melalui kekudusan hidup pribadi di dunia ini, tidak akan membawa kita ke mana-mana. Walaupun Allah menuntut kita untuk mengejar hidup yang kudus dengan segenap hati, kita tidak memiliki harapan jika pembenaran kita tergantung prestasi kita dalam hal ini. Kekudusan hidup adalah respon dari karunia keselamatan Allah, bukan penentu keselamatan itu sendiri. 

Rasul Paulus menyatakan dalam 1Kor. 4:4: “My conscience is clear, but that does not make me innocent. It is the Lord who judges me” (NIV). Ia menunjukkan bahwa hati nurani yang bersih, bahkan hati nurani yang lembut seperti Rasul Paulus pun, tidak cukup untuk mencapai pembenaran di hadapan pengadilan Allah.

Fondasi dari kebenaran yang diimputasi adalah kedaulatan Allah dalam keselamatan dan juga kejatuhan manusia yang total. Kebenaran yang diinfus secara implisit tidak menerima kejatuhan yang total, maka manusia berdosa masih memiliki kekuatan untuk kembali kepada Allah. Ibaratnya adalah kejatuhan Adam hanya menyebabkan kakinya terkilir, karena itu dengan bantuan obat dia masih bisa pulih dan berdiri sendiri. 

Akan tetapi, Alkitab mengajarkan bahwa kejatuhan Adam tidak hanya menyebabkan kakinya terkilir, melainkan mengakibatkan kematian rohani. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan orang yang sudah mati. Monergisme percaya bahwa manusia berdosa sudah mati, maka hanya dapat dibangkitkan oleh kuasa kebangkitan Kristus. Keselamatan bukan sekedar kesembuhan dari penyakit, tetapi melibatkan kelahiran baru, bangkit dari kematian. 

Kelahiran jasmaniah kita bukan merupakan pilihan kita. Demikian juga, kelahiran rohaniah tidak berada di dalam kekuatan dan pilihan orang berdosa yang sudah mati, tetapi sepenuhnya merupakan tindakan kedaulatan Allah sepihak berdasarkan anugerah-Nya dan sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak manusia. 

Kesimpulannya, pembenaran adalah tindakan Allah yang membenarkan orang-orang berdosa yang tidak memiliki kekuatan di hadapan-Nya, hanya berdasarkan imputasi kebenaran Kristus, semata-mata oleh karunia-Nya.  Dengan begitu, anugerah benar-benar adalah anugerah, Allah saja yang paling dimuliakan dan tidak seorang pun yang dapat menyombongkan diri di hadapan-Nya. Sola Gratia dan Soli Deo Gloria!

Mejlina Tjoa

Pemudi MRII Melbourne