Persekutuan Orang Kudus

Mengawali tulisan ini, izinkan saya mengajukan dua pertanyaan.

Pertama, kenapa kita pergi ke gereja setiap hari Minggu? Bukankah setiap orang percaya adalah gereja yang sesungguhnya? Ingat kan, pengajaran yang disampaikan kepada kita, yang kemudian dituangkan ke dalam sebuah lagu sekolah Minggu: “Gereja bukanlah gedungnya, bukan juga menaranya. Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya!” Nah, jadi kenapa mesti ke gereja lagi?

Kedua, orang-orang percaya yang adalah gereja yang tidak kelihatan, yang harus “hidup bergereja”, apa sih “hidup bergereja” itu? Apakah “ikut kebaktian di gereja setiap hari Minggu” adalah “hidup bergereja”? Apakah kalau ke gereja secara DDP (Datang – Duduk dengar khotbah – Pulang) itu disebut hidup bergereja? Saya orang Kristen, kamu juga orang Kristen, kita kebaktian di waktu dan tempat yang sama, sudah toh? Ngobrol-ngobrol atas nama “bersekutu”? Basa-basi banget sih! Males ah… Hal seperti ini terjadi terus dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun sampai menjadi suatu hal yang “biasa bin normal bin tidak ada yang salah dengan ini”.

Atau begini: kalau kita ke gereja setiap Minggu plus datang PA (Pemahaman Alkitab) plus datang PD (Persekutuan Doa) plus pergi PI (Pengabaran Injil) plus hadir di seminar plus jadi panitia KKR, dan seterusnya, maka berarti kita sudah “hidup bergereja”? 

Kita berada, beraktivitas, melayani di dalam wadah suatu gereja lokal, tetapi sungguhkah kita ini sedang menjalankan hidup bergereja?

Fakta Dipersatukan oleh Roh

Gereja ada karena pekerjaan Roh Kudus dalam hati umat pilihan Tuhan. Roh Kudus membuat manusia-manusia pilihan Tuhan sadar akan betapa jahatnya pembangkangan mereka kepada Allah dan betapa malangnya keterpisahan dari Allah: tanpa kesucian, tanpa kebenaran, tanpa pengertian, tanpa hikmat, tanpa tujuan, tanpa arti, tanpa kekuatan, tanpa kasih, tanpa sukacita, tanpa damai sejahtera, dan tanpa hidup yang kekal! Roh Kudus juga yang kemudian menuntun mereka kepada salib Kristus sehingga mereka menerima pengampunan dosa dan diperdamaikan lagi dengan Allah.

Dengan demikian, mereka yang dahulu “jauh” sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Yang dahulu adalah “orang-orang asing dan pendatang” sekarang adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah”. Mereka masing-masing telah dihimpun menjadi suatu communio fidelium (komunitas orang-orang percaya) atau communio sanctorum (komunitas orang-orang kudus), tubuh-Nya.

Inilah yang harus disadari, diterima, dan dihidupi oleh setiap orang percaya: bahwa mereka masing-masing adalah anggota dari satu tubuh, yaitu tubuh Kristus.

Makna Satu Tubuh

Jika kita ini adalah satu tubuh, bolehkah kita saling tidak peduli? Bolehkah kita saling mengabaikan? Sayangnya, persoalan yang sebenarnya bukanlah boleh atau tidak boleh mengenai hal tersebut, melainkan apa yang Tuhan tuntut dari tubuh Kristus.

Di dalam Ibrani 10:24-25 dengan jelas ditegaskan bahwa setiap orang kudus wajib memelihara persekutuan dan persaudaraan dengan orang-orang kudus lainnya dalam pertemuan-pertemuan ibadah kepada Allah dan dalam pelayanan rohani yang lain, yang berguna untuk saling membangun. Orang-orang kudus harus saling memperhatikan, saling menasihati, dan saling mendorong dalam pekerjaan baik. Bukan hanya itu saja, ayat ini juga mengatakan bahwa kita harus semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang makin mendekat!

Beribadah dan Belajar Bertemu (Berelasi)

Kembali ke pertanyaan di awal artikel ini, kenapa masih harus ke gereja setiap hari Minggu? Gereja bukan gedungnya tetapi orangnya?! Justru karena gereja adalah orangnya maka harus ada pertemuan antar orang-orang yang dinamai gereja tersebut. Tidak perlu bertemu dengan gedung seberapa pun indahnya gedung itu. Mengingat tidak ada pertemuan dengan gedung, yang ada adalah kita melihat gedung bukan bertemu gedung. Pertemuan itu hanya antara yang personal dengan yang personal. Betapa indahnya perintah Tuhan ini, bukan? Perintah Tuhan kepada anggota-anggota tubuh Kristus, kepada communio sanctorum adalah perintah untuk bertemu!

Lebih spesifik, perintah untuk bertemu ini adalah – khususnya – di dalam konteks ibadah kepada Allah. Marilah kita sadari bahwa perintah ini sesungguhnya merupakan suatu kehormatan yang besar. Pertama, hanya manusia yang dipilih saja yang mendapat kesempatan untuk beribadah kepada Allah. Allah tidak perlu disembah oleh manusia. Tetapi Ia rela disembah oleh manusia-manusia tertentu yang Ia tentukan sejak sebelum dunia dijadikan (meskipun mereka tidak tahu bagaimana menyembah dan menghormati Allah dengan sempurna sesuai standar-Nya). Kedua, di dalam pertemuan ibadah yang suci dan khusus itulah, orang kudus menerima anugerah lainnya: pertemuan dengan yang personal atau orang kudus lainnya. Hal ini luar biasa karena kejatuhan manusia dalam dosa telah mengakibatkan kita tercerai satu dengan yang lainnya. Kita bisa saja bersama secara fisik, namun mungkin kita tidak berelasi sama sekali; atau kita berelasi, tetapi berelasi secara salah (baca: Aku & Kamu, Apakah Hubungan Kita Baik-baik Aja?, Pillar edisi November 2009). Camkanlah bahwa di dalam pertemuan ibadah ini, Tuhan menghendaki anggota tubuh yang satu (harus) belajar berelasi dengan benar terhadap anggota tubuh lainnya.

Secara Bersama-sama, Bertemu dengan Firman

Apa yang dilakukan di dalam pertemuan-pertemuan itu? Yang pokok adalah mendengarkan Firman. Tentu ini tidak berarti puji-pujian kepada Tuhan dan persembahan (sebagai salah satu bentuk respons atas Firman dan kebaikan Tuhan) menjadi hal yang sekunder. Justru orang-orang kudus yang betul-betul mau bertemu dengan Firman, merindukan untuk memuji Tuhan dan menghargai keseriusan ibadah.

Di dalam pertemuan ibadah, setiap anggota tubuh Kristus bersama-sama menerima pengajaran firman Tuhan untuk selanjutnya bersama-sama menggumulkannya dan menjalankannya dalam kehidupan setiap hari, seperti yang dilakukan oleh jemaat mula-mula:

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan ….” (Kis. 2:42)

Kata “bersama-sama” sengaja ditekankan agar setiap anggota menyadari bahwa mereka tidak dimaksudkan untuk terpisah-pisah, tercerai-berai, melainkan berkomunitas. Di dalamnya juga berarti harus ada tindakan aktif saling memperhatikan, saling mendorong (dalam kasih dan dalam pekerjaan baik) dan saling menasihati. Dengan demikian, setiap anggota tubuh (orang-orang kudus) bersama-sama mengarahkan diri dan seluruh hidupnya kepada Sang Kepala (Kristus).

Pertanyaannya adalah, di dalam pertemuan ibadah kita, adakah kita peduli apakah di samping kiri dan kanan kita bertemu dengan Firman atau tidak? Bagaimana jika mereka sibuk dengan gadget masing-masing? Bagaimana jika mereka mengantuk dan tertidur? Bagaimana jika mereka datang terlambat dan atau pulang sebelum kebaktian selesai? Kitakah mereka? Jika bukan, apakah “diam” adalah sikap yang seharusnya terjadi dalam communio sanctorum?

Bagaimana pula dengan kesulitan anggota tubuh yang lain dalam mengaplikasikan Firman dalam kehidupan setiap hari? Bagaimana jika anggota tubuh yang lain jatuh ke dalam dosa dan pencobaan? Adakah kita peduli? Mengenai hal ini, saya teringat akan kalimat Pdt. Dr. Stephen Tong yang kira-kira seperti ini, “Kita sering terlalu cepat menghakimi saudara seiman yang jatuh dalam dosa. Kita dengan cepat mengritik dia. Jangan begini. Tanamkanlah dalam diri kita suatu pemikiran bahwa: jika ada saudara seiman yang sampai jatuh, itu artinya, selama ini saya kurang menasihatinya, kurang mendoakannya, kurang memperhatikannya, kurang mengasihinya.” Inilah pemahaman dan sikap yang sehat dalam relasi anggota tubuh Kristus. Yang satu betul-betul merasa yang lain adalah bagian dari dirinya. Tanpa anggota yang lain itu, tubuh ini menjadi cacat.

Berbagi, Juga dalam Hal-hal Lahiriah

Di dalam satu tubuh, orang-orang kudus tidak hanya dituntut untuk berbagi secara rohaniah, tetapi juga wajib saling meringankan beban dalam hal-hal lahiriah menurut kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Kisah Para Rasul mencatat suatu kisah nyata yang indah mengenai hal ini (Kis. 11:29-30). Pada waktu itu beberapa nabi datang dari Yerusalem ke Antiokhia, salah satunya bernama Agabus. Oleh kuasa Roh ia mengatakan bahwa seluruh dunia akan ditimpa bahaya kelaparan yang besar. Lalu murid-murid (orang-orang bukan Yahudi yang dijuluki Kristen karena telah percaya kepada Kristus) memutuskan untuk mengumpulkan suatu sumbangan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing dan mengirimkannya kepada jemaat (disebut: saudara-saudara) yang tinggal di Yudea. Mereka mengirimkan sumbangan ini melalui Barnabas dan Paulus.

Tentu bukan waktu bencana datang saja communio sanctorum berbagi secara lahiriah. Jemaat mula-mula memberikan contoh bagaimana di saat mereka berkumpul, mereka juga memecahkan roti dan makan dengan hati gembira dan tulus, sambil memuji Allah.

Hendaklah kita ingat bahwa baik dalam hal-hal rohaniah maupun lahiriah, pasti ada kesulitan dan pergumulan yang harus dihadapi oleh setiap manusia di muka bumi ini, tidak terkecuali orang-orang kudus. Menjadi orang Kristen sama sekali tidak membebaskan kita dari kesulitan dan tantangan hidup. Baik itu kesulitan ekonomi, gangguan kesehatan, maupun kesulitan psikologis. Sebab itulah kita diperintahkan untuk saling bertolong-tolongan dalam menanggung beban. Yang kuat menanggung yang lemah.

Jika kita berada dalam posisi “yang lemah”, umumnya minimal ada dua ekstrem yang salah. Yang pertama adalah orang dengan konsep harga diri yang salah. Sebagian dari kita memiliki jiwa superhero. Maksudnya adalah selalu ingin berada dalam posisi membantu orang lain. Ketika dia sendiri berada di dalam kesulitan, dia menutup diri untuk ditolong oleh orang lain karena malu atau tidak ingin dianggap lemah. Hal ini tidak pada tempatnya dalam persekutuan orang kudus. Apalagi mengingat bahwa setiap kita memiliki kelemahan dan menghadapi kesulitan masing-masing. Belajarlah untuk rendah hati untuk ditolong oleh saudara seiman kita yang dengan tulus mengasihi kita, yang mengerti pergumulan kita, dan rela membantu kita. Mengucap syukurlah kepada Tuhan atas saudara-saudara seiman yang demikian. Yang kedua adalah orang yang sengaja menonjolkan kelemahannya untuk memancing belas kasihan orang lain alias memanfaatkan kebaikan orang. Ini adalah jenis orang yang tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih. Tipe seperti ini tidak patut ditolong lebih lama lagi.

Jika kita berada dalam posisi “yang kuat”, ada beberapa prinsip yang diajarkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong yang perlu disampaikan di sini dan menjadi patokan kita untuk menolong orang lain dengan berbijaksana: (1)Kita tidak dipanggil untuk menolong semua orang miskin; (2)Jangan menolong orang yang malas; (3)Tolonglah orang yang betul-betul sudah bekerja keras tetapi memang hasilnya sedikit; tolonglah orang yang betul-betul perlu pertolongan dan bersedia ditolong.

Nah, kalau kita datang ke kebaktian umum atau persekutuan dengan cara DDP, waduh, boro-boro saling menolong (baik rohaniah maupun lahiriah), namanya aja lupa….

Mandat Injil dan Mandat Budaya

Tubuh Kristus, yaitu Gereja, adalah saksi Kristus di tengah-tengah zaman di mana mereka ditempatkan. Oleh karena itu, Gereja, baik secara umum (seluruh Gereja yang tidak kelihatan) maupun secara partikular (setiap pribadi orang percaya), wajib melaksanakan panggilan untuk menunaikan mandat Injil dan mandat budaya.

Sering terjadi, khususnya di kalangan pemuda dan remaja, untuk mempertanyakan apa kehendak Tuhan dalam hidup mereka, apa panggilan Tuhan secara pribadi buat mereka. Ini adalah pergumulan yang penting sekali. Jika pergumulan ini tidak dijawab, maka berapa banyak waktu dan anugerah Tuhan lain yang akan kita buang percuma?

Maka, di dalam communio sanctorum inilah kita bersama-sama membuka telinga pada pimpinan Tuhan, saling menegur, saling membangun, dan saling mempertajam. Dengan demikian, kita saling menolong agar setiap anggota tubuh menjalankan fungsinya dengan baik. Ke dalam kita bersekutu, ke luar kita menjadi saksi di setiap bidang yang Tuhan percayakan kepada kita.

Penutup

Bila Tuhan tak pernah menghendaki adanya Gereja, mengapa Kristus harus datang ke dunia? Bila kita mengatakan bahwa kita adalah orang-orang yang sudah menerima anugerah keselamatan dan kita adalah anggota tubuh Kristus, mengapa hidup kita tidak menunjukkannya? Ekklesia reformata semper reformanda est!

 

Dini Rachman

Pemudi GRII Pusat

 

 

 

Referensi:

Berkhof, Louis (2008). Teologi Sistematika, Volume 5: Doktrin Gereja. Surabaya: Momentum.

End, Th. van den (2004). Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: Gunung Mulia.