Sudah beberapa menit Anton tertegun di ruangan studionya. Tampak dari raut wajahnya bahwa ia sedang merenung. Matanya menghadap ke kanvas yang masih putih kosong berukuran 75cm x 90cm. Kuas, cat minyak, dan palet yang biasa dipakai untuk melukis masih tergeletak di atas meja di samping kanvas tersebut. Kedua tangan Anton sedang memegang satu buku yang tidak terlalu tebal. Buku itu adalah catatan harian Anton. Bagian halaman yang sedang terbuka saat itu adalah catatan Anton mengenai hal-hal yang ia pelajari saat bible study bersama teman-teman kelompok kecil hari Minggu yang lalu. Perikop Alkitab yang ia pelajari adalah Lukas 12:35-48. Dari apa yang telah ia pelajari tersebut, Anton terdorong untuk mengekspresikannya ke dalam bentuk lukisan. Oleh karena itulah, saat ini sebelum ia menuangkan ide tersebut di atas kanvas, ia kembali membuka buku catatannya untuk sekali lagi merenungkan perikop dari Injil Lukas tersebut. Tema yang ingin dilukis adalah suatu gambaran tentang bagaimana seharusnya seorang Kristen hidup di zaman akhir menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali.
Berikut ini adalah cuplikan dari apa yang tercatat di buku hariannya dan saat ini ia menuliskannya di sini untuk dapat menjadi berkat bagi pembaca buletin PILLAR.
Minggu, 5 Februari 2012
Bersyukur kepada Tuhan atas berkat firman yang Ia berikan lewat PA tadi siang waktu aku ikut Kelompok Kecil. Perikopnya adalah dari Lukas 12:35-48.
Hal-hal yang aku pelajari:
Tuhan Yesus mengajar para murid dan orang banyak tentang bagaimana hidup seorang murid Kristus yang sejati di dalam menantikan kedatangan Kristus yang kedua kali. Dalam pengajaran-Nya, Tuhan Yesus memberikan serangkaian penggambaran:
1. Yang pertama ialah penggambaran tentang seseorang yang pinggangnya tetap berikat dan pelitanya tetap menyala (Luk. 12:35).
Alkitab bahasa Inggris menggunakan kalimat stay dressed for action (*ESV) atau be dressed ready for service (*NIV) untuk ayat 35a tersebut. Penggambaran ini berkaitan dengan cara berpakaian seseorang yang siap melayani. Kita dapat lebih memahami penggambaran ini kalau kita tahu tentang bagaimana cara berpakaian orang-orang saat itu. Mereka biasanya mengenakan satu jubah luar yang panjang sampai menutup kaki. Mudah bagi kita untuk membayangkan bahwa dengan jubah luar yang panjang tersebut akan membatasi gerak-gerik si pemakai. Maka ketika seorang hamba dikatakan siap untuk melayani dia harus menggulung jubah luar tersebut dan mengikatkannya di pinggang. Dengan demikian ia akan lebih bebas bergerak untuk melayani sebagai seorang hamba. Di zaman itu belum ada listrik dan lampu sehingga yang menjadi sumber terang pada malam hari adalah pelita. Ketika seseorang sudah siap tidur di malam hari maka ia akan memadamkan pelitanya. Seseorang yang pinggangnya tetap berikat dan pelitanya tetap menyala adalah seorang hamba yang siap untuk melayani tuannya walaupun hari sudah gelap dan orang-orang pada umumnya sudah tidur. Ketika saatnya tiba untuk melayani tuannya, maka tuannya tidak perlu menunggu si hamba mengenakan dan mengikatkan jubahnya serta menyalakan pelitanya.
2. Yang kedua ialah penggambaran tentang hamba yang menanti-nantikan tuannya pulang dari acara perkawinan (Luk. 12:36-38).
Konteks di zaman itu, suatu acara perkawinan dapat berlangsung beberapa hari serta diadakan di satu tempat di mana orang-orang yang diundang perlu melakukan perjalanan yang cukup lama. Maka sangatlah umum jikalau seseorang pergi ke acara perkawinan maka para hamba tidak tahu persis kapan sang tuan akan kembali tiba di rumah. Sang tuan dapat tiba di rumah pada waktu tengah malam maupun dini hari. Apa yang diharapkan oleh sang tuan ketika ia tiba di rumah dan mengetuk pintu rumahnya? Ia mengharapkan hamba-hambanya segera membukakan pintu. Yang menjadi perhatian di sini adalah bukan tentang apakah hamba-hambanya akan membukakan pintu atau tidak, melainkan adanya unsur persegeraan pada saat kapan pun. Penggambaran di sini juga bukan tentang hamba yang bersungut-sungut menjaga pintu, melainkan tentang hamba yang menanti-nantikan tuannya pulang. Ada unsur mengharapkan ketibaan sang tuan. Tuhan Yesus memberikan penilaian tentang hamba tersebut sebagai orang yang berbahagia yaitu mereka yang berjaga-jaga dan dengan segera membukakan pintu bagi sang tuan. Tuhan Yesus bahkan melanjutkan penggambaran akan hamba yang demikian itu dengan suatu pemberian reward yang tidak diduga-duga. Di ayat 37, dideskripsikan bahwa ketika si tuan mendapati hamba-hambanya telah berjaga-jaga sedemikan, si tuan tidak meminta para hamba-hambanya melayani dia melainkan sebaliknya si tuan melayani para hamba-hamba yang telah berjaga-jaga itu.
3. Yang ketiga ialah penggambaran tentang waktu kedatangan seorang pencuri (Luk. 12:39-40).
Seorang pencuri tidak mungkin akan memberitahukan terlebih dahulu kepada pemilik rumah mengenai kapan ia akan datang untuk mencuri. Ia akan datang pada waktu yang tidak disangka-sangka oleh pemilik rumah. Tentu kita jangan membayangkan rumah pada zaman itu dengan rumah zaman sekarang yang dapat diperlengkapi dengan pintu dan kunci berlapis-lapis, sistem alarm pengaman serta regu penjaga. Penggambaran di bagian ini memberikan suatu penekanan pada peringatan untuk berjaga-jaga dan senantiasa siap sedia.
4. Yang keempat ialah penggambaran tentang hamba atau pengurus rumah yang setia dan bijaksana (Luk. 12:41-46).
Hamba tersebut mendapat kepercayaan untuk mengurus hamba-hamba lain pada saat tuannya hendak berangkat pergi. Seorang pengurus yang setia dan bijaksana akan melakukan tugas kepercayaan tersebut dengan baik dan ketika tuannya pulang dan mendapati pengurus tersebut melakukan hal demikian maka ia memberikan reward yaitu dengan mengangkat hamba itu menjadi pengawas atas segala miliknya. Tuhan Yesus juga memberikan suatu kontras dengan menggambarkan hamba yang jahat. Hamba tersebut tidak menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya melainkan memukul hamba-hamba lain serta makan, minum, dan mabuk. Ketika tuannya pulang pada saat yang tidak disangkanya, maka penghukuman tiba kepadanya.
Refleksi Pribadi:
Dengan memperhatikan kesinambungan keseluruhan rangkaian penggambaran di perikop ini, aku belajar bahwa sikap yang benar saat menantikan kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali ialah bukan seperti seorang yang berlagak sibuk melayani sewaktu-waktu saja, melainkan yang dituntut di sini adalah sikap yang setia melayani setiap saat. Khususnya ketika aku melihat paralel antara penggambaran seorang yang pinggangnya tetap berikat dan pelitanya tetap menyala (ay. 35) dengan seorang hamba atau pengurus rumah yang setia dan bijaksana (ay. 42). Sangatlah jelas bahwa yang dimaksud di sini bukanlah mengenai kondisi berikat pinggang yang hanya dilakukan pada saat sang tuan berada di rumah dan sedang memperhatikan pekerjaan si hamba saja melainkan mengenai kondisi yang siap melayani setiap saat termasuk waktu menantikan tuannya tiba di rumah pada waktu yang tidak diketahuinya. Pada saat merenungkan bagian ini aku juga disadarkan bahwa si hamba mengerjakan tugas yang dipercayakan oleh sang tuan tidak dengan sikap hati yang terpaksa dan penuh dengan gerutu melainkan dengan kesetiaan. Kata “kesetiaan” mengandung unsur suatu relasi yang erat. Pemilihan kata “menanti-nantikan” (ay. 36) di dalam Alkitab bahasa Indonesia menolong kita untuk semakin dapat merasakan nuansa relasi yang begitu erat antara para hamba dan tuannya. Mereka menjalankan tugas bukan terbatas pada tugas kewajiban yang mau tidak mau harus mereka kerjakan sebagai hamba. Kalau seorang hamba hanya menjalankan tugas kewajiban karena terpaksa, maka ia akan senang kalau tuannya sedang tidak ada sehingga mereka bisa bebas bertindak apa pun juga. Tidak demikian dengan hamba-hamba yang digambarkan di sini. Mereka menanti-nantikan tuannya. Dengan kata lain mereka “kangen” dan ingin segera bertemu dengan tuannya. Sambil menunggu kedatangannya ia mengerjakan setiap tugas yang telah dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Inilah kesetiaan yang dimaksudkan.
Yang menjadi refleksi aku pribadi, apakah aku adalah orang yang demikian? Apakah aku adalah orang yang menanti-nantikan Tuhan Yesus datang kedua kali dan di dalam masa penantian ini apakah aku menyatakan kesetiaan di dalam mengerjakan setiap pelayanan yang dipercayakan kepadaku dengan sebaik-baiknya? Ataukah aku lebih mirip hamba yang jahat yang menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan?
Selain kesetiaan, Tuhan juga mengajarkan bahwa kita juga perlu bijaksana. Ketika kita menyejajarkan pelita yang tetap menyala dengan sifat bijaksana, maka kita langsung teringat pada perumpamaan Tuhan Yesus tentang “gadis-gadis yang bijaksana dan gadis-gadis yang bodoh” di Matius 25:1-13. Agar pelita dapat tetap menyala maka diperlukan kebijaksanaan, termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan minyak cadangan sehingga ketika si hamba menanti-nantikan tuannya pulang, pelitanya tetap dapat menyala dan tidak kehabisan minyak. Dengan berbijaksana maka seseorang akan semakin peka akan konsep waktu termasuk mengenai waktu kedatangan Kristus yang kedua kali. Selain itu dengan berbijaksana seseorang juga akan semakin sadar untuk senantiasa mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan-Nya.
Bagaimana dengan aku pribadi? Apakah aku tidak lagi diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran palsu yang berusaha menghitung dan menentukan waktu yang tepat dari kedatangan Kristus? Apakah aku lebih mirip hamba yang mematikan pelita serta ketiduran yaitu dengan terlena di dalam kenikmatan dunia sehingga tidak lagi berjaga-jaga di masa Adven (penantian) ini?
Itulah sebagian cuplikan dari catatan harian Anton yang telah menjadi berkat bagi Anton dan yang menggerakkan dia untuk menyalurkannya ke dalam bentuk lukisan tentang sikap yang benar dalam menantikan kedatangan Kristus. Ia berharap lukisan itu dapat menolong dia dan teman-teman yang lain untuk selalu ingat akan firman Tuhan tersebut.
Setelah Anton kembali merenungkan bagian itu, mulailah ia melukis di atas kanvas. Menit demi menit dan bahkan jam demi jam telah berlalu, Anton masih asyik melukis. Walaupun belum seluruhnya selesai, kita sudah dapat melihat dan menangkap apa yang sedang dilukis oleh Anton. Di kanvas itu terlukis seorang hamba yang mengenakan jubah panjang yang telah digulung dan diikatkan di pinggang. Sambil membawa pelita yang menyala, hamba itu dilukiskan sedang membukakan pintu dan mempersilakan tuan rumah yang baru pulang dari suatu perjalanan untuk masuk ke dalam rumah yang telah diterangi oleh pelita tersebut. Dengan memilih warna-warna yang lebih cerah, Anton sengaja melukis cahaya pelita yang menyinari wajah dari kedua orang itu. Terlihat wajah yang begitu bersukacita dari hamba yang membuka pintu yang mengekspresikan suatu pengharapan yang telah terwujud lewat kepulangan sang tuan. Cahaya dari pelita juga dilukiskan menyinari wajah sang tuan yang tampak tersenyum dan memuji si hamba yang telah berjaga-jaga dengan setia dan bijaksana. Sebagai kontras, di sisi lain dari rumah itu dilukiskan dengan warna yang lebih gelap karena tidak ada cahaya dari pelita di sisi sebelah situ. Di bagian yang gelap itulah terlukis satu sosok orang yang sedang terbaring ketiduran. Tokoh yang mana dari lukisan tersebut yang lebih mencerminkan diri kita?
Daniel Gandanegara
Jemaat GRII Singapura