, ,

Post Tenebras Lux: Historical Contexts of Reformed Prolegomena

Tahun ini gereja-gereja Protestan di seluruh dunia akan merayakan 500 tahun Reformasi, yang telah memberikan begitu banyak warisan, tetapi sangat sedikit orang Kristen yang mengenal dan menghargainya. Di dalam artikel ini, penulis akan mengeksplorasi salah satu warisan penting dari reformasi gereja, yakni prolegomena theologi yang muncul dan berkembang di dalam gereja Protestan pada zaman tersebut, secara spesifik prolegomena Theologi Reformed. Kita akan mempelajari perkembangan prolegomena theologi pada zaman Gereja Mula-mula sampai pada Abad Pertengahan.[1] Kemudian, melihat beberapa kekhasan dari prolegomena Theologi Reformed ketika dibandingkan dengan berbagai prolegomena theologi pada zaman sebelumnya.

Apa itu Prolegomena Theologi?
Pada umumnya, jemaat Protestan memahami Reformasi Protestan sebagai reformasi di dalam doktrin keselamatan, yang dimulai ketika Martin Luther memakukan artikel yang berisi 95 tesis di atas pintu Gereja Kastil di Wittenberg, Jerman. Namun apabila kita meneliti lebih dalam, kita akan menemukan Reformasi Protestan tidak hanya mencakup doktrin keselamatan. Reformasi Protestan merupakan reformasi di dalam banyak aspek gereja, termasuk pengertian akan pemerintahan gereja, doktrin sakramen, mariologi, dan lain-lain. Salah satu reformasi yang mendasar di dalam seluruh Reformasi Protestan ialah reformasi prolegomena theologi.

Kata prolegomena sendiri diartikan oleh KBBI (2016) sebagai “kata pengantar yang memberikan uraian mengenai tulisan atau karangan ilmiah”. Sehingga, prolegomena theologi dapat diartikan sebagai pengantar dari suatu studi theologia. Pada umumnya, di dalam pembelajaran prolegomena theologi, kita akan berhadapan dengan berbagai isu di dalam metode theologi, yakni natur dari studi theologi, tujuan dari studi theologi, serta dari sumber dalam membangun theologi. Dalam hal ini, prolegomena theologi menjadi aspek penting di dalam studi theologi, karena metode yang digunakan akan menjadi dasar dan memberikan arah kepada pembentukan suatu theologi.

Seperti layaknya kota Roma tidak dibangun dalam semalam, perbedaan doktrin antara Gereja Roma Katolik dan para reformator pada zaman Reformasi tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Terdapat suatu proses pembentukan metode theologi yang akhirnya membawa pengajaran Gereja Roma Katolik tidak lagi memberi segala kemuliaan bagi Tuhan. Kita akan mempelajari proses ini dari pemikiran beberapa Bapa-bapa Gereja dan para theolog Abad Pertengahan.

Prolegomena Theologi di dalam Era Gereja Mula-mula
J. van Genderen (2008) berpendapat bahwa terdapat tiga motif dasar theologi sepanjang sejarah, yakni sebagai apologetika bagi iman Kristen, bahan instruksi dan pengajaran bagi jemaat Tuhan (atau yang sering dikenal sebagai katekismus), dan pemaparan eksegesis Alkitab. Di dalam pemikiran Bapa-bapa Gereja, memiliki motif pertama dari theologi, yakin sebagai pembelaan iman Kristen.

Di dalam era Gereja Mula-mula, umat Tuhan diperhadapkan dengan berbagai sistem filsafat yang berkembang di dalam Kerajaan Romawi. Pada zaman tersebut, filsafat bukanlah sekadar sistem pemikiran yang hanya dipelajari oleh kaum intelektual. Filsafat pada zaman Kerajaan Romawi merupakan warisan dari filsafat Yunani yang berusaha menjawab berbagai pertanyaan dasar di dalam kehidupan, termasuk hal-hal yang bersifat religius, seperti keberadaan dan natur Tuhan, natur dari jiwa, dan kehidupan setelah kematian. Bagi para filsuf, hidup berfilsafat merupakan kehidupan yang paling agung, di mana seseorang memikirkan dan merenungkan akan hal-hal yang bersifat ilahi (Hill, 2003). Di dalam konteks tersebut, merupakan suatu yang tidak mengejutkan apabila umat Kristen memandang iman mereka sebagai suatu sistem filsafat dan membela iman Kristen di dalam ranah filsafat.

Salah satu pembela iman pada era Gereja Mula-mula ialah Justin Martyr. Justin membela iman Kristen yang pada saat itu dipandang sebagai filsafat yang barbar oleh para penganut ajaran Plato, karena dianggap tidak menyembah allah yang imaterial, melainkan menyembah Kristus yang mereka pandang sebagai manusia biasa (ibid.). Justin menggunakan bahasa dan pengertian yang dapat ditemukan dalam berbagai filsafat, terutama platonik dan stoiksisme, untuk membela iman Kristen di hadapan para filsuf. Kita dapat memerhatikan metode ini ketika Justin menjelaskan mengenai konsep Logos.

Logos, yang dapat diartikan sebagai “ratio” atau “firman”, dimengerti oleh para stoik sebagai suatu substansi yang bersifat material dan tersebar di seluruh alam semesta, memelihara dan menggerakkan dunia ini. Bagi para platonik, ada kemiripan pengertian antara Logos dan konsep anima mundi (Ing.: The World Soul), yakni suatu entitas yang membentuk dan menjaga alam fisik (ibid.). Dalam pemikiran Plato, anima mundi tidak berada di dalam alam fisik (atau dunia indrawi), melainkan berada di dalam dunia ide. Anima mundi bisa dianggap sebagai semacam allah, walaupun ada allah yang lebih tinggi melebihi dunia ide dan anima mundi itu sendiri (ibid.).

Dipengaruhi oleh Plato, Justin melihat jauhnya hubungan antara Tuhan dan dunia ciptaan, sehingga diperlukan sebuah atau seorang pengantara. Hanya melalui pengantara, Tuhan dapat bekerja di dalam dunia ciptaan, dan pengantara tersebut ialah Logos. Melalui Logos, Tuhan menciptakan dunia dan memberikan inspirasi bagi para nabi. Bahkan melalui Logos, Tuhan memberikan benih rasio Tuhan bagi para filsuf sekuler, meskipun secara natur pengertian mereka tidak sempurna. Hanya umat Kristen yang memiliki Logos sepenuhnya. Justin mengidentifikasikan Logos ini sebagai Yesus Kristus (ibid.). Sehingga, pembelaan Justin dapat dimengerti sebagai interpretasi ulang dari pandangan Platonik mengenai allah yang lebih tinggi dan anima mundi (atau Logos) yang lebih rendah dengan konklusi yang mengarah kepada Kristus.[2]

Prolegomena theologi pada era Gereja Mula-mula tidak hanya diwakili oleh metode theologi yang dipakai oleh Justin Martyr. Tokoh penting lainnya adalah Tertullian. Apabila Justin melihat kemungkinan untuk menjadikan filsafat sekuler sebagai sekutu dari iman Kristen, Tertullian melihat dengan sebaliknya. Dalam melawan para bidat, ia memandang filsafat sebagai musuh dari iman yang memengaruhi semua bidat (ibid.). Tertullian berpendapat bahwa tidak ada tempat bagi kebijaksanaan dunia di dalam gereja dan rasio manusia tidak dapat dijadikan sebagai sumber bagi theologi.

Meskipun Tertullian menggunakan Alkitab di dalam pembelaan imannya, beberapa akademisi, seperti Hills, berpendapat bahwa otoritas tertinggi di dalam theologi bagi Tertullian ialah tradisi gereja yang diwariskan dari para rasul. Mengapa? Karena menurut Tertullian, para bidat pun dapat menggunakan Alkitab ketika membela pengajaran mereka. Karena itu, segala doktrin harus dibandingkan dengan patokan iman (Latin: regula fidei; Ing.: rule of faith) yakni pengakuan iman para rasul, yang menerima amanat dan otoritas dari Kristus, dan diwariskan kepada gereja yang mereka dirikan (ibid.). Pengakuan iman para rasul yang ia maksud adalah pengakuan yang hanya mengandung apa yang telah diajarkan oleh Alkitab dan tidak ada unsur yang berasal dari luar Alkitab.[3] Bagi Tertullian, pengakuan iman sejati yang didasarkan hanya oleh Alkitab, yang dapat menjadi patokan iman atau otoritas tertinggi di dalam theologi.

Perbedaan metode theologi antara Justin Martyr dan Tertullian memberikan kita gambaran situasi yang dihadapi Gereja Mula-mula dalam konteks prolegomena theologi. Terdapat banyak pertanyaan kompleks mengenai metode theologi yang belum terselesaikan pada zaman itu. Di antaranya terdapat dua pertanyaan yang mendasar: 1) Apakah hubungan antara iman Kristen dan filsafat? 2) Apakah yang menjadi sumber dari theologi? (Bavinck, 2003) menyebutkan bahwa di dalam theologi Gereja Mula-mula ada dua kecenderungan yang bertolak belakang. Pada satu sisi, Tertullian, berserta Cyprian, Lactantius, dan Irenaeus dengan keras melawan filsafat sekuler dan bersumbangsih bagi kekristenan dalam membentuk suatu ilmu theologi yang bersifat independen dari sistem filsafat yang lainnya. Sedangkan para theolog dari Aleksandria, diwaliki oleh Clement dan Origen, meneruskan usaha Justin Martyr dengan menggunakan filsafat Yunani di dalam membentuk theologi (ibid.). Dua kecenderungan ini akan kembali muncul di dalam perkembangan prolegomena theologi pada Abad Pertengahan.

Prolegomena Theologi di dalam Abad Pertengahan
Berkhof (1996) berpendapat bahwa theologi Roma Katolik di dalam Abad Pertengahan mulai berkembang sejak abad ke-11 dengan munculnya paham skolastiksisme, yang kemudian disusul dengan berkembangnya paham mistiksisme di abad ke-12. Pada akhirnya, skolastiksisme berkembang dengan drastis pada abad ke-13 dan mencapai puncak kejayaan melalui karya Thomas Aquinas. Berkhof dan Bavinck (2003) menjelaskan bahwa di dalam metode Theologi Skolastik, para theolog berusaha menjelaskan materi theologi atau dogma (pokok ajaran gereja) yang ditemukan di dalam Alkitab dengan menggunakan metode ilmiah yang berasal dari berbagai aliran pemikiran (Ing.: schools of thoughts), terutama pemikiran filsafat Yunani. Di sini kita dapat memerhatikan bahwa Theologi Skolastik mengikuti prinsip di dalam filsafat sekuler. Di dalam hal ini, Theologi Skolastik mengikuti jejak Justin Martyr dan Origen dengan menjadikan filsafat sekuler sebagai sekutu.

Bavinck (2003) memaparkan tiga kelemahan dari paham skolastiksisme:

Pertama, pembelajaran akan sumber-sumber asli dilupakan. Para theolog skolastik mendapatkan materi-materi theologi di dalam Alkitab dan tradisi gereja, lalu menerimanya dengan iman seperti layaknya seorang anak kecil; tanpa berpikir dengan kritis. Namun, oleh karena bahasa Ibrani dan Yunani tidak digunakan pada zaman tersebut, pembelajaran Alkitab secara tata bahasa dan konteks sejarah hampir tidak dikerjakan. Sehingga, secara utama, materi theologi diambil dari pemikiran Bapa-bapa Gereja.

Kedua, metode skolastiksisme bergantung kepada pemikiran Aristoteles di dalam mengolah materi theologi secara dialektik dan sistematik (ibid.). Karya-karya Aristoteles muncul di dalam bahasa Latin pada abad ke-12 dan ke-13 (Hills, 2003). Para theolog tidak hanya menemukan metode dialektika, namun juga berbagai pertanyaan dan jawaban filosofis, seperti hubungan antara iman dan rasio, theologi dan filsafat, dan sebagainya. Sehingga, seperti layaknya Yohanes Pembaptis sebagai pendahulu Kristus di dalam anugerah, Aristoteles menjadi pendahulu Kristus di dalam alam (Bavinck, 2003). Sebagai konsekuensi, materi-materi filsafat, ilmiah, kosmologis, dan psikologis dimasukkan ke dalam theologi. Theologi tidak lagi menjadi pengajaran akan iman, namun sebagai suatu sistem filsafat (ibid.).

Ketiga, keseluruhan dari sistem skolastik dipaparkan dalam bentuk yang semakin membingungkan (ibid.). Materi-materi theologi dipaparkan dalam bentuk dialog (pertanyaan yang diikuti dengan jawaban) yang sangat ketat dan akhirnya tidak lagi berhubungan dengan kehidupan agama dari gereja. Tidak hanya itu, pemaparan theologi di dalam bentuk dialog mendorong keragu-raguan, yang menyebabkan otoritas dan rasio berjalan kepada arah yang berbeda dan akhirnya saling bertentangan (ibid.).

Meskipun terdapat banyak theolog skolastik yang penting di dalam Abad Pertengahan, seperti Anselm dan Aleksander dari Hales, tidak ada theolog skolastik yang lebih besar dari Thomas Aquinas. Melalui karya agungnya, Summa Theologiae, Aquinas menggunakan metode dialektik Aristoteles untuk memaparkan pengajaran gereja kepada para murid theologi. Sebagai contoh, Aquinas menggunakan pemikiran Aristoteles untuk membuktikan keberadaan Allah dengan cara memerhatikan dunia materi (Hills, 2003).[4] Pembuktian ini dikenal sebagai Quinque viæ, lima cara atau bukti filosofis dengan menggunakan observasi akan perubahan. Secara dialektikal, Aquinas memaparkan masalah yang ia perhatikan ketika ia melihat dunia, dan memberikan jawaban secara logika untuk membuktikan keberadaan Allah.

Summa Theologiae menjadi salah satu karya theologi terpenting di dalam Gereja Katolik Roma. Ketika Gereja Katolik menyelenggarakan Konsili Trente, Summa Theologiae diletakkan di atas bersama dengan Alkitab karena para Bapa Konsili menganggap karya Aquinas telah menjawab banyak pertanyaan yang berhubungan dengan iman (Mullady, 2006). Di dalam proses kanonisasi, salah satu dari kardinal menyebutkan bahwa terdapat banyak mujizat di dalam kehidupan Aquinas melalui apa yang ia tuliskan di dalam Summa Theologiae (ibid.). Melalui Aquinas, Theologi Skolastik menjadi theologi resmi dari Gereja Katolik Roma pada Abad Pertengahan.

Kekhasan Prolegomena Theologi Reformed
Setelah mempelajari perkembangan prolegomena theologi dari era Gereja Mula-mula sampai pada zaman Abad Pertengahan. Pada bagian ini, kita akan melihat kekhasan dari prolegomena Theologi Reformed ketika dibandingkan dengan prolegomena theologi pada abad sebelumnya.

Secara motif dasar, prolegomena Theologi Reformed mencakup ketiga motif yang dijelaskan oleh van Genderen. Kita akan memakai Institutio dari John Calvin sebagai contoh yang mewakili Theologi Reformed pada umumnya. Melalui bagian pembukaan Institutio edisi pertama di dalam bahasa Latin, Calvin menulis karyanya sebagai pembelaan iman bagi umat Protestan di Perancis kepada Raja Francis I. Institutio juga merupakan suatu pengajaran akan iman Kristen bagi umat Protestan. Buku ke-4 dari Institutio – yang berisi pengajaran akan kehidupan Kristen dan gereja – merupakan buku yang paling panjang di antara empat buku di dalam Institutio. Hal ini menunjukkan semangatnya dalam menggunakan theologi dalam pengajaran gereja. Dan yang menjadi kekhasan dari prolegomena Theologi Reformed, Institutio merupakan suatu pemaparan akan pengajaran Alkitab berdasarkan eksegesis yang kuat.

Prinsip sola scriptura (hanya Alkitab menjadi otoritas tertinggi) dan tota scriptura (bersumber dari keseluruhan Alkitab) menjadi dua prinsip penting di dalam metode Theologi Reformed. Para theolog Reformed menjadikan keseluruhan Alkitab sebagai sumber theologi yang terutama dan paling tinggi. Bahkan, dikarenakan oleh prinsip dasar sola scriptura, Alkitab tidak hanya menjadi sumber, metode theologi pun harus didasarkan pada Alkitab. Hanya Alkitab yang dapat menginterpretasikan Alkitab itu sendiri.

Tetapi hal ini tidak berarti Prolegomena Reformed tidak mengambil tradisi dan pengajaran historis gereja sebagai materi theologi. Di dalam Institutio, Calvin mengutip pengajaran Agustinus dan Bapa-bapa Gereja lainnya untuk menjelaskan pengajaran Kristen yang benar dan membantah pengajaran Gereja Katolik Roma. Namun pada saat yang sama, Calvin meletakkan pengajaran Bapa-bapa Gereja di bawah otoritas Alkitab dan menolak pengajaran-pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab. Metode yang sama digunakan ketika para theolog Reformed berhadapan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan sekuler. Sehingga Theologi Reformed menjadi theologi yang berada di dalam dunia, berinteraksi dengan kebijaksanaan dunia, namun tetapi tunduk di bawah otoritas Alkitab.

Prolegomena Reformed mengarahkan umat Kristen kepada theologi yang memiliki dasar kuat bagi kehidupan sebagai jemaat Allah. Di dalam Institutio, Calvin mengartikan kesalehan sebagai penghormatan yang digabungkan dengan cinta kasih kepada Allah dan disebabkan oleh pengetahuan akan anugerah-Nya. Theologi seperti ini akan mendorong kita memiliki rasa hormat kepada Allah. John Murray mengatakan bahwa theologi harus dibentuk di dalam suatu kehangatan dan semangat akan ketaatan kepada Tuhan.

Penutup
Post tenebras lux (setelah gelap, terang) adalah salah satu moto Reformasi Protestan. Seluruh perjuangan mereka adalah untuk membawa terang Allah ke tengah dunia yang gelap ini. Moto ini muncul di dalam konteks Abad Pertengahan, dikatakan sebagai abad kegelapan. Suatu abad di mana banyak orang Kristen buta akan kebenaran. Bukan hanya orang awam tetapi para hamba Tuhan pun tidak dapat mengerti kebenaran yang sejati karena lebih tunduk kepada tradisi dan otoritas gereja yang salah. Melalui usaha dari para reformator, kita bisa melihat terang tersebut akhirnya muncul di dalam theologi. Sehingga kebenaran disingkapkan kepada seluruh orang percaya yang rindu belajar firman Tuhan.

Semangat ini harus kita teruskan pada zaman ini. Banyak orang yang tidak menyadari ironisnya zaman ini: Kesempatan untuk mempelajari kebenaran terbuka dengan lebar, tetapi banyak orang Kristen yang masih buta akan kebenaran dan hidup dalam “abad kegelapan” mereka sendiri. Jikalau pada Abad Pertengahan, kegelapan ini muncul karena terbatasnya akses untuk mempelajari kebenaran, maka pada zaman ini kita sendiri yang memilih untuk hidup dalam kegelapan. Kita menyesatkan diri kita sendiri dengan membangun kebenaran di dalam metode yang kita bangun sendiri juga. Semua ini adalah bentuk pemberontakan atau penolakan atas kebenaran yang sejati.

Maka, pembelajaran sejarah singkat perkembangan prolegomena theologi ini seharusnya menyadarkan diri kita bahwa membangun prolegomena theologi yang tepat adalah salah satu perwujudan dari kerinduan untuk mengenal Allah yang sejati secara tepat. Sehingga motif kerinduan dan kasih kita kepada Allah adalah motif yang harus ada dalam kita bertheologi. Inilah yang akan menjadikan theologi tidak hanya bersifat deskriptif tetapi juga sebuah semangat untuk membakar diri kita untuk hidup dan berjuang bagi Allah. Inilah semangat Reformasi dalam membangun prolegomena theologi yang benar. Soli Deo Gloria.

Franky
Pemuda GRII Singapura

Footnotes:
[1] Artikel ini tidak bermaksud memaparkan survei komprehensif terhadap perkembangan prolegomena theologi Kristen. Untuk materi pembelajaraan lebih lanjut, lihat Hill, J. (2003). The History of Christian Thought. England: Lion Publishing plc.
[2] Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai Justin Martyr, lihat Tafianoto H. (2012). Bapa Gereja Justin Martyr. Retrieved Jan 1, 2017, from https://www.buletinpillar.org/artikel/bapa-gereja-justin-martyr.
[3] Lihat Chapter 13 dari Knight. K (2009). Prescription against Heretics (Tertullian). Retrieved Jan 1, 2017, from http://www.newadvent.org/fathers/0311.htm.
[4] Kita dapat mengategorikan Summa Theologiae ke dalam motif dasar theologi kedua, yakni sebagai bahan instruksi dan pengajaran.

References:
– Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Retrieved Jan 1, 2017, from http://kbbi.web.id/.
– Bavinck, H. (2003). Reformed Dogmatics, Vol. 1: Prolegomena (J. Bolt, Ed.; J. Vriend, Trans.). Grand Rapids, MI: Baker Academic.
– Berkhof, L. (1996). Systematic Theology. Grand Rapids, MI: W.B. Eerdmans Pub.
– Genderen, J. V., & Velema, W. H. (2008). Concise Reformed Dogmatics (Bilkes, G. & Maas, E.M. V. D., Trans.). Phillipsburg, NJ: P & R Pub.
– Hill, J. (2003). The History of Christian Thought. England: Lion Publishing plc.
– Mullady, B. (2006). “The Angelic Doctor – Thomas Aquinas”. Archived from the original on 7 October 2008. Retrieved Jan 1, 2017, from https://web.archive.org/web/20081007031948/http:/www.holyspiritinteractive.net/columns/guests/brianmullady/thomasaquinas.asp.