Panggilan Kita
Kita mungkin tidak asing dengan istilah apologetika. Ada begitu banyak sumber yang dengan sangat baik membahas mengenai tema ini, mulai dari ilmu apologetika itu sendiri, sejarahnya, hingga peristiwa-peristiwa “pembelaan iman” terkenal yang dilakukan para giants of faith. Sejarah gereja dipenuhi dengan cerita mengenai orang-orang kudus yang dengan berani mempertahankan iman di dalam zaman mereka masing-masing. Bahkan Tuhan memakai tindakan apologetik Martin Luther, seorang biarawan sekaligus dosen theologi dari sebuah universitas kecil di kota Wittenberg, Jerman, untuk memantik “api” Reformasi yang pada akhirnya “membakar” seluruh Eropa. Apologetika merupakan cara yang dari zaman ke zaman terus Tuhan pakai untuk memurnikan serta menyebarkan iman Kristen.
R. C. Sproul, salah seorang theolog Reformed terkemuka zaman ini serta seorang yang telah menulis banyak buku mengenai apologetika, menyatakan bahwa tujuan utama berapologetika adalah “providing an intellectual defense of the truth claims of the faith”[1]. Frasa kunci dalam kalimat tersebut adalah “intellectual defense”, atau pembelaan intelektual. Pembelaan intelektual tersebut sering kali berwujud argumen-argumen yang didasarkan pada berbagai klaim kekristenan untuk mematahkan klaim para penyerang.
Sepanjang sejarah, gereja Tuhan terus berapologetika untuk mempertahankan iman serta pengajaran yang murni baik dari serangan pihak-pihak di dalam maupun di luar gereja. Serangan tersebut berupa klaim-klaim yang menyimpang dari kebenaran yang diwarisi oleh gereja Tuhan turun-temurun. Derajat penyimpangan setiap serangan bervariasi, mulai dari yang subtle (sulit disadari) sampai dengan klaim yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran kekristenan.
“Peperangan” ini menjadi panggilan yang harus diperjuangkan oleh setiap orang Kristen. Kita tidak boleh memercayakan peperangan ini kepada para hamba Tuhan atau sekelompok orang dalam gereja saja. Medan peperangan ini terlalu luas. Sekalipun para hamba Tuhan mungkin dapat berjuang di barisan terdepan dan bersuara paling keras untuk mengoreksi setiap penyimpangan yang dapat mereka lihat, jemaat awamlah yang harus menggemakan suara itu ke tempat-tempat yang tidak dapat dijangkau oleh para hamba Tuhan. Kita harus membela iman dan pengajaran Kristen yang kita warisi di dalam konteks hidup kita masing-masing.
Gereja Tuhan juga berapologetika ketika memberi jawab kepada setiap orang yang secara tulus ingin memahami apa yang dipercaya oleh gereja. Iman dan pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus membuat kita hidup berbeda dari dunia ini. Kita tidak lagi mengejar apa yang dunia ini kejar. Kita berespons dengan cara yang berbeda dalam segala situasi: baik senang maupun susah, sehat maupun sakit, berkecukupan maupun berkekurangan. Kita mengasihi sebab kita dikasihi, bukan mengasihi agar kembali dikasihi. Ketika orang Kristen hidup dengan menjalankan firman Tuhan, mereka akan menunjukkan cara hidup yang sedemikian menarik sehingga orang tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Apa yang kamu percaya? Bagaimana mungkin kamu bisa menjalani hidupmu seperti itu?” Saat itulah orang Kristen memperoleh kesempatan untuk dengan lemah lembut dan hormat menjelaskan pengharapan yang ada pada mereka (1Ptr. 3:15).
Kedua hal ini, yakni berapologetika untuk mempertahankan iman dan pengajaran yang kita warisi serta memberi jawab kepada orang-orang yang secara tulus ingin mengenal iman kita, merupakan panggilan yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen. Pemahaman dunia ini mengenai iman kekristenan akan sangat dipengaruhi oleh sebaik apa orang Kristen berapologetika. Ingatkah kita akan saat di mana kita memperoleh kesempatan untuk memperkenalkan iman serta pengajaran yang kita pegang, namun kesempatan itu lewat begitu saja karena kita tidak mampu menjelaskan dengan baik? Agar mampu berapologetika tentunya menuntut usaha dan ketekunan yang besar dari setiap orang Kristen untuk belajar, mulai dari mempelajari iman Kristen itu sendiri hingga belajar menyampaikannya dengan cara yang efektif.
Setiap zaman memiliki filsafat dominan yang paling memengaruhi cara berpikir orang-orang yang hidup di zaman tersebut. Cara berpikir ini kemudian akan sangat menentukan argumen-argumen apa yang dianggap relevan dan tidak relevan bagi kawan bicara kita. Pernahkah pembaca berusaha membuktikan argumen pembaca di hadapan orang lain, hanya untuk menerima jawaban, “Iya, tetapi itu kan sudut pandang kamu. Orang lain bisa punya sudut pandang lain lagi”? Kita hidup dalam zaman postmodern yang sangat menekankan bahwa ibarat berlian, kebenaran bersifat multi-facet. Banyak orang cenderung anti dengan usaha membuktikan bahwa sudut pandang kita adalah satu-satunya yang benar. Kondisi ini membuat kita tidak boleh lagi berharap orang lain akan dengan mudah menerima iman Kristen hanya karena kita berhasil berargumen mempertahankan sudut pandang kita. Kita harus dengan serius memikirkan bagaimana cara menyampaikan kebenaran yang kita miliki agar pada akhirnya kawan bicara kita mau memegang kebenaran itu.
Runtuhnya “Kebenaran Universal”
Pola pikir yang sangat menekankan “itu kan sudut pandangmu” seperti di atas sebenarnya baru berkembang dalam satu abad terakhir. Pola pikir ini dipicu oleh bangkitnya filsuf-filsuf postmodern di Jerman dan Prancis mulai awal abad ke-20.[2] Di masa-masa sebelumnya, setidaknya pada zaman Renaisans (abad ke-14) sampai dengan zaman modern (akhir abad ke-19), kebanyakan orang cenderung lebih menekankan pencarian terhadap satu-satunya yang benar.
Seperti yang kita tahu, pada zaman Renaisans ilmu alam berkembang dengan pesat. Ilmuwan-ilmuwan besar seperti Copernicus, Galileo, dan Isaac Newton hidup dan menghasilkan karyanya dalam zaman ini. Ketertarikan khalayak umum terhadap perkembangan ilmu alam juga sangat besar. Semangat yang mendorong perkembangan ini sesungguhnya baik. Mayoritas ilmuwan pada zaman itu merupakan orang Kristen yang taat dan mereka menjadi ilmuwan dengan harapan dapat melihat kemuliaan Tuhan lewat menyelidiki ciptaan-Nya, dan mereka berhasil. Penyelidikan ilmu alam di zaman ini mencapai titik puncak ketika Newton berhasil merumuskan formula matematika yang dapat mendeskripsikan segala gerak di alam semesta. Pencapaian ini memukau banyak orang, dan tentunya membawa banyak orang untuk kagum kepada Tuhan. Betapa indah dan teraturnya alam semesta, dan siapakah Dia yang mencipta semuanya ini?
Namun pikiran manusia yang berdosa selalu ingin memberontak kepada Tuhan. Lewat kacamata hukum-hukum Newton, seluruh alam semesta sangat teratur, masuk akal, dan bisa diprediksi. Pengetahuan ini membuat orang-orang mulai meragukan kemungkinan adanya peristiwa yang terjadi di luar hukum-hukum alam yang para ilmuwan sudah temukan. Para pemikir kemudian berjalan selangkah lebih jauh. Jika alam semesta sedemikian rasional, tentu Tuhan Sang Pencipta juga sangat teratur dan rasional. Dia adalah ahli matematika dan logika terbesar. Bahkan, Dia tidak akan bertindak di luar prinsip-prinsip matematika dan logika. Dia tidak akan mengubah 2+2=4. Dengan kata lain, Tuhan pasti terkurung oleh prinsip-prinsip ilmu alam yang manusia sudah temukan. Implikasi lain yang juga fatal adalah jika manusia berpikir dengan benar, rasio manusia setidaknya setara dengan Sang Pencipta dan pasti bisa menyelidiki Dia yang juga bersifat rasional.
Kesalahan dari alur berpikir di atas adalah mengasumsikan bahwa sifat-sifat Allah yang Ia nyatakan sama persis dengan konsep yang kita pahami mengenai sifat-sifat tersebut. Sampai sekarang kita sering melakukan kesalahan ini. Benar bahwa Tuhan itu “baik”, tetapi apakah baik-Nya sama dengan konsep kita mengenai “baik”? Demikian pula, adalah benar bahwa Tuhan itu “rasional”, tetapi apakah rasional-Nya sama dengan konsep rasional yang kita pahami? Tidak, sebab Tuhan melampaui rasio. Tuhan selalu menyatakan sifat-sifat diri-Nya dalam cara yang dapat dipahami manusia, tetapi apa yang manusia pahami tidak lebih dari sebuah refleksi atau penunjuk kepada sumber. Tidak misleading, tetapi juga bukan yang sebenarnya. Rasionalitas Tuhan yang Ia nyatakan dan dapat kita pahami dari alam hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan rasionalitas-Nya yang tidak mungkin kita pahami secara utuh. Maka kita tidak pernah boleh menganggap Tuhan sebagai objek yang dapat kita selidiki seolah kita dapat memahami Tuhan seutuhnya. Kesalahan menempatkan diri di hadapan Tuhan seperti demikian akan memberi kesempatan kepada pikiran kita yang berdosa untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang kurang ajar terhadap Dia.
Waktu bergulir dan pemujaan terhadap rasio terus berkembang. Pemikir generasi selanjutnya berusaha menyelidiki apa yang rasio dapat dan tidak dapat ketahui. Immanuel Kant melakukan terobosan lewat konsep phenomenon dan noumenon. Kant mengusulkan bahwa kita hanya mungkin memiliki interpretasi terhadap sesuatu (phenomenon), bukan pengetahuan mengenai sesuatu itu sendiri atau the-thing-in-itself (noumenon). Salah satu implikasinya adalah segala konsep dan pengetahuan yang kita miliki tentang hal-hal yang abstrak pasti dipengaruhi oleh interpretasi kita, termasuk Tuhan. Ia dengan jelas menyatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui apa pun tentang Tuhan. Kita juga tidak akan bisa membuktikan keberadaan-Nya. Namun, jika alur berpikir ini terus ditelusuri secara konsisten, kita akan menemukan bahwa kita tidak memiliki dasar apa pun bagi konsep moralitas. Tetapi manusia memerlukan konsep moralitas. Maka, menurut Kant, manusia perlu mengasumsikan keberadaan Tuhan demi membangun konsep moralitas, sekalipun keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan.
Dalam kalangan orang-orang yang mengutamakan rasio, sentimen terhadap agama makin buruk, khususnya terhadap kekristenan sebagai agama yang dominan pada waktu itu. Tuhan dan agama hanya diberi tempat untuk mengurus masalah etika dan moralitas. Tak lama kemudian, bahkan porsi kecil itu pun ditiadakan sama sekali.
Dalam salah satu karyanya, Friedrich Nietzsche mengisahkan ada seorang gila yang datang ke tengah sekelompok orang atheis, kemudian bertanya, “Di manakah Tuhan?”[3] Para atheis tertawa keras dan menyahutkan berbagai jawaban yang sangat menghina: Dia tersesat, Dia takut, Dia bersembunyi. Tetapi si orang gila memberi jawaban yang jauh lebih radikal. Si orang gila menjawab pertanyaannya sendiri, “Tuhan sudah mati… Kita telah membunuh-Nya… Dengan air apakah kita dapat membersihkan diri kita… Tidakkah perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah kita seharusnya menjadi tuhan….” Bahkan para atheis yang mendengar dia pun terdiam. Si orang gila kemudian menerobos masuk ke beberapa gereja lalu menyanyikan lagu requiem karena kini baginya gereja adalah kuburan Tuhan.
Nietzsche sangat memandang rendah mindset “kita harus mencari kebenaran, berapa pun harganya”, dan dia sangat tepat dalam memprediksi konsekuensi dari tindakan “membunuh Tuhan”. Ketika Tuhan dan kebenaran-Nya tidak lagi menjadi standar, maka setiap orang akan membuat standarnya masing-masing. Setiap orang akan menjadi tuhan, setidaknya atas dirinya sendiri. Nietzsche menyerang kaitan antara Tuhan dan moralitas yang disisakan oleh para pemikir generasi sebelumnya, dan banyak orang menghidupi pemikirannya. Mereka berteriak, “Tidak ada lagi standar yang absolut!” Bagi mereka, kebenaran universal sudah runtuh.
Kepingan Kebenaran dan Kacamata yang Berbeda-beda
Kini, di zaman postmodern, teriakan tersebut terus kita dengar di berbagai tempat. Zaman ini seolah tidak lagi peduli terhadap standar kebenaran. Di media sosial, kita akan dengan mudah menemukan orang-orang yang menyerang segala bentuk “konstruksi sosial” yang menurut mereka mengekang kebebasan kelompok tertentu. Bagi mereka, usaha untuk memaksakan SATU “cerita besar” (metanarrative) sebagai satu-satunya yang boleh dihidupi adalah kejahatan. Mereka menuntut penghargaan terhadap “cerita-cerita kecil” (mini narratives) yang membentuk konteks hidup seseorang secara unik. Cerita bahwa pernikahan harus antara laki-laki dan perempuan adalah konstruksi sosial. Cerita bahwa manusia harus hidup dengan tata cara kepercayaan tertentu adalah konstruksi sosial. Dan memaksa orang lain untuk hidup menurut konstruksi-konstruksi sosial ini adalah kejahatan. Kenapa harus ceritamu (metanarrative)? Kenapa bukan ceritaku (mini narrative)?
Menganggap zaman postmodern tidak peduli terhadap kebenaran adalah kesalahan yang sangat serius. Ketika kita berapologetika, jika kita menganggap kawan bicara kita sebagai orang-orang yang demikian, kita akan dengan mudah tergoda untuk menghina mereka dan kehilangan kesempatan untuk menyatakan iman kita. Justru zaman postmodern sangat peduli terhadap kebenaran, tetapi orang-orang di zaman ini menanyakan pertanyaan yang berbeda dengan orang-orang zaman modern. Pertanyaan utama di zaman ini bukan lagi, “Yang mana yang benar?” tetapi, “Apakah ini saja yang benar?” Bagi orang-orang zaman ini yang secara tulus ingin mencari kebenaran, keraguan terhadap satu standar absolut tidak membuat mereka membuang kebenaran, tetapi justru berusaha mencari kebenaran itu selengkap mungkin dari berbagai sudut pandang. Ibarat kepingan berlian, mereka berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin kebenaran untuk membangun sebuah berlian yang utuh, yang tentunya multi-facet. Mereka yang belum berhasil memperoleh seluruh kepingan secara lengkap akan hidup dengan menggunakan satu atau beberapa kepingan yang mereka miliki sebagai kacamata mereka. Inilah yang menjadi worldview mereka. Kacamata ini akan berbeda-beda sesuai dengan kepingan kebenaran yang mereka peroleh dalam konteks hidup (mini narrative) mereka masing-masing.
Tentu ini bukan berarti kita boleh berkompromi dalam menyatakan kebenaran Alkitab. Kita harus mengoreksi pengertian yang salah dari orang-orang yang dididik dalam budaya yang tercemar oleh dosa. Tetapi ada keindahan yang setiap orang Kristen harus pelajari dari cara berpikir zaman postmodern. Kesadaran bahwa kebenaran bersifat multi-facet adalah sangat Alkitabiah. Di dalam kisah-kisah Alkitab, Tuhan seperti memperkenalkan diri-Nya sebagai pribadi yang tidak bisa kita kurung dengan standar tertentu. Ada begitu banyak paradoks. Apakah Tuhan baik? Ya. Jika demikian, tentulah Dia tidak membiarkan kejahatan terjadi? Tidak, terkadang Dia membiarkan. Apakah Tuhan kudus dan membenci kecemaran? Ya. Jika demikian, tentulah Dia memisahkan diri-Nya dari kecemaran? Tidak, justru Kristus menghampiri manusia yang cemar hidupnya. Pengenalan kita akan Tuhan dan firman-Nya akan makin berlimpah ketika kita terus mengingat bahwa kebenaran tidak boleh dikurung dalam satu sudut pandang saja.
Pemahaman ini pula yang harus kita pegang saat kita berapologetika di zaman ini. Kita ditantang untuk menjangkau orang dari berbagai sudut pandang serta menjawab berbagai macam pergumulan, bukan dengan memberikan kepingan-kepingan kebenaran sehingga mereka dapat menyatukannya menjadi “berlian”—sebuah gambaran yang utuh mengenai Allah yang sejati—tetapi memberikan mereka sebuah “berlian” yang utuh. Keindahan gambaran yang utuh inilah yang nantinya akan menarik mereka untuk mengenal keindahan hidup. Inilah tugas panggilan kita sebagai orang Kristen. Namun, pertanyaannya adalah seberapa siapkah kita menyampaikan iman kita dalam segala kelimpahannya? Kiranya Tuhan memampukan kita. Amin.
Martin Lutta
Pemuda GRII Bandung
Endnotes:
[1] Defending Your Faith: An Introduction to Apologetics.
[2] E.g. Martin Heidegger, Emmanuel Levinas, Jacques Derrida.
[3] The Gay Science, kisah The Madman.