Coba bayangkan respons apa yang mungkin keluar dari mulut kita ketika ajakan makan kita ditolak oleh saudara seiman karena ia sedang berpuasa? “Puasa? Lagi dalam rangka apa puasa?”, “Emang perlu untuk apa puasa?”, “Lho?! Gua kira lu agama Kristen?”, “Ngapain sih menyiksa diri begitu?”, “…..(terdiam sambil berkata dalam hati: sok rohani bener dia sekarang)”.
Mungkin ada dari kita yang tidak mengetahui bahwa puasa adalah salah satu disiplin diri untuk pertumbuhan kerohanian seorang Kristen. Puasa bukanlah suatu hal yang baru. Kita ingat bahwa Yesus Kristus sendiri melakukan puasa sebelum dicobai Iblis di padang gurun. Jemaat mula-mula terlihat melakukan puasa sebagai hal yang lumrah dan alamiah, seperti tercantum dalam Kis. 13:2-3 dan Kis. 14:23. Bahkan jikalau kita mundur ke belakang dalam zaman Perjanjian Lama, bangsa Israel diperintahkan untuk melakukan puasa secara rutin setiap tahun pada hari Pendamaian (Im. 23:27-28).
Namun demikian tetap sulit bagi kita untuk memutuskan melakukan puasa. Mengapa? Mungkin salah satu alasan adalah karena kita tidak tahu apa tujuan dan manfaat dari berpuasa. Memang benar bahwa disiplin rohani dengan kegigihan sekeras apa pun, namun yang dilakukan tanpa arah yang jelas akhirnya hanya menjadi aktivitas rutin dan monoton yang melelahkan, tanpa gairah, dan tanpa sukacita.
Sama seperti disiplin-disiplin rohani lainnya (seperti membaca dan merenungkan Firman, berdoa, melayani), berpuasa bertujuan utama untuk melatih hidup yang beribadah (1 Tim. 4:7, ESV : train yourself for godliness).1 Setiap kita yang Allah tebus, ditetapkan dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rom. 8:29). Maka satu-satunya jalan menuju kedewasaan karakter Kristen dan hidup yang beribadah adalah melalui disiplin rohani. Di satu sisi, perlu kita ingat bahwa disiplin rohani tidak memiliki nilai intrinsik pada dirinya sendiri yang mampu mentransformasi, menyucikan pribadi kita sehingga kita tidak dapat memegahkan diri meski mampu menjalankan setiap disiplin rohani yang ada. Karena pertumbuhan kerohanian dan kesucian hidup bersumber dari anugerah Allah semata. Di sisi lain, kita tetap bertanggung jawab untuk memakai setiap sarana disiplin rohani yang sudah Tuhan berikan, untuk menerima anugerah-Nya dan bertumbuh dalam hidup beribadah.
Janganlah juga teman-teman cepat menyerah dalam berdisiplin menjalankan disiplin rohani. Sebagaimana Paulus mengatakan dengan jelas bahwa kita harus melatih diri, kita harus senantiasa memacu diri bergelut dengan kedagingan kita, melatih diri untuk memiliki spiritual appetite. Disiplin rohani bukanlah pengikat dan pengekang hidup, namun sesungguhnya adalah sarana untuk kebebasan rohani.2 Apa maksudnya?
Bayangkan seorang atlet lari. Jikalau ia mendisiplinkan diri dalam hal makanan yang ia konsumsi, dalam berlatih lari setiap harinya, maka di hari perlombaan ia dapat dengan bebas berlari cepat. Ia tidak akan tertatih-tatih oleh karena beratnya tumpukan lemak di sisi dan bagian depan perutnya, juga tidak terhambat oleh stamina tubuh yang rendah. Demikian halnya dengan disiplin rohani. Mengingat zaman kita sekarang yang sering menyuarakan agar dengan segera menggunakan hak pemuasan dan pemenuhan keinginan diri kita, penyangkalan diri salah satunya dalam bentuk berpuasa dapat dirasa tidak relevan lagi atau malah dianggap penghalang, pengekang bagi kebahagiaan kita. Namun coba teman-teman pikirkan sejenak, orang yang bahagia pasti adalah orang yang bebas. Siapakah yang sungguh-sungguh bebas, mereka yang dengan spontan memuaskan keinginan diri atau mereka yang berkuasa untuk berkata iya ataupun tidak terhadap dorongan pemuasan diri tersebut?
Jikalau puasa bertujuan demikian baik, apakah berarti ini suatu kewajiban bagi orang Kristen? Tidak ada ayat dalam Alkitab yang dengan jelas menyatakan bahwa orang Kristen wajib berpuasa. Namun kita dapat menarik prinsip dari perkataan Yesus Kristus dalam Mat. 9:14-15, bahwa ketika tiba saatnya mempelai laki-laki itu diambil dari mereka, maka murid-murid akan berpuasa. Saat itu adalah sekarang. Sampai Yesus Kristus datang kembali, kita para murid diharapkan akan berpuasa. Berpuasa bukanlah suatu kewajiban legalistik, namun adalah undangan dari Allah untuk menikmati berkat yang Ia curahkan lewat disiplin rohani ini.
Calvin mengingatkan kita bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan diri dan merelakan dalam aspek tidak makan, tetapi adalah hidup seorang saleh yang memiliki sikap cermat, hemat, dan tidak berlebihan (frugality and sobriety), sehingga sepanjang hidupnya menjadi saksi akan makna puasa yang lebih luas ini.3 Yang dibicarakan Alkitab mengenai berpuasa khususnya adalah dalam konteks tidak mengkonsumsi makanan dan ini yang menjadi pembahasan kita selanjutnya.
Pelabelan yang dipakai bukanlah kata persis yang Alkitab pakai untuk menggambarkan puasa, namun istilah ini cukup umum diterima. Puasa normal adalah tidak mengkonsumsi makanan, baik padat maupun cair, namun boleh mengkonsumsi air. Contohnya Yesus yang tidak makan apa-apa selama 40 hari lamanya. Puasa sebagian adalah pembatasan jenis ataupun kuantitas makanan dari yang biasanya kita konsumsi. Daniel dan teman-temannya menjalankan jenis puasa ini ketika mereka hanya makan sayur dan minum air. Puasa total adalah sama sekali tidak mengkonsumsi makanan dan minuman. Puasa jenis ini dijalankan di catatan PL ketika ada keadaan darurat. Ezra tidak makan dan minum karena berkabung akan ketidaksetiaan orang-orang buangan (Ezra 10:6). Ester, Mordekhai, dan segenap orang Yahudi tidak makan dan minum di dalam Esther 4:16. Alkitab juga mencatat adanya puasa supra-alamiah yang tak dapat diulangi tanpa panggilan khusus dan pemeliharaan ajaib dari Allah. Contohnya Musa tidak makan dan minum selama 40 hari 40 malam ketika menerima dua loh batu dari Allah (Ul. 9:9). Sama halnya dengan Elia yang tidak makan selama 40 hari 40 malam ketika berjalan ke gunung Horeb (1 Raj. 19:8).
Kita juga dapat berpuasa secara pribadi perorangan maupun bersama-sama dalam jemaat. Yoel memaklumatkan puasa bagi jemaat (Yoel 2:15-16) dan di Antiokhia, jemaat beribadah dan berpuasa bersama (Kis. 13:2).
Setelah jelas bahwa tujuan utama dari berpuasa adalah melatih hidup yang beribadah pada Tuhan, maka kita sekarang membahas tujuan sekundernya. Calvin memberikan pembagian sederhana bahwa puasa yang kudus dan sah memiliki tiga tujuan: menyangkal dan menundukkan tubuh kita; persiapan untuk doa dan perenungan yang lebih baik; sebagai bukti, ekspresi kita merendahkan diri di hadapan Tuhan ketika kita mengakui kesalahan-kesalahan di hadapan-Nya.
Pertama, berpuasa bertujuan untuk menyangkal dan menundukkan tubuh kita, melatih, membatasi diri terhadap keinginan hidup boros, sia-sia. Menahan kebutuhan akan makan, yang adalah kebutuhan alamiah, menjadi contoh sederhana aplikasi bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah. Referensi perkataan Kristus dari Ul. 8:3 ini mengingatkan bahwa Tuhanlah yang memelihara hidup kita. Yang menopang hidup kita sesungguhnya bukanlah roti, namun kehendak dan kebaikan Allah semata lewat makanan yang memberikan nutrisi pada tubuh.
Kedua, berpuasa juga erat kaitannya dengan disiplin berdoa. Dalam Matius 6, pembicaraan Yesus akan berpuasa digandengkan dengan disiplin berdoa. Puasa, secara spiritual mempertajam kepekaan dan kesiagaan kita dalam memanjatkan doa. Doa puasa dilaksanakan ketika ada keadaan mendesak dalam curahan isi hati mereka kepada Allah. Ezra yang berjalan bersama bangsa Israel, berpuasa dan berdoa di tepi sungai Ahawa memohon perlindungan Tuhan dari bahaya (Ezra 8:23).
Doa puasa juga dilakukan ketika mencari kehendak Tuhan, agar peka membedakan manakah kehendak-Nya. Paulus dan Barnabas berpuasa dan berdoa menggumulkan pimpinan Tuhan dalam menetapkan penatua bagi jemaat (Kis. 14:23). Puasa dengan sendirinya tidak menjamin bahwa kita akan dengan jelas mengetahui kehendak Tuhan, namun puasa akan mempersiapkan hati kita lebih terbuka, receptive terhadap Allah yang mengasihi dan rindu memimpin, menyatakan kehendak-Nya pada kita.
Ketiga, berpuasa adalah ekspresi kita merendahkan diri di hadapan Tuhan. Kita mengakui kesalahan, berduka atas dosa yang terjadi dan memohon belas kasihan kepada Tuhan. Pengakuan dan pertobatan dalam hati ini memanifestasikan dirinya keluar dalam bentuk puasa, sebagaimana halnya dalam Yoel 2:12-15. Raja dan penduduk kota Niniwe juga mengumumkan puasa sebagai tanda pertobatan mereka setelah mendengar seruan keras Firman Tuhan (Yunus 3:5).
Namun prinsip-prinsip berikut perlu kita ingat dalam berpuasa. Yoel 2:13: “koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”, mengajarkan bahwa puasa itu sendiri tidak memiliki nilai besar di hadapan Tuhan jikalau tidak disertai sikap hati yang benar, penyesalan atas dosa, merendahkan diri, dan dukacita yang sungguh karena hati yang takut akan Tuhan. Kita tidak dapat menggantikan integritas hati dan hidup dengan penampakan lahiriah belaka. Dalam menjalankan puasa, kita perlu senantiasa memohon pertolongan Tuhan dalam senantiasa menguji motivasi dan sikap hati kita agar puasa kita sungguh-sungguh memperkenan Tuhan (Za. 7:5).
Yesus Kristus dalam Matius 6:16-18 mengajarkan prinsip ketersembunyian dalam berpuasa. Saat berpuasa, kita berpenampilan biasa, seolah-olah tidak berpuasa. Kita tetap melaksanakan aktivitas sehari-hari senormalnya. Kita tidak mengumbar akan puasa yang kita jalani dan pujian dari manusia bukanlah fokus pencarian kita. Allah sendiri yang akan memberkati puasa dari tiap anak-anak-Nya.
Ketersembunyian bukan berarti bahwa kita tidak boleh merasakan lapar ataupun menghindarkan suara perut yang keroncongan, karena ini adalah proses alamiah pencernaan tubuh4 yang akan lewat dengan sendirinya. Kita tidak perlu malu atau putus asa untuk kembali datang pada Tuhan, senantiasa memohon kekuatan, konsentrasi dari-Nya ketika pencobaan-pencobaan dirasakan lebih hebat mencoba mengalihkan fokus puasa kita dari Tuhan, misalnya ketika pikiran dikuasai oleh penantian waktu makan, atau ketika ingin menyerah menghentikan puasa yang dijalani.
Berpuasa berarti juga siap untuk memberikan pertanggungjawaban akan pengharapan yang ada pada kita. Kita tidak dapat menghindarkan diri dari pertanyaan orang lain akan alasan kita berpuasa. Kita harus sebelumnya menggumulkan baik-baik motivasi kita berpuasa dan berdoa memohon hikmat dari Tuhan agar dalam kesempatan bersaksi ini jawaban yang keluar memuliakan Tuhan dan bukannya mengangkat diri kita.
Berpuasa bukanlah suatu tuntutan agar Allah memberi imbalan pada kita. Kita dapat memohon belas kasihan, berdoa, dan berharap akan sesuatu hal yang mendesak, yang sungguh-sungguh penting bagi kita ataupun bagi orang lain. Namun disertai dengan sikap hati yang berserah, tunduk pada kedaulatan dan kasih setia Allah yang tak terselami, yang kita percaya menjawab setiap doa melebihi apa yang kita pikirkan, mengerjakan segala sesuatu bagi kebaikan setiap anak Tuhan. Kita melihat teladan ini dari Daud yang berpuasa untuk anak hasil perzinahannya dengan Batsyeba yang sakit karena ditulahi Tuhan (2 Samuel 12:15-16, 22-23).
Dalam mengakhiri puasa kita dengan makan, bersyukurlah pada Tuhan atas anugerah-Nya yang memampukan kita dan minta pengendalian diri dalam sikap paska-puasa kita, termasuk dalam bersantap makan. Berpuasa berarti kita melewatkan jadwal makan kita baik ketika berpuasa setengah hari maupun satu hari penuh; bukan menumpuk porsi hutang makanan yang harus kita santap.
Terakhir, berpuasa untuk memiliki hidup yang beribadah pada Tuhan tidak berhenti hanya pada pertumbuhan diri kita pribadi, namun menjalar menjadi hidup yang memberkati orang lain (Yes. 58:5-8; Za. 7:9-10).
Mau bertumbuh lebih lagi? Pertimbangkanlah puasa sebagai bagian dari disiplin rohani hidupmu.
Carlos Wiyono Kurniawan
Pemuda GRII Singapura
Referensi:
1. Spiritual Discipline For the Christian Life, Donald S Whitney.
2. Celebration of Discipline, Richard J Foster.
3. Institutes of Christian Religion, Book IV.12.14 – IV.12.21, John Calvin.
4. http://health.howstuffworks.com/human-body/systems/digestive/stomach-growling1.htm, diambil pada 18 Agustus 2011.