,

Reformed Theology and Economics (12): Economics, Hedonism, and Consummation

Tahun baru selalu diwarnai dengan sebuah komitmen besar atau kita katakan sebagai resolusi di tahun baru.
Sejumlah harapan yang ingin dicapai dalam sepanjang tahun ke depan, mewarnai perenungan, doa, dan komitmen secara pribadi. Mulai dari hal-hal sederhana seperti aktivitas rutin, hobi, hingga hal-hal yang lebih kompleks seperti keluarga dan ambisi pribadi yang ingin dicapai. Harapan untuk memenuhi resolusi dari tahun ke tahun, menjadi ciri-ciri yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Harapan atau gol hidup yang semakin tinggi dari tahun ke tahun menandakan manusia adalah makhluk yang memiliki hasrat begitu besar. Ini adalah sebuah hasrat yang mendambakan akan makna atau signifikansi diri (a hunger for significance). Apakah ambisi atau hasrat yang seperti demikian adalah hal yang salah? 

Di dalam Wawasan Dunia Kristen, ambisi sering kali dikaitkan dengan hal negatif. Karena ambisi selalu diasosiasikan dengan nafsu berdosa manusia yang ingin membangun supremasi diri dan melawan kehendak Allah. Di dalam konteks inilah kita memandang ambisi sebagai hal yang negatif dan berdosa. Tetapi apakah ini berarti untuk hidup dalam kebenaran kita harus membuang ambisi diri? Bukankah manusia yang hidup tanpa ambisi adalah manusia yang hidup bagaikan robot? Permasalahan intinya bukan terletak pada ambisi itu sendiri tetapi yang menjadi masalah adalah pengarahan akan hasrat bagi pemuasan diri bukan bagi pernyataan Kerajaan Allah. Maka yang harus kita perhatikan adalah bagi siapakah hasrat hidup kita diberikan.

Reformed Theology percaya bahwa gol dari hidup kita, sebagai orang percaya, adalah untuk memuliakan Allah dan itu berarti kita harus mengagungkan Kristus sebagai Raja atas seluruh alam semesta ini. Hal inilah yang akan mengarahkan seluruh motivasi, arah, dan segala keputusan hidup kita. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan memuliakan Allah dalam perjuangan yang tidak habis-habis dengan pengharapan akan kemuliaan yang akan dinyatakan dalam langit dan bumi yang baru. Inilah yang kita kenal sebagai eschatological life. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang melihat tujuan akhir dari hidup ini berada di masa yang akan datang ketika Kristus kembali kedua kalinya dan hal ini dikaitkan dengan motivasi hidup di masa kini. Cara pandang ini sangat berbeda dengan cara pandang dunia, yang memandang kehidupan saat ini sebagai tujuan utama. Sehingga penekanan akan kenikmatan dalam hidup masa kini adalah hal yang akan dituntut oleh cara pandang demikian.

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk memiliki cara pandang yang berbeda dengan dunia ini. Cara kita memandang saat ini, masa yang akan datang, dan peranan kita sebagai manusia yang hidup melewati waktu demi waktu, harus dapat mencerminkan Wawasan Dunia Kristen yang sejati.

Tahun lalu kita sudah melalui bulan demi bulan dengan membahas integrasi Reformed Theology dengan bidang ekonomi. Berbagai aspek dari bidang ekonomi kita bahas dengan menggunakan sudut pandang Wawasan Dunia Kristen. Salah satu keunikan dari Wawasan Dunia Kristen berdasarkan Reformed Theology adalah mengajarkan kita untuk memandang realitas kehidupan secara utuh dari penciptaan sebagai titik awal hingga konsumasi sebagai titik akhir. Pandangan yang dirangkum dalam empat titik, yaitu: Creation, Fall, Redemption, dan Consummation (CFRC). Sudut pandang creation, fall, dan redemption sudah kita bahas dalam sebelas artikel yang lalu. Maka sebagai penutup seri artikel ini, kita akan membahas ekonomi dari sudut pandang consummation atau eschatology. Kita akan mengontraskan cara pandang yang mendominasi dunia ekonomi dengan cara pandang eskatologis yang kita pelajari di dalam Alkitab.

The Paradox of Inaugurated Eschatology
Semenjak kita menerima Yesus sebagai Juruselamat hidup, kita menerima jaminan hidup kekal yang Kristus janjikan melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam hidup kita. Tetapi jaminan hidup kekal ini belum terealisasi sepenuhnya. Sederhananya, kita baru menerima “guarantee” atau “down payment” dari karya keselamatan Kristus dan akan dipenuhi semuanya saat Kristus datang kedua kali. Kondisi ini menjadikan kita berada dalam situasi paradoks antara “already” dan “not yet”. Dalam Biblical Theology, kondisi ini dikenal sebagai “Inaugurated Eschatology”. Hal ini berarti kita memiliki kehidupan di antara dua zaman (living in the middle of two ages), this age and the age to come. Geerhardus Vos menyebut masa ini sebagai masa semi-eschatological era. Masa ini adalah masa yang dimulai sejak kebangkitan Kristus dan berakhir pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali. Kehidupan di dalam dua masa ini menuntut orang-orang percaya untuk memiliki ketekunan (perseverance of the saints) dalam membangun kehidupannya sebagai seorang yang sudah ditebus. Hal ini dikarenakan adanya ketegangan antara dua masa yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda sehingga menimbulkan dilema dalam kehidupan orang percaya.

Zaman sekarang (this age) adalah zaman yang berawal semenjak penciptaan dan akan berakhir pada saat Kristus datang kedua kali. Yang berkuasa atas zaman ini adalah si Iblis. Bagi orang-orang tidak percaya, yang menjadi penguasa atas diri mereka adalah dosa dan juga segala filsafat dunia yang berkembang pada zaman mereka hidup, sehingga pada umumnya non-believers akan berpikir bahwa kehidupan saat ini adalah kehidupan satu-satunya yang mereka harus pertahankan dan nikmati sepuasnya, karena sesudah kehidupan ini berakhirlah kisah mereka. Inilah strategi yang Iblis jalankan yaitu membawa manusia melupakan kehidupan sesudah kematian dan mempertaruhkan seluruh kehidupan mereka hanya untuk apa yang ada pada zaman ini.

Zaman yang akan datang (the age to come) adalah masa yang dimulai dari kebangkitan Kristus hingga kekekalan. Masa ini adalah masa di mana Kerajaan Allah berkuasa secara progresif, dimulai dari prinsip yang direalisasikan dalam dunia ini hingga saat di mana realisasi sepenuhnya dinyatakan di dalam kekekalan sesudah Kristus datang kedua kalinya. Di dalam zaman inilah manusia berdosa dibawa untuk kembali kepada Tuhan Allah. Mereka dibawa pada suatu kesadaran bahwa hidup tidak hanya berhenti pada zaman kini saja tetapi ada kehidupan setelah kematian, kehidupan yang bernilai kekal. Kehidupan di mana dosa dan kesengsaraan akan sirna sepenuhnya, diganti dengan sukacita yang berlimpah dan kekal dari Tuhan Allah. Melalui zaman yang akan datang inilah manusia disadarkan akan arti sesungguhnya dari hidup mereka yang harus dikembalikan kepada metanarasi biblikal yang Tuhan sudah tetapkan bagi orang-orang pilihan-Nya.

Dari kedua zaman ini kita bisa melihat adanya satu periode di mana terdapat singgungan dari dua zaman tersebut, inilah yang disebut sebagai semi-eschatological age.

Zaman ini menarik manusia untuk melupakan pengharapan eskatologis dengan tawaran-tawaran yang begitu menggoda, disadari atau tidak disadari, perlahan atau cepat membawa manusia untuk hidup di bawah kuasa dosa. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang sudah menerima karya penebusan Kristus, dari dalam hatinya Roh Kudus bekerja secara progresif untuk memperbarui hidup mereka. Sehingga mereka memiliki pengharapan eskatologis yang membawa cara hidup pada zaman ini berbeda dengan kehidupan orang-orang yang belum menerima karya penebusan Kristus tersebut.

Ini menjadi salah satu kesulitan hidup sebagai orang percaya. Di satu sisi kita sangat berharap agar kesudahan dari segala sesuatu segera terjadi. Sukacita, kebebasan, keagungan, dan keindahan dari hidup bersama dengan Allah menjadi pengharapan yang sangat dinantikan. Tetapi sewaktu kembali pada realitas kehidupan zaman ini, di mana realitas dosa masih berada di tengah-tengah kehidupan orang percaya, maka penderitaan dan kesengsaraanlah yang menjadi bagian dari kehidupan orang percaya karena perjuangan untuk melawan keberdosaan inilah yang menjadi sumber utama kesulitan tersebut. Secara kasat mata, zaman yang akan datang belum dinyatakan sepenuhnya, tetapi secara prinsip sudah direalisasikan melalui gereja dan kehidupan orang-orang percaya. Di saat yang bersamaan realisasi prinsip agung tersebut menjumpai hambatan dari prinsip keberdosaan yang sudah lama bercokol dalam kehidupan manusia. Inilah paradoks dari inaugurated eschatology. Dilema ini juga dialami oleh Paulus seperti yang ia tuliskan dalam Roma 7:13-26.

Setidaknya ada dua respons ekstrem yang terjadi dalam menghadapi dilema tersebut. Respons pertama adalah gaya hidup monasticism, gaya hidup yang mengucilkan diri dari kehidupan dunia dan bertekun dalam kehidupan spiritual di suatu tempat yang terisolasi dari peradaban. Inilah gaya kehidupan yang terlalu menekankan aspek heavenly tetapi melupakan realitas kehidupan worldly. Gaya hidup ini sebenarnya adalah gaya kehidupan yang tidak bertanggung jawab kepada Tuhan, karena Ia sudah memandatkan tanggung jawab yang harus kita kerjakan pada masa ini. Respons yang kedua adalah kehidupan hedonism yang mengejar worldly pleasure dan hidup seakan-akan tidak ada yang namanya kekekalan. Respons kedua inilah yang mendominasi dunia ekonomi saat ini. Kebanyakan motif mendasar dari seseorang dalam berekonomi adalah untuk mencari kenikmatan hidup yang dapat dengan langsung dirasakan. Kalau perlu, kenikmatan itu dapat secepat mungkin dirasakan walaupun harus menggunakan segala cara, bahkan mengorbankan aspek-aspek penting sebagai manusia, atau bahkan cara berdosa pun dijalankan. Semua demi mendapatkan kenikmatan pada saat ini. Bukankah tawaran seperti ini yang sering kita jumpai di sekitar kita? Bahkan semangat ini merasuk sehingga cara pandang Kristen yang selama ini kita pelajari bisa saja ditunggangi oleh semangat hedonisme ini dan membawa kita memiliki cara pandang yang terlihat benar tetapi pada intinya begitu rusak.

Hedonisme dan Utilitarianisme
Secara prinsip, hedonisme mengajarkan bahwa hal yang paling penting di dalam hidup ini adalah kenikmatan dan kesenangan, bahkan hal ini adalah tujuan utama hidup kita. Pengejaran akan kenikmatan ini tentu saja dengan mempertimbangkan pain atau kesulitan yang harus ditempuh. Mereka tetap menyadari bahwa ada harga yang harus dibayar atau diperjuangkan, demi memperoleh kenikmatan dalam hidup. Tetapi pada prinsipnya adalah hidup harus mencari hal yang dapat memberikan kenikmatan terbesar. Bentuk-bentuk kenikmatan ini beragam. Ada yang mengaitkannya dengan hal yang bersifat kuantitatif seperti harta kekayaan (dalam berbagai bentuk), ada juga yang mengaitkan kenikmatan ini dengan hal-hal rohani seperti kepuasan atau ketenangan batin. Apa pun bentuk kenikmatan yang dikejar, pada esensinya hedonisme mencari akan kenikmatan sebagai tujuan utama hidup. Mari kita perhatikan pola berpikir yang ada di sekitar kita, bukankah pola berpikir yang serupa dengan hedonisme ini mendominasi sekitar kita? Pekerjaan atau bisnis dengan penghasilan yang besar, hidup di tempat yang cozy, menikmati kuliner yang beragam, dan lain-lain. Motif-motif dasar seperti ini yang mendorong orang-orang untuk berekonomi saat ini.

Berdasarkan akar berpikir hedonisme ini, berkembang sebuah cara berpikir yang dikenal sebagai utilitarianisme. Salah satu tokoh yang memelopori pandangan ini adalah John Stuart Mill. Kontribusi yang ia berikan dalam ekonomi adalah mengembangkan konsep opportunity cost dan comparative advantage. Kedua konsep ini, kalau kita selidiki dengan saksama, adalah pola berpikir yang memiliki akar hedonisme. Sederhananya opportunity cost adalah biaya (kerugian) yang harus kita terima saat kita membuat suatu pilihan dan mengabaikan pilihan yang lain. Walaupun opportunity cost ini bukanlah biaya yang secara real terjadi tetapi di dalam pengambilan keputusan, konsep ini menjadi salah satu pertimbangan utama. Karena pada dasarnya konsep opportunity cost ini mengajarkan kita untuk memilih suatu pilihan yang paling mendatangkan keuntungan. Pola berpikir yang sama ada juga di dalam pemikiran comparative advantage. Hal ini mengajarkan kita untuk menjadi seorang yang memiliki keunggulan dengan kemampuan untuk memproduksi atau menghasilkan sesuatu dengan lebih efisien. Sehingga dengan biaya yang lebih rendah dapat memberikan manfaat yang sama, sederhananya kita memiliki kemampuan memberikan manfaat yang lebih baik dibanding orang lain. Cara pandang inilah yang diusung oleh utilitarianisme, menilai atau mengukur segala sesuatu berdasarkan manfaat atau kegunaan yang diberikan. Inilah pola berpikir yang mendominasi dunia ekonomi saat ini.

Kita memiliki suatu pekerjaan atau bisnis berdasarkan utilitas yang bisa diberikan. Kita memilih suatu produk berdasarkan nilai tambah yang bisa diberikan oleh produk tersebut dibandingkan dengan harga atau biaya yang harus kita keluarkan. Celakanya, hal-hal lain kita pandang berdasarkan aspek utilitasnya. Pertemanan, berkeluarga, pendidikan, aspek-aspek sosial, semuanya diukur berdasarkan utilitasnya, bahkan pelayanan dan beribadah kepada Allah pun dilakukan berdasarkan utilitasnya. Pola berpikir ini pun menimbulkan efek samping bagi aspek-aspek kehidupan lainnya. Permasalahan ekologi, seperti isu pemanasan global, yang menjadi sorotan dunia pada beberapa abad ini, adalah salah satu efek samping dari utilitarianisme. Selain masalah ekologi, sosial dan budaya pun menjadi bidang yang juga mendapatkan efek samping negatif dari semangat hedonisme ini. Sulitnya mencari relasi yang tulus menjadi sebuah isu dalam kehidupan metropolitan. Kehidupan relasi yang dinilai dari kacamata utilitas menjadikan kehidupan sosial seseorang dinilai dari manfaat yang diberikan saja (baik secara materi, kepuasan emosional, popularitas, maupun manfaat lainnya). Sehingga isu alienasi, karena absennya ketulusan dalam berelasi, menjadi isu yang membayangi kehidupan sosial saat ini terutama untuk daerah perkotaan. Inilah kebahayaan yang meracuni kita mulai dari dunia ekonomi lalu merambat hingga ke seluruh aspek hidup kita.

Biblical Eschatological and Hedonism’s Trap
Cara pandang eskatologis Alkitab dapat menarik kita dari jeratan cara pandang hedonisme. Pola berpikir ini menekankan worldly pleasure dan melupakan kekekalan. Sedangkan biblical eschatology, mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat akan saat ini tetapi juga memandang kepada kekekalan, saat kita bersama dengan Allah dan pernyataan karya Allah sudah sepenuhnya dinyatakan. Cara pandang ini akan mengalihkan pengejaran akan kenikmatan dunia saat ini, karena kita sadar segala yang kita bangun pada masa ini hanyalah bersifat sementara. Kita diajak untuk berharap dan menantikan masa yang akan datang, kepada kemuliaan yang akan dinyatakan sepenuhnya, sementara kita menjalankan kehidupan saat ini dengan bertanggung jawab kepada Allah. Inilah hidup dalam masa penantian akan kedatangan Kristus kedua kali.

Tetapi cara pandang eskatologis bisa ditunggangi oleh semangat hedonisme. Kita bisa saja berdalih bahwa kita tidak mencari kenikmatan pada masa ini. Kita tidak tertarik untuk membangun kerajaan atau kebesaran kita di dunia yang sementara ini. Kita dengan lantang mengatakan bahwa supremasi yang dibangun pada masa ini, hanyalah sementara dan suatu saat akan hancur dan binasa. Melengkapi semua dalih ini, kita berkata bahwa kita menantikan masa yang akan datang saat Kristus datang dan kita semua dimuliakan. Semua argumentasi ini secara superfisial terlihat benar dan Alkitabiah, tetapi saat digali lebih dalam kita akan menjumpai semangat hedonisme yang masih tetap tertata kuat di dalamnya. Vern Poythress memaparkan beberapa jebakan yang sering kali orang Kristen pegang dalam imannya, padahal hal ini adalah iman yang ditunggangi semangat hedonisme:

1. Bersandar pada jaminan kesuksesan atau keberhasilan di masa yang akan datang
Alkitab mencatatkan bahwa Yesus menjanjikan akan kemenangan yang orang-orang percaya peroleh pada saatnya nanti. Banyak orang Kristen yang rela untuk menjalani penderitaan dan kesulitan karena mereka mengharapkan keberhasilan di masa yang akan datang, ketika keadilan Allah ditegakkan di muka bumi ini. Kisah kehidupan seperti Ayub atau Yusuf sering kali menjadi kehidupan yang diteladani, kehidupan yang mengalami penderitaan tetapi berakhir dengan “happy ending”. Kerelaan menjalani hidup mengikut Kristus, dengan segala kesulitan dan penderitaan yang membayangi, tidak dapat dijalani dengan konsisten jikalau motivasinya adalah janji akan keberhasilan atau berkat di dunia ini. Memang janji itu Alkitab nyatakan, walaupun tidak secara spesifik berkat atau keberhasilan seperti apa, tetapi motif kita dalam mengikut Kristus yang tepat bukan hal ini. Seharusnya motif kita adalah kasih kita kepada Allah dan komitmen kita untuk taat dan tunduk kepada kehendak Allah. Berkat atau janji Tuhan bukan motif utama tetapi side-effect dari ketaatan kita mengikuti Kristus.

2.  Berharap pada keberhasilan pada masa kerajaan 1.000 tahun (Millenium – Postmillenialism view)
Postmillenialisme adalah salah satu cara pandang yang dihormati sebagai salah satu interpretasi dari Alkitab. Mereka percaya bahwa kedatangan Kristus kedua terjadi setelah masa kejayaan Kristen di dunia ini terjadi. Cara pandang ini dikatakan sebagai cara pandang eskatologis yang optimis, karena mereka percaya bahwa Injil akan tersebar ke seluruh dunia dan kuasa perubahan dari Injil ini terjadi secara masif. Sehingga pengikuti Kristus akan mendominasi di dunia ini sampai akhirnya Kristus datang untuk kedua kalinya. Cara pandang ini begitu menggoda kita untuk berharap pada masa keemasan Kristen yang akan datang. Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk menaruh harapan pada kedatangan Kristus yang kedua kali, dan kemuliaan Allah dinyatakan sepenuhnya atas seluruh ciptaan-Nya.

3.  Berharap kepada harapan palsu yang tidak dinyatakan oleh Alkitab
Harapan eskatologis sangat rentan dengan interpretasi detail yang sebenarnya Alkitab tidak nyatakan secara jelas. Misalnya, kita dijanjikan bahwa kesetiaan kita untuk mengabarkan Injil akan menghasilkan “reward” seperti rumah yang semakin megah dibangun bagi kita di masa kekekalan. Cara pandang seperti ini tidak biblical, karena Alkitab tidak pernah menjanjikan secara detail seperti demikian. Alkitab memberikan harapan akan kedatangan Kristus yang kedua kali dan kemuliaan yang diberikan bagi umat-Nya yang setia kepada-Nya. Pengharapan seperti ini yang dicatatkan oleh Alkitab, tetapi pengharapan ini pun tidak menjadi pengharapan yang sentral dalam iman Kristen. Alkitab mengajarkan kita untuk berharap pada Kerajaan Allah yang dinyatakan sepenuhnya, di mana Kristus sebagai Rajanya. Pengharapan kemuliaan yang diberikan juga kepada umat-Nya harus dipandang dari kacamata Kerajaan Allah ini.

4.  Menggunakan Kerajaan Allah sebagai wadah untuk membangun kerajaan diri
Saat Kerajaan Allah sepenuhnya dinyatakan, pasti kemuliaan Allah dengan jelas disaksikan oleh dunia ini. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa pada saat itu, semua lutut akan bertelut kepada Allah. Sangat mudah bagi manusia yang berdosa untuk mengambil kesempatan untuk membangun kerajaan diri di tengah-tengah pernyataan Kerajaan Allah. Hal ini juga yang diharapkan oleh murid-murid Yesus saat mereka mengikuti-Nya. Mereka berharap untuk menjadi orang yang terpandang dan berkedudukan penting ketika Yesus menjadi Raja. Bahkan mereka sampai bertengkar meributkan perkara siapa yang akan menjadi utama dalam Kerajaan ini. Pemikiran seperti ini masih terus bercokol kuat dalam kekristenan pada saat ini. Harapan bagi kemuliaan diri masih menjadi motif kita dalam mengikut Kristus. Padahal Alkitab sudah jelas mengatakan bahwa kita hanyalah hamba-hamba Allah yang tidak berguna. Kita dipanggil untuk menjalankan perintah Allah dan semua itu bukan bagi kemuliaan diri tetapi bagi pernyataan Kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya. Allah yang layak semakin ditinggikan dan kita sebagai hamba-Nya semakin tidak dipandang, itulah yang Alkitab nyatakan.

5.  Berharap kepada kontinuitas kehidupan saat ini dengan langit dan bumi yang baru
Eskatologi Alkitab juga mengajarkan bahwa segala yang kita kerjakan di dalam dunia ini akan berkaitan dengan langit dan bumi yang baru, terdapat continuity dan discontinuity antara saat ini dan masa yang akan datang. Walaupun banyak interpretasi mengenai detail continuity dan discontinuity, tetapi Alkitab tidak menyatakannya secara jelas. Ketekunan dalam hal yang kita kerjakan saat ini dengan motivasi bahwa apa yang kita kerjakan akan berkelanjutan dengan langit dan bumi yang baru, bisa merupakan pengharapan yang palsu. Memang Alkitab menyatakan adanya continuity, tetapi Alkitab juga menyatakan bahwa dunia dan seluruh isinya akan binasa.  Alkitab memperingatkan kita untuk tidak berinvestasi di dunia ini seolah investasi ini akan terus berlanjut hingga kekekalan. Seharusnya yang kita kerjakan di dunia ini adalah kehendak Allah yang kita nyatakan di dalam ketaatan menjalankan panggilan-Nya bagi hidup kita (vocation).

Dari lima poin jebakan yang dipaparkan oleh Poythress, kita dapat melihat kesamaan di dalam motif jebakan ini, yaitu semangat hedonisme yang ingin membangun kemuliaan diri untuk dinikmati di masa yang akan datang.

Biblical Eschatology Implication for Economics Thought
Eskatologi Alkitab mengajarkan kita untuk memandang akan masa ini dan juga masa yang akan datang. Kedua masa ini tidak boleh diabaikan. Harapan akan masa yang akan datang sekaligus ketekunan dalam menjalankan tanggung jawab pada masa ini, itulah cara pandang yang diberikan oleh eskatologi Alkitab. Semua dijalankan dengan motivasi dan harapan akan pernyataan Kerajaan Allah. Pola pikir yang sama harus kita terapkan dalam kita berekonomi.

Kembali kita harus menyadari bahwa ekonomi sering kali membawa kita untuk mengabaikan masa yang akan datang dan berfokus pada masa ini. Kita dijebak dalam sebuah kondisi yang menjebak kita di dalam masa ini sehingga seluruh waktu dan hidup kita tersita untuk mengkhawatirkan akan masa ini. Kita banting tulang berusaha dalam pendidikan maupun pekerjaan kita, demi menggapai ambisi diri yaitu pengharapan akan signifikansi diri yang diakui oleh dunia. Baik saat kita berhasil maupun gagal, pandangan kita akan tetap tertuju pada masa kini. Sehingga keberhasilan sering kali disertai dengan keangkuhan diri dan kegagalan disertai dengan putus asa dan self-pity yang terus-menerus menjerat diri. Kedua hal ini semakin merusak diri kita sebagai gambar Allah.

Sebaliknya, eskatologis Alkitab membawa kita untuk menyadari bahwa berekonomi adalah sebuah manifestasi ketaatan kita kepada Allah dalam menyatakan Kerajaan-Nya. Dengan kacamata Kerajaan Allah, kita akan berespons dengan tepat di dalam setiap situasi yang kita hadapi. Kita banting tulang berjuang karena kita mau taat kepada pimpinan dan panggilan Tuhan atas hidup kita (God’s will). Di saat memperoleh keberhasilan, kita akan dengan bijaksana menggunakan kelimpahan yang Tuhan berikan dan kita pun terhindar dari keangkuhan diri, karena segala keberhasilan dapat dicapai karena pemeliharaan Allah (God’s providence), serta menyadari semua ini diberikan untuk membangun Kerajaan Allah. Kalaupun kita menjumpai kegagalan di dalam usaha kita, keputusasaan tidak akan menjerat diri kita. Karena kita menyadari janji Tuhan bagi umat-Nya, bahkan teladan kehidupan Kristus maupun tokoh-tokoh Alkitab lainnya dapat menjadi bukti janji Allah yang menguatkan kita untuk terus bertekun dalam pekerjaan-Nya (God’s promise).

Triad dalam Kerajaan Allah ini menjadi konsep yang mengarahkan praktik dalam bidang ekonomi. Bidang ekonomi bukan bidang yang dapat kita jadikan wadah untuk membangun kerajaan diri di masa ini. Bidang ekonomi juga bukan sebuah investasi untuk membangun supremasi diri di masa yang akan datang. Tetapi ekonomi adalah sebuah wadah yang Tuhan berikan bagi kita, untuk menyatakan the Kingdom of God.

Closing Remark on Reformed Theology and Economics
Dua belas artikel mengenai Reformed Theology and Economics yang sudah kita bahas dalam satu tahun ini adalah sebuah pemicu. Stimulasi ini diperuntukkan bagi yang bergumul secara langsung di dalam bidang ekonomi, maupun bagi semua yang secara tidak langsung bergumul karena aspek ekonomi adalah salah satu bagian dari hidup kita. Pemaparan ini hanya sebuah pemicu untuk kita bergumul dan terus memikirkan integrasi Reformed Theology dengan Ilmu Ekonomi. Hal ini adalah bagian dari mengusahakan karya penebusan yang telah Kristus genapi dan Roh Kudus kerjakan dalam diri kita.

Sebuah kerangka berpikir yang penulis berikan dalam kita menerapkan karya penebusan di bidang ilmu ekonomi adalah sebagai berikut:

Triad dari Redeeming Economics ini adalah suatu kerangka berpikir dalam kita menganalisis ilmu maupun praktik ekonomi yang ada pada saat ini. Seluruh pemikiran maupun praktik dalam ilmu ekonomi dilakukan dengan menjalankan tiga sudut pandang ini sebagai prinsip dasar, yaitu: menghadirkan Kerajaan Allah (artikel 12), membangun masyarakat yang adil dan makmur (artikel 9), dan membagikan berkat Allah (artikel 11). Kerangka berpikir ini mengajak kita untuk memikirkan ekonomi secara komprehensif dan kembali menjalankannya berdasarkan prinsip Alkitab.

Sebagai orang Reformed kita belajar untuk menjalankan mandat budaya. Hal ini bukan sebuah pilihan tetapi sebuah keharusan karena itu adalah mandat yang Tuhan berikan kepada umat-Nya. Biarlah seri artikel “Reformed Theology and Economics” ini dapat memicu kita untuk menggumulkan panggilan kita. Ekonomi yang selama ini dipakai sebagai alat untuk memuaskan nafsu berdosa dan keserakahan manusia harus kita rebut kembali. Menjadikan ekonomi sebagai wadah pernyataan kebenaran Allah yang kita gumulkan bagi kemuliaan Allah dan Kerajaan-Nya. Soli Deo Gloria.

Simon Lukmana
Pemuda FIRES

Referensi:
1. Campbell R. McConnell, Stanley L. Brue, and Sean M. Fynn, Economics: Principles, Problems, and Policies (New York, McGraw-Hill, 2009).
2. John E. Stapleford, Bulls, Bears and Golden Calves: Applying Christian Ethics in Economics (Downers Grove, IL: Inter Varsity Press, 2015).
3. David E. Hall and Matthew D. Burton, Calvin and Commerce (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2009).
4. John Calvin, Institutes of Christian Religion (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2006).
5. John M. Frame, The Doctrine of Christian Life (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2008).
6. John M. Frame, A History of Western Philosophy and Theology (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2016).
7. John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2015).