Reformed Theology and Economics (5): The Effect of the Fall in Metaphysics

Kejatuhan manusia ke dalam dosa dimulai dengan aspek etika. Dengan kehendak bebasnya manusia memilih untuk memberontak kepada Allah demi menjadi allah bagi dirinya sendiri. Ini adalah keputusan manusia yang bersifat etis. Maksudnya adalah keputusan ini diambil oleh manusia bukan karena ada kecacatan secara natur di dalam diri manusia tetapi karena manusia, di dalam kondisinya yang sangat baik, memutuskan untuk berbuat dosa. Di dalam sudut pandang seperti ini jugalah seharusnya kita memandang efek kejatuhan manusia di dalam konteks ekonomi. Permasalahan-permasalahan ekonomi yang timbul saat ini bukan karena kecacatan pada saat Tuhan menciptakan, tetapi karena efek dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Hal ini senada dengan perkataan Cornelius Van Til untuk tidak mereduksi etika kepada metafisika.

Keputusan-keputusan ekonomis manusia yang berdosa memberikan dampak yang merusak baik terhadap cara pandang manusia dari segi metafisika maupun epistemologi yang secara praktik berdampak kepada dunia fisika dan teori-teori ekonomi yang terbentuk. Pada artikel ini kita akan melihat efek keberdosaan manusia terhadap ekonomi dari sudut pandang metafisika.

The Effect of Fall on Metaphysics of Economy
Pada artikel sebelumnya kita mempelajari bahwa keberdosaan manusia membawa manusia menjadi seorang yang bekerja dengan motif kerakusan, kemalasan, keegoisan, dan keluh kesah. Kondisi ini memengaruhi cara pandang manusia akan realitas. Demi memuaskan keinginan hatinya, manusia mencoba untuk membangun realitas sendiri yang dianggap sebagai kebenaran tetapi sesungguhnya hanyalah sebuah pelarian dari realitas yang sesungguhnya. Sehingga keberdosaan menyebabkan adanya peperangan antara realitas sejati dan realitas palsu. Berikut beberapa peperangan yang terjadi dan implikasinya bagi bidang studi ekonomi.

1. Self-centeredness
Realitas penciptaan yang benar adalah alam diciptakan bagi manusia dan manusia diciptakan bagi Allah. Ini adalah ordo yang Tuhan ciptakan. Manusia diberikan wewenang untuk berkuasa atas alam, mengelola, dan memeliharanya. Di satu sisi manusia memang memiliki kuasa atas alam. Tetapi kuasa ini bukanlah kekuasaan yang absolut atau mutlak, ini adalah kuasa yang terbatas dan sementara yang diberikan oleh Allah Sang Pencipta kepada manusia untuk menggarap seluruh dunia ciptaan. Di sisi yang lain manusia harus menyadari bahwa masih ada Allah yang berkuasa atas dirinya, sehingga manusia harus bertanggung jawab kepada Allah. Penggarapan seluruh ciptaan harus dipertanggungjawabkan untuk kemuliaan Tuhan. Dengan kata lain, realitas ini menyatakan bahwa sentral dari seluruh ciptaan adalah Allah bukan manusia, God-centered not human-centered.

Tetapi realitas kejatuhan menyadarkan kita juga bahwa manusia yang berdosa adalah manusia yang egois. Kita berusaha untuk mengambil fokus dari seluruh ciptaan Allah menuju kepada diri kita. Kehidupan manusia berubah dari God-centered menjadi self-centered. Keegoisan inilah yang membuat rusak relasi manusia dengan Allah. Manusia tidak mau menerima bahwa dirinya adalah ciptaan yang berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Kerusakan relasi manusia dengan Allah ini menimbulkan beberapa dampak di dalam bidang ekonomi, yaitu:

a. Economy for Self-Pleasure
Ekonomi adalah bidang yang sangat rentan dengan mammonism, pengejaran yang rakus akan kekayaan, atau kecintaan terhadap uang yang bersifat menghancurkan. Pengejaran akan kekayaan ini membuat manusia memiliki kehidupan yang seluruhnya tersita hanya demi memuaskan dirinya. Sehingga ilmu ekonomi yang seharusnya menjadi ilmu yang mengatur sumber daya, baik alam maupun manusia, sehingga dapat terdistribusi dengan adil dan mendukung perkembangan budaya bagi kemuliaan Tuhan, menjadi ilmu tempat manusia beraksi untuk memuaskan dirinya.

Kerakusan ini terlihat jelas dalam fokus atau tujuan utama keberadaan institusi bisnis. Pada umumnya sebuah perusahaan berdiri dengan tujuan untuk meningkatkan shareholder (orang atau organisasi yang menanamkan modal di perusahaan tersebut) value. Semua praktik bisnis yang berkembang saat ini semua diarahkan demi tercapainya peningkatan profit dari perusahaan. Dengan meningkatnya profit, investor berharap investasinya memiliki tingkat pengembalian yang semakin tinggi, direksi dan karyawan perusahaan berharap gaji mereka semakin meningkat, dan para pemasok berharap mendapatkan keuntungan yang semakin besar melalui perputaran bisnis yang semakin cepat. Peningkatan nilai ini ditujukan untuk memperoleh standar kehidupan yang lebih baik. Pola berpikir seperti ini terkesan begitu lazim bagi kita, tetapi sebenarnya memiliki efek samping yang berbahaya. Karena fokus utamanya adalah kesejahteraan diri, maka kemuliaan Allah dan juga peningkatan kesejahteraan manusia menjadi hal yang disepelekan. Padahal dengan disepelekannya kedua hal ini justru menimbulkan ketimpangan yang memiliki dampak yang lebih destruktif.

Bukti nyata ketimpangan ini dapat kita temukan di sekitar kita. Misalnya saja isu food safety, sangat sering kita mendapatkan berita kecurangan yang dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Demi menekan biaya produksi, mereka menggunakan bahan pengawet dan zat-zat kimia yang bukan untuk konsumsi hingga cara pengolahan makanan yang membuat kita menggelengkan kepala karena berbahaya bagi kesehatan. Mereka tidak lagi memikirkan dampak terhadap manusia yang mengonsumsinya, maupun terhadap alam, apalagi memikirkan bagaimana Tuhan dipermuliakan melalui kegiatan bisnis mereka. Ekonomi berada hanya sebagai alat untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, demi terjaminnya kenyamanan diri. Semua kerusakan ini terjadi karena manusia membangun akan kebenarannya sendiri, dengan bergesernya fokus dari Allah kepada diri. Manusia ingin menjadi tuhan atas dirinya sendiri bahkan tuhan atas alam semesta ini.

b. Money as Life Assurance
Sebagai ciptaan, manusia adalah keberadaan yang bergantung secara mutlak kepada Allah Sang Pencipta. Seharusnya, jaminan akan kehidupan di masa depan, maupun kepastian hidup saat ini, semuanya bergantung kepada Allah. Keberdosaan membuat manusia tidak lagi menaruh imannya kepada Allah, mereka menaruh imannya kepada hal sementara di dalam dunia ciptaan ini. Salah satu yang menjadi sandaran dan jaminan utama bagi kehidupan manusia zaman ini adalah uang. Bukan hanya sebagai sandaran dan jaminan utama bagi kehidupan, uang pun dijadikan alat ukur kesuksesan hidup seseorang.

Mari kita coba untuk merenungkan beberapa pertanyaan ini. Seberapa sering kita merasa tidak tenang saat nilai rekening kita bertambah kecil? Apakah kita merasa inferior saat melihat teman-teman sebaya memiliki kekayaan yang besar sementara kita masih “begini-begini” saja? Pernahkah kita berpikir bahwa kita adalah seorang yang tidak berguna bahkan menjadi putus asa karena dompet kita semakin hari semakin menipis sementara kita sudah berjuang keras di dalam pekerjaan kita? Saat ditawarkan kesempatan untuk berbisnis atau berinvestasi dengan tingkat pengembalian yang besar dan menjanjikan, apakah kita akan tergoda untuk terlibat di dalamnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat menyingkapkan seberapa besar keterikatan kita terhadap uang sehingga menjadikannya sebagai jaminan hidup.

Money is power. Itulah proposisi yang terus dicekokkan kepada kita. “Kalau engkau memiliki uang, maka segalanya bisa diatur. Semua permasalahan dapat dengan mudah diselesaikan jikalau engkau memiliki uang.” Itulah pengertian yang terus-menerus ditanamkan kepada kita baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau hampir semua orang saat ini hidup untuk mengejar uang. Mereka memilih untuk menjaminkan hidupnya kepada uang yang adalah benda mati dibanding kepada Allah Sang Pencipta yang berdaulat. Inilah efek kejatuhan manusia di dalam cara pandangnya mengenai uang.

2. Cursed and Exploited Land
Salah satu dampak dari kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah dikutuknya alam ini. Sebelum peristiwa kejatuhan, tanah bisa menghasilkan dengan mudah, tetapi sesudah jatuh ke dalam dosa manusia harus bersusah payah bekerja, barulah tanah dapat menghasilkan. Dengan kata lain, terjadi kerusakan relasi antara manusia dan alam. Di satu sisi manusia yang memang memiliki wewenang untuk menggarap alam ini, menjadikannya sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi alam. Tetapi di sisi lain, pekerjaan manusia menjadi penuh dengan keluh kesah, karena alam tidak lagi akan menghasilkan buahnya dengan mudah, perlu usaha yang keras dan melelahkan untuk memperolehnya. Oleh karena itu setidaknya ada 2 konsekuensi dari rusaknya relasi manusia dengan alam:

a. Opportunistic Way of Thinking
Kesulitan untuk mendapatkan hasil dari tanah yang sudah dikutuk, dan juga kelelahan yang harus manusia alami menjadikan mereka bersaing satu dengan lainnya. Persaingan ini tidak lebih dari sebuah pengejaran akan kepuasan diri. Kunci keberhasilan di dalam persaingan ini adalah seberapa peka di dalam menanggapi kesempatan yang terbuka. Di saat potensi untuk memperoleh profit besar terbuka, manusia berdosa akan menggunakan segala cara untuk mengambil kesempatan itu. Tetapi saat kesempatan itu kecil, mereka memilih untuk berdiam dan menantikan kesempatan lain. Sepintas pola berpikir ini mirip dengan perintah Tuhan Yesus untuk kita membaca akan zaman dan bertindak berdasarkan tanda-tanda zaman ini. Tetapi kalau diteliti lebih lanjut, pola berpikir ini sangat berbeda bahkan bertentangan dengan Alkitab. Apa yang dimaksudkan Alkitab adalah kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan dari zaman ke zaman. Tetapi pola berpikir ini adalah pola berpikir oportunis yang mengambil kesempatan di dalam kesempitan bagi keuntungan diri. Saat kesempatan itu masih ada, semua cara dilakukan demi memperoleh keuntungan. Hal ini bisa kita lihat di dalam permainan hukum oleh para pelaku bisnis. Mereka memanfaatkan kecacatan hukum untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral tetapi bisa terbebas dari hukuman. Bukan hanya bermain dengan hukum tetapi juga saat kesempatan terbuka, eksploitasi terhadap kekayaan alam akan terus dilakukan demi memperoleh keuntungan. Sehingga pola berpikir oportunis ini, menjadi salah satu penyebab kerusakan alam, permasalahan sosial dan kesehatan, serta meningkatnya kriminalitas.

b. Utopia of Peace and Prosperity
Dengan sulitnya tanah untuk mengeluarkan hasil, manusia dituntut untuk bekerja keras yang menimbulkan efek kelelahan baik secara jasmani maupun rohani. Relasi manusia yang rusak dengan Allah mengeringkan kerohanian mereka. Kekeringan ini semakin bertambah karena mereka harus bekerja keras tanpa makna dan pengenalan akan Allah melalui pekerjaan mereka. Kondisi ini membuat kelelahan jasmani berbanding lurus dengan kelelahan rohani. Sehingga timbullah kehausan akan kedamaian sekaligus kesejahteraan. Manusia berusaha mencari cara untuk mencapai sebuah impian akan kedamaian dan kesejahteraan yang sempurna, sebuah utopia kehidupan. Berbagai cara manusia gunakan demi mencapai utopia tersebut. Dengan menjajah dan menguasai daerah lain, melakukan perdagangan antardaerah, membangun kerja sama ekonomi antarnegara, hingga membangun gedung pencakar langit yang menjadi simbol kekuatan ekonomi. Tetapi semuanya itu hanyalah “usaha menjaring angin”, kekuatan ekonomi bisa hancur secara tiba-tiba, kerja sama bisa berubah menjadi pertikaian, perdagangan bisa berakhir pada peperangan, dan penguasaan daerah-daerah berpotensi bisa menjadi pusat pemberontakan. Walaupun perekonomian saat ini jauh lebih maju dibandingkan beberapa abad yang lalu, tetapi kesejahteraan dan kedamaian yang sempurna masih hanya berupa sebuah utopia. Semua ini dikarenakan permasalahan utama manusia masih terus bercokol menjadi bagian realitas kehidupan, hal itu adalah keberdosaan.

3. Diversion and Harassment of God’s Image
Kerusakan relasi yang dialami manusia setelah kejatuhan bukan hanya kerusakan relasi dengan Allah dan alam, tetapi juga kerusakan relasi manusia dengan sesamanya. Hal ini dikarenakan manusia tidak lagi menghargai dirinya sebagai gambar dan rupa Allah. Mereka merusak gambar ini dengan keberdosaan mereka. Jikalau diri mereka tidak lagi dihargai, tidak mungkin mereka dapat menghargai orang lain sebagai gambar dan rupa Allah. Kondisi ini memberikan beberapa dampak sebagai berikut:

a. Unjust Appreciation of God’s Gift
Berkembangnya pemikiran ekonomi, khususnya dalam konteks kapitalisme, menjadikan ketimpangan dalam menghargai talenta manusia. Sebagian talenta dinilai lebih tinggi dibandingkan talenta yang lain, sementara yang lain hanya dianggap sebagai “bumbu pelengkap” yang keberadaannya dianggap tidak terlalu signifikan. Orang-orang yang memiliki talenta besar jauh lebih dihargai sehingga mereka mendapatkan kesempatan hidup yang lebih layak dibanding dengan orang yang memiliki talenta kecil dan kurang dihargai. Memang Alkitab menyatakan bahwa Tuhan memberikan porsi talenta yang berbeda kepada masing-masing orang, sehingga perbedaan kemampuan diri dari setiap manusia bisa berbeda-beda. Permasalahan dari sistem ekonomi saat ini adalah menilai kemampuan manusia berdasarkan kegunaannya, dari sisi seberapa besar kemampuan ini akan menghasilkan uang. Sehingga, kemampuan yang dinilai kurang profitable, dipandang sebelah mata. Ketimpangan yang lain adalah saat orang yang berkemampuan besar dan dihargai menyimpan kekayaannya bagi dirinya sendiri dan tidak membantu yang kurang memiliki kemampuan. Padahal Alkitab menyatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi yang memiliki kelebihan membantu yang kurang. Kesempatan untuk hidup menjadi berkat. Tetapi ketidakadilan di dalam dunia berdosa ini menyebabkan besarnya gap ekonomi antara yang bertalenta besar dan yang bertalenta kecil dan ketimpangan dalam menghargai anugerah Tuhan di dalam diri manusia.

b. Man Treated as Tools for Greediness
Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki dignitas. Bahkan Alkitab dengan jelas memberikan tempat yang khusus kepada manusia, sehingga segala tindakan yang melecehkan dignitas manusia, dinyatakan sebagai tindakan berdosa. Siapa pun yang membunuh manusia akan menerima konsekuensi yang berat. Bentuk perbudakan yang digambarkan Alkitab pun adalah bentuk perbudakan yang masih manusiawi, salah satu contohnya adalah saat budak itu bebas, sang tuan diminta untuk membekali budak tersebut. Ironisnya, di dalam masyarakat modern yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia, justru terjadi banyak bentuk perbudakan terselubung yang tidak manusiawi. Hal ini dapat kita lihat dari buah pikiran manusia yang hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Salah satu sisi positif dari sistem kapitalisme adalah mendorong kreativitas manusia di dalam berusaha, baik dalam segi produk-produk kreatif maupun konsep bisnis yang kreatif. Tetapi buah pemikiran yang berdosa tetap menodai kreativitas manusia tersebut, konsep-konsep bisnis yang bersifat merusak dapat kita temui. Salah satu konsep bisnis berkembang adalah konsep MLM (Multi-Level Marketing). Ini adalah sebuah konsep bisnis yang populer tetapi, kalau kita teliti lebih tajam, juga konsep yang dekat dengan perbudakan yang tidak manusiawi karena memandang manusia hanya sebagai alat untuk memperkaya diri, bahkan berani untuk menggunakan agama untuk menyelubungi kebusukan motivasi mereka.

Secara sederhana multi-level marketing adalah konsep selling yang mendapatkan keuntungan bukan hanya dari produk yang terjual tetapi juga dari hasil penjualan sales lainnya yang ia rekrut (downline). Konsep ini dinamakan juga sebagai pyramid selling, semakin banyak dan tinggi tingkat sales yang kita rekrut, maka penghasilan kita pun akan semakin besar meskipun kita menjual hanya sedikit dari sisi produk. Sewaktu kita berada di tingkat yang sudah tinggi, keuntungan yang kita terima akan sangat menjanjikan. Bahkan hanya dengan usaha yang minim, kita bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Bukankah ini yang diharapkan begitu banyak orang? Dengan santai-santai mendapatkan penghasilan yang besar, inilah sorga dunia yang begitu diharapkan banyak orang. Apalagi konsep ini dibumbui dengan ayat Alkitab untuk membuat MLM ini menjadi seperti “jawaban” dari Tuhan bagi kesulitan ekonomi yang selama ini didoakan. Tetapi kalau kita selidiki dengan tajam, banyak hal dalam MLM ini yang bertentangan dengan wawasan dunia Kristen.

Salah satu cara untuk mendapatkan keberhasilan di dalam konsep ini adalah dengan memiliki downline yang banyak. Cara yang digunakan untuk menarik hati orang-orang berbagian dalam MLM ini adalah dengan cara menjanjikan profit yang besar, sehingga bisa menolong usaha orang tua atau bahkan menjadi berkat dengan memberikan sebagian uang kita sebagai persembahan di gereja atau untuk membantu orang lain. Tetapi sesungguhnya ini hanyalah sebuah rayuan manis untuk menjadikan kita budak mereka. Di saat kita bergabung, kita pasti akan dituntut jumlah minimal penjualan produk yang harus dicapai serta jumlah minimal orang yang harus direkrut menjadi downline yang lebih rendah. Saat kita berhasil menjual produk atau merekrut sales lainnya, secara otomatis atasan kita akan mendapatkan sebagian keuntungan. Semakin rajin kita menjual dan merekrut orang, semakin besarlah keuntungan atasan kita. Bahkan dengan bersantai-santai pun mereka bisa mendapatkan keuntungan selama downline mereka dapat menjual produk, atau dengan kata lain, selama budak-budaknya bekerja, ia tetap mendapatkan keuntungan. Lalu apa bedanya dengan seorang yang bekerja di sebuah perusahaan yang juga akan memberi keuntungan bagi bos mereka? Salah satu perbedaan jelas adalah seorang pemilik perusahaan bertanggung jawab untuk well-being karyawannya. Keamanan kerja, berbagai bentuk tunjangan, kompensasi jikalau melampaui jam kerja normal, dan tanggung jawab lainnya harus dipenuhi oleh pemilik perusahaan karena ia mempekerjakan seorang manusia. Semua hal ini diatur sedemikian rupa sebagai bentuk perlindungan untuk hak asasi manusia. Tetapi di dalam MLM, tidak ada kewajiban dari atasan untuk hal-hal tersebut, tidak peduli well-being downline, kompensasi hanya diperoleh saat bisa menghasilkan keuntungan. Bahkan ironisnya, dalam beberapa kasus, saat downline tidak bisa mencapat targetnya, ia harus membeli produk tersebut dengan uang sendiri untuk tetap mencapai target minimum. Manusia hanya dianggap sebagai tools yang menghasilkan keuntungan, jikalau tidak lagi menghasilkan langsung dibuang. Inilah salah satu bentuk perbudakan modern.

4. Kesimpulan
Keberdosaan manusia menyebabkan manusia memandang realitas ini berdasarkan keinginan hati mereka yang merupakan implikasi dari kecenderungan hati mereka yang jahat. Etika hidup berdosa manusia memengaruhi cara pandang mereka akan realitas ini. Begitu juga sebaliknya, cara pandang manusia akan realitas ini memengaruhi etika hidup mereka. Sehingga efek kejatuhan menyebabkan interaksi dari kedua aspek ini semakin lama akan semakin merusak dan membawa manusia semakin jauh dari Allah. Oleh karena itu sebagai orang percaya, kita harus dengan tajam melihat bahwa ekonomi bisa menjadi alat yang membawa kita menjadi semakin berdosa. Apalagi ekonomi adalah aspek yang tidak mungkin kita hindari di dalam kehidupan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka kita pasti terlibat di dalam sistem ekonomi yang berlaku. Kita harus menyadari akan kerusakan total (Total Depravity) di dalam segala aspek kehidupan ini. Pernyataan yang mengatakan bahwa adanya kenetralan, hanyalah sebuah mitos. Setiap keputusan ekonomi kita hanya dapat terbagi menjadi 2 golongan, yaitu keputusan yang berdosa atau keputusan yang benar. Biarlah melalui artikel demi artikel mengenai ekonomi ini kita semakin dibukakan dan semakin peka akan kondisi keberdosaan yang sudah merambah ke dalam setiap bagian dari bidang ini. Pada artikel selanjutnya kita akan melihat beberapa pemikiran ekonomi yang berkembang serta kelemahan dari pandangan ini dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari kita secara praktisnya.

Simon Lukmana
Pemuda FIRES

Referensi:
1. John E. Stapleford, Bulls, Bears, & Golden Calves: Applying Christian Ethics in Economics (Downers Grove, IL: Inter Varsity Press, 2015).
2. David E. Hall & Matthew D. Burton, Calvin and Commerce (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2009).
3. John M. Frame, The Doctrine of Christian Life (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2008).
4. John M. Frame, A History of Western Philosophy and Theology (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2016).
5. John M. Frame, Systematic Theology: An Introduction to Christian Belief (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2015).