Kita memiliki ungkapan “Kristus adalah Raja” atau dalam bentuk pertanyaan, terkadang orang berkata, “Apakah Kristus menjadi Raja di dalam hati dan hidupmu?” Walaupun tentu saja pernyataan-pernyataan seperti ini tidak ada salahnya, tetapi saya berpendapat bahwa formula begini bersifat redundant – tidak perlu dikatakan lagi karena sudah jelas. Tentu saja ‘Kristus’ – atau dalam bahasa Ibraninya, yaitu: ‘Mesias’ adalah raja. Bahkan istilah ‘Juruselamat’ itu sendiri sebelum dipakai oleh orang-orang Kristen untuk menyebut tentang Yesus, telah terlebih dahulu dipakai oleh orang-orang Romawi untuk menyebutkan beberapa Kaisar, misalnya Julius Caesar dan Oktavianus Agustus. Bahkan Kaisar Agustus sering kali disebut sebagai ‘juruselamat dunia’.
“Whereas the Providence which has guided our whole existence and which has shown such care and liberality, has brought our life to the peak of perfection in giving to us Augustus Caesar, whom it filled with virtue for the welfare of mankind, and who, being sent to us and to our descendants as a savior, has put an end to war and has set all things in order” (Priene calendar inscription; 9 B.C.).[1]
Saya kira ekspresi-ekspresi yang kurang tepat seperti “Kristus adalah Raja” mungkin disebabkan oleh salah kaprah dalam memahami istilah ‘Kristus’ dan ‘Yesus’. Seharusnya kita menyebut: “Yesus adalah Kristus” dan dengan demikian “Yesus adalah Raja”. Sebagai orang Kristen, kita memang mengaku percaya bahwa Yesus dari Nazaret yang lahir dan berkarya di sekitar abad pertama di Palestina itu adalah Kristus, yaitu Yang Diurapi, Juruselamat yang dinanti-nantikan oleh umat Allah, yang akan membebaskan umat Israel dari penderitaannya, yang akan menjadi bagian sentral dari kembalinya Yahweh ke Sion, di mana bangsa yang tegar tengkuk dan tengah dihukum oleh TUHAN itu akan kembali disayangi dan kembali diakui sebagai umat-Nya.
Masalahnya, kita mungkin tidak terlalu jelas dengan segala urusan pengharapan Israel ini, sehingga bagi kita baik istilah ‘Yesus’ atau ‘Kristus’ atau bahkan ‘Tuhan’ – semuanya itu sama saja. Ketiga istilah tadi merujuk kepada semacam ‘realitas transenden’ yang ‘supranatural’ – oknum Di Atas Sana yang menentukan hidup dan mati kita. Yesus itu ya sama saja dengan Kristus, sama saja dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila kita. Tepat. Tentu saja. Bukankah hal ini sejelas 1+1=2? Sudahlah, tidak perlu memusingkan urusan peristilahan seperti ini. Yang penting kita jelas bahwa apa yang ditunjuk oleh label-label semacam ‘Kristus’ atau ‘Yesus’ adalah ‘Allah’ – yaitu Sang Pencipta, Yang ada Di Atas Sana, Yang Maha Kuasa. Gitu aja kok repot. Yang penting bagaimana kita menjalankan perintah-perintah-Nya dengan konsisten. Yang penting kita hidup dengan berani karena ‘iman’ yang kita miliki. Yang penting kita mencintai Tuhan yang Tidak Kelihatan itu – apa pun label yang Anda pakai untuk merujuk kepada Dia. Apa lagi masalahnya? Mengapakah kita perlu memusingkan urusan sejarah yang kontroversial dan toh selama ratusan tahun belakangan ini tidak ada tanda-tanda para ahli akan pernah mencapai kata sepakat?
Tanpa berniat untuk meremehkan kepelikan problematik sejarah di seputar Yesus dari Nazaret dan bagaimana Ia berhubungan dengan sosok Kristus yang diimani gereja, saya berpendapat bahwa pemahaman kita mengenai ‘Allah’ atau ‘Yang Di Atas Sana’ justru harus dijangkarkan kepada sosok Kristus yang kita percaya sama dengan Yesus sejarah itu. Kita sering kali memakai penalaran yang persis kebalikan dari penalaran yang dipakai penulis Injil Yohanes. Dalam Yohanes pasal pertama, kita mendapati sosok Allah Pencipta yang tidak dapat dikenal lepas dari Wajah-Nya yang kita lihat di dalam sosok ‘Firman’ yaitu Yesus dari Nazaret. “Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yoh. 1:18). Kita mengenal Bapa dengan cara melihat pekerjaan Bapa yang digenapkan oleh Yesus dari Nazaret. Pencarian manusia akan wajah Allah pada akhirnya digenapi dalam perjumpaannya dengan Yesus Nazaret. Bukan sebaliknya. Masalahnya, kita sering kali merasa sudah tahu seperti apakah Allah itu. Mungkin lewat theologia spekulatif. Atau lewat ekstrapolasi dari apa saja yang terbaik dalam hidup manusia (mungkin seperti apa yang dipikirkan Ludwig Feuerbach) kita merasa telah mengenal Allah. Bukankah Dia itu Mahakuasa, Mahabaik, Mahakasih, Mahaesa, dan segala Maha yang lainnya. Lalu ketika kita berjumpa dengan Yesus Nazaret, dan ‘mengakui Dia sebagai Tuhan’, kita mengira tak usahlah memerhatikan dengan saksama apa yang sebenarnya terjadi di dalam sejarah partikularnya – kita sudah tahu siapakah Yesus itu karena kita sudah tahu siapakah Allah itu. Jadi ketika kita mengenali Yesus sebagai Tuhan (atau ‘Allah’) maka prosesnya adalah sama dengan ketika kita mengenali, misalnya, si Amir yang menyamar sebagai Dokter Ardi. Kita tak perlu lagi melihat secara mendetail kepada penyamarannya, ketika kita mengenali orang berjas putih dengan name tag bertuliskan ‘Dr. Ardi’ sebagai ‘si Amir’ kita sudah tahu semuanya. Sebab kita telah mengenal si Amir luar dalam. Masalahnya tidak demikian dengan pengenalan kita akan Allah. Manusia tidak mengenal Allah luar dalam. Manusia hanya mengenal Allah dari luar saja jika kita melihat kepada ‘langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan’ (Mzm. 8:3). Hanya ketika kita melihat kepada wajah Yesus dari Nazaret melalui apa saja yang terjadi kepada Dia, yang melaluinya Allah Abraham menggenapkan janji-Nya kepada umat, maka kita mengenal Allah dari dalam. Kita mengenal Allah melalui mengenal Yesus, dan bukan sebaliknya! Inilah jalur penalaran yang kita jumpai dalam theologia Yohanes.
Berdasarkan ini maka kita perlu mendasarkan pengenalan kita akan Allah kepada Kristologi yang kita susun dari laporan para saksi peristiwa Yesus Nazaret. Tentu saja peristiwa-peristiwa itu harus dipahami di dalam kerangka penantian Mesianik umat Israel. Dengan kata lain, Injil mengenai datangnya Kerajaan Allah itu tak boleh dipisahkan dari keseluruhan kerangka narasi Perjanjian Lama, yaitu Proyek Besar Pemulihan Ciptaan. Datangnya Kerajaan Allah di dalam Yesus adalah jawaban Allah atas jeritan umat Allah yang terbuang dari hadapan Allah akibat ketidaksetiaannya pada covenant. Datangnya Sang Raja itu menandai akhir dari pembuangan dan awal dari ‘Ciptaan yang Baru’. Jadi kita tidak boleh memotong Injil mengenai datangnya Kerajaan Allah di dalam Raja Yesus ini dari konteksnya, yaitu keseluruhan narasi besar Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan.
Saya ambil beberapa contoh konkret. Beberapa orang menekankan perihal ‘Yesus menjadi Raja dalam hatimu’ di dalam aspek moral atau kesalehan agamawi belaka. Ini adalah contoh penceraian berita baik itu dari konteksnya. Contoh yang lain, ada orang-orang yang mengajarkan ‘Theologia Perahu Karet’ – jadi Allah itu ‘menyelamatkan’ dipahami sebagai Allah membawa ‘jiwa-jiwa’ keluar dari situasi yang ruwet dan mematikan, tanpa berusaha untuk ‘menyelamatkan situasinya’. Jadi gambarannya mirip kapsul yang menyelamatkan bayi Superman alias Kal-El keluar dari planet Krypton yang meledak dan kiamat. Saya kira soteriologi semacam ini lebih mirip gnosticism ketimbang apa yang diajarkan para rasul Perjanjian Baru. Di dalam Kristus Yesus, Bapa yang menciptakan langit dan bumi itu mengembalikan segala kemuliaan kepada ciptaan-Nya ini. Yesus adalah jawaban Allah atas problema kejahatan (the problem of evil). Jika Allah ada dan Ia Mahakuasa lagi Mahabaik, bagaimanakah mungkin masih ada kejahatan? Jadi jika kejahatan ada, tak mungkin Allah Mahakuasa dan Mahabaik – sedangkan Allah yang Mahakuasa tetapi tidak Mahabaik, atau sebaliknya, Mahabaik tetapi tidak Mahakuasa, tentulah bukan Allah. Allah menjawab dilema ini di dalam Yesus Kristus. Ia diremukkan oleh kejahatan itu. Ia turut menderita bersama yang tertindas. Tetapi kejahatan tak dapat menghentikan Dia. Kematian tak dapat menghentikan proses yang telah Bapa mulai di dalam kedatangan Sang Raja Yesus itu. Bapa membangkitkan Yesus yang tersalib. Di dalam kerangka pengharapan Israel, ini berarti seluruh kosmos sedang dipulihkan. Tikkun olam telah dimulai.[2] Konsekuensi dari penceraian Injil dari akar-akar narasi Perjanjian Lama adalah kita memiliki berita keselamatan yang kelewat sempit. Allah menghendaki agar segenap ciptaan kembali memancarkan kemuliaan-Nya, Allah menghendaki keadilan sosial dan kedamaian saling berpelukan, tetapi kita tidak peduli dengan itu semua. Apa yang kita inginkan hanyalah ‘jaminan jiwaku masuk sorga’. Urusan keadilan sosial, politik, seni, hukum, kebudayaan, sains, ekonomi, dan segala aspek kehidupan manusia – biarlah itu bagi orang-orang yang hobi sajalah (misalnya para pengikut Abraham Kuyper itulah) – aku hanya ingin masuk sorga, dan sementara di dunia ini aku hanya ingin hidup yang damai, itu saja. Saya kira mindset seperti ini harus diluruskan. Sang Firman itu tidak datang ke dalam dunia hanya untuk mengelus-elus jiwa kita yang penuh self-pity dan haus belaian. Ia datang untuk re-claim apa yang menjadi milik-Nya, Ia datang untuk memulihkan kemuliaan Bapa-Nya – dengan memulihkan keindahan, kemuliaan, makna dari kesemuanya ini. Ia datang sebagai
Raja yang menang, bukan sebagai therapist untuk membuat jiwa Anda nyaman.
Mungkin kita tidak siap dengan Yesus yang sesungguhnya. Kita cukup puas dengan yesus kecil kita yang patuh dan berguna bagi kita. Yesus kartu natal yang jinak dan custom-made khusus untuk jiwa kerdil kita yang tak mau peduli dengan kepedihan hati Allah melihat ciptaan-Nya yang tercabik oleh dosa ini – kita hanya peduli dengan self-pity kita yang egois. Tidak ada jeritan hati sewaktu melihat ketidakadilan misalnya. Sewaktu orang-orang yang tak mampu menyewa pengacara bertarif miliaran, atau memiliki uang cukup untuk membeli keadilan kemudian diperlakukan tidak adil, kita dengan cepat menjelaskannya sebagai ‘kita masih hidup dalam dunia’, ‘memang begitulah dunia berdosa’, atau ‘nanti kita mengadu saja kepada Tuhan’. Bayangkan jika respons-respons semacam ini terus dipelihara pada saat orang melihat ketidakadilan dalam sistem apartheid di Afrika Selatan, atau dalam perdagangan budak di Eropa pada abad ke-18. Sampai hari ini pun mungkin tidak ada perubahan.
Implikasi dari Sang Raja telah datang, jika kita memahami datangnya Kerajaan Allah dalam kerangka narasi besar Penciptaan-Kejatuhan-Penebusan, adalah kita harus melebarkan batas-batas kepedulian kita sampai seluas ciptaan. Jika kita sungguh percaya ‘kepada Allah, Bapa yang Maha Kuasa, Khalik Langit dan Bumi’ maka kita akan berduka melihat kerusakan ekologi bawah laut dan kehancuran hutan tropis (walaupun sebagian uangnya mungkin dipersembahkan ke gereja demi kemegahannya), kita akan berduka melihat trik-trik bisnis yang kotor yang lazim terjadi di negeri kita (walaupun kawan-kawan gereja kita sendiri juga melakukannya atas nama ‘kita masih hidup dalam dunia’), kita akan berduka ketika kita melihat hati kita sendiri yang licik dan jahat. Hanya ketika Anda memahami seberapa mulia ciptaan, Anda akan dapat berduka dengan skala yang patut bagi kerusakannya, dan hanya jika Anda berduka dengan skala, alasan, dan scope yang patut bagi kerusakan ciptaan ini maka Anda juga akan dapat bersyukur secara patut atas kedatangan Sang Raja Yesus Kristus itu.
Ev. Jadi S. Lima
Dosen STTRII
Endnotes:
[1] http://www.christianmonthlystandard.com/index.php/savior-in-the-roman-world/ diakses pada 18 Juli 2014.
[2] The phrase tikkun olam is understood in our time to mean ‘repairing the world’; and is used synonymously with social action. Interestingly, the roots of the term lie not in a modern understanding of social activism, but in an older Jewish understanding of what our purpose as Jews was, in finishing the ordering of the world and is boundup in our relationship to God. Sumber: http://www.reformjudaism.org.uk/a-to-z-of-reform-judaism/?id=152 diakses 18 Juli 2014.