Sifat Allah dalam Bahasa

– Idih, kepo banget ya jadi orang.
– Mau tau aja atau mau tau banget?
– Ciyus lo? Geje ah.
– Dilarang masuk!
– Gula Jawa manis sekali rasanya!
– Provinsi Jawa Barat menjadi juara umum PON XIX.

Kalimat-kalimat di atas tidaklah asing untuk mata atau telinga kita. Kita mungkin sering menggunakannya dalam percakapan sehari-hari dengan teman, atau mengetik di media sosial, atau mendengarnya dari acara televisi, atau membaca kalimat-kalimat utama di surat kabar. Jika diperhatikan, kalimat-kalimat tersebut jauh dari apa yang dinamakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar—perbendaharaan kata yang tidak tepat, struktur kalimat yang “gaul”, penulisan yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Ini adalah gambaran penggunaan bahasa untuk berkomunikasi yang ada di kalangan anak muda Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini tentu memprihatinkan, sehingga perlu adanya usaha untuk menyadarkan pentingnya berbahasa yang baik dan benar. Karena, “bahasa menunjukkan bangsa”, bahasa menampilkan identitas kita.

Seberapa penting bahasa dalam kehidupan orang Kristen? Jawabannya, tentu SANGAT PENTING. Sebagai bagian dari tatanan masyarakat, orang Kristen lebih perlu memiliki pemahaman betapa penting penggunaan bahasa, lebih dari sekadar peran bahasa sebagai alat komunikasi secara lisan dan tulisan dengan sesama. Bahasa merupakan salah satu bentuk berkat yang Tuhan Allah anugerahkan di dalam kehidupan manusia, selain itu bahasa juga mencerminkan dan menyatakan sifat Allah sendiri. 

Kisah Penciptaan dalam Kejadian 1 telah menunjukkan pentingnya peran bahasa. “Berfirmanlah Allah: Jadilah terang. Lalu terang itu jadi” (Kej. 1:3). “Berfirmanlah Allah:…” menjadi awalan untuk setiap hal yang Allah ciptakan dalam enam hari penciptaan. Terlihat jelas sekali Allah menciptakan dunia ini pada mulanya dengan menggunakan bahasa. Lalu, interaksi pertama antara Allah dan manusia pun menggunakan bahasa, yaitu ketika Allah memerintahkan manusia untuk memenuhi panggilan dan tanggung jawab di muka bumi (Kej. 1:28). Penggunaan bahasa yang lebih beragam dan luas juga dipakai oleh Yesus selama melayani di bumi, seperti memanfaatkan perumpamaan sebagai bagian dari pengajaran supaya mudah dimengerti oleh pendengar masa itu, seperti perumpamaan dirham yang hilang, biji sesawi dan ragi, anak yang hilang, talenta, hamba yang setia dan hamba yang jahat, dan masih banyak lagi. Contoh lain perbuatan yang Yesus lakukan dengan melibatkan bahasa adalah ketika Yesus berseru dengan suara keras untuk membangkitkan Lazarus (Yoh. 11:43, “…, berserulah Ia dengan suara keras, ‘Lazarus! Marilah ke luar!’”); menyembuhkan orang lumpuh (Luk. 5:24-25, “…—berkatalah Ia kepada orang lumpuh itu—: ‘Kepadamu Kukatakan, bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu!’”…); memberikan nasihat kepada murid-murid-Nya (Luk. 17:1-6), dan lain-lain.

Begitu pula dengan pengabaran Injil, penyebaran berita keselamatan semuanya menggunakan media bahasa, seperti yang Paulus nyatakan dalam Kitab Roma. Injil diberitakan melalui kata-kata yang mengandung pesan penting yang harus disampaikan, agar orang-orang datang, percaya kepada Yesus Kristus, dan menerima Yesus sebagai Juruselamat, seperti yang dinyatakan dalam pasal satu, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’” Begitu pula dengan Roma 10:14-15, memperlihatkan peran bahasa dalam memberitakan Injil dan orang-orang boleh mendengar kabar baik dan menerima Sang Juruselamat.

Bahasa juga memiliki peran yang melibatkan hubungan Allah dan ciptaan-Nya, manusia. Tidak hanya terbatas pada karya penciptaan dan keselamatan, namun bahasa memberikan pengaruh besar dalam mengatur tingkah laku atau perangai manusia (Poythress, 2009:13). Seperti yang dicatat dalam kitab Amsal, “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah” (15:1); “Ada orang yang lancang mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan” (12:18); “Anak yang bijak mendengarkan didikan ayahnya, tetapi seorang pencemooh tidak mendengarkan hardikan” (13:1). Dari beberapa contoh ayat di atas, terlihat bagaimana kaitan watak manusia dengan berbahasa, bagaimana kita harus berbicara dan mendengar dengan bijak, serta bagaimana firman Tuhan menjadi penuntun dalam hidup orang Kristen.

Firman Tuhan memiliki peranan utama dalam Alkitab, seperti dinyatakan bahwa “pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:1-3). Vern S. Poythress menyatakan ayat ini menunjukkan posisi dan keberadaan Allah di sepanjang masa melalui firman-Nya, tentu dengan menjadikan bahasa sebagai kunci utama yang terlibat di dalamnya.

Dalam firman Tuhan terdapat tiga aspek utama yang berhubungan erat dengan sifat Allah, yakni “meaning” (makna, tujuan) menyatakan Tuhan yang mengetahui segala-galanya; “control” (kendali), menyatakan Tuhan memiliki kuasa tak terbatas atas segala yang ada di bumi (God’s “omnipotence”); dan “presence” (kehadiran) menyatakan Allah hadir ada di mana pun (God’s “omnipresence”) (Poythress, 2009:25).

Jika kita perhatikan kembali Kejadian 1, apa yang Allah firmankan atau ucapkan (utterances) mengandung maksud atau makna tertentu, menetapkan dan memperlengkapi segala yang diciptakan dengan fungsinya masing-masing. “Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun, dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi” (Kej. 1:14-15). Dari sini terlihat aspek pertama, yaitu maksud dan tujuan (“meaning”) tertentu, ketika Allah menciptakan benda-benda penerang yang membedakan siang dan malam, berfungsi sebagai penanda perubahan atau pergerakan waktu.

Berikutnya, aspek kedua “control”, menyatakan bahwa Allah berkuasa atas alam ciptaan dan mengendalikan segala isinya. Hal ini nampak jelas dalam Kejadian 1, setiap Allah berfirman menciptakan atau menjadikan sesuatu seperti yang Ia inginkan, maka kemudian muncul pernyataan dengan “‘(dan) jadilah petang dan jadilah pagi, inilah…’ atau ‘dan jadilah demikian’”. Hal ini menyatakan betapa Allah berkuasa atas bumi, Ia menjadikan segala sesuatu ada tercipta di muka bumi, setiap pergerakan atau perubahan ada di dalam genggaman kendali-Nya.

Aspek ketiga “presence” dalam firman Tuhan, menyatakan Allah yang hadir di tengah ciptaan-Nya. Aspek kehadiran Allah terkait atau mengandung dua aspek lain di atas, yaitu “meaning” (God’s “omniscience”) dan “control” (God’s “omnipotence”). Kehadiran Allah dinyatakan dengan adanya ciptaan Allah yang sesuai dengan ketetapan-Nya, sehingga segala yang telah dijadikan-Nya sungguh amat baik (Kej. 1:31).

Ketiga aspek ini saling bertautan, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Firman Tuhan juga menjadi ciri bagi Allah berbicara, berkomunikasi dengan manusia, dalam hal ini ditekankan Allah juga sebagai Tuan atas hidup manusia. Manusia sebagai ciptaan Allah yang diciptakan sesuai dengan gambar Allah. Kemampuan manusia untuk berbahasa baru muncul ketika Allah telah menciptakan setiap manusia, oleh karena Allah sendiri mampu berbahasa (berfirman, berkata, menegur, memerintah, memberi hukuman).

Alkitab menuliskan tentang bagaimana “meaning”, “control”, dan “presence” terdapat dalam kegiatan atau aktivitas manusia di dunia, seperti yang tertulis dalam Kejadian 2:19-20, bagaimana Adam menamai segala ternak, burung-burung di udara, dan segala binatang di hutan. Kegiatan atau usaha memberi nama untuk segala makhluk hidup dimaksudkan untuk membedakan dan menggolongkan jenis makhluk hidup yang ada, telah mengungkapkan aspek “meaning” dengan cukup gamblang. Aspek “control” juga terdapat dalam diri manusia, seperti yang dinyatakan dalam Kejadian 1:28, “… berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala yang merayap di bumi.” Manusia diberikan kuasa dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Dan juga, ketika menamai jenis binatang dan tumbuhan atau makhluk hidup lain, “… dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu” (Kej. 2:19). Adam sebagai manusia telah menyatakan kekuasaan atau memegang kendali atas bahasa. Adam tentu tidak sembarangan dalam menggunakan bahasa (menamai binatang dan tumbuhan), karena Allah telah berfirman kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara apa yang telah Allah percayakan di Taman Eden (Kej. 2:15). Melalui Adam, Allah juga menjalankan apa yang menjadi rencana-Nya sejak permulaan. Dalam aspek ketiga “presence”, Allah adalah Allah yang “omnipresence”, maka Ia hadir di setiap jengkal bumi ini. Tetapi kehadiran (“presence”) manusia tentu tidak bisa disamakan seperti Allah. Seperti Adam yang menamai makhluk hidup yang ada di Taman Eden, bahasa yang ia gunakanlah yang mencerminkan kehadiran dirinya melalui apa yang ia pikirkan, bicarakan, dan tujukan; namun, semuanya tidak lepas dari relasi antara Allah dan manusia, tidak lepas dari rancangan besar Allah terhadap dunia ciptaan-Nya.

Manusia adalah makhluk yang terbatas, dalam hal berbahasa atau pengetahuan lain pun sangat tergantung dari ketiga aspek ini. Vern S. Poythress menekankan bahwa berbahasa tanpa tujuan atau makna (“meaning”), tidaklah berarti. Berbahasa tanpa penguasaan atau kendali (“control”), tidak akan menyelesaikan apa pun. Berbahasa tanpa kehadiran (“presence”), maka pesan atau maksud takkan tersampaikan. Kita semua tergantung pada kesadaran bahwa kita manusia ciptaan Tuhan, diciptakan sesuai gambar Allah. Ketika Allah mencipta dan semuanya adalah baik (Kej. 1:31), dapat diketahui bahwa ada harmoni yang terjalin antara ciptaan dan Sang Pencipta. Relasi antara Allah dan manusia yang harmonis, ditopang dengan anugerah bahasa yang Allah berikan kepada manusia untuk melengkapi keharmonisan dan keselarasan relasi, untuk menguasai bumi dan segala isinya dengan penuh tanggung jawab. Kejadian 2 merekam bagaimana Allah berelasi dengan Adam dengan serasi, Adam merasakan kehadiran Tuhan Allah, merasakan kebaikan dan pemeliharaan Tuhan dalam Taman Eden.

Sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, rusaknya relasi Allah dan manusia, membuat kita sulit membayangkan relasi sempurna yang terjalin antara Allah dan Adam di Kejadian 1 dan 2. Tetapi dengan pertobatan, karya penebusan Kristus di atas kayu salib, kembali membawa terciptanya relasi antara Allah dan manusia seperti semula. Firman Tuhan sungguh menunjukkan betapa besar karya Allah bagi manusia berdosa. Kedekatan relasi dengan Tuhan membawa manusia kepada keselarasan dengan Allah dan rencana-Nya melalui firman Tuhan. Dengan mendengarkan firman, kita bisa mengerti maksud atau tujuan (“meaning”), kuasa (“control”), dan persekutuan di dalam hadirat-Nya (“presence”), sehingga terjalinlah relasi yang harmonis dan selaras antara Allah dan ciptaan-Nya melalui bahasa.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil bukan hanya menjalankan kekudusan hidup secara moral tetapi juga aspek bahasa di dalam hidup kita pun harus menyatakan kebenaran Allah. Di dalam konteks inilah kita harus belajar untuk memandang bahwa berbahasa secara benar bukan hal yang menjemukan. Berbahasa dengan benar adalah untuk menyatakan bahwa Allah menciptakan kita untuk menjadi wadah yang menerima dan menyatakan kebenaran. Biarlah kita mulai menggumulkan untuk membangun kemampuan berbahasa yang benar demi menyatakan Allah dan kebenaran-Nya.

Livia Vasantadjaja
Pemudi GRII Bandung

Referensi:
1. Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia R.M.T. Lauder. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Poythress, Vern S. 2009. In the Beginning was the Word: Language: A God-Centered Approach. Crossway Publishing House, Illinois.