Supra Logika

Sebuah percakapan yang terjadi dalam sebuah bus antara Christian dan sahabatnya, Aristo, pada suatu sore.

CHRISTIAN: Selamat sore, Aristo, bagaimana harimu?

ARISTO: Sebagaimana biasanya, Christian, hari yang padat, sibuk, dan lega sekali rasanya sekarang dalam perjalanan menuju rumah. Tetapi kelegaannya hanya sementara karena besok akan datang lagi dan segala sesuatu seperti berulang kembali. Hari demi hari akan selalu penuh tuntutan yang melelahkan. Yah, semoga saja Tuhan yang Maha Esa terus memberi saya kekuatan menjalani hidup ini. Bagaimana dengan kamu, Christian?

CHRISTIAN: Seperti yang telah kamu katakan, Aristo, penuh dengan kesibukan yang melelahkan. Hanya karena anugerah Tuhan saja hari demi hari dapat dilalui. Tetapi bukankah hal yang lucu bahwa kita sama-sama mengandalkan Tuhan, padahal belum tentu pemahaman kita mengenai Tuhan itu sama. Bukankah demikian? Bagaimana menurutmu?

ARISTO: Saya rasa memang benar kalau kita memiliki pengertian yang berbeda tentang Tuhan. Saya percaya kepada Allah yang Esa, tetapi nampaknya paham mengenai Allah yang Esa ini cukup rumit dalam pengertian orang Kristen.

CHRISTIAN: Begitukah? Sejauh apakah kamu mengetahui konsep Tuhan dalam pengertian orang Kristen?

ARISTO: Saya tidak tahu banyak, tetapi saya membaca dari pengakuan iman Kristen bahwa Tuhan itu memiliki tiga “Pribadi” dan satu “Esensi.”

CHRISTIAN: Bagus sekali. Kamu mengetahuinya? Mengagumkan.

ARISTO: Ya, saya ingin memegang kepercayaan saya karena kepercayaan saya adalah kepercayaan yang benar, bukan karena kepercayaan saya adalah satu-satunya kepercayaan yang saya tahu. Karena itu saya mau belajar banyak kepercayaan lain sebelum dengan yakin mengatakan bahwa agama saya adalah yang benar. Karena itu, bolehkah kamu menjelaskan makna dari tiga “Pribadi” dan satu “Esensi” ini?

CHRISTIAN: Kerinduan kamu untuk belajar itu baik sekali, Aristo. Tetapi saya tidak yakin apakah saya cukup mampu untuk memberikan penjelasan kepada kamu. Kamu kan seorang yang punya pengetahuan yang luas. Karena itu saya lebih suka bila kita mendiskusikannya bersama-sama.

ARISTO: Cara kamu memuji saya seperti cara seekor banteng yang menunduk untuk menanduk. Tetapi baiklah kita diskusikan hal ini bersama-sama.

CHRISTIAN: Tentu, Aristo. Saya juga ingin belajar dari kamu. Boleh saya bertanya, apakah pengertian yang kamu miliki mengenai pernyataan “tiga Pribadi satu Esensi” ini mirip dengan pernyataan mengenai satu kumpulan yang terdiri dari beberapa individu?

ARISTO: Sepertinya memang begitu.

CHRISTIAN: Mungkin dapat dicontohkan dengan sekumpulan anggota DPR dan lembaga DPR?

ARISTO: Maksud kamu sekumpulan anggota DPR itu membentuk satu lembaga yang bernama DPR, demikian, bukan?

CHRISTIAN: Tepat sekali. Tetapi apakah hal ini juga yang dinyatakan oleh Alkitab mengenai Allah orang Kristen?

ARISTO: Jika ya, maka sebenarnya Kekristenan tidak berbeda dengan kepercayaan Politheistik yang percaya banyak ilah.

CHRISTIAN: Kamu benar sekali. Karena itu pengertian ini dapat disalahmengertikan dengan mengatakan bahwa Tuhan memiliki tiga Pribadi, namun berkumpul menjadi satu “dewan Tuhan” yang esa, dan pengertian ini adalah salah sama sekali. Karena itu, satu Esensi Tuhan yang dikenal oleh orang Kristen tidak mungkin lain daripada satu Esensi yang Personal. Dengan demikian orang Kristen juga mengenal Allah sebagai Allah yang berpribadi dan Esa. Tetapi bagaimana tanggapan kamu bila saya katakan bahwa pengertian dalam pengakuan iman tersebut dapat juga dijelaskan dengan kalimat: “Tuhan adalah tiga Pribadi dan juga satu Pribadi”?

ARISTO: Saya rasa itu merupakan sesuatu yang kontradiktif. Tentu amat sulit mengharapkan orang dapat mempercayai kalimat itu. Kecuali kalimat itu tidak diaplikasikan pada saat yang bersamaan, maksudku pada suatu waktu Tuhan itu esa dan pada waktu lain Tuhan itu tiga pribadi. Apakah ini maksudmu?

CHRISTIAN: Tidak. Yang saya maksudkan adalah natur Tuhan, keberadaan Tuhan adalah tiga Pribadi dan juga adalah satu Pribadi, sejak kekal sampai kekal dan tidak pernah berubah. Apakah ini sulit diterima?

ARISTO: Tentu saja sulit diterima. Itu tidak rasional. Tidak masuk akal.

CHRISTIAN: Memang sepertinya ini adalah hal yang tidak rasional. Tetapi bolehkah saya bertanya lagi?

ARISTO: Silakan.

CHRISTIAN: Bila saya mengatakan bahwa supir bus ini adalah sebatang pohon, apakah masuk akal?

ARISTO: Tentu saja tidak.

CHRISTIAN: Mengapa tidak? Apakah karena sebatang pohon tidak memiliki SIM?

ARISTO: Tentu lebih dari itu, Christian. Sebatang pohon tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk mengemudikan bus.

CHRISTIAN: Ya, dan bayangkan saja bila batang-batang pohon antri di kantor polisi untuk membuat SIM. Jadi kita sepakat bahwa pernyataan pohon-pohon mengemudikan bus itu tidak masuk akal. Namun bila saya mengatakan bahwa seorang pria berumur 40-an mengemudikan bus ini, apakah ini masuk akal?

ARISTO: Setidaknya lebih masuk akal ketimbang bus ini dikemudikan oleh pohon.

CHRISTIAN: Dan bagaimana bila saya katakan bahwa sang supir bus kita ini, seorang pria berumur 40-an, bila ditanam dalam tanah hingga sebatas lutut, lalu disirami air dan diberi pupuk akan bertumbuh dan mengeluarkan buah?

ARISTO: Itu menggelikan sekali, Christian. Apa maksud pertanyaan-pertanyaan anehmu ini?

CHRISTIAN: Begini, Aristo, jadi apa yang rasional bila diterapkan pada pohon ternyata belum tentu rasional bila diterapkan pada manusia, dan begitu pula sebaliknya, apa yang rasional bila diterapkan pada seorang supir berusia 40-an tahun belum tentu rasional bila diterapkan pada sebatang pohon. Sekarang, kembali pada pernyataan saya, Tuhan dalam pengertian Alkitab adalah satu Pribadi dan juga tiga Pribadi. Apakah ukuran yang mengatakan pernyataan ini tidak rasional merupakan ukuran yang tepat?

ARISTO: Kamu mulai menanduk sekarang, Christian.

CHRISTIAN: Tidak, kita adalah dua orang yang dengan jujur mau mencari kebenaran. Biar saya bertanya lagi. Bila saya katakan bahwa pada saat saya berbicara dengan kamu sekarang, saat yang sama juga saya berada di Hong Kong, Meksiko, dan di beberapa negara di Eropa. Apakah kamu percaya?

ARISTO: Tentu tidak. Itu tidak masuk akal.

CHRISTIAN: Tetapi bagaimana bila saya katakan bahwa pada saat yang sama Tuhan dapat berada di berbagai tempat, sebagaimana dikatakan, “ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah?”

ARISTO: Kamu sedang berbicara tentang Allah yang Maha Hadir. Tentu saja saya mempercayainya. Allah tidak terbatas dalam ruang dan waktu.

CHRISTIAN: Tentu saja. Apa yang “tidak mungkin” bila diterapkan bagi manusia belum tentu “tidak mungkin” bila diterapkan kepada Tuhan. Kamu setuju?

ARISTO: Kamu mengunci saya, Christian.

CHRISTIAN: Tentu kita sama-sama menyadari betapa bodohnya bila manusia ingin mencari bukti empiris bagi keberadaan Tuhan sebelum mempercayai Dia ada, kan?

ARISTO: Tentu saja. Bayangkan betapa menggelikannya Russell ketika berkata bahwa tidak cukup bukti untuk percaya kepada Tuhan, atau pernyataan Hume yang tidak percaya Tuhan sebagai Pencipta karena dia tidak melihat proses Tuhan menciptakan dunia ini.

CHRISTIAN: Saya kagum melihat luasnya pengetahuan kamu, Aristo. Apakah kamu menolak bahwa mempercayai Tuhan harus dilakukan hanya bila ada bukti bagi keberadaan-Nya?

ARISTO: Tentu saja. Sebab sejak lebih dari 2300 tahun yang lalu, Plato telah menulis dalam buku Theaetetus bahwa persepsi manusia tidak dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui kebenaran. Ia menentang pernyataan Protagoras bahwa manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, karena cara manusia mengetahui segala sesuatu melalui persepsi sangat mungkin bias dan tidak dapat diandalkan. Jika demikian bagaimana mungkin manusia mendasarkan pengalaman inderanya untuk mencari bukti bagi keberadaan Allah bila indera yang sama tersebut ternyata tidak merepresentasikan kebenaran dunia ini secara sempurna?

CHRISTIAN: Luar biasa. Kamu juga membaca Theaetetus?

ARISTO: Waktu luang, Christian, saya memiliki banyak waktu luang.

CHRISTIAN: Tetapi bukankah kamu sangat sibuk? Saya rasa kamu harus mengorbankan waktu tidur juga untuk dapat mempelajari yang kamu ketahui. Jadi kamu mengatakan bahwa menuntut bukti empiris mengenai keberadaan Tuhan itu adalah bodoh?

ARISTO: Ya. Sama seperti kebodohan cacing dalam karikatur[1] yang mengatakan “Khrushchev itu tidak ada karena saya tidak melihat dia.”

CHRISTIAN: Bila kemampuan inderawi manusia tidak mampu untuk digunakan sebagai pengukur keberadaan Tuhan, benar atau tidak bila saya mengatakan bahwa pengertian logis manusiapun tidak cukup untuk memahami keberadaan Tuhan?

ARISTO: Benar. Tetapi tidak dalam hal tiga dan satu. Bukankah tiga adalah tiga dan satu adalah satu? Mengatakan keberadaan yang bersifat tiga Pribadi yang juga satu Pribadi yang ada secara kekal adalah seperti mengatakan tiga adalah satu dan satu adalah tiga. Ini berkontradiksi.

CHRISTIAN: Tetapi apakah kata “kontradiksi” dapat menggambarkan secara tepat pengertian Tritunggal dari Allah Alkitab? Ataukah kata “paradoks” yang lebih tepat digunakan?

ARISTO: Tolong jelaskan lebih lanjut, Christian.

CHRISTIAN: Baiklah. Tetapi sebelumnya biar kita sepakat dulu mengenai satu hal. Persepsi manusia tidak mampu untuk memberikan pengertian kepada manusia mengenai keberadaan Allah, bukan?

ARISTO: Saya setuju.

CHRISTIAN: Baik. Dan demikian juga apa yang tidak rasional bila diterapkan pada manusia belum tentu disebut tidak rasional juga bila diterapkan kepada Tuhan, kan?

ARISTO: Ya, kamu benar.

CHRISTIAN: Dengan demikian, bagaimana kita dapat mengetahui Tuhan? Apakah dengan membuat spekulasi mengenai keberadaan-Nya, atau spekulasi mengenai sifat-sifat-Nya? Ataukah kita mengenal Dia melalui Dia sendiri yang mewahyukan diri-Nya kepada kita?

ARISTO: Melalui wahyu-Nya tentu saja.

CHRISTIAN: Tetapi bagaimana bila sepertinya wahyu-Nya itu tidak sesuai dengan logika kita? Apakah kita boleh menolak dan mengatakan kepada-Nya untuk mengubah wahyu-Nya?

ARISTO: Tidak ada seorang manusia pun berhak melakukan itu, Christian. Bila wahyu-Nya dan pengertian kita berbeda, maka pengertian kitalah yang harus diubah.

CHRISTIAN: Wahyu Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan logika, yaitu logika Tuhan sendiri, yang melampaui logika manusia. Karena itu, bisa saja kan kalau apa yang nampaknya kontradiksi mengenai Tuhan sebenarnya adalah sesuatu yang melampaui logika kita, dan bukan sungguh-sungguh berkontradiksi?

ARISTO: Ya. Kamu benar.

CHRISTIAN: Dan bila logika kita ternyata tidak mampu memahaminya, bukankah kita harus mengakui bahwa pengertian kita akan prinsip-prinsip logis masih begitu sempit untuk memahami prinsip-prinsip logika Tuhan?

ARISTO: Jadi kamu mengatakan bahwa kebenaran mengenai keberadaan Tuhan itu bukan melawan logika, karena tidak bertentangan dengan hukum logika-Nya sendiri, dan bahwa kebenaran mengenai keberadaan Tuhan itu melampaui logika yang kita pahami. Wah, diskusi ini benar-benar membuka pikiran saya, Christian.

CHRISTIAN: Demikian juga mengenai tiga Pribadi dan satu Pribadi yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal. Haruskah kita menyebutnya sesuatu yang kontradiktif? Ataukah kita menyebutnya sebuah paradoks, yaitu dua hal yang sepertinya bertentangan mengenai suatu keberadaan di mana kedua hal tersebut harus diterima bersama-sama?

ARISTO: Dua hal mengenai satu keberadaan yang sepertinya bertentangan tetapi harus diterima bersama-sama? Bukankah ini sama dengan konsep “antinomi” dari Immanuel Kant?

CHRISTIAN: Saya harus angkat topi bagi kamu, Aristo. Kamu mengenal Kant juga?

ARISTO: Seperti saya katakan, Christian, saya tidak menghabiskan waktu luang saya di depan TV menonton sinetron-sinetron bodoh, atau menghabiskan berjam-jam main computer games dan membuat saya tidak tahu apa-apa mengenai sejarah pemikiran umat manusia.

CHRISTIAN: Wah, kalau saja para pemuda di gereja saya juga sama bijaksananya dengan kamu dalam menggunakan waktu. Tetapi, bolehkah kamu menjelaskan kepada saya pengertian antinomi dari Immanuel Kant?

ARISTO: Saya hanya mendengar dari orang yang mempelajari Kant. Saya sendiri tidak mempelajari Kant secara dalam. Apa yang dinyatakan Kant adalah bahwa seluruh pengertian kita mengenai keberadaan benda-benda di sekeliling kita ini hanya didapat melalui pengalaman empiris, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kita dapat mengenal benda tersebut an sich, atau di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian kita tidak mungkin tahu keberadaan sejati dari benda tersebut karena hal tersebut berada di luar jangkauan kemampuan empirik manusia. Tetapi kita harus menerima keberadaan di luar jangkauan empirik tersebut sebagai sesuatu yang ada, karena keberadaan tersebut, meskipun pada saat yang sama tidak dapat disebut keberadaan secara empiris, merupakan esensi inti dari benda tersebut. Dengan demikian kita tahu segala sesuatu sekaligus tidak tahu apa-apa tentang sebuah benda.

CHRISTIAN: Bukan main, pandai sekali Kant membuat saya bingung. Tetapi yang saya dapat tangkap adalah ternyata dunia kita ini pun tidak lepas dari pengertian paradoks, ya kan?

ARISTO: Tentu saja, menurut Kant.

CHRISTIAN: Tetapi bukankah ini merupakan salah satu bukti keterbatasan logika manusia? Kalau begitu, bukankah tidak ada alasan bagi manusia untuk mengatakan bahwa pernyataan Tuhan mengenai diri-Nya sendiri tidak dapat diterima karena berkontradiksi menurut logika yang dipahami manusia? Dan juga, bukankah pernyataan bahwa Allah adalah “tiga Pribadi dan satu Pribadi” hanya sepertinya saja berkontradiksi? Dan bahwa sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat melampaui logika manusia? Suatu paradoks antara tiga Pribadi dan satu Pribadi?

ARISTO: Saya rasa saya tidak dapat menyanggah ini. Tetapi saya tetap tidak bisa menerima konsep Tuhan yang seperti ini, karena ini sulit diterima.

CHRISTIAN: Tetapi setidaknya kamu tidak ada alasan untuk menolak pengertian ini karena berkontradiksi. Cukup bagus untuk percakapan singkat ini. Tetapi kamu tahu kan kalau diskusi kita ini masih panjang? Masih banyak hal yang harus kita bahas sama-sama, Aristo.

ARISTO: Sayang sekali, Christian, saya harus turun di sini. Lain waktu kita lanjutkan lagi.

CHRISTIAN: Tentu, Aristo. Dan saya akan berdoa semoga Allah Tritunggal yang saya sembah membuka hati kamu untuk menerima kebenaran-Nya.

Ev. Jimmy Pardede

Pembina Pemuda GRII Bintaro

Buku-buku “sumber pengetahuan”:

Frame, John M. Cornelius Van Til, An Analysis of His Thought. Phillipsburg, N.J.: P&R, 1995.

Ferguson, Sinclair B., David F. Wright, J.I. Packer. New Dictionary of Theology. Downers Grove, Illinois: IVP, 1988.

Plato, Theaetetus, terj. Robin Waterfield. London: Penguin Books, 1987.


[1] Karikatur yang dibuat sebuah harian di Amerika pada awal tahun 1960-an untuk membalas pernyataan PM Rusia, Khrushchev, bahwa Tuhan itu tidak ada karena para kosmonot Rusia telah pergi ke luar angkasa dan tidak melihat Tuhan. Demikian juga Khrushchev tidak ada karena sang cacing tidak melihat Khrushchev. Secara ironis dinyatakan bahwa Khrushchev-lah sang cacing.

 

The Bible says the Creator sent manna to the Jews,” Premier Khrushchev said. “I don’t know whether this is true, I did not see it happen. I don’t know whether the manna was of first quality or whether the Jews got enough of it. To find out, we sent Gagarin up there to take a look. But Gagarin reported he saw nothing but emptiness. So we sent Valentina Tereshkova and told her if she finds manna she should cook herself a meal, but she found nothing. So there is no hope that we can get manna from heaven. This means that we must trust our hard-working hands.”—New York Times, April 7, 1964.