, ,

The Puritans Post-Reformation Era

Di zaman ini, istilah puritan telah menjadi istilah yang agung. Ketika kita mendengar istilah ini, langsung terpikirkan tentang raksasa-raksasa iman yang mempertuhankan Allah yang benar dalam seluruh aspek hidup mereka. Nuansa istilah puritan demikian memang tidak salah. Tetapi perlu kita ketahui sejarahnya bahwa istilah puritan pada awalnya bukanlah pujian, melainkan ejekan. Istilah itu pertama kali disebutkan pada tahun 1560 di daerah Inggris. Mengapa istilah itu bisa tercetus? Nuansa yang diberikan oleh istilah itu pada awalnya adalah kesombongan, legalis, sok suci, dan mengandung kemunafikan. Ejekan ini dikenakan kepada orang-orang yang tidak puas dengan gereja Inggris (Anglican) yang berada di bawah pemerintahan Ratu Elizabeth. Gereja pada saat itu berkompromi dan tidak benar-benar memelihara hidup yang suci dan tunduk kepada Tuhan. Jadi orang-orang puritan menciptakan hidup yang mau lebih murni (pure) lagi, yang benar-benar tidak menyeleweng dari ajaran Alkitab.

Orang puritan dianggap ekstrem karena benar-benar menghidupi idealisme mereka tanpa kompromi sedikit pun. Pada tahun 1662 gereja Inggris mengadakan sebuah aksi bernama Act of Uniformity. Ini berarti semua orang yang mengaku beragama Kristen di Inggris harus mengikuti semua aturan dan cara gereja Anglikan, misalnya doa publik dan pelaksanaan sakramen. Tentu saja tidak semua golongan orang setuju dan salah satunya adalah golongan puritan. Karena inilah mereka dijuluki sebagai kaum non-konformis, yaitu kaum yang tidak mau mengonfirmasi Act of Uniformity tersebut. Akibatnya, banyak akses mereka pada kehidupan publik diblokir. Mereka tidak lagi mendapatkan keuntungan-keuntungan yang diperoleh masyarakat Inggris konformis saat itu, seperti perdagangan, pendidikan, dan lain-lain. Yang mereka hadapi bukan hanya semata-mata kesulitan fisik, tetapi juga peperangan spiritual karena harus mempertahankan kredo dan doktrin mereka. Masa-masa sulit ini juga turut membentuk kematangan dan ketangguhan mereka. Mengapa banyak orang mempunyai konflik dan kesulitan tetapi tidak menjadi seperti mereka? Karena mereka tidak pernah lari dari konflik. Mereka menganggap konflik yang terjadi sebagai panggilan hidup dari Tuhan yang harus mereka hadapi dan selesaikan tanpa kompromi.

Salah satu hal yang kurang di zaman ini tetapi terdapat pada mereka adalah kedewasaan rohani. Kedewasaan rohani ditandai dengan stabilitas kerohanian, kebijaksanaan, dan inisiatif seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Mereka sangat menekankan hal ini dalam budaya hidup mereka. Kita sering kali sudah menjadi orang Kristen bertahun-tahun, sudah ke gereja ribuan kali, sudah mendengar ribuan khotbah, tetapi kerohanian kita tetap kerdil. Di zaman yang semakin canggih dan apa pun semakin mudah, kita sering kali terbuai oleh keadaan yang nyaman. Keadaan ini menahan pertumbuhan rohani kita karena tidak mau menjalankan realitas dari Tuhan yang sulit dalam mendidik diri dan sesama, sehingga akhirnya kita menjadi kerdil dalam kerohanian. Orang puritan dalam kedewasaan mereka, terus memosisikan diri sebagai orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan sepenuhnya dalam hal apa pun, menjadikan mereka orang yang rendah hati, mampu menghadapi kesulitan apa pun tanpa menyerah maupun bersungut-sungut seperti anak kecil.

Ada banyak aspek kehidupan orang puritan yang bisa kita pelajari dan mengingatkan kita bagaimana kehidupan Kristen seharusnya. Pertama, hidup mereka adalah hidup yang satu dan terintegrasi, tidak terpecah-pecah seperti kita, orang modern hari ini. Hidup yang terpecah-pecah adalah hidup yang seakan-akan menjalani lebih dari satu dunia. Kita memisahkan kehidupan gereja dengan kehidupan pribadi, kehidupan sosial dengan kehidupan berkeluarga, dan lain-lain. Kita tidak mampu menyadari dan menjalankan kehidupan yang utuh, bahwa seluruh hidup adalah milik Tuhan dan merupakan panggilan Tuhan yang harus dijalankan. Tuhan yang ada di gereja adalah Tuhan yang memberikan kita sekolah, kuliah, pekerjaan, kehidupan masyarakat, dan lain-lain. Bukan hanya kehidupan bergereja, tetapi Tuhan juga menuntut keseluruhan hidup kita kudus dan memuliakan Dia. Mampukah kita menyinkronkan diri dengan apa yang Tuhan mau dalam segala aspek? Kecenderungan orang Kristen di zaman ini hanya baik-baik ketika di gereja, cari kehendak Tuhan di gereja. Tetapi setelah keluar dari gereja, hidup ini jadi milik sendiri. Apa yang dikehendaki hati untuk dilakukan, akan dilakukan. Singkatnya, mirip seperti atheis setelah keluar dari gereja.

Integritas orang puritan tercermin dari hidup mereka yang mampu membawa prinsip Alkitab sampai pada kehidupan di luar gereja. Mereka adalah orang yang down-to-earth. Mereka mampu merelasikan dengan benar antara pekerjaan dan ibadah, doa dan usaha; pemikiran dan perbuatan. Hal inilah yang membuat mereka memiliki etos kerja yang sangat baik, bahkan tidak tertandingi. Mereka tidak seperti orang zaman sekarang yang mempertanyakan, “Jika kita berdoa dan masih harus bekerja lagi, apa gunanya berdoa? Kenapa tidak bekerja saja? Hasilnya akan sama saja.” Dalam ketergantungan mereka kepada Tuhan melalui doa, mereka tetap bekerja, bahkan bekerja jauh lebih keras daripada yang lain karena mereka mengetahui bahwa dengan pekerjaan mereka, mereka sedang memuliakan Tuhan dan sedang mengerjakan panggilan yang Tuhan. Sumber kekuatan mereka ada pada Kristus yang memberikan diri bagi umat pilihan-Nya. Mereka tidak berani lelah ataupun bermalas-malasan karena selalu melihat Kristus dan pengorbanan-Nya. Hati mereka penuh dengan cinta kepada Tuhan, tanpa kecurigaan maupun pemberontakan.

Kedua, mereka memiliki kualitas spiritualitas yang luar biasa. Orang puritan terkenal dengan disiplin rohani yang luar biasa. Disiplin rohani ini tidak akan bekerja jika hanya ditiru. Peniruan disiplin rohani hanya akan menjadikan diri legalis dan terbelenggu dalam aktivitas kosong. Mengapa disiplin rohani mereka sangat ampuh dan menjadi bagian identitas mereka? Karena mereka melakukannya dengan inisiatif dan kerelaan memaksa diri yang berdosa untuk mengikuti kehendak Tuhan. Mereka mengetahui dengan jelas akan motivasi dan tujuan mereka dalam melakukan disiplin rohani. Disiplin rohani mereka juga mencakup penghormatan hari Sabat, yaitu benar-benar melatih diri untuk memusatkan perhatian kepada ibadah khusus pada hari Sabat. Sayangnya, pada zaman ini banyak orang yang tidak mengerti tetapi ikut-ikutan, akhirnya jatuh pada legalisme mengabsolutkan hari Sabat harus begini dan harus begitu, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu. Disiplin rohani tanpa konteks akan menjadi hukum mati seperti yang dilakukan orang Farisi. Inisiatif dan kegigihan bergumul dengan Tuhan tidak mereka dapatkan begitu saja. Ini dihasilkan dari ketekunan dan kesetiaan mereka menggali firman Tuhan, serta pendidikan lingkungan yang baik.

Ketiga, orang puritan adalah orang yang menjunjung standar yang tinggi dalam segala sesuatu. Bukan hanya standar tinggi secara intelektual, tetapi segala aspek harus dilakukan dengan efektif dan harus selalu makin baik cara melakukannya dari waktu ke waktu. Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan! Mereka bukan orang yang hanya tahu konsep, berdoa, dan bertutur-kata. Tetapi mereka adalah orang yang mampu mengimplementasikan dan mendaratkan seluruh pemikiran mereka yang baik menjadi kenyataan. Mereka mampu berstrategi sampai detail dan merealisasikannya. Jadi bukan hanya sekadar bicara saja. Mereka bukan hanya pandai bertheologi, tetapi juga pandai dalam praktika. Kecenderungan orang reformed sekarang ini adalah hanya pandai bertheologi dan tidak mampu mengaplikasikan. Banyak konsep tetapi tidak pernah dijalankan dalam hidup. Begitu pula sebaliknya dengan yang lain. Tidak mau bertheologi tetapi menganggap diri paling benar dan tidak mau belajar. Akhirnya menjalankan hidup seperti mengenakan kain penutup mata. Kehidupan Kristen orang puritan adalah contoh yang sangat baik untuk kita teladani.

Keempat, mereka mengerti esensi manusia sebagai peta dan teladan Allah secara utuh, sehingga mempengaruhi cara mereka berkeluarga dan berkomunitas. Orang puritan memilih pasangan bukan seperti orang zaman sekarang yang cenderung mengedepankan perasaan dan ada tidaknya rasa jatuh cinta antara kedua orang, melainkan mencari seseorang yang bisa dicintai sebagai teman hidup terbaik secara setia sampai mati. Pernikahan pun adalah sesuatu yang tidak mungkin mereka lakukan tanpa pertolongan Tuhan.

Mereka membesarkan anak bukan hanya secara jasmani, tetapi juga secara rohani. Hal yang terpenting adalah ketika jiwa mereka terdidik dan akhirnya berguna bagi masyarakat dewasa. Ordo dalam rumah tangga juga dijaga dengan baik sesuai dengan prinsip Alkitab, yaitu suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai penolong yang setia, dan anak-anak patuh kepada orang tua. Keluarga menjadi sekolah bagi anak-anak mereka. Seluruh hidup orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya. Konteks mereka waktu itu adalah belum ada obat-obatan yang memadai dan lingkungan yang cukup ekstrem, sehingga mungkin sekali setengah dari anak-anak mereka akan mengalami kematian. Ditambah lagi mereka dalam masa pengucilan dari masyarakat konformis, yang mempersulit keadaan sosial dan ekonomi mereka. Tidak sedikit orang puritan yang mengalami kemiskinan. Dalam keadaan yang tidak baik seperti ini, mereka dan anak-anak mereka tidak berniat untuk menghabiskan waktu di dalam rumah dengan hal yang sia-sia dan kenakalan yang tidak berarti. Mereka senantiasa berdoa, belajar, dan bergantung kepada Tuhan untuk kelanjutan hidup mereka. Tentu saja tidak ada anak yang akan dimanjakan, sebaliknya akan didisiplin seketat-ketatnya agar menjadi dewasa dan bertanggung jawab akan hidupnya di hadapan Tuhan. Anak-anak selalu diajarkan agar tidak melihat kehidupannya sendiri secara egois, melainkan harus melihat diri sebagai bagian dari Kerajaan Allah dan harus membangunnya. Tidak heran kehidupan bergereja mereka begitu solid karena dipersatukan dalam Kristus sebagai satu tubuh. Kesadaran mereka akan union with Christ sangat besar. Mereka berjalan dalam dunia dengan menyandang identitas sebagai umat Allah tanpa rasa malu sedikit pun.

Keluarga juga menjadi tempat pelatihan pertama bagi pelayanan dan penginjilan. Orang puritan bukan hanya orang yang pandai bertheologi tapi malas menginjili, justru mereka adalah orang yang paling giat menginjili. Hal ini terbukti dari gerakan penginjilan yang dilakukan di wilayah Amerika secara besar-besaran, yaitu The Great Awakening. Orang puritan sangat mementingkan kebangunan rohani. Banyak orang penting dihasilkan dari generasi puritan yang menginjili, salah satunya yang terkenal adalah Jonathan Edwards. Jonathan Edwards bahkan menulis buku tentang kebangunan rohani. Semangat seperti ini sudah ditanamkan sejak kecil dalam keluarga. Keluarga menjadi sekolah pertama bagi karakter anak. Dengan budaya berkeluarga yang dipimpin firman Tuhan seperti ini, kita bisa melihat bagaimana hidup Kristen yang benar-benar baik dan sesuai firman tidak diturunkan hanya pada satu generasi, melainkan sampai ratusan tahun pun budaya itu tidak rusak. Sering kali kita egois karena hanya ingin hidup kita saja yang baik dan tidak memikirkan serta merancangkan masa depan generasi mendatang. Sudah seharusnya kita memikirkan bagaimana menyambung rantai generasi Kerajaan Allah bagi pekerjaan Allah mendatang.

Jika kita melihat kehidupan orang puritan seperti yang sudah dipaparkan di atas, kita akan merasa seperti melihat kehidupan di dalam sorga. Begitu baik, stabil, rendah hati, seimbang dalam segala aspek, Tuhan menjadi yang terutama. Betapa indahnya! Tetapi mari kita berhenti bermimpi. Kehidupan orang puritan bukan ada di sorga sana, melainkan di bumi kita yang sekarang ini. Mengapa mereka bisa hidup seperti demikian? Maukah kita hidup juga seperti mereka? Jika ya, utamakanlah selalu Tuhan dan firman-Nya dalam hidup kita. Selalu melihat hidup sebagai panggilan Tuhan yang harus digenapi, dan melihat seluruh aspek hidup dari kacamata firman Tuhan. Orang puritan bisa melakukan kehidupan yang demikian bukan karena mereka mampu. Mereka justru tidak mampu, tetapi mereka tidak bertumpu pada kemampuan diri mereka sendiri, melainkan bergantung pada belas kasihan Allah yang sudah menebus mereka. Mereka selalu melihat kepada Kristus! Inilah yang membuat hidup mereka terus maju dan tidak kenal lelah.

Mari kita belajar menghidupi hidup Kristen yang benar dengan belajar dari sejarah orang puritan. Masih banyak lagi yang perlu kita lihat dan ketahui dari mereka. Banyak orang puritan menghasilkan karya-karya yang patut kita baca dan pelajari, seperti karya John Owen, Richard Baxter, John Bunyan, Jonathan Edwards, John Hooper, Edward Dering, Richard Greenham, Thomas Watson, Thomas Goodwin, John Rogers, Richard Sibbes, John Flavel, William Whateley, Ezekiel Culverwell, Daniel Dyke. Mari kita belajar dari sejarah dan melakukan firman Tuhan dengan lebih kaya.

Rolando
Pemuda FIRES