Salah satu bagian yang menarik dari Kitab Wahyu adalah peringatan yang disampaikan kepada jemaat di tujuh macam Gereja. Tiap Gereja pada tulisan tersebut digambarkan dengan konteks tersendiri, yang merupakan bagian dari kehidupan iman kita saat ini. Jemaat di kota Efesus adalah yang pertama kali dibahas, bagian ini menuntut kita untuk merenungkan kembali apa dan bagaimana spiritualitas yang seharusnya. Beberapa bagian dari Kitab Kisah Para Rasul, Wahyu, dan Efesus memberikan kita gambaran sekilas tentang apa yang membuat jemaat tersebut begitu bertumbuh. Kita juga melihat bagaimana jemaat tersebut mendapatkan peringatan akan kebahayaan yang mengintai dan yang akan meniadakan hal krusial bagi keberadaan jemaat tersebut, kaki dian Tuhan. Apa yang dapat kita perhatikan dari konteks jemaat tersebut? Pembahasan kali ini hanya berupa pengamatan singkat, mungkin di lain kesempatan kita dapat melakukan penelusuran historis, arkeologis, dan eksegesis yang lebih komprehensif.
Jemaat Efesus yang Kaya akan Iman, Pengetahuan, dan Pelayanan: Sebuah Konteks
Jemaat di Efesus merupakan jemaat yang didirikan oleh Paulus. Di dalam Kisah Para Rasul 19 digambarkan secara singkat bagaimana Paulus tiba di Efesus. Efesus merupakan ibu kota provinsi Asia, sebuah provinsi di bagian timur kekaisaran Romawi (sekarang daerah Turki). Kota ini merupakan jembatan dan pusat perdagangan yang menghubungkan wilayah barat dan timur dari kekaisaran Romawi, dan termasuk salah satu dari lima kota terpenting di abad pertama. Kota ini juga merupakan salah satu kota terpenting dalam penyebaran kekristenan pada abad pertama. Tercatat bahwa Paulus melayani di kota tersebut pada sekitar tahun 53-55 setelah Masehi. Pelayanan Paulus di Efesus merupakan masa pelayanan terlama yang pernah dijalani Paulus di suatu tempat. Di dalam masa pelayanan ini, Efesus menjadi basis penyebaran kekristenan yang sangat signifikan di Asia Kecil.[1]
Ada satu bagian dari Kisah Para Rasul 19 yang mencatat bahwa selama dua tahun Paulus mengajar jemaat tersebut secara intensif. Paulus mendidik jemaat Efesus dengan taraf kedalaman yang tidak ada pada jemaat lain. Paulus tidak pernah memutuskan untuk menetap begitu lama di tempat lain sebagaimana ia menetap di Efesus. Dicatat bahwa Paulus, setelah bertemu dan membaptiskan terlebih dahulu beberapa murid hasil pekerjaan Apolos, ia menghabiskan waktu tiga bulan untuk berdialog dan melakukan persuasi terhadap orang-orang Yahudi di sinagoge. Dengan melihat rentang waktu yang cukup panjang yang dipakai Paulus di sinagoge tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa penjelasan tentang Injil pada konteks ini begitu komprehensif, sekaligus begitu sulit. Mungkin Paulus mendapatkan sanggahan dari kaum intelektual Yahudi di sana. Perihal penyampaian Injil Kerajaan Allah, Matthew Henry di dalam tafsirannya menjelaskan bagaimana Paulus melakukan penjelasan dan dialog yang mendalam mengenai Kerajaan Allah dan Mesias. Sebuah konteks yang sangat dekat dan begitu diharapkan penggenapannya oleh orang Yahudi, dan Paulus menjelaskan nubuatan perihal Kristus yang ada di dalam Perjanjian Lama. Paulus adalah orang yang sangat menguasai Perjanjian Lama, hal ini dapat ditelusuri melalui perjalanan hidup Paulus sebelumnya. Ia adalah seorang ahli Taurat di bawah bimbingan guru besar Gamaliel, seorang cendekiawan dan intelektual yang sangat dihormati di kalangan Yahudi pada zamannya.[2] Adalah tanggung jawab setiap orang yang mengasihi Allah untuk menjelaskan iman dan memberikan pertanggungjawaban sebaik mungkin kepada orang yang belum percaya, juga mereka yang menyerangnya. Tetapi memang mutiara Injil ketika disampaikan, makin tajam ia akan membelah respons manusia menjadi dua. Ada yang menerima dan berapi-api untuk mengerti lebih jauh. Ada yang apatis ataupun menghina, bahkan melawan dengan gencar.
Dengan melihat latar belakang ke-Farisi-an Paulus, serta lamanya waktu yang Paulus berikan, kita dapat melihat bagaimana pengertian akan iman, pengetahuan, dan pelayanan yang Paulus curahkan di dalam kota besar tersebut. Tidak heran dua tahun ia pakai untuk mendidik jemaat dan para murid di ruang kelas yang disebut Tiranus. Hal tersebut berjalan setiap hari, dan salah satu manuskrip menambahkan catatan bahwa kelas tersebut dimulai dari jam 11 siang hingga jam 4 sore.[3] Kelas doktrinal Perjanjian Lama yang dibahas dengan pengertian Perjanjian Baru di dalam Kristus ini ternyata mempunyai sisi lain yang selama ini sering kita salah mengerti pada masa kita. Pembelajaran konsep iman Kristen yang mendalam justru menghasilkan hidup praktis yang berakar. Praktik kehidupan Kristen yang merendahkan pergumulan akan konsep iman secara mendalam justru mendangkalkan dan memiskinkan kehidupan kristiani itu sendiri. Penjabaran singkat di atas mulai memberikan sedikit gambaran kepada kita mengapa jemaat Efesus begitu tangguh, baik di dalam iman, pengertian, maupun pelayanan mereka sebagaimana dinyatakan dalam Wahyu 2.
Sikap hati yang dengan tulus mencari, mengejar, mau mengerti firman Tuhan dalam rangka menjawab dan mengarahkan kehidupan ini pasti berdampak secara komunal. Hal inilah yang nampak dalam kehidupan komunal jemaat mula-mula Efesus. Cicipan sorga akan relasi orang-orang percaya yang hangat justru lahir dari hati yang lurus, tulus, dan mau menggumulkan kerangka iman secara mendalam. Ekspresi dari sikap hati yang demikian dapat kita temukan di Kisah Para Rasul 20:13-38. Kesatuan hati untuk mengejar kebenaran Allah sedalam-dalamnyalah yang mengikat umat Allah dan membangun kebersamaan yang autentik di antara mereka. Jemaat Efesus dapat melihat bagaimana berharganya Paulus sebagai bapak rohani mereka yang setia menyampaikan kebenaran kepada mereka, yang mengasuh dan membesarkan kerohanian mereka. Afeksi yang jujur dan mendalam dari relasi ini lahir dari kehidupan Paulus sebagai hamba Tuhan yang menghidupi panggilan Tuhan dengan sangat serius,[4] dan kehidupan ini bertemu dengan jemaat yang memiliki hati yang juga sungguh-sungguh mau mengenal Tuhan dan hidup bagi Dia. Herannya, di satu sisi penganiayaan menyulitkan hidup mereka, tetapi sekaligus penganiayaan menjadi alat yang memaniskan relasi antar jemaat Allah yang setia.
Namun Kitab Wahyu menyatakan satu hal yang sangat berbahaya bagi keberadaan komunitas sorga di dunia ini, yaitu kehilangan kasihnya yang semula. Matthew Henry menjelaskan bagaimana kehilangan kasih mula-mula memang tidak berarti meninggalkan atau membuang objek kasih tersebut, namun kehilangan derajat gairah seperti pertama kali kita mengekspresikannya. Ekspresi pertama kali dari afeksi manusia kepada Kristus, terhadap kekudusan dan Kerajaan Allah selalu begitu hidup dan hangat. Allah mengingat kehangatan tersebut. Afeksi yang begitu hidup ini akan terus berkurang dan menjadi dingin ketika tidak ada perhatian yang serius dan usaha yang tekun untuk memeliharanya melalui disiplin-disiplin rohani. Di dalam relasi personal dengan Allah ini, setiap umat Allah akan digelisahkan untuk menyadari kondisi yang makin dingin ini.[5] Mungkin sepeninggal Paulus, jemaat Efesus kehilangan figur poros. Mungkin mereka kehilangan figur teladan sehingga ekspresi iman yang selama ini muncul dari mereka dalam bentuknya, tetapi mungkin substansinya mulai terkikis secara perlahan. Hati yang menggebu-gebu mencari Tuhan, substansi dari setiap ekspresi iman yang hidup dan bergairah, ekspresi yang jujur, tulus, dan berhikmat. Dalam hal ini entah mengapa hanya Efesus yang dikatakan akan mati dengan menggunakan istilah diambilnya kaki dian. Mungkin pengaruh jemaat Efesus yang begitu signifikan di seluruh daerah Asia akan meredup. Seperti pusat panas api yang meredup dan berpindah ke tempat lain, mungkinkah itu yang terjadi kepada jemaat Efesus?
Sedikit Pembelajaran dari Konteks Efesus kepada Kita
Kita selalu terjebak pada salah satu dari dua sisi dalam memandang kaitan antara iman, pengetahuan, dan pelayanan. Sisi pertama adalah berdiri di salah satu kubu. Yang mendalami pembelajaran theologi berhenti pada ranah kognitif tanpa penerjemahan dan ekspresinya dalam hidup, atau berhenti pada ranah kehidupan praktis tanpa mau mendalami theologi yang mana sering kali kehidupan praktis didasarkan pada norma umum yang bahkan tidak Kristen (dan kita sering kali puas karena hidup kita sudah dirasa cukup “baik”). Sisi kedua adalah usaha menyeimbangkan pemahaman theologi dengan kehidupan praktis, tetapi yang dimaksud “menyeimbangkan” di sini adalah usaha yang tanpa adanya jembatan keterkaitan antara keduanya. Juga sering kali membuat pembelajaran theologi berhenti pada taraf secukupnya. Memang orang pada sisi kedua adalah orang-orang yang hidupnya baik, betul-betul baik secara moral, tetapi sayang tidak muncul kedalaman. Sisi ketiga adalah apa yang muncul pada kehidupan Paulus dan jemaat Efesus mula-mula. Kehidupan praktis/sehari-hari mereka lahir dari kesadaran dan pengertian akan iman yang mendalam. Di sini kita melihat bahwa pikiran hingga tingkah hidup mereka disetir oleh pergumulan yang terdidik secara mendalam serta komprehensif, mengakar dari firman. Sikap hati dan ekspresi hidup yang demikian harap masih bisa kita temukan di dalam komunitas kita. Ironis kalau kita ternyata hanya menemukannya dalam catatan sejarah. “Maka dari itu janganlah belajar doktrin terlalu banyak” bukanlah sebuah kesimpulan atau implikasi yang muncul sebagaimana kebanyakan kita berespons terhadap bagian ini. Pergumulan doktrinal yang jujur dalam hidup seseorang justru menghasilkan kehidupan Kristen yang berakar mendalam dalam kehidupan jemaat Efesus. Maka, jikalau kita sudah kehilangan kasih kita yang mula-mula itu, Alkitab mengatakan, “Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh!” Ingatlah bahwa kita sudah jatuh dan sedang terus jatuh, dan jatuhnya dalam. Mari kita merenungkan kembali dan memohon pertolongan Tuhan supaya kita bisa bangkit kembali dari keterpurukan iman kita di tengah-tengah penantian terus akan kedatangan Sang Raja untuk kedua kalinya.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Referensi:
1. Pratt Jr., Richard. NIV Spirit of the Reformation Study Bible. (Zondervan: Grand Rapids, 2003).
2. Matthew Henry’s Commentaries on Act and Revelation.
3. John Calvin’s Commentaries on Act.
Endnotes:
[1] Pratt Jr., Richard. NIV Spirit of the Reformation Study Bible. (Zondervan: Grand Rapids, 2003). Hlm. 1902.
[2] Perhatikan penafsiran Matthew Henry mengenai Kisah Para Rasul 22:3.
[3] Pratt Jr., Richard. NIV Spirit of the Reformation Study Bible. (Zondervan: Grand Rapids, 2003). Hlm. 1790. Catatan kaki dari 19:9.
[4] Saya sangat sulit membahasakan kehidupan Rasul Paulus yang begitu memeras dirinya bagi Tuhan. Artikel ini tidak cukup untuk menggambarkan nuansa semangat kehidupan dan pemikiran Paulus yang ia tuangkan dengan limpah. Saya menyarankan para pembaca untuk menelusuri lebih jauh hidup dan pemikiran Paulus baik melalui study bible maupun buku. Salah satu buku yang penulis rekomendasikan adalah “Paulus: Pemikiran Utama Theologinya” yang ditulis oleh Herman Ridderbos dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Momentum.
[5] Matthew Henry’s Commentaries on Revelation 2:4.