Setiap orang Kristen yang menginjili pasti memiliki pengalaman entah itu kegagalan maupun keberhasilan. Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk melaksanakan tugas panggilan ini. Ada orang Kristen yang selalu berdebat dengan lawan bicaranya, ada lagi yang diam di mulut tetapi mencoba menunjukkannya lewat hidup, ada juga orang yang berteman dalam waktu yang lama dan pelan-pelan memberitakan Injil, dan lain-lain. Pertanyaannya adalah cara mana yang harus kita pilih agar penginjilan menjadi efektif? Jawabannya, Tuhan sanggup memakai siapa saja dan dengan cara apapun. Lalu untuk apa kita mempelajari dan memperlengkapi diri untuk menjalankan penginjilan? Apa prinsip Alkitab yang harus dipegang di dalam hal ini?
Mempelajari sesuatu dari orang-orang di masa lampau yang pernah Tuhan munculkan di dalam sejarah gereja adalah sikap yang baik dari orang Kristen yang rindu untuk belajar. Maka saya mengajak pembaca untuk belajar dari tokoh gereja di abad ke-20, Cornelius Van Til. Banyak orang salah konotasi terhadap Van Til. Dia banyak diakui sebagai theolog terbesar di zamannya dan oleh muridnya, John Frame, diakui sebagai pemikir terbesar setelah John Calvin. Van Til membuat terobosan di dalam Apologetika Reformed yang sebelumnya belum banyak diperhatikan oleh theolog lainnya. Misalnya Abraham Kuyper yang disebut oleh B. B. Warfield telah menempatkan apologetika di dalam sub-divisi dari sub-divisi. Karena kebesaran Van Til di dalam theologi dan apologetika inilah membuat orang-orang menjadi begitu sempit memandang Van Til. Dia dipandang hanya sebagai seorang theolog atau apologet yang berurusan dengan dunia akademik, berdebat dengan bahasa yang tinggi, terlalu tegas, dan lain sebagainya, sehingga terkesan jauh dari kehidupan Kristen sehari-hari, termasuk dalam penginjilan.
Bagi kita orang-orang awam, khususnya di Indonesia, menemukan realitas bahwa kita sering bertemu orang-orang yang sederhana dan tidak memiliki pemikiran yang rumit sehingga akan berpendapat bahwa sangat tidak cocok jika mengadopsi pemikiran gaya Van Til untuk menginjili atau berelasi dengan orang lain. Gaya Van Til akan dicap sebagai kurang punya cinta kasih karena terlalu tegas, langsung to the point, terlalu menyinggung, dan sebagainya. Benarkah ini efek dari mempelajari Van Til atau ini adalah kesempitan kita sendiri? Dari awal saya harus tegaskan bahwa Van Til tidak mengajarkan demikian. Untuk menghindari kesalahan persepsi yang demikian, maka saya terlebih dahulu akan menceritakan sedikit mengenai kehidupan Van Til.
Latar belakang Van Til
Pada tahun 1895, karya theolog besar Belanda, Herman Bavinck, yang berjudul Reformed Dogmatics pertama kali beredar. Pada tahun yang sama lahirlah Cornelius Van Til di Grootegast, Belanda, di dalam keluarga Kristen yang saleh. Belanda memang merupakan negara di mana Gereja Reformed menjadi mayoritas. Belgic confession, Heidelberg catechism, dan Canons of Dort (Three forms of unity) adalah Pengakuan Iman Reformed yang sangat menjadi acuan dan berpengaruh di Belanda pada abad ke-17. Namun pada abad yang sama juga arus Enlightenment melanda Eropa, dan Belanda tidak luput dari arus ini. Gereja-gereja di Belanda dipaksa untuk menjadi modern. Intervensi pemerintah kepada gereja-gereja dengan membuat aturan-aturan yang baru mengakibatkan munculnya ancaman bagi Gereja Reformed di sana. Diskriminasi pun tidak terhindarkan. Orang-orang reformed di sana yang tidak mau berkompromi dikucilkan oleh pemerintah. Mereka dilarang beribadah di gedung gereja resmi, terjadi pembakaran, dan penganiayaan sehingga mereka kadang harus beribadah di gudang. Dalam dunia kerja pun orang-orang demikian sering dikucilkan. Namun dalam penganiayaan yang demikian justru bertumbuh satu kelompok/gerakan. Gerakan ini disebut Secession (Belanda: Afscheiding) dan dipimpin oleh Hendrik de Cock pada tahun 1834. Gerakan ini berbeda dengan yang dipimpin oleh Abraham Kuyper pada tahun 1886 (Doleantie), namun keduanya mempunyai spirit yang sama yaitu menentang penyelewengan-penyelewengan doktrin dalam gereja. Dua gerakan ini akhirnya bersatu dan membentuk Gereformeerde Kerken di Belanda pada tahun 1892 dan sewaktu imigrasi ke Amerika mereka membentuk Christian Reformed Church. Keluarga Van Til adalah orang-orang yang berada dalam garis ini, khususnya Secession. Di tengah arus deras modern dan sekularisasi, mereka tetap tidak berkompromi. Cornelius Van Til dibesarkan di dalam keluarga demikian.
Van Til mengikuti keluarganya yang bekerja sebagai petani dan peternak. Keluarga yang begitu miskin dan sederhana. Namun keluarga ini sangat istimewa karena mewarisi kehidupan yang begitu dekat dengan firman Tuhan. Setiap kali keluarga ini berkumpul untuk makan, baik itu pagi atau malam, mereka berdoa dengan sangat serius sebelum dan sesudah makan, menyanyikan hymn, dan tidak ketinggalan, sebelum dan sesudah makan selalu dibacakan 1 pasal dari Alkitab. Ketika Van Til berumur 10 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Amerika karena berpeluang untuk hidup lebih baik. Di sana mereka tetap rajin bertani dan menjual sayur di kota terdekat. Van Til sangat setia menjalankan pekerjaannya sebagai petani bahkan ketika ia sudah menjadi profesor.
Setelah tahun demi tahun berlalu, Van Til merasa Tuhan memanggilnya untuk melayani dan meninggalkan pertanian. Pada umur 19, Van Til meninggalkan keluarga dan orang tercintanya ke Grand Rapids, Michigan, untuk ikut dalam Calvin Preparatory School and College, di mana ia bertemu dengan pengajaran dari Abraham Kuyper. Van Til mendaftar menjadi mahasiswa Calvin Seminary pada tahun 1921 di usia 26 tahun. Setelah kuliah 1 tahun, Van Til berada dalam persimpangan: menyelesaikan kuliahnya di Calvin Seminary dan melayani di Christian Reformed Church, atau segera pindah ke Princeton Seminary dan berkesempatan belajar dari guru-guru besar seperti Geerhardus Vos, Casper Wister Hodge, dan J. Gresham Machen. Akhirnya Van Til pergi ke Princeton Seminary. Di sana, Geerhardus Vos kemudian bukan saja sebagai guru Van Til, tapi juga menjadi temannya. Belajar dan mengenal Vos secara dekat adalah privilege bagi Van Til. Van Til mengakui Vos adalah satu dari empat orang yang paling mempengaruhinya. Tiga orang lainnya adalah Abraham Kuyper, Klaas Schilder, dan J. Gresham Machen.
Van Til lulus Master of Theology dari Princeton Seminary dan menikah dengan Rena Klooster. Van Til melanjutkan studinya untuk mengejar Ph.D. Kemudian Van Til melayani di CRC di Spring Lake, yaitu komunitas yang kecil di pedalaman di mana menjadi pelayanan pastoral Van Til yang pertama dan terakhir. Belum genap 1 tahun Van Til melayani di CRC, ia sudah dipanggil untuk mengajar apologetika di Princeton Seminary yang merupakan lahirnya presuppositional apologetics.
Setelah tugas-tugasnya selesai, Van Til kembali ke Spring Lake dan dengan sukacita menggembalakan di sana. Princeton sendiri pada saat itu mengalami masalah dan merombak organisasinya. Princeton semakin menjadi liberal. Beberapa profesor yang setia kepada firman Tuhan keluar dan mau mendirikan seminari yang baru. Namun bidang apologetika masih belum ada orang yang menanganinya. Seminari yang baru itu diberi nama Westminster Theological Seminary. Van Til kemudian dipanggil untuk mengisi posisi apologetika namun Van Til menolak undangan itu. Dr. Oswald T. Allis mengunjungi Van Til di Spring Lake, dan Van Til belum mengubah pemikirannya. Selanjutnya J. Gresham Machen dan Ned. B. Stonehouse mengunjungi Van Til, namun jawabannya tetap “tidak”. Sampai pada 29 September 1929, Van Til berubah pikiran. Ia merasakan panggilan Tuhan untuk menjadi bagian dari seminari yang baru (Westminster Theological Seminary) dan akhirnya ia meninggalkan jemaatnya di Spring Lake.
Suatu pemeliharaan Allah yang luar biasa kepada Van Til, baik ketika ia di Belanda bersama Afscheiding dan di Amerika bersama J. Gresham Machen yang berani dengan tegas mengatakan bahwa kekristenan dan liberalisme adalah dua agama yang berbeda. Demikianlah gereja baru didirikan, yaitu Orthodox Presbyterian Church.
Penginjilan Van Til
Dengan latar belakang di mana puncak karirnya adalah sebagai profesor, sulit bagi kita untuk membayangkan bagaimana gaya penginjilan Van Til. Sering kali terpikir oleh kita, dia hanya khusus menghadapi orang-orang intelektual yang belum kenal Kristus dengan kalimat-kalimatnya yang tajam. Ehmmm.. tidak selalu demikian. Suatu ketika seorang muridnya menemani Van Til yang harus berbicara di depan para filsuf di John Hopkins University. Apa yang dilakukan Van Til? Muridnya mengira dia akan khusus berbicara yang berbau filosofis karena berhadapan dengan para filsuf. Ternyata dia hanya mengkhotbahkan kitab Yunus seperti biasanya.
Di dalam penginjilan, Van Til hanya percaya kepada Alkitab yang adalah firman Allah. Itulah yang dia beritakan setiap harinya. Van Til mengunjungi rumah sakit setiap minggu siang untuk menginjili dan memberi penghiburan kepada orang sakit. Demikian juga, setiap kali Van Til berjalan keluar rumah, dia sering sekali mendapat teman bicara sambil berjalan dan setiap rumah yang dilewati dia bisa membicarakan tentang pemilik rumah itu karena ia mengenalnya. Dia selalu berbicara dan setiap tetangganya tahu bahwa Van Til selalu membicarakan keunikan Yesus.
Robert Den Dulk, anak teman baik Van Til, menuliskan
Dr. Van Til was not ashamed of the gospel. He used every opportunity. As a boy, when Oome Kees (ed. Oome artinya paman dalam bahasa Belanda, Kees adalah nama kecil Van Til) would be at our house for a month in the summer, I remember him going to visit a patient of my father’s who was dying and who didn’t have long to live. That was not an isolated experience. I drove him to Carlisle one day in the late 70s. We stopped for a cup of coffee and gas on the turnpike. Another man was waiting for his gas to be pumped and within a few minutes Oome Kees had turned the conversation to the need to know Jesus Christ. His lack of fear of sharing the gospel led him to preach on the streets of Philadelphia and to Wall Street when he was in his 80’s.
Mengapa Van Til yang adalah seorang apologet namun rajin memberitakan Injil? Karena metode apologetikanya pun sangat erat dengan penginjilan. Fred Howe mengkritik Van Til dalam tulisannya di dalam Jerusalem and Athens bahwa Van Til tidak membuat pembedaan secara tajam antara apologetika dan penginjilan. Van Til setuju dengan kritikan Howe karena memang Van Til tidak memisahkan apologetika dari penginjilan.
Prinsip Penginjilan dari Van Til
Apa yang membuat Van Til begitu cepat dan gampang masuk kepada pemberitaan Injil dalam suatu percakapan? Dalam tradisi reformasi kita mengenal Solus Christus. Kristus yang diberitakan di Alkitab adalah satu-satunya perantara antara Allah dan manusia. Inilah inti pemberitaan Injil. Manusia perlu perantara, perantara itu hanya satu dan yang satu itu adalah Yesus Kristus. Zaman ini begitu banyak ajaran bahkan dalam kekristenan sendiri telah melanggar prinsip dasar ini. Kita sering berfokus pada keselamatan manusia itu sendiri waktu memberitakan Injil. Fokus dari penginjilan harus pada kemuliaan Kristus sendiri. Ini yang kita mengerti dalam tradisi Theologi Reformed.
Lalu apa yang menjadi ciri khas dari penginjilan Van Til? Pillar edisi-edisi sebelumnya telah membahas mengenai Wahyu Umum dan Wahyu Khusus serta relasi keduanya. Van Til menegaskan bahwa wahyu umum adalah tempat hadirnya wahyu khusus dan wahyu khusus sebagai dasar untuk melihat wahyu umum dengan benar. Prinsip mengenai wahyu khusus dan wahyu umum dari Cornelius Van Til ini harus kita pegang dan pelajari baik-baik. Dari prinsip yang terlihat sederhana ini justru menyatakan keutuhan dan keluasan dari wahyu Allah. Jika dunia ini (wahyu umum) adalah tempat hadirnya wahyu khusus (Injil Kristus Yesus), maka kita tidak perlu kekurangan ide untuk memulai suatu pembicaraan kontekstual yang kemudian dibawa kepada pemberitaan Injil. Setiap pembicaraan dapat dipakai untuk menghadirkan Injil. Inilah gaya penginjilan Van Til, dari pembicaraan tentang minum kopi sampai kepada cuaca, suasana hati, dan lain sebagainya. Tidak ada pembicaraan yang lepas dari (tidak bisa disambungkan dengan) pemberitaan Injil karena prinsip keutuhan dan keluasan wahyu Allah, wahyu khusus dan wahyu umum. Ketika ditanya, apa yang harus kita lakukan ketika belum bisa menyambung pembicaraan kepada Injil? Van Til menjawab, “keep buying the next cup of coffee for our ‘opponent’” artinya lanjutkan saja pembicaraan itu.
Dengan demikian, penginjilan bukanlah tugas kita di waktu-waktu khusus dan bukan diperintahkan hanya bagi orang-orang khusus, melainkan suatu panggilan bagi semua orang Kristen di seluruh hidupnya, seperti Cornelius Van Til melakukannya baik dalam perjalanan ke kampus, bertetangga, minum kopi, maupun di Wall Street. Kiranya dengan warisan pemikiran dan kehidupan dari orang-orang yang Tuhan pernah pakai di dalam sejarah boleh menolong kita dan membakar semangat kita di dalam hidup sebagai orang Kristen yang rajin menginjili.
Chias Wuysang
Pemuda FIRES
Referensi:
1. John Muether, Cornelius Van Til: Reformed Apologist and Churchman
2. Scott Oliphint, Van Til the Evangelist
3. Robert den Dulk, Cornelius Van Til
4. Cornelius Van Til, Why I Believe in God