“Manusia berargumen bahwa wahyu umum tidak cukup jelas mencerminkan kebenaran Allah. Hal ini tidak benar, wahyu umum jelas mencerminkan kebenaran Allah. Namun yang manusia lakukan adalah menindas wahyu umum, membuatnya seolah-olah tidak cukup jelas mencerminkan kebenaran Allah.”
Dalam Teologi Reformed, kita percaya bahwa Allah menyatakan diri-Nya secara umum pada seluruh umat manusia dan secara khusus pada umat-Nya. Penyataan Allah tentang diri-Nya secara umum pada seluruh umat manusia kita kenal dengan istilah wahyu umum, sedangkan penyataan Allah tentang diri-Nya secara khusus pada umat-Nya kita kenal dengan istilah wahyu khusus. Allah mewahyukan diri-Nya secara umum melalui alam semesta dan hati nurani, dan secara khusus melalui Yesus Kristus dan Alkitab.
Sebagian besar dari kita sulit untuk mempercayai pernyataan bahwa wahyu umum sesungguhnya jelas mencerminkan kebenaran Allah pada seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Lebih jauh lagi, sulit bagi kita untuk mempercayai bahwa kebenaran tentang Allah sesungguhnya terlihat jelas terlihat pada setiap hal di alam semesta tanpa terkecuali, sehingga tidak mungkin bagi satu manusia pun untuk tidak mengenal kebenaran tentang Allah meskipun hanya melalui pengamatan sederhana pada peristiwa sehari-hari. Bagaimana tidak sulit? Apa sih yang dapat kita lihat tentang kebenaran Allah melalui, katakanlah air yang mendidih? Atau apa yang kita pikirkan ketika kita melihat dua anak anjing yang sedang berkejar-kejaran? Memangnya hal apa dari kebenaran Allah yang jelas terlihat dari sana? Bukanlah hal-hal di atas kelihatannya tidak cukup jelas mencerminkan kebenaran Allah?
Dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sepintas lalu memang sulit agaknya bagi kita untuk mempercayai bahwa wahyu umum sesungguhnya jelas dalam mencerminkan kebenaran Allah. Maka, seringkali akhirnya kita jatuh pada kesimpulan: “Oleh karena saya sulit melihat kejelasan mengenai kebenaran Allah melalui wahyu umum maka wahyu umum tidak jelas dalam mencerminkan kebenaran Allah”. Benarkah kesimpulan semacam itu? Sebenarnya, kesulitan kita dalam melihat bahwa “wahyu umum jelas mencerminkan kebenaran Allah” tidak harus sampai membuat kita meragukan prinsip “wahyu umum jelas mencerminkan kebenaran Allah” itu sendiri.
Kita dapat mengambil sebuah contoh kasus sederhana berikut: kalau kita mengukur berat badan kita di atas timbangan dan mendapati bahwa berat badan kita naik dua kali lipat dibandingkan kemarin malam, apakah hal itu berarti bahwa berat badan kita memang naik dua kali lipat dibandingkan kemarin malam? Tidakkah masuk akal bagi kita untuk berpikir bahwa mungkin timbangan kita yang sudah rusak, bukan berat badan kita sendiri yang naik dua kali lipat dalam satu malam? Jadi, ketika timbangan kita menunjukkan angka berat badan kita yang naik dua kali lipat, hal itu tidak harus berarti bahwa berat badan kita memang telah naik dua kali lipat dalam semalam. Sesungguhnya, mungkin berat badan kita tetap, namun timbangan yang kita gunakan yang rusak.
Demikian juga sewaktu kita mau menguji apakah wahyu umum secara jelas menyatakan kebenaran Allah. Ketika kita tidak jelas melihat hal tersebut, kemungkinan adalah memang wahyu umum itu sendiri memang tidak jelas dalam mencerminkan kebenaran Allah atau alat penguji yang kita pakai untuk menentukan kejelasan tersebut yang rusak. Kalau kita telusuri kembali, alasan utama kita mengatakan bahwa wahyu umum tidak cukup jelas mencerminkan kebenaran Allah adalah seringkali oleh karena kita melihatnya kurang jelas.
Apakah kata Alkitab tentang hal ini? Alkitab mengajarkan bahwa wahyu umum Allah itu sesungguhnya jelas dalam mencerminkan kebenaran Allah. Alkitab mencatat, ‘apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka.’ (Rom. 1:19) juga ‘Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.’ (Maz. 19:2). Sehingga kita bisa percaya bahwa Alkitab mendukung kejelasan wahyu umum dalam mencerminkan kebenaran Allah kepada semua manusia. Namun demikian, Alkitab yang sama juga mengatakan bahwa ada ‘masalah’ dalam melihat kejelasan wahyu umum tersebut. Masalah tersebut menurut Alkitab adalah bukannya wahyu umum itu sendiri tidak jelas mencerminkan kebenaran Allah, melainkan ada ‘penindasan’ (Rom. 1:18) atas kebenaran Allah yang dinyatakan jelas oleh wahyu umum kepada manusia yang ‘fasik’ dan ‘lalim’. Penindasan ini membuat refleksi kebenaran Allah melalui wahyu umum terlihat kurang jelas.
Lebih jauh lagi, Alkitab menjelaskan bentuk penindasan dari manusia-manusia tersebut adalah dengan ‘tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.’ (Rom. 1:21-23), atau dengan kata lain ‘ketidakpedulian’ adalah akar masalah kita yang menyebabkan kita tidak dapat melihat dengan jelas kebenaran Allah yang dicerminkan melalui wahyu umum.
Apakah maksudnya? Bagaimana ketidakpedulian dapat menyebabkan pandangan kita ‘rabun’ dalam melihat kebenaran Allah yang jelas tercermin melalui wahyu umum? Pernahkah Saudara memimpin suatu barisan murid sebelum mereka masuk kelas? Berapa banyak murid yang saudara pimpin? Dua puluh? Atau tiga puluh? Katakanlah Saudara memimpin empat puluh orang murid. Bagaimana cara Saudara menertibkan murid-murid tersebut supaya mereka bisa taat berbaris rapi dan berjalan memasuki kelas dengan teratur? Mungkin Saudara berteriak lantang – memastikan kalau perintah Saudara bisa didengar oleh orang yang berada paling belakang dalam barisan – sehingga semua orang dalam barisan dapat menerima ‘rangsangan’ suara Saudara dan menjadi ‘taat’ untuk berbaris tertib. Mungkin juga Saudara dapat memberikan contoh sikap tertib dalam memimpin sehingga orang-orang yang dipimpin menerima ‘rangsangan’ Saudara melalui melihat contoh Saudara dan menjadi tertib berbaris juga.
Ada berbagai macam cara yang bisa Saudara pakai untuk ‘merangsang’ sebuah barisan, membuat orang-orang yang berbaris ‘taat’ pada ‘rangsangan’ Saudara. Namun demikian, cara-cara tersebut tidak menutup kemungkinan sebuah barisan menjadi tidak tertib karena adanya murid-murid yang tidak ‘taat’ pada ‘rangsangan’ Saudara. Ada saja satu dua orang murid yang bisa dengan sengaja memilih untuk mengabaikan ‘rangsangan’ yang Saudara berikan.
Hal ini bukan tidak sering terjadi ketika kita hanya memimpin empat puluh orang murid. Bagaimanakah sekarang, seandainya kita memimpin bukan empat puluh orang murid melainkan empat ratus orang? Dapatkah kita menertibkan mereka semua dengan ‘rangsangan’ yang kita berikan? Atau bagaimana jika yang harus ditertibkan itu berjumlah empat puluh ribu orang atau empat juta orang atau empat milyar orang? Dapatkah kita memberikan ‘rangsangan’ pada mereka dan membuat mereka semua ‘taat’ pada perintah kita?
Sekarang, coba kita bandingkan hal tersebut dengan proses air yang mendidih. Ketika air dipanaskan, setiap partikel air yang menerima ‘rangsangan’ panas, ‘taat’ dalam mempercepat gerakannya sedemikian sehingga kekuatan ikatan antar partikel di antara mereka makin melemah. Gerakan air bertambah cepat seiring dengan besarnya ‘rangsangan’ panas yang diterimanya. Pada satu titik, ketika ‘rangsangan’ panas yang mereka terima sudah ‘cukup’, partikel-partikel tersebut dengan ‘taat’ melepaskan ikatan di antara mereka dan menjadi partikel bebas di udara. Ketika partikel-partikel air melepaskan ikatan antar partikel mereka dan menjadi partikel bebas di udara, itulah saat di mana air dikatakan ‘mendidih’.
Tidakkah proses air mendidih ini sesungguhnya menarik? Siapa yang ‘memberikan perintah’ pada setiap partikel air yang menerima ‘rangsangan’ panas yang cukup untuk mendidih? Pasti bukan kita. Kita hanya memanaskan air dengan api dan air tersebut mendidih ‘dengan sendirinya’ – sebuah istilah yang sering kita pakai untuk menyatakan ‘ketaatan’ air pada ‘rangsangan’ panas untuk mendidih.
Kita tahu betapa sulitnya membuat hanya empat puluh orang murid taat pada perintah kita. Akan tetapi coba kita perhatikan air yang mendidih. Lima setengah milyar triliun partikel dalam setiap satu cc air – hampir satu triliun kali lipat jumlah manusia yang hidup di muka bumi saat ini – ‘taat’ untuk mempercepat gerakannya ketika dipanaskan. Siapa yang mengatur semuanya itu? Adakah kita memerintahkan partikel-partikel air tersebut untuk bergerak cepat satu per satu?
Apakah kemudian kebenaran tentang Allah hanya dalam peristiwa-peristiwa kecil? Tidak. Di dalam Kitab Ayub, Allah menyatakan bagaimana kuasa-Nya atas berbagai hal di alam semesta. Di tengah penderitaannya, Ayub tidak menemukan sebab atas kenapa ia harus menderita. Seperti semua orang lain yang berada dalam penderitaan hebat, Ayub begitu ‘terserap’ dalam penderitaannya, ia tidak membuka matanya untuk hal-hal lain – Ayub tidak peduli tentang hal lain kecuali penderitaannya. Ayub berkeluh kesah, ia mencari alasan atas penderitaan yang sedang ia alami dan ia tidak menemukannya. Frustasi terhadap jawaban teman-temannya yang tidak banyak membantunya di tengah penderitaan, ia ‘naik banding’ dan hendak ‘berperkara’ dengan Allah sendiri. Menarik untuk dilihat bahwa respons Allah dalam melayani tantangan Ayub adalah bukan dengan menjawab pertanyaan Ayub mengenai penderitaannya secara langsung, melainkan mendemonstrasikan kuasa-Nya atas alam semesta.
Dengan berbagai pertanyaan retorik seperti, ‘Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian’ (Ayb. 38:4), ‘Di manakah jalan ke tempat kediaman terang, dan di manakah tempat tinggal kegelapan?’ (Ayb. 38:19), ‘Apakah engkau telah masuk sampai perbendaharaan salju, atau melihat perbendaharaan hujan batu, yang Kusimpan untuk masa kesesakan, untuk waktu pertempuran dan peperangan?’ (Ayb. 38:22), ‘Apakah engkau mengetahui hukum-hukum bagi langit? Atau menetapkan pemerintahannya atas bumi?’ (Ayb. 38:33) ,’Dapatkah engkau melepaskan kilat, sehingga sabung-menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya?’ (Ayb. 38:35), Allah menyatakan kuasa-Nya atas hal-hal yang terjadi di alam semesta. Dengan mendemonstrasikan kuasa-Nya yang ‘ajaib’ atas alam semesta di depan Ayub, Allah sekaligus menyelesaikan pertanyaan Ayub mengenai penderitaannya.
Jadi, jelas sebenarnya bahwa dalam peristiwa-pertistiwa alam ‘sekecil’ air mendidih maupun ‘sebesar’ yang dinyatakan Allah pada Ayub, kebenaran akan kemuliaan Allah tetap dinyatakan. Ketidakmampuan kita dalam melihat kebenaran akan kemuliaan Allah tersebut tidak meniadakan kemuliaan Allah yang terpancar melalui peristiwa-peristiwa itu sendiri. Namun alasan kita tidak dapat melihatnya adalah ‘ketidakpedulian’ terhadap hal itu, oleh sebab kita terfokus pada hal-hal lain. Entah hal lain tersebut dosa, kesenangan dunia, ataupun penderitaan, seperti halnya Ayub.
Bagi apologetika, pembelaan iman Kristen, pengertian ini dapat membuat kita yakin bahwa ketika kita menyatakan kebenaran mengenai Allah pada orang yang mengaku belum mengenal-Nya, kita dapat memulainya dari mana saja, dari peristiwa sehari-hari sampai bidang-bidang studi yang kita mendalaminya, dan yakin bahwa argumentasi yang kita bawakan bukanlah tidak berdasar. Allah menyatakan Diri-Nya melalui dunia ciptaan-Nya.
Penulis percaya, sewaktu kita secara jujur dan takut akan Tuhan dalam melihat alam semesta, kita akan senantiasa melihat keindahan dari kemuliaan Allah yang terpancar melaluinya. Terlebih lagi, ketika kita dipulihkan di dalam Kristus – wahyu khusus – untuk mampu melihat penyataan Diri Allah di dalam ciptaan-Nya – wahyu umum – kita akan benar-benar dibawa kepada penyataan kemuliaan Allah secara sepenuh-penuhnya. Soli Deo Gloria.
Ian Kamajaya
Pemuda GRII Singapura