Banyak orang yang tidak ingin tinggal di negara kelahirannya karena berbagai alasan. Saya sendiri pernah berpikir seperti itu, Indonesia merupakan salah satu negara yang tingkat polusinya cukup tinggi, transportasi umum yang kurang nyaman, serta keamanan yang kurang terjamin. Belum lagi situasi politik di Indonesia yang sangat labil. Banyak alasan yang dapat kita sebutkan untuk pergi keluar dari Indonesia dan tinggal di negara lain. Bagaimana dengan kedaulatan Allah dalam hal ini? Bukankah tempat dan waktu kita lahir di suatu negara merupakan kedaulatan Allah semata? Lebih jauh lagi, untuk apa ada negara dan pemerintahan di dunia ini? Apa kaitannya negara dan pemerintahan dengan hukum?
Kita akan melihat beberapa pandangan filsuf mengenai keberadaan suatu negara. Di zaman Yunani Kuno, Socrates merupakan salah satu orang yang pernah dicatat oleh sejarah sebagai orang pertama yang mencetuskan pemikiran tentang kenegaraan. Menurut Socrates, negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan umum, maka tugas negara adalah menghadirkan keadilan bagi rakyatnya. Plato – murid Socrates – di sisi lain mengatakan bahwa negara merupakan suatu organisasi yang terbentuk karena pada hakekatnya manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang perlu dipenuhi, maka manusia berkumpul untuk membantu sesamanya dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang beraneka ragam tersebut. Puncak dari teori tentang kenegaraan ditemukan dalam teori Aristotle – murid Plato – yang mengeluarkan konsep “welfare state”. Dari ketiga filsuf Yunani kuno ini, dapat kita simpulkan bahwa pada zaman ini, manusia sudah tidak lagi dapat melihat kebutuhan mereka akan tugas yang telah Allah mandatkan kepada umat manusia. Mereka telah menggeser fokus seluruh hidup dan peradaban manusia kepada manusia sendiri, tidak lagi kepada Allah. Seluruh titik tolak pekerjaan dan apa yang mereka lakukan berpusat pada diri. Meskipun mereka memang menyadari sebuah kenyataan bahwa Allah itu ada, namun hal ini terlihat sama sekali terpisah dari kehidupan mereka sehari-hari.
Kita akan melanjutkan ke zaman Aufklärung. Thomas Hobbes misalnya mengatakan bahwa negara adalah “leviathan”. Hobbes membayangkan sebuah sebuah ’keadaan asali’ (the state of nature), saat manusia-manusia mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial. Untuk itu, manusia tidak dapat melakukannya sendiri, maka itu diperlukan suatu otoritas yang lebih tinggi yang akan mengatur hal ini, Hobbes menyebutnya sebagai Leviathan. “Leviathan” yang dimaksudkan oleh Hobbes di sini adalah sebuah lembaga yang menunjang dan membantu orang-orang untuk memelihara kepentingan asasi setiap individu. Kemudian setelah Thomas Hobbes, munculah seorang yang bernama John Locke. Locke mengatakan bahwa keadaan asli masyarakat manusia bukanlah perang, melainkan firdaus. Namun, “Locke tidak percaya bahwa manusia itu awalnya baik. Pemerintah diperlukan justru untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat.” Di zaman ini, kedua orang ini kembali menarik negara menjadi sebuah alat yang bukan kembali membawa rakyatnya mengenal Allah, melainkan untuk kenyamanan dan kepentingan manusia saja. Manusia ingin hidup berotonomi, lepas dari Allah dan menjadi allah. Walaupun pada zaman itu, gereja masih memegang universitas, maka secara tidak langsung, para mahasiswa ini masih diharuskan perlu mempelajari theologi. Namun demikian, tidak ditemukan unsur gagasan-gagasan dari kaum intelektual yang rindu membawa seluruh zaman itu kembali kepada Allah meskipun pada zaman itu para filsuf dan ilmuwan pernah belajar theologi. Demikianlah seluruh pemikiran filsafat yang disebutkan di atas tadi berusaha untuk mengenyahkan Allah dari hidup manusia, hal ini akan muncul pada saat filsafat mereka diaplikasikan.
Negara dan Anugerah Umum
Abraham Kuyper mengatakan bahwa “the state is something unnatural, not belonging to the original order of creation.” Sebelum dosa masuk ke dalam dunia, negara dan pemerintahan tidak diperlukan, karena seluruh umat manusia yang direpresentasikan oleh Adam takluk kepada Allah, sehingga tidak perlu ada manusia yang mengatur satu sama lain. Kehadiran negara merupakan sebuah anomali dari keadaan yang seharusnya. Apakah dengan mengatakan bahwa negara merupakan suatu anomali berarti dunia tidak perlu kehadiran negara dan pemerintah dunia? Apakah itu berarti kita tidak perlu tunduk terhadap pemerintah dunia yang memang tidak beres ini? Sekali-kali tidak! Alkitab mengatakan bahwa pemerintah yang ada pun berasal dari Allah, dengan melawan pemerintah ini, kita melawan ketetapan Allah. Anomali atau kata “unnatural” yang dipakai tadi, bukanlah dipakai dalam konotasi yang negatif, melainkan sebuah konotasi yang lebih positif. Negara menjadi ada karena masuknya dosa dalam kehidupan manusia. Negara, setelah manusia jatuh kedalam dosa, hadir sebagai bentuk dari anugerah umum dari Allah (common grace). Anugerah umum diberikan Allah kepada manusia agar dunia ini dapat dihidupi (liveable). Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia tidak lagi menghargai sesamanya, mereka memusatkan seluruh kegiatan mereka untuk diri, dan berusaha untuk menjadi self-autonomous. Manusia ingin menjadi allah. Negara hadir sebagai anugerah umum Allah dalam menjaga hubungan antar manusia dengan membuat hukum untuk mengekang keliaran keinginan manusia menjadi allah bagi dirinya dan sesamanya.
Negara dan Wahyu Khusus
Allah menyatakan Diri-Nya bukan hanya melalui wahyu umum-Nya, tetapi juga melalui wahyu khusus, yaitu Alkitab, yang membuat kita dapat mengerti dan mengenal Allah Pencipta kita. Melalui Alkitab juga kita dapat memahami dunia ini. Dengan kata lain, melalui Alkitablah kita dapat mengerti seluruh tatanan dunia ciptaan yang Allah tetapkan, termasuk konsep negara dan pemerintah setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Konsep negara dan pemerintah muncul dalam Alkitab salah satunya adalah saat di mana orang Israel meminta Allah untuk mengangkat bagi mereka seorang raja melalui perantara Samuel.
Kehadiran negara dan pemerintah sebagai anugerah umum Allah seharusnya menyadarkan manusia akan kerusakannya. Tetapi negara dan pemerintah dunia justru di dalam keberdosaannya memusatkan kesenangan dan kepentingan diri sebagai tujuannya (diri sebagai allah). Akibatnya pemerintah cenderung bersifat monopoli dan sering kali kepentingan si penguasalah yang terpenuhi atas dasar penderitaan rakyatnya yang hidup di bawah standar kehidupan yang layak. Di sinilah kerusakan manusia yang lebih advance lagi, manusia bukan saja melawan Allah dalam kejatuhannya, manusia bahkan memperalat anugerah Allah – dalam hal ini negara dan pemerintahan – bagi dirinya mencapai tujuannya menjadi allah. Padahal anugerah negara dan pemerintah adalah topangan Allah kepada manusia berdosa agar tidak hidup dalam kerusakan maksimal karena dosa.
Manusia sama sekali tidak sadar bahwa pemerintahan yang dibangun bukan untuk Allah akhirnya akan menghancurkan dirinya sendiri. Inilah kenyataan yang kita lihat bahwa dunia ini akan makin rusak dan sedang menuju kematiannya. Moral akan semakin merosot, etika akan semakin disepelekan, kehidupan yang suci tidak akan lagi dipermasalahkan, kebudayaan baik tidak lagi dijaga. Sadarkah kita bahwa semua ini terjadi karena anugerah umum sedang dicabut Allah secara perlahan?
Negara dan Kita
Kedaulatan Allah merupakan salah satu tema sentral dalam Theologi Reformed. Di dalam kedaulatan Allahlah kita ditempatkan dalam zaman ini dan di negara ini dengan satu tujuan yang pasti. Dengan kata lain, kita mempunyai tugas panggilan yang pasti di negara di mana kita ditempatkan. Inilah yang dimaksud dengan mandat budaya – mandat dari Allah di dalam kebudayaan bagi anak-anak-Nya untuk menyatakan kebenaran-Nya, maka sebenarnya tidaklah pantas kita bersungut-sungut dan menolak kedaulatan Allah yang telat menempatkan kita dalam konteks dan tempat yang sedemikian rupa. Marilah kita belajar melihat bahwa Allah mempunyai rencana untuk kita dalam negara ini, maka kita tidak melihat keberadaan kita di negara ini sebagai beban dan kutuk, sebaliknya kita melihat hal ini sebagai suatu anugerah pelayanan yang Allah percayakan kepada kita.
Kita telah melihat begitu banyak anugerah yang diberikan Allah kepada kita, anugerah demi anugerah tiada habis-habisnya. Semua anugerah yang telah Allah berikan ini menuntut respon kita. Respons kita sebagai orang Kristen haruslah bersifat redemptive artinya memperbaiki dan membangun, bukan dengan bersungut-sungut dan mengkritik. Ketika orang Kristen melihat sesuatu yang salah, tetapi kita tidak mengambil bagian dalam membuatnya menjadi benar, maka sebenarnya kita berbagian di dalam merusak dunia ini. Maka, marilah kita bersama-sama mencari bagian kita dalam rencana Allah, sebab Allah bekerja dalam sejarah dan history adalah His-Story. Kembali ke konteks negara dan pemerintahan, ketaatan kita pada hukum, negara, dan pemerintah bukan karena kita ingin membangun kerajaan manusia, tetapi justru untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia melalui kebenaran Allah yang dinyatakan anak-anak Allah. Dengan demikian, kehadiran Allah pun nyata di dunia ini, sebab di mana Raja hadir, di situlah kerajaan-Nya hadir. Our Father in heaven, hallowed be your name, your kingdom come, your will be done on earth as it is in heaven. (Mat. 6:9-10)
Ryan Putra
Pemuda FIRES
[1] Ilmu Negara – Bintan R. Saragih, S.H.
[2] Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, suatu pengantar dengan teks dan gambar – F. Budi Hardiman. Hal. 71.
[3] Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, suatu pengantar dengan teks dan gambar – F. Budi Hardiman. Hal 81.
[4] Creating a Christian Worldview: Abraham Kuyper’s Lectures on Calvinism – Peter S. Heslam.
[5] Roma 13: 1- 7.
[6] 1 Samuel 8.