Eschaton – The End

Di satu sudut rumah sakit terdapat ruangan yang tiap malamnya selalu ramai dengan orang-orang. Ruangan itu begitu fleksibel untuk diubah sehingga bisa senantiasa dirancang bagaikan rumah sendiri. Pojok-pojoknya dibuat kavling yang penuh dengan tikar, bantal, makanan, dan minuman yang berkelimpahan. Bahkan tak jarang perkakas rumah tangga seperti termos air panas, gelas, dan piring pun mewarnai pojok-pojok tersebut. Pemandangan ini begitu wajar terlihat, karena bekal persediaan orang-orang inilah yang mampu mendukung masa penantian yang panjang. Penantian akan kepastian hidup-mati anggota keluarga mereka.

Dalam masa penantian yang sulit itu, orang-orang di sana menunjukkan raut muka yang berbeda-beda. Ada yang datar, ada yang sangat cemas, dan ada pula yang sudah mulai meneteskan air mata walau dengan sangat berhati-hati. Namun, wajah ketegangan akan semarak menyerang mereka semua ketika speaker dalam ruangan itu berbunyi. Speaker yang akan memanggil salah satu dari mereka dan yang memberikan mereka kesempatan untuk mengambil keputusan secepat mungkin ataupun hanya sekedar kesempatan melihat detik-detik akhir dari perpisahan hidup-mati itu. “Keluarga Bapak Andi, ditunggu di ruang ICU.” Dengan serempak orang-orang yang tadinya sibuk dengan kepentingannya masing-masing mulai terdiam dan memperhatikan sekitarnya dengan seksama. Dan seketika itu juga, beberapa orang berdiri dan segera berlari ke ruangan lain yang lebih sunyi, lebih dingin, dan lebih mencekam dari ruangan sebelumnya.

Dengan sekejap mata, ruang tunggu ICU menjadi begitu sunyi. Seakan-akan mereka yang disana pun ikut menanti akan kepastian itu. Tetapi tak lama kemudian, isak tangis dan beberapa kesibukan mulai bermunculan dari ruangan itu. Maka tanpa banyak bertanya, sodoran tangan-tangan hangat pun langsung menghampiri keluarga yang sedang berduka itu. Beberapa orang mulai memberikan bantuannya tanpa pamrih dengan membenahi perkakas rumah tangga yang mereka bawa. Tetapi ada pula ‘pendatang baru’ yang dengan kelincahannya sibuk mengisi kavling yang sedang dibenahi itu, bahkan terkesan tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Saat kesibukan baru mulai menghempas kesunyian, saya amati beberapa perawat mendorong sebuah ranjang. Suara roda ranjang rumah sakit yang awalnya begitu kencang, kini semakin redup menandakan panjangnya lorong menuju ruang pemandian terakhir. Tubuh yang kini sudah terpisah dari rohnya itu siap dibersihkan untuk terakhir kalinya. Tubuh yang kaku itu kini hanya pasrah ketika dikenakan sebuah setelan jas hitam. Dan tanpa mengerang, kini tubuh yang sudah tak bernyawa itu diletakkan pada sebuah kotak sempit yang bahkan ukurannya lebih sempit dari ukuran kasur tidur terkecil orang dewasa sekalipun.

Dua hari berlalu dengan cepat, kini kotak persegi panjang itu sudah tertata rapi dalam ruang duka rumah sakit. Banyaknya hiasan karangan bunga tanda belasungkawa membuat suasana seram tidak lagi begitu terasa. Namun beberapa kali harum bunga akan terasa memudar terutama saat saya mencoba mendekati peti mayat itu. Dengan perlahan saya mulai menyadari bahwa hal itu disebabkan bau menyengat akibat membusuknya mayat yang mulai mendominasi harumnya karangan bunga.

Suasana duka, kepedihan yang menyiksa batin, sirnanya pengharapan, dan rasa hampa karena kehilangan orang yang dikasihi terus menghantui hari-hari panjang di ruang duka itu. Suasana yang tak jauh beda, jika kita melanglang buana ke ribuan tahun yang lalu ketika Marta dan Maria kehilangan Lazarus. Beberapa hari dalam ruang penantian ICU, membuat saya membayangkan raut tegang Marta dan Maria yang menemani Lazarus di ranjang kematiannya; dan juga ratapan dan erangan yang menyembur keluar dari hati mereka ketika mereka menyaksikan saudara yang mereka kasihi itu menghembuskan nafas terakhirnya. Sambil meratap, ada satu pertanyaan yang terus terngiang-ngiang di telinga mereka. Mengapa Yesus yang dinanti-nantikan itu tak kunjung datang? Ia yang dikasihi layaknya keluarga itu tak juga segera datang sewaktu Lazarus masih merasa kesakitan. Namun tidak tahukah mereka bahwa Yesus pun begitu mengasihi mereka? Sekalipun Ia dua hari “terlambat” untuk berangkat, namun akhirnya Ia pergi menuju Betania. Suatu tempat yang hanya dua mil jauhnya dari Kota Yerusalem, kota yang orang-orangnya begitu ringan tangan untuk melemparkan batu tanda kebencian mereka kepada-Nya. Dan tidak tahukah mereka karena kasih-Nya kepada Bapa-Nya, Ia pun harus menunggu beberapa hari untuk benar-benar menggenapi rencana kekal Bapa-Nya? Maka sesampainya Kristus di sana, kekecewaan pun tak mampu ditutupi dari wajah mereka. Dan semakin jelas dinyatakan ketika Marta berkata, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku tidak akan mati.” (Yoh. 11:21) Marta berduka karena mengira bahwa adiknya itu sudah mencapai suatu tahap yang tidak ada titik baliknya, dan dia hanya akan bertemu kembali dengannya ketika orang-orang bangkit pada akhir zaman. Tak lama kemudian, kalimat yang serupa kembali Maria ucapkan sambil tersungkur di depan kaki-Nya. Maka setelah melihat itu semua, menangislah Yesus. Kepedihan hati-Nya tak lagi tertutupi saat Ia mulai berjalan ke kubur Lazarus. Hingga orang-orang sekitar pun mengakui betapa besar kasih-Nya kepada keluarga ini. Tetapi lagi-lagi orang Yahudi meragukan kuasa-Nya. Sehingga akhirnya Ia pun tahu, inilah saatnya kemuliaan Allah akan dinyatakan dan Anak Allahlah yang akan dimuliakan. Maka dengan suara keras Ia berseru, “Lazarus, marilah keluar!” Seketika itu juga mayat berusia empat hari yang sudah membusuk dan berbalutkan kain kapan, yang mukanya bertutup kain peluh dengan bau menyengat itu, berjalan keluar dari kuburnya. Dan kini perasaan takjub dan semarak kebahagiaan memulihkan kedukaan keluarga itu. Namun tak hanya itu, keajaiban itu mampu membuat orang sekitar yang menyaksikan kejadian itu menjadi percaya kepada Kristus. Mereka baru saja melihat sebuah kejadian yang supranatural. Kebangkitan Lazarus adalah kebangkitan yang supranatural atas kematian yang natural. Dan ini terjadi karena hadirnya Sang Kebangkitan (Yoh. 11:25) itu sendiri. Karena Dia hadir, ada titik balik dari dunia kematian.

Akan tetapi, setelah genap waktunya, Sang Kebangkitan itu sendiri akhirnya harus mengalami kematian natural seperti yang dialami oleh Lazarus. Ia membiarkan diri-Nya ditangkap, diadili tanpa keadilan, dicambuk, dianiaya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian. Paku yang berkarat itupun dibiarkan-Nya tertancap pada kedua tangan dan kaki-Nya. Dan tanpa melakukan perlawanan sedikit pun, paku-paku itu menerobos masuk ke dalam daging dan tulang tanpa ragu-ragu. Darah kering akibat sobekan pada kulit kini harus kembali terbasahi dengan darah segar yang perlahan menetes dengan pasti. Jantung memompa semakin kencang guna mengkompensasi aliran darah yang terus keluar. Namun oksigen dalam tubuh terus menipis, dan pandangan kian bertambah kabur. Di luar sana, ketidakpercayaan mulai menyerang mereka yang tadinya mulai percaya setelah melihat Dia membangkitkan Lazarus. Tetapi di saat-saat kritis itu, kalimat-kalimat agung terus diucapkan-Nya, satu demi satu. Hingga pada akhirnya Ia berseru dengan suara nyaring, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya (Luk. 23:46). Dengan mengenakan tubuh manusia berdosa, Ia menggenapi hukuman atas dosa yang mengembalikan tubuh dari debu tanah yang diberi hidup itu kembali menjadi debu tanah.

Kematian yang natural, itulah yang dialami-Nya. Demikian juga mayat-Nya pun harus mengalami pembusukan seperti yang dialami oleh Lazarus sebelumnya serta mayat yang saya amati di ruang duka rumah sakit itu. Orang-orang terdekat-Nya pun kehilangan pengharapan. Kenyataan bahwa mereka menguburkan Dia membuktikan bahwa mereka tidak menantikan kebangkitan-Nya. Mereka hanya dapat menangis seperti Marta, sambil berharap mereka akan bertemu dengan-Nya kembali ketika orang-orang dibangkitkan pada akhir zaman nanti. Untuk saat ini, tidak ada titik balik untuk orang yang sudah mati.

Namun, ternyata… Dia bangkit! Karena Diri-Nya adalah Kebangkitan, maka semuanya belum berakhir; ada titik balik dan sekarang! Sungguh merupakan penghiburan disertai pengharapan yang luar biasa, ketika pagi-pagi benar sekumpulan perempuan mendatangi kubur Yesus dan tak menemukan tubuh-Nya di sana. Kini Kristus telah bangkit dan mengalahkan kuasa maut. Karena kuasa kebangkitan-Nya sendiri, tubuh-Nya yang telah membusuk kini menjadi baru. Tubuh kemuliaan-Nya yang baru kini penuh dengan sinar kemuliaan surgawi. Bahkan Ia pun tak lagi dikenali oleh murid-murid-Nya.

Kebangkitan Kristus adalah mujizat. Kebangkitan ini begitu supranatural dan begitu sulit dimengerti, namun adalah fakta. Dengan meminjam kalimat C.S. Lewis, “The heart of Chritianity is a myth which also a fact. The old myth of the Dying God, without ceasing to be myth, comes down from heaven of legend and imagination to the earth of history. It happens at a particular date, in a particular place, followed by definable historical consequences. We pass from a Balder or an Osiris, dying nobody knows when or where, to a historical Person crucified (it is all in order) under Pontius Pilate.”[i] Sesuatu yang indah, menakjubkan layaknya sebuah mitos namun juga sebuah fakta yang tercatat dalam sejarah. Sang Pencipta lahir menjadi manusia, mati disalibkan oleh ciptaan-Nya yang dikasihi-Nya. Demi merekalah Dia datang untuk mati. Allah yang mati? Kristus mati? Kisah kematian Kristus yang seharusnya merupakan bagian kita karena kitalah yang berstatus berdosa. Kerusakan total (total depravity) manusia akibat dosa membuat kita tak mampu mengetahui yang baik, menginginkan yang baik, dan tak mampu melakukan yang benar. Cengkeraman dosa inilah yang merupakan kematian kita dan yang membuat kita hidup dalam keadaan seperti mayat yang terus membusuk dalam keberdosaan kita, tanpa dapat dikendalikan, tanpa dapat diberhentikan, tanpa titik balik, tanpa pengharapan.

Namun… Dia bangkit! Kebangkitan-Nya mengalahkan bukan hanya kuasa maut, tetapi juga kuasa dosa dan kuasa depravity. Kita yang seharusnya terus-menerus membusuk layaknya mayat; membusuk di setiap aspek kehidupan kita, membusuk dari detik ke detik, sekarang boleh berharap. Kuasa kebangkitan-Nya nyata, sehingga ada titik balik. Kuasa kebangkitan-Nya tak hanya bercerita tentang kebangkitan tubuh kita pada akhir zaman nanti, tetapi juga membangkitkan kita dari total depravity kita sekarang.

Namun sesuatu yang ironis justru terjadi: di satu sisi kita sadar bahwa Kristus telah mati untuk menebus dosa kita, dan bangkit untuk memberi kita pengharapan akan kemenangan atas dosa, di sisi lain kita terus membiarkan diri ini membusuk. Kita terus menikmati nyamannya kematian, nyamannya “tidur sejati”. Kita tahu apa yang baik, tetapi yang jahatlah yang kita perbuat. Kita tahu apa yang benar, tetapi tetap yang salahlah yang menjadi respon kita. Diri yang berdosa ini terus membiarkan diri ditarik oleh gravitasi pembusukan, walaupun di saat yang sama kita sadar akan adanya kuasa kebangkitan yang menghidupkan. Inilah pergumulan yang terus ada sampai eschaton (escaton artinya the last) menjemput. Pergumulan yang terdengar seperti teriakan menyambar bak petir menggema, “Ya, Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?”(Roma 7:24) Teriakan ini keluar dari mulut Rasul Paulus. Seorang yang hidupnya dahulu senang menangkap orang-orang percaya, kini dirinya sudah tertangkap oleh Kristus. Dalam kuasa kebangkitan Kristus, Paulus yang dahulu senang menyiksa orang percaya yang menghidupi kehendak Kristus, kini jiwanya sangat tersiksa ketika kehendak Kristus, yang dianiayanya itu, tidak tergenapi dalam hidupnya.

Namun sebenarnya apa yang terjadi pada Rasul Paulus? Perjumpaannya dengan Kristus merupakan inisiasi titik balik baginya. Pergumulan hidupnya yang berat terus diikutinya dengan ucapan syukur kepada Allah, oleh Yesus Kristus yang telah dijumpainya. Bahkan ia berani menawan akal budinya untuk menjadi hamba atas hukum Allah, namun tubuh insaninya, ia serahkan pada hukum dosa (Roma 7:26). Hal ini dilakukannya karena Paulus adalah seorang yang sadar betul akan kedua tarikan ini. Maka dengan terus berjuang dan motto hidup, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”, ia menjalani hidupnya. Selain itu, rasul yang menganggap dirinya paling hina ini, juga tak lupa berpesan pada Timotius, anak yang dikasihinya, ”Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2Tim. 4:7) Kalimat ini tidak berhenti di sini. Di tengah gelapnya penjara Roma, makin kaburnya pengelihatan, namun tanpa kaburnya pengharapan, ia melanjutkan kalimatnya, “Sekarang tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya”. (2Tim. 4:8)

Kita pasti merindukan eschaton ini, akhir penuh kemuliaan, dengan mahkota dari Tuhan yang kita layani. Tetapi pertanyaaannya sekarang adalah apakah kita sudah memulai pertandingan itu? Percayakah kita pada kematian dan kebangkitan Kristus? Apakah kita sedang memelihara iman? Dan apakah kita juga terus merindukan kedatangan-Nya dengan menjaga hidup kita sesuai kehendak-Nya? Dapatkah kita bersenandung mengikuti nyanyian anak-anak yang bersahutan dengan riang gembira ini …

Christ is risen as He said,

Christ the firstborn form the dead.

See, the stone is rolled away,

 See, the place where Jesus lay.

Lord of life, who lives again,

 Lord of lords, to rule and reign.

Every tongue confess Him now,

every knee before Him now.

Christ who died our life to win,

Christ has conquered death and sin.

Now is all his warfare done,

Now is ever Triumph won.

Son of God His life He gave,

Son of man to seek and save.

Risen now, the Son who died,

 Risen! Ascended! Glorified!

(Christ is Risen as He Said – Timothy Dudley and Smith)

Pembusukan dosa memang akan terus menghantui pergumulan hidup orang percaya. Namun kuasa kebangkitan mampu menghempaskan segala ketidakberdayaan dan keputusasaan. Tubuh ini boleh mati karena dosa, namun Roh yang membangkitkan itu akan terus menarik kita kepada kehidupan di dalam kebenaran. Marilah kita berjuang dengan kuasa kebangkitan mengalahkan kebusukan yang terus-menerus menyeret kita menjauh dari Tuhan, supaya kita dapat bersaksi bersama-sama dengan Rasul Paulus, “Aku sudah menyelesaikan pertandingan dengan baik.” Jika kita percaya Tuhan sanggup dan akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya nanti maka kita juga harus percaya Tuhan sanggup dan akan membangkitkan kita sekarang dalam melawan kuasa dosa, bangkit dari kenyamanan kita dalam kematian dan pembusukan dosa. Dan kiranya Allah dengan segala anugerah-Nya terus menopang hidup kita sekalian sampai pada eschaton bagi kemuliaan Nama-Nya. Amin.

Rebecca Puspasari

Pemudi FIRES[ii]


[i]               Pearcy, N. (2004) Total Truth. Wheaton, Illinois: Crossway Books. Hlm. 120-121.

[ii]               Fellowship of Indonesian Reformed Evangelical Students (Persekutuan Mahasiswa Reformed Injili Indonesia).