Adalah sesuatu yang sangat asing bagi generasi muda memperingati sesuatu yang sudah sangat tua; seperti peringatan 500 tahun Reformasi yang jatuh pada tahun 2017 ini misalnya. Bukan saja karena “bau” dari peringatan ini nampak sangat kuno, generasi muda juga sangat kesulitan menemukan signifikansinya yang relevan dengan zaman kekinian. “Tak ada relevansi” sering kali menjadi alasan kita untuk menjadi tak acuh. Namun permasalahan utamanya sesungguhnya bukanlah pada ketiadaan relevansi dari sejarah zaman old dengan zaman now, melainkan akibat dari ketidakpedulian (ignorance) generasi kita.
Pertanyaan mendasar yang harus kita telusuri, mengapa kejadian dari 500 tahun lalu bisa kita katakan sebagai sesuatu yang sangat signifikan pada kehidupan kita di masa sekarang? Apa yang membuatnya begitu bermakna? Dan masih relevankah nilai-nilai perjuangan pada abad ke-16 dengan abad ke-21?
Solus Christus: Konteks Historis-Theologis (Sakramentalisme)
Kita tidak akan pernah bisa melihat urgensi dari Gerakan Reformasi yang melahirkan pernyataan lima sola (sola scriptura, sola gratia, sola fide, solus Christus, dan soli Deo gloria) kalau kita tidak melihat melalui kacamata masyarakat abad ke-15 dan 16. Tetapi sebelum masuk lebih jauh, kita harus mengerti bahwa kelima sola ini membawa sifat kesatuan. Mereka dapat dibedakan dengan jelas, namun tidak dapat dipisahkan. Baik dalam penjelasan maupun di dalam penerapan keimanan, kelima sola ini bersifat saling bergantung dan mendukung. Dari beberapa sola yang sudah dibahas sebelumnya pada buletin PILLAR, kali ini kita akan bersinggungan dengan solus Christus (hanya Kristus).
Sola ini lahir dari suatu pergumulan theologis ketika melihat apa yang diajarkan di dalam institusi Gereja berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab. Betul bahwa apa yang diajarkan di dalam Gereja merupakan penafsiran terhadap Alkitab sendiri. Namun kita harus mengakui bahwa celah dari penafsiran yang salah dan tidak tuntas dapat terjadi di dalam perjalanan sejarah Gereja. Dan penafsiran terhadap soteriologi (doktrin keselamatan) pun tidak terlepas dari kesalahan.
Stephen J. Wellum (selanjutnya disebut “Wellum”) di dalam tulisan jurnalnya Solus Christus: What the Reformers Taught and Why It Still Matters[1] melakukan penelusuran analisis mengapa bisa terjadi penyimpangan di dalam pengajaran soteriologi dari Gereja Roma Katolik pada masa Reformasi. Menurut Wellum, kelompok Reformator dan kelompok Roma Katolik sesungguhnya tidak pernah bermasalah (dan bahkan memiliki satu suara) mengenai identitas Kristus sebagai Allah dan Allah Anak yang berinkarnasi. Namun kelompok Reformatoris mulai berdiri dan menentang pengajaran Gereja Roma ketika mereka mengajarkan sesuatu yang berbeda dengan Alkitab mengenai doktrin keselamatan. Salah satunya adalah theologi sakramental mengenai aplikasi dari pekerjaan penebusan Kristus kepada orang percaya.
Yang dimaksud dengan theologi sakramen ini adalah bahwa penebusan Kristus hanya akan dapat diterima (dan efektif) bagi orang percaya ketika mereka menerimanya melalui serangkaian sakramen di dalam Gereja (baptisan, perjamuan kudus, pengakuan dosa, dan sebagainya). Dengan demikian, theologi ini menyampaikan pesan bahwa pengorbanan Kristus sebagai korban penebusan dosa tidak akan pernah bisa efektif bila orang percaya tidak terlibat di dalam sakramen-sakramen yang sudah ditetapkan oleh Gereja.
Di dalam analisis Wellum, buah dari theologi sakramental ini lahir melalui ruang vakum pemikiran theologis Anselmus yang diteruskan oleh Thomas Aquinas (1224-1274). Di luar fakta bahwa karya Anselmus Why God Became Man?[2] adalah sebuah karya theologis yang menjadi kunci pada abad medieval berkenaan dengan karya penebusan, karya tersebut gagal di dalam menempatkan pekerjaan penebusan Kristus pada konteks covenantal. Anselmus tidak cukup membangun pemahaman Kristus sebagai representatif perjanjian dan substitusi.[3]
Anselmus tidak menguraikan bagaimana ketaatan dari hidup dan kematian Kristus, yang adalah Allah Anak yang berinkarnasi, menjadi basis dari keselamatan kita; dan bagaimana karya tersebut diaplikasikan kepada orang percaya. Dengan tidak melihat karya mediasi Kristus di dalam ketaatan-Nya sebagai kepala perjanjian yang mewakili orang berdosa di hadapan Allah, Anselmus tidak membukakan pola pikir Alkitab yang menjelaskan bagaimana kebenaran Kristus menjadi milik kita, bagaimana kematian Kristus dengan penuh memuaskan rasa keadilan Allah, dan bagaimana kita memperoleh faedah dari karya tersebut hanya, melalui iman, di dalam persekutuan (union) dengan Dia.[4]
Wellum menambahkan, “Dengan tidak menjelaskan bagaimana karya penebusan Kristus diaplikasikan kepada kita secara penuh berdasarkan kategori Alkitab, Anselmus telah membuka pintu untuk distorsi, yang di mana secara persis, terjadi pada Aquinas.”[5] Wellum melanjutkan, “Selanjutnya Aquinas mengembangkan pemikiran Anselmus bahwa karya penebusan Kristus yang bersifat supererogation[6], kemudian diaplikasikan kepada kita melalui beberapa cara, tetapi yang paling signifikan adalah melalui peran mediasi dari Gereja di dalam sakramen-sakramen.” Berikut ini kutipan dari pernyataan Aquinas, “Christ’s passion [suffering] works its effect in them to whom it is applied, through faith and charity [love] and the sacraments of the faith.”[7] (Penderitaan Kristus mengerjakan efeknya di dalam mereka yang kepadanya diaplikasikan, melalui iman dan cinta kasih/belas kasihan dan sakramen-sakramen dari iman – terjemahan bebas).
Dengan demikian, pemikiran Aquinas telah menjadi dasar dari theologi sakramentalisme Roma Katolik. Yang di mana kuasa penebusan Kristus baru dapat teraplikasikan kepada orang berdosa ketika mereka mengikuti sakramen (sakramen baptisan, sakramen tobat/penance, dan sebagainya).
Solus Christus: Konteks Historis-Theologis (Coredemptrix dan rekan-rekan)
Di luar dari theologi sakramental tersebut, Gereja pada Abad Pertengahan juga menganut suatu kepercayaan bahwa santo dan santa memiliki kelebihan jasa (perbuatan baik) yang dapat diberikan kepada orang berdosa melalui paus. Penjualan surat pengampunan dosa (indulgensia) pada masa tersebut mendapatkan popularitasnya karena doktrin yang semacam demikian. Bahwa melalui setiap lembar surat yang telah dibeli, orang-orang akan mendapatkan kelebihan jasa dari para orang suci (untuk melunasi hutang dosa mereka) melalui kemampuan mediasi khusus yang hanya dimiliki oleh paus. Hal ini akhirnya membuat penjualan surat pengampuan dosa menjadi sarang dari praktik “korupsi” atas nama Tuhan dan agama.
Salah satu dogma lain yang mencengkeram kuat pengajaran Gereja mengenai keselamatan adalah perihal peran Maria. Maria, yang dicatat Alkitab melahirkan inkarnasi Kristus melalui perantaraan Allah Roh Kudus, dianggap sebagai partner dari karya penebusan. Peran sebagai partner di dalam penebusan ini selanjutnya dikenal, dan mendapatkan popularitasnya, dengan istilah coredemptrix. Dogma coredemptrix ini tidak lahir dari pengajaran sembarang orang. Pandangan theologis ini justru muncul dari tokoh penting, salah satu Bapa Gereja yang bernama Irenaeus (130-202). Di dalam tradisi dari sejarah Gereja, Irenaeus merupakan murid dari Polycarpus; yang di mana Polycarpus merupakan seorang Kristen yang dididik langsung di bawah Rasul Yohanes.[8] Maka dari itu, tidak mungkin pengajaran dari Irenaeus tidak menjadi dogma Gereja pada masa setelahnya. Dengan tidak menghina, namun yang di mana kita harus rendah hati, berefleksi, dan belajar melaluinya, Bapa Gereja Irenaeus telah mengajarkan sebuah bidat lewat mahakaryanya Against Heresies; yang pada masa itu ditujukan untuk melawan arus pengajaran bidat Gnostisisme[9] yang sedang menggempur Gereja.
Pandangan Irenaeus di dalam melihat figur Maria sebagai partner penebusan Kristus terlihat secara gamblang melalui pengembangan ikhtisarnya yang mengaitkan Maria dengan Hawa. Jikalau Alkitab melakukan perbandingan antara Adam yang pertama yang jatuh ke dalam dosa, dan Kristus yang digambarkan sebagai “Adam” yang kedua dan terakhir,[10] maka Irenaeus melakukan perbandingan yang serupa karena melihat pola yang sama. Bahwa Maria adalah “Hawa” yang kedua dan yang terakhir. Dikatakan oleh Irenaeus, jikalau melalui ketidaktaatan Hawa, yang adalah ibu dari seluruh umat manusia, terlahir kematian lewat rahimnya; maka melalui ketaatan Maria terlahirlah keselamatan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi umat manusia. Berikut ini kutipan dari pernyataan langsung Irenaeus di dalam tulisannya, Against Heresies buku III, bab 22, butir 4:
In accordance with this design, Mary the Virgin is found obedient, saying, “Behold the handmaid of the Lord; be it unto me according to thy word.” But Eve was disobedient; for she did not obey when as yet she was a virgin. And even as she, having indeed a husband, Adam, but being nevertheless as yet a virgin (for in Paradise “they were both naked, and were not ashamed,” inasmuch as they, having been created a short time previously, had no understanding of the procreation of children: for it was necessary that they should first come to adult age, and then multiply from that time onward), having become disobedient, was made the cause of death, both to herself and to the entire human race; so also did Mary, having a man betrothed [to her], and being nevertheless a virgin, by yielding obedience, become thecause of salvation, both to herself and the whole human race.
And on this account does the law term a woman betrothed to a man, the wife of him who had betrothed her, although she was as yet a virgin; thus indicating the back-reference from Mary to Eve, because what is joined together could not otherwise be put asunder than by inversion of the process by which these bonds of union had arisen; so that the former ties be cancelled by the latter, that the latter may set the former again at liberty. And it has, in fact, happened that the first compact looses from the second tie, but that the second tie takes the position of the first which has been cancelled. For this reason did the Lord declare that the first should in truth be last, and the last first.[11]
Kelak, frasa “the cause of salvation”, atau dalam bahasa Latin “causa salutis” yang akan menjadikan Gereja Roma Katolik menarik sebuah konklusi bahwa Maria adalah “penyebab” dari munculnya keselamatan, yaitu Kristus. Dengan demikian, Maria didaulat sebagai rekan dari karya penebusan Kristus.
and those [of them] who proclaimed Him as Immanuel, [born] of the Virgin, exhibited the union of the Word of God with His own workmanship, [declaring] that the Word should become flesh, and the Son of God the Son of man (the pure One opening purely that pure womb which regenerates men unto God, and which He Himself made pure); and having become this which we also are, He [nevertheless] is the Mighty God, and possesses a generation which cannot be declared.[12]
Kesimpulan bahwa Maria adalah juga rekan penebus mendapatkan kembali penegasannya. Pada bagian lain dari tulisannya, Irenaeus menyatakannya secara gamblang bahwa perawan Maria (di dalam ketaatannya) telah menjadi advokat/pembela (Latin: advocata[13]) bagi manusia berdosa (yang diwakili oleh Hawa yang tidak taat). Dengan demikian berdirilah satu dogma yang mengikat Gereja, bahwa Penebus orang percaya bukanlah tunggal, melainkan plural. Berikut ini kutipan pernyataan Irenaeus:
And if the former [Eve – ed.] did disobey God, yet the latter [Mary – ed.] was persuaded to be obedient to God, in order that the Virgin Mary might become the patroness (advocata) of the virgin Eve. And thus, as the human race fell into bondage to death by means of a virgin, so is it rescued by a virgin; virginal disobedience having been balanced in the opposite scale by virginal obedience.[14]
Solus Christus: Perjuangan Reformator dan Apa yang Tersisa pada Kita?
Karya penebusan, yang adalah eksklusif milik Kristus, namun yang dirasa bisa didapatkan melalui kelebihan jasa orang-orang “suci” lewat pembelian indulgensia, atau yang tidak dikerjakan hanya oleh Kristus sendiri, dan atau yang implikasi penebusannya perlu dimediasikan pula lewat sakramen supaya dapat efektif dalam hidup orang percaya adalah sekumpulan kesimpulan yang ditentang oleh para Reformator.
Para Reformator menyatakan satu posisi yang tegas, bahwa karya penebusan Kristus (dan yang hanya sanggup dikerjakan oleh Kristus) adalah cukup. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Alkitab (sola scriptura).
Sikap ini setidaknya bisa kita temukan melalui pernyataan Ulrich Zwingli (1484-1531) di dalam “The First Zurich Disputation” pada 1523 yang menyatakan bahwa:
We know from the Old and New Testaments of God that our only comforter, redeemer, savior and mediator with God is Jesus Christ, in whom and through whom alone we can obtain grace, help and salvation, and besides from no other being in heaven or on earth. (Kita tahu dari Perjanjian Lama dan Baru milik Tuhan bahwa penghibur, penebus, penyelamat, dan mediator kita satu-satunya dengan Allah hanyalah Kristus Yesus, yang di dalam dan melalui-Nya saja kita dapat memperoleh anugerah, pertolongan, dan keselamatan, dan tidak ada pribadi lain selain daripada-Nya baik di sorga maupun bumi – terjemahan bebas.)[15]
Sepuluh poin dari “The 10 Conclusions of Berne” (1528) yang direvisi oleh Zwingli juga termasuk di dalam pernyataan sikap yang mewakili semangat para Reformator. Setidaknya butir nomor 3 dan 6 menyatakan dengan jelas posisi iman Reformis. Bahwa hanya Kristus saja pembenaran dan korban penebusan dosa yang memuaskan murka Allah terhadap dosa umat manusia. Bahwa hanya Kristus saja yang mati bagi penebusan kita, maka hanya Kristus pulalah satu-satunya yang dapat dan berhak menjadi mediator dan advokat/pembela kita di hadapan Allah. Serta, adalah sebuah penyangkalan terhadap Kristus bila kita menerima basis lain dari pekerjaan penebusan ini.
(3) “Christ is the only wisdom, righteousness, redemption, and satisfaction for the sins of the whole world. Hence it is a denial of Christ when we confess another ground of salvation and satisfaction.”
(6) “As Christ alone died for us, so he is also to be adored as the only Mediator and Advocate between God and the Father and the believers. Therefore it is contrary to the Word of God to propose and invoke other mediators.”
Sampai pada titik ini, para Reformator telah menyatakan dengan sangat keras bahwa karya penebusan Kristus hanya sanggup dikerjakan oleh Kristus, hanya layak dimediasikan oleh Kristus, hanya cukup karena Kristus yang mengerjakannya, dan diaplikasikan kepada orang-orang percaya melalui peran Kristus saja sebagai Kepala Perjanjian (covenant head). Tidak kurang dan tidak lebih! Tetapi selanjutnya, apa yang menjadikannya relevan bagi kita saat ini? Bukankah pemuda Kristen abad ke-21 sudah percaya bahwa keselamatan memang hanya melalui penebusan Kristus saja dan tidak ada yang lain? Lalu apa relevansinya mempelajari ini semua? Apa yang membuat teriakan solus Christus di abad ke-16 menjadi begitu relevan dengan kita di abad ke-21 adalah karena teriakan tersebut merupakan teriakan Tuhan dari zaman ke zaman. Teriakan Tuhan kepada umat-Nya untuk terus kembali kepada diri-Nya, kepada rencana-Nya, kepada kehendak-Nya, dan kepada kebenaran-Nya.
Teriakan itu selamanya akan menjadi relevan karena di sepanjang zaman, sejarah selalu membuktikan bahwa di dalam kehidupan umat Tuhan akan selalu ada yang lain selain daripada apa yang telah disediakan Tuhan. Akan selalu ada juruselamat yang lain; baik itu uang, kekuasaan, cita-cita, impian, harapan, ambisi, penghiburan, dan lain sebagainya, di luar Kristus. Sulit biasanya untuk kita kenali, karena sama seperti Gereja pada Abad Pertengahan, kita pun dapat memiliki “kristus” yang lain sambil tetap menjalankan ritual keagamaan kita. Atau bahkan, menguasai serta mengatur institusi keagamaan tersebut. Seberapa banyak dari kita yang memakai religiusitas hanya untuk mengejar kesempatan bagi pengembangan segala sesuatu yang berkenaan dengan kepentingan pribadi ketimbang memperkembangkan pekerjaan Tuhan?
Kelima sola yang diperjuangkan oleh para Reformator tidak pernah berhenti pada slogan saja. Sebab, ketika mereka berani menyatakannya, mereka sudah mengambil satu pijakan bahwa mereka siap hidup menderita atau mati syahid untuk kebenaran tersebut. Zwingli sendiri mati di medan perang karena agresi dari kelompok religius lain. Jadi, benarkah teriakan solus Christus sudah usang? Atau umat Allah yang sesungguhnya tidak pernah berpindah dari kesalahannya yang itu-itu saja? Hanya berbeda bentuknya, tetapi dengan substansi yang sama. Kenapa setelah ribuan tahun perjalanan umat Allah, pada akhirnya kita hanya menemukan bahwa kita telah terjatuh kembali ke dalam lubang yang sama? Mungkin karena selama ini di dalam cita-cita dan kehidupan kita memang tidak pernah ada yang namanya “Hanya Kristus” saja.
“There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry, ‘Mine!’” – Abraham Kuyper
Heidelberg Catechism Q 30: “Do such then believe in Jesus the only Saviour who seek their salvation and happiness in saints, in themselves, or anywhere else?”
Answer: “They do not; for though they boast of him in words yet in deeds they deny Jesus the only deliverer and Saviour: for one of these two things must be true that either Jesus is not a complete Saviour or that they who by a true faith receive this Saviour must find all things in him necessary to their salvation.”
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Wellum, J. Stephen, 2015, Solus Christus: What the Reformers Taught and Why It Still Matters. The Southern Baptist Journal of Theology. Volume 19, No. 4.
[2] Anselm, Why God Became Man? in Anselm of Canterbury: The Major Works, Oxford World’s Classics, intro. and ed., Brian Davies and G. R. Evans (Oxford: Oxford University Press, 1998).
[3] Wellum, J. Stephen, op. cit. hlm 83.
[4] Wellum, J. Stephen, loc. cit.
[5] Wellum, J. Stephen, loc. cit.
[6] Berasal dari bahasa Latin supererogatio yang berarti “melakukan lebih dari apa yang dituntut”. Dalam theologi dari Gereja Roma Katolik pada Abad Pertengahan, status ini diberikan kepada santo/santa yang kehidupannya dinilai memiliki kesalehan lebih daripada apa yang Tuhan tuntut secara umum. Contohnya, di dalam 1 Korintus 7, Paulus menyatakan bahwa setiap orang boleh menikah, tetapi mereka yang menahan diri untuk tidak menikah (selibat) supaya dapat sepenuhnya melayani Tuhan masuk dalam kategori ini.
[7] Thomas Aquinas, Summa Theologica (Notre Dame, IN: Christian Classics, reprint, 1981), pt. 3, q. 49, art. 3.
[8] Farmer, Hugh (1997). The Oxford Dictionary of Saints (Fourth ed.). Oxford: Oxford University Press. p. 250
[9] Catatan refleksi penulis: Saya percaya bahwa Irenaeus adalah seorang yang sangat mencintai Tuhan dan kekristenan (karena itulah ia berdiri di depan untuk menahan, serta melawan, gempuran keras gnostisisme yang berusaha menghancurkan iman Kristen pada masa itu). Betul bahwa apa yang diajarkannya mengenai coredemptrix adalah salah. Tetapi pada titik inilah kita belajar melihat bagaimana Tuhan membuka pengertian-pengertian yang benar tentang iman kita di dalam sejarah.
[10] 1 Korintus 15:45.
[11] Irenaeus. Against Heresies (3,22,4).
[12] Irenaeus. Against Heresies (4,33,11).
[13] Perlu dimengerti bahwa konteks penggunaan kata “advokat/advokasi” di sini merujuk kepada konteks pembahasaan Alkitab yang menyatakan bahwa Kristus yang akan menjadi advokat/pembela bagi orang-orang percaya pada hari penghakiman.
[14] Irenaeus. Against Heresies (5,19,1).
[15] Wellum, J. Stephen, op. cit. hlm 84.