Bagaimana Mungkin Pekerjaan Sekuler Dapat Memuliakan Allah?

Yanti saat ini sedang mengalami suatu pergumulan. Ia sudah tidak merasa termotivasi lagi untuk bekerja. Sang ayah mempunyai toko yang sudah berjalan puluhan tahun. Sejak lulus kuliah Yanti ikut membantu di toko ayahnya. Setelah 3 tahun bekerja dengan ayahnya, Yanti bosan dengan kegiatan-kegiatan di toko. Ia lebih senang pelayanan di gereja: ikut paduan suara, kegiatan persekutuan pemuda, atau kepanitiaan KKR. Hal-hal ini kemudian membuat Yanti bergumul untuk menjadi Hamba Tuhan saja dan masuk Sekolah Tinggi Theologi. Pikirnya, menjadi hamba Tuhan pasti memuliakan Tuhan karena bagaimana mungkin bekerja di toko dapat memuliakan Allah. Apakah saudara pernah berpikir seperti ini?

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa dunia yang kita hidupi saat ini adalah dunia yang berdosa. Kita juga tahu bahwa waktu Allah menghukum Adam karena berdosa, Allah mengutuk tanah sehingga manusia harus bersusah payah untuk mencari rezeki dari tanah untuk hidup. Dari pengertian-pengertian inilah banyak orang menyimpulkan bahwa bekerja itu adalah kutukan Allah dan tidak ada hubungannya dengan memuliakan Tuhan seperti kegiatan-kegiatan gerejawi, baik dalam bentuk diakonia, misi, paduan suara, ibadah hari Minggu, dan lain-lain.

Definisi Pekerjaan

Konsep bekerja di atas adalah persepsi yang salah walaupun kesannya dikutip dan disimpulkan dari konsep-konsep di Alkitab! Seharusnya makna dari bekerja diambil dari mandat Allah dalam karya penciptaan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, bukan setelahnya. Allah Tritunggal, Sang Pencipta, adalah Allah yang bekerja. Allah tidak pernah tinggal diam, melainkan terus bekerja sampai sekarang.

Karena itulah manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah harus bekerja untuk menunjukkan kemuliaan Allah di dunia. Melalui pekerjaan kita, kita menyatakan kasih Allah, keadilan Allah, kebenaran Allah, seluruh atribut Allah dalam diri seorang gambar dan rupa Allah. Dalam Kejadian 1:28 Allah berfirman kepada manusia untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala makhluk ciptaan lainnya. Ini berarti ketika kita hari ini bekerja sebagai seorang insinyur, dokter, supir taksi, penjaga warung, dan sebagainya, kita harus ingat mandat Allah untuk menaklukkan bumi. Tapi di manakah hubungan pekerjaan menjaga warung dengan menaklukkan bumi?

R. Paul Stevens, mantan profesor di Regent College, Kanada, mengatakan bahwa pekerjaan yang penting bagi Allah adalah pekerjaan yang menjadi bagian dari mandat Allah (Kej. 1:28, 2:15). Ini berkaitan dangan pekerjaan yang dapat menciptakan, memelihara, menebus, dan mengonsumasi manusia. Pekerjaan seperti ini haruslah sinkron dengan rencana Allah dan dilakukan sesuai dengan cara Allah. Bagaimana caranya? Stevens mengutip Karl Barth yang memberikan kriteria pekerjaan yang sesuai cara Allah, yaitu:

§  sepenuh hati menyelami pekerjaan itu;

§  berkontribusi kepada kemajuan umat manusia;

§  pekerjaan yang tidak menggunakan manusia semata-mata sebagai alat;

§  pekerjaan yang telah digumuli dan direfleksikan secara internal;

§  pekerjaan yang tidak mengganggu gugat hari Sabat.

Itulah sebabnya pekerjaan yang berkenan bagi Allah mempunyai nilai kekal, baik dalam tujuan pekerjaan itu maupun hasil karya pekerjaan itu.

Jadi betapa mulianya nilai pekerjaan itu! Bila pekerjaan itu sendiri sesuatu yang mulia berarti kita perlu dengan serius merefleksikan nilainya. Pekerjaan kita bukanlah sekedar untuk mencari nafkah untuk bertahan hidup. Pekerjaan adalah bagian dari tujuan hidup manusia dalam rangka memuliakan Allah dan menyatakan Allah di dunia ini.

Lunturnya Nilai Pekerjaan

Secara umum kita mengkotak-kotakan realm kehidupan kita menjadi sekuler dan rohani. Kita sudah sering mendengar bahwa orang Kristen menjalankan kehidupan rohaninya pada setiap hari Minggu. Namun Senin sampai Sabtu kita hidup di dunia sekuler atau ”the real world”, menurut kata orang.

Doug Sherman, pendiri dan presiden dari Career Impact Ministries (CIM) di Little Rock Arkansas, mengangkat dampak bahaya memisahkan dunia kehidupan menjadi rohani dan sekuler. Bahaya yang pertama adalah menarik keterlibatan unsur sakral dari dunia sehari-hari. Kita tahu banyak orang yang berpikir bahwa bekerja hanya untuk mencari nafkah.

Bahaya yang kedua adalah berkompromi dalam urusan moral. Apakah “half-truth” itu kebenaran? Berkompromi dengan moral banyak sekali contohnya di dunia kerja. Salah satu contoh adalah bila kita secara sengaja mengambangkan perjanjian kontrak dengan pelanggan, padahal secara verbal kita memberi persepsi ke pelanggan seakan-akan jasa atau bagian produk tertentu itu termasuk dalam produk yang mereka beli. Kita bisa saja merasionalisasi bahwa kita tidak mengucapkan sesuatu kebohongan. Tapi secara intuisi kita tahu yang dipersepsikan pelanggan itu di luar jasa atau bagian produk yang mereka beli. Namun kita diam saja dan tidak memberi kejelasan, juga dengan rasionalisasi kalau itu merupakan tugas pelanggan untuk mencari kejelasan. Seringkah kita mendengar cerita semacam ini?

Sherman juga melihat bahaya yang ketiga yaitu skeptis terhadap relevansi nilai-nilai Kekristenan. Ia menemukan sedikit sekali buku atau khotbah yang mengangkat nilai-nilai Alkitab di dunia bisnis. Lebih sering kita menjumpai buku atau renungan yang berkaitan dengan keluarga atau potensi diri sehingga tidaklah heran banyak orang skeptis akan relevansi nilai Kekristenan di dunia pekerjaan. 

Mengapa pekerjaan yang sakral dapat luntur nilainya? Sherman melihat bahwa dosa manusialah yang membuat setiap pekerjaan itu menjadi berat. Bekerja bukan sekedar bekerja dan asal jadi. Seperti dikatakan Barth di atas, bekerja itu harus sesuai dengan kehendak dan cara Allah. Hal ini menambah beratnya dalam bekerja karena dosa sudah mengaburkan pandangan kita akan kehendak dan cara Allah. Tidaklah heran bila pekerjaan menjadi sesuatu yang melelahkan.

Menebus Nilai Pekerjaan

Melihat kenyataan di atas, kita perlu sadar untuk menebus nilai pekerjaan. Kita tidak bisa lagi memandang pekerjaan sebagai sekedar sarana mencari nafkah tetapi mandat Allah. Inilah panggilan kita sebagai seorang pekerja Kristen.

Ada dua hal yang perlu dikerjakan untuk menebus pandangan tentang kerja:

(1) tujuan pekerjaan harus dikembalikan pada maksud kerja mula-mula; dan

(2) cara kita bekerja haruslah sesuai dengan cara kerja Allah.

1. Menebus tujuan bekerja

Puncak keberhasilan manusia saat ini sering diidentikkan dengan aktualisasi diri. Sehingga proses pengaktualisasian diri melalui apa yang dikerjakannya sudah menjadi tujuan hidup manusia. Tetapi aktualisasi diri yang lepas dari kehendak Allah tidaklah bernilai sama sekali. Bandingkan saja dengan Hitler yang sanggup mengaktualisasikan dirinya sampai sedemikian besarnya hingga menjadi penguasa hampir seluruh Eropa. Tetapi dapatkah dia berdiri di hadapan penghakiman kekal Allah? Tentu saja tidak. Alkitab mengajarkan bahwa tujuan kerja manusia adalah semata-mata merealisasikan nilai-nilai kemuliaan Allah dalam hidup kita. Namun konsep ini masih sangat abstrak, sehingga kita masing-masing perlu untuk belajar mengartikulasikan arti kerja saya bagi kemuliaan Allah. Tidaklah mudah mengartikulasikan arti memuliakan Allah dalam pekerjaan kita secara nyata. Tetapi marilah kita memulainya dengan memikirkannya lebih dalam, lebih terkait satu aspek dengan aspek lainnya, dan lebih terintegratif dengan seluruh kebenaran firman Tuhan. Dengan terus merenungkannya, mengujinya dengan firman Tuhan, dan mencoba menjalankannya, kita bisa mulai menemukan satu titik universal tujuan saya bekerja yang tersinkronisasi dengan kehendak Allah.

2. Menebus cara bekerja

R. Paul Stevens menyarankan agar kita perlu masuk mendalami pekerjaan kita masing-masing. Ini berarti kita bukan sekedar sibuk hanya karena demi sibuk, tapi sibuk yang khusus untuk mengerti secara utuh bidang pekerjaan kita sambil mencari aspek apa saja dari pekerjaan kita yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.

Lebih lanjut, Stevens juga menyarankan agar kita perlu menumbuhkan dan merawat integritas, yang mencakup:

§  keadilan;

§  kemampuan memilah hal yang “urgent” (mendesak) dan “important” (penting), di mana yang mendesak berdampak jangka pendek dan penting berdampak jangka panjang;

§  hidup sederhana, di mana kita mengejar cukup dengan apa yang ada bukan mengejar hidup berkelebihan;

§  keberanian dalam kebenaran, di mana kita tidak takut menyuarakan prinsip-prinsip kebenaran sekalipun kita menderita kerugian;

§  beriman pada Allah, karena tidak semua hal dapat kita kontrol tetapi Allahlah yang memegang kontrol; dan

§  tidak berkompromi dengan kebenaran.

Stevens juga menyarankan agar kita kreatif dalam mencari jalan keluar. Dalam menghadapi masalah pekerjaan, kita perlu melatih diri untuk berpikir di luar kebiasaan kita untuk mencari jalan keluar, bukan hanya sekedar beriman pada Allah. Sama seperti Allah yang kreatif, kita pun perlu mengembangkan kreativitas kita.

Selain itu Stevens melihat penting pula bagi kita untuk selalu mengejar kesucian dalam bertindak. Untuk tahu mana hal yang berkenan pada Allah yang Maha Suci, kita sangat perlu mendalami pengetahuan tentang Allah berdasarkan Alkitab. Tidak cukup hanya mendengar Firman, tapi kita harus berani menerapkannya dalam kehidupan kita. Ini diperlukan ketaatan pada apa yang dikatakan Alkitab walau berakibat negatif untuk diri kita, sebab ini adalah bagian dari penaklukan diri kepada Allah.

Kesimpulan

Banyak orang berkata bahwa tujuannya bekerja adalah untuk memuliakan Allah. Alkitab mengajarkan bahwa kita harus memuliakan Allah melalui menebus tujuan dan cara kerja untuk Allah. Hal ini mencakup pemilihan pekerjaan, menyelami arti kerja itu buat saya di hadapan Allah, serta cara kita menjalankan pekerjaan. Marilah kita menggumulkan sekali lagi, apakah kita memuliakan Allah dalam pekerjaan kita?

Mitra Kumara

Pemudi GRII Singapura

Referensi:

1.      Doug Sherman and William Hendricks, ”Your Work Matters to God”, published by the Navigators, 1992.

2.      R. Paul Stevens, “Doing God’s Business” published by Wm. B Eerdmans Publishing Co, 2006.