Manusia sebagai the image of God sangatlah unik adanya. Dia diciptakan bukan hanya terdiri dari materi yang kelihatan tetapi juga non-materi yang tidak kelihatan. Keberadaan ini tidak dapat disangkal oleh manusia sepanjang sejarah. Oleh karena itu pandangan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan roh cukup popular adanya. Tetapi dengan bangkitnya sains di zaman Aufklärung telah menyebabkan keberadaaan roh menjadi suatu pertanyaan besar. Studi neurofisiologi (Red – yaitu studi dalam ilmu kedokteran yang mempelajari tentang bagaimana saraf dalam tubuh manusia bekerja) berusaha mendemonstrasikan adanya ketergantungan mutlak antara otak dan pikiran. Studi ini ingin menyatakan bahwa pikiran ada hanya karena reaksi kimia yang terjadi pada otak semata. Selain itu kemajuan dalam genetika dan keberhasilan dalam pemetaan DNA (Red – DNA = Deoxyribo Nucleic Acid yaitu suatu asam nukleat yang mengandung perintah genetika yang digunakan untuk perkembangan dan fungsi dari seluruh organisme hidup dan sebagian virus) manusia menunjukkan tidak perlu lagi ada hipotesis mengenai dualisme tubuh dan roh. Keberadaan manusia kemudian dipandang sebagai kumpulan bagian-bagian kecil di dalam tubuh kita yang disatukan oleh berbagai reaksi biokimia dan fisika yang terjadi di dalamnya. Manusia adalah tumpukan gen-gen yang tersusun dalam kromosom (Red – kromosom adalah suatu struktur makromolekul besar yang membuat DNA pembawa informasi genetik dalam sel) yang saling memilin di dalam tiap sel yang ada. Bahkan banyak kaum intelektual Kristen mengatakan bahwa konsep roh sebagai konsep Yunani yang salah (Red – konsep dualisme yang memandang roh dan tubuh adalah dua hal yang terpisahkan di mana roh lebih penting daripada tubuh), ketinggalan zaman dan tidak Alkitabiah.
Bersamaan dengan polemik dualisme ini, ilmu dan teknologi kedokteran yang maju pesat menimbulkan permasalahan etika yang butuh jawaban segera. Berpusat pada pertanyaan mengenai aborsi, penelitian bakal janin, teknologi reproduktif, kloning, euthanasia; semuanya ini menuntut pengertian yang benar dan mendalam mengenai konsep tubuh dan roh. Bahkan tidak hanya terbatas pada dunia medis, konsep tubuh dan roh memberikan jawaban dan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam hidup, seperti apa itu hidup, apa itu sehat, apa itu sakit, dan kapan seseorang dikatakan sehat atau sakit.
Problematika Tubuh dan Roh
Masalah tubuh dan roh melibatkan dua isu utama: apakah manusia terdiri satu atau sedikitnya dua komponen yang berbeda? Jika dua, bagaimana pikiran (yang merupakan bagian dari roh) dan tubuh berinteraksi?
Salah satu jawaban atas pertanyaan “siapakah manusia?” diberikan oleh epifenomenalisme. Epifenomenalisme adalah teori lama tetapi yang sekarang muncul kembali menjadi kekuatan baru pada masa kini. Pandangan ini menganggap bahwa hubungan hanya berlaku satu arah, dari tubuh (materi) terhadap pikiran (non-materi). Jadi fisik dapat mempengaruhi mental tetapi tidak sebaliknya. Ada peristiwa mental sejati tetapi sepenuhnya bergantung pada peristiwa fisik. Peristiwa fisik adalah yang utama, sementara peristiwa mental adalah akibat sampingan. Berbagai perkembangan sains saat ini tidak lepas dari pengaruh arus pemikiran epifenomenalisme ini. Dasar pemikiran dari perkembangan ilmu kedokteran saat ini (khususnya genetika) sangat dipengaruhi oleh epifenomenalisme ini. Oleh karena itu dalam artikel ini saya hanya mencoba membahas tentang epifenomenalisme dan mengajak kita melihat dengan kaca mata kebenaran firman Tuhan.
Gen
Zaman rekayasa genetika dalam kedokteran baru dimulai 15 tahun yang lalu, di mana prinsipnya adalah “memotong” gen tertentu dengan enzim pembatas nuklease, lalu mempersatukan potongan tertentu dari DNA ke sel-sel hidup lainnya. Proses mempersatukan itu menghasilkan DNA campuran yang terdiri dari bagian gen spesifik tadi itu yang dinamakan rekombinasi genetika. Penemuan ilmiah terbaru dalam bidang genetika ini mengungkapkan betapa besar pengaruh gen terhadap kehidupan manusia. Menurutnya, gen-gen kita menentukan “takdir” bentuk tubuh dan kesehatan kita, tidak hanya itu tetapi juga kepribadian, kecenderungan moral dan kepercayaan keagamaan kita juga dipengaruhi gen kita. Dengan kata lain, hidup manusia ditentukan oleh sekumpulan rantai DNA dan reaksi kimia yang ada di dalamnya.
Pemikiran epifenomenalisme di dalam genetika tercermin begitu jelas dan pemikiran ini diilmiahkan dengan penjelasan bahwa:
- DNA dapat bereplikasi sendiri dari satu generasi ke generasi berikutnya, jadi DNA pasti berperan dalam spesifikasi dan perkembangan suatu organisme.
- Karena perubahan kecil pada satu gen dapat menyebabkan perubahan struktur organisme, gen pasti berisi semua informasi untuk membentuk struktur tersebut.
- Karena teori evolusi menjelaskan bagaimana kehidupan berasal, maka DNA menjadi kandidat yang paling diunggulkan untuk menjelaskan itu.
Perkembangan pemikiran epifenomenalisme tidak bisa dilepaskan dari arus pemikiran yang jauh lebih besar yaitu mengenai dikotomi antara realm roh dan fisik; realm sakral dan sekuler, realm subyektif dan obyektif, realm spiritual dan logika/sains. Gereja yang mengadopsi pemikiran ini juga tidak mampu berbuat banyak ketika sains mengalami kebangkitan (khususnya melalui teori evolusi Darwin), dan ini menyebabkan realm spiritual identik dengan sesuatu yang bersifat takhayul dan subyektif, menyangkut keyakinan tiap pribadi; sementara realm sains/logika bersifat obyektif dan mengandung kebenaran yang sesungguhnya. Kerangka besar ini menyebabkan pandangan epifenomenalisme mengenai manusia lebih bisa diterima.
Inilah manusia berdosa yang menginginkan kontrol penuh atas hidupnya, yang kemudian hal itu dicapai dengan terus menerus mereduksinya menjadi hal teknis yang mengikat segala sesuatu jatuh ke bawah dalam alam ciptaan. Dengan rekayasa genetika, manusia mengklaim bisa mengendalikan segala sesuatu termasuk hidupnya sendiri. Keberadaan manusia diangkat tinggi menjadi perwujudan “tuhan-tuhan” genetik, demikianlah gen (materi) dan kekuatan mekanistik evolusioner telah mengambil alih peran dan tempat Allah dalam kehidupan manusia itu sendiri. Bagaimana kekristenan menjawab hal ini?
Dasar Kebenaran Firman Tuhan
Firman Tuhan menyatakan bahwa manusia dibentuk dari debu tanah (materi) dan nafas hidup (roh). Hanya ketika Allah menghembuskan nafas ke dalam tubuh yang tidak hidup itu, manusia menjadi “living soul”. Itu perbedaan mutlak antara manusia dengan binatang. Manusia dicipta segambar dan serupa Allah, oleh karena itu keberadaan manusia tidak bisa lepas dari Firman, dan mandat Allah kepada manusia untuk menguasai dan menaklukkan bumi ini tidak bisa dilepaskan dari Firman-Nya.
Istilah jiwa dan roh menunjukkan bahwa jiwa atau roh adalah komponen non-materi yang berbeda dari tubuh. Bapa gereja Agustinus mengatakan “… tetapi jiwa berada sebagai suatu keseluruhan, bukan hanya dalam keseluruhan massa tubuh, tetapi juga tiap bagian tubuh pada saat yang sama ….” Alkitab menyingkapkan bahwa manusia disebut ATAU didefinisikan sebagai manusia karena manusia terdiri dari tubuh dan roh yang inkoheren. Roh bukan tubuh dan tubuh bukan roh, keduanya bersifat inkoheren. Tubuh tanpa roh hanya sebuah mayat begitu juga roh tanpa tubuh bukanlah manusia seutuhnya.
Thomas Aquinas berpandangan bahwa manusia harus dilihat sebagai substance dualism artinya manusia terdiri dari satu kesatuan roh dan tubuh di mana keberadaan roh mendahului tubuh dan roh yang menentukan bentuk dan proses dalam tubuh. Terdapat hubungan internal yang mendalam antara roh dan tubuh. Memang realm materi dapat mempengaruhi realm non-materi, tetapi keberadaan fisik/tubuh sepenuhnya ditentukan dan tergantung pada eksistensi realm spiritual/roh itu sendiri. Pribadi manusia dapat eksis asalkan roh manusia itu ada walaupun tubuhnya tidak ada tetapi tidak berlaku sebaliknya. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh property-thing dualism yang mengatakan bahwa manusia ada karena tumpukan (tanpa ada yang merancang dan mengatur) gen-gen yang membentuk sel, lalu sel membentuk jaringan, organ, sistem organ dan akhirnya tubuh manusia secara keseluruhan. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia dapat dimengerti melalui cara pikir mekanika di dalamnya melalui proses sebab akibat. Tidak ada kekuatan otonomi pada diri manusia yang mengatur, semua dikendalikan dan ditentukan oleh proses fisik (materi) yang ada. Dalam hal genetika, benarkah manusia itu hanya tumpukan gen-gen di dalamnya? Bahwa identitas seorang manusia sepenuhnya ditentukan oleh susunan gen dan reaksi yang terjadi di dalamnya? Benarkah kemampuan substansi manusia (pikiran, sensasi, kehendak bebas, keyakinan dan keinginan) sepenuhnya karena proses di dalam realm fisik semata? Jika benar bahwa manusia hanya terdiri dari susunan genetika, di manakah letaknya roh? Atau mungkin memang roh sudah tidak ada tempatnya lagi di sains modern ini?
Sains modern mengatakan bahwa manusia terdiri dari 6 triliun sel di mana setiap sel terdiri dari 3 milyar susunan gen. Gen diturunkan antar generasi. Gen orang tua diwariskan kepada anaknya dan begitulah hidup berlanjut. Namun, kita hanya bisa memastikan kelanjutan gen, dan bukan kehidupan. Gen tidaklah sama dengan kehidupan. Gen adalah materi, dan tentu roh bukanlah materi. Di sisi lain tubuh kita terdiri dari bagian dengan tampilan dan fungsi yang sangat berbeda. Rambut, kuku, dan kulit sepertinya hampir tidak memiliki kesamaan. Namun, mereka semua tersusun oleh sel-sel yang pada dasarnya memiliki struktur dan fungsi yang sama. Gen yang menentukan fungsi dari sel-sel tersebut pun sama. Kenyataan bahwa informasi yang tersimpan dalam setiap satu buah gen sama persis dengan yang tersimpan dalam setiap sel dalam tubuh, berarti sel mana pun yang diambil dari bagian mana pun memiliki potensi untuk digunakan menciptakan seorang manusia yang lain. Namun itu tidak demikian kenyataannya bahwa sel-sel kuku telah terprogram untuk menjadi kuku. Siapakah yang mengatur ini? Apakah yang menentukan ini? Siapa yang menulis kode genetika itu?
Kesimpulan
Francis Schaeffer menyadarkan kita dengan mempertanyakan alasan utama mengapa kekristenan tidak juga lebih efektif pada lingkup publik dengan menekankan pada kecenderungan kita melihat sesuatu secara parsial dan melupakan skenario yang lebih besar tentang dunia ini termasuk sains. Dia memberi peringatan kepada kekristenan harus melihat dan mencermati ini bukan hanya sebagai sains tetapi juga peperangan worldview. Pemikiran di dalam bidang kedokteran yang dijiwai epifenomenalisme ini bukan semata-mata pergantian satu teori dengan teori lain tetapi ini berbicara pergantian worldview di mana tidak ada tempat untuk supranatural.
John Calvin mengatakan bahwa untuk mengenal manusia seutuhnya maka manusia harus mengenal siapa Allahnya yang sesungguhnya. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah maka Allah menjadi acuan absolut bagi manusia untuk mengerti siapa manusia sesungguhnya, apa esensi manusia dan bagaimana seharusnya manusia memandang dirinya sendiri yaitu gambar dan rupa Allah. Tanpa pengenalan akan Allah maka manusia berdosa tidak mungkin mengenal dirinya sendiri secara benar. Konsep tubuh dan roh ini bukan hanya terbatas pada masalah medis saja tetapi penjelasan dan pengertian akan konsep ini sangat menentukan bagaimana kita memandang hidup ini. Firman Tuhan memberikan kunci penting dalam hal ini. Ketika Tuhan Yesus dicobai di padang gurun, Iblis mencobai Tuhan Yesus yang sedang lapar. Maka jawaban Tuhan Yesus: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.” Apa artinya? Manusia di dalam keberdosaannya sering hidup hanya mementingkan aspek fisiknya semata, aspek yang kelihatan. Kita sering merasa perlu untuk memeriksakan kesehatan kita secara rutin, minum suplemen vitamin bila perlu, tidur yang cukup… walaupun hal tersebut tidak salah, tetapi pernahkah kita memikirkan dan mengkhawatirkan kondisi kesehatan rohani kita sedemikian intensifnya? Kita jauh lebih khawatir ada sesuatu yang aneh di wajah kita dibandingkan dengan kita lupa saat teduh minggu ini, kita jauh lebih takut divonis suatu penyakit daripada kita divonis tidak menjalankan kehendak dan panggilan Tuhan di sepanjang kehidupan kita. Mengapa? Mungkin bukan hanya karena konsep tubuh dan roh kita yang salah, tetapi mungkin karena kondisi kerohanian kita yang telah lama sakit parah tidak pernah diobati.
Marilah kita kembali kepada keberadaan kita sebagai manusia yang seutuhnya yang Allah ciptakan dan hidup makin berkenan di hadapan-Nya dengan memperhatikan bukan saja fisik kita tetapi juga kerohanian kita.
Mazmur 139:13-14 “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-MU oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang KAU buat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.”
Agus Suprapto
REDS – Med