Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin terlepas dari organisasi. Sudah merupakan natur dari manusia untuk memiliki hidup yang berkelompok lalu membentuk organisasi-organisasi baik formal maupun informal, baik dengan tujuan yang explicit maupun implicit. Terbentuknya organisasi dimulai dari interaksi antarmanusia yang sepakat untuk berkelompok karena memiliki satu atau lebih kesamaan. Di dalam kelompok atau organisasi ini, secara bertahap akan terbentuk suatu budaya lokal yang dapat dikatakan sebagai karakteristik dari organisasi ini serta kepengurusannya, di mana beberapa orang akan berperan sebagai pemimpin organisasi ini. Karakteristik organisasi ini bersifat permanen tetapi hanya di dalam jangka waktu tertentu. Begitu terjadi pergantian di dalam kepemimpinan organisasi ini, maka karakteristiknya pun akan mengalami perubahan. Karena itu keberadaan maupun karakteristik suatu organisasi akan sangat bergantung kepada manusia yang ada di dalamnya. Keberadaan yang personal lebih tinggi bahkan mengatur yang impersonal. Manusia di dalam sebuah organisasi adalah personal-personal yang membentuk organisasi tersebut. Di saat manusia tidak lagi dianggap sebagai personal dan hanya menjadi bagian dari sebuah sistem organisasi yang impersonal, maka sebuah pemutarbalikan ordo terjadi dan akan menyebabkan ketimpangan dalam organisasi itu. Ketimpangan ini dapat kita lihat di dalam sejarah perkembangan pemikiran manajemen sumber daya manusia yang dimulai dari sebelum Revolusi Industri hingga zaman ini.
Pre-Industrial Revolution Era
Bentuk paling awal dari Human Resource Management (HRM) dimulai dari pre-industrial revolution. Pada zaman ini bisa dikatakan HRM belum memiliki bentuk yang konkret, karena bentuk organisasi bisnis pada zaman ini kebanyakan masih sederhana seperti home industry. Para pekerja mengerjakan suatu pekerjaan dari awal hingga akhir yang dikerjakan sesuai dengan perintah atasannya. Welfare para pekerja merupakan urusan atau tanggung jawab atasannya, bahkan kebanyakan para pekerja tinggal di
rumah atasannya.
Industrial Revolution Era
Memasuki Revolusi Industri pada abad ke-18, bentuk organisasi bisnis berubah menjadi sebuah industri besar di mana mempekerjakan banyak orang yang berproduksi dengan menggunakan mesin. Orientasi utama dalam industri pada zaman ini adalah menghasilkan produk secara massal dalam jumlah yang besar demi memperoleh efisiensi. Karakteristik pekerjaan pada zaman ini mendapatkan pengaruh besar dari pemikiran Adam Smith melalui karyanya “The Wealth of Nation” yang muncul pada tahun 1776. Adam Smith mengemukakan konsep “The Division of Labor”, yang mengatakan bahwa pekerjaan dapat menjadi lebih efisien melalui pembagian divisi-divisi. Pekerjaan dibagi-bagi menjadi pekerjaan yang lebih sederhana. Dengan konsep ini para pekerja akan melakukan tugas yang sederhana lalu semakin lama akan semakin meningkatkan kemahiran mereka dan waktu yang diperlukan pun akan semakin singkat. Pemikiran ini pun didukung oleh penemuan-penemuan dalam permesinan yang sangat pesat pada zaman ini. Hal ini menyebabkan perubahan yang sangat drastis dalam proses pekerjaan di industri. Setiap orang mengggunakan tools yang disediakan dan melakukan pekerjaan yang monoton dan interaksi antarpekerja pun semakin berkurang dan digantikan dengan interaksi dengan mesin.
Di satu sisi, pekerjaan menjadi sangat efisien tetapi well-being pekerja tidak diperhatikan. Lingkungan kerja yang tidak higienis, upah yang sangat rendah, workload yang berlebihan (ada yang mempekerjakan hingga 16 jam dalam sehari), natur pekerjaan yang sangat monoton menjadi permasalahan yang terjadi pada zaman ini. Charlie Chaplin, jikalau Saudara masih mengingatnya, adalah salah satu film yang menjadi sindiran sekaligus kritikan terhadap kondisi kerja pada
zaman ini.
Pada zaman ini juga, manusia dipandang sebagai bagian yang dengan mudah digantikan (easily replaceable) karena persaingan dalam pasar tenaga kerja sangat ketat, di mana supply tenaga kerja jauh lebih besar daripada demand tenaga kerja (ketersediaan lapangan kerja). Bahkan manusia dianggap sebagai cost yang harus diatur sedemikian rupa agar bisa diefisiensikan. Karena itu tidak heran bila pada zaman ini, absensi dan turnover pekerja di perusahaan sangatlah tinggi. Di sini keberadaan individu di dalam organisasi dianggap sebagai keberadaan yang tidak berpribadi, yang personal melayani yang impersonal. Kondisi seperti ini sudah tentu menimbulkan ketimpangan dalam organisasi yang menyebabkan munculnya banyak demonstrasi dari para pekerja kepada pemilik perusahaan yang berakhir pada intervensi dari pemerintah untuk mendukung hak-hak dasar para pekerja serta perlindungan bagi mereka.
Post-Industrial Revolution Era to World War Era
Permasalahan manusia dalam organisasi yang terjadi pada zaman revolusi industri disertai dengan permintaan untuk adanya peningkatan dalam produktivitas kerja menjadi perhatian yang memengaruhi beberapa pemikir pada zaman itu. Salah satunya adalah Frederick Winslow Taylor, atau yang dikenal sebagai the Father of Scientific Management. Pengaruh dari Frederick Taylor ini disebarkan melalui buku kecil yang berjudul “The Principle of Scientific Management” yang diterbitkan pada tahun 1911. Buku ini memberikan beberapa teknik dalam meningkatkan produktivitas dengan melibatkan penganalisisan secara scientific untuk setiap proses kerja, termasuk juga para pekerjanya. Untuk meningkatkan produktivitas, Taylor mengusulkan agar perusahaan memberikan pelatihan berkaitan dengan pekerjaannya kepada pekerja-pekerja yang sudah dipilih atau diseleksi dan meningkatkan interaksi antara manajer dengan para pekerja, di mana manajer melakukan perencanaan kerja dan dilakukan oleh bawahannya. Ide ini berkembang dan menjadi suatu konsep yang disebut sebagai Personnel Management. Konsep Personnel Management terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu terutama di zaman perang dunia. Pada zaman perang dunia isu mengenai hak bagi para pekerja menjadi isu utama yang harus dihadapi oleh kebanyakan organisasi bisnis pada zaman itu dan ini menjadi salah satu tugas dari Personnel Management.
Cara pandang yang diberikan oleh Scientific Management berfokus pada pekerjaan yang harus dikerjakan oleh individu. Di saat pekerjaannya berubah maka individu tersebut harus dilatih untuk dapat mengikuti perubahan tersebut. Konsep masih lebih baik dibandingkan dengan zaman Revolusi Industri. Tetapi manusia yang personal masih diperlakukan secara impersonal, dan yang menjadi fokus dari organisasi adalah hal yang impersonal. Kondisi seperti ini pun tetap memicu timbulnya huru-hara dari kalangan pekerja yang menuntut hak-hak mereka. Tuntutan terjadi di mana-mana menjadi suatu pergerakan yang besar yang dikenal sebagai “The Human Relations Movement”.
Post-World War Era
The Human Relations Movement muncul di sekitar tahun 1940-1960, sebagai suatu perlawanan dari model Scientific Management yang berfokus pada pekerjaan. Human Relations Movement fokus pada manusia dengan teori-teori mengenai motivasi pekerja. Pergerakan ini juga dipengaruhi oleh perkembangan dalam dunia psikologi yang dikenal sebagai behaviourism, yang mencoba memahami manusia dengan melakukan observasi tingkah lakunya secara uji empiris. Beberapa pemikir yang berpengaruh adalah seperti Elton Mayo yang melakukan suatu penelitian yang terkenal dengan nama Hawthorne Studies (1924-1932) dan mendapatkan kesimpulan bahwa faktor kompensasi non-keuangan memiliki pengaruh yang lebih besar dan penting daripada faktor fisik dan keuangan dalam memotivasi pekerja. Lalu ada juga Abraham Maslow terkenal dengan teori hierarchy of needs (physiological needs, safety needs, social needs, self-esteem, self-actualization) di mana setiap level kebutuhan dalam hierarki harus terpenuhi dahulu untuk memasuki level kebutuhan berikutnya. Tokoh lainnya ada Frederick Herzberg dengan the hygiene-motivation theory (1959) atau dikenal juga dengan two-factor theory yang mengatakan bahwa ada faktor-faktor di dalam pekerjaan yang menyebabkan kepuasan kerja, dan di sisi lain ada sekumpulan faktor yang menyebabkan ketidakpuasan. Melalui Human Relations Movement ini muncullah Lembaga-lembaga Serikat Buruh yang berperan dalam memperjuangkan pekerjaan yang lebih baik.
Pemikiran yang berfokus kepada manusia terus berkembang hingga tahun 1980. Pemikiran-pemikiran ini memberikan penekanan kepada relasi antara pekerja dengan pemberi kerja, program-program dalam meningkatkan upah dan tunjangan bagi pekerja pun terus berkembang. Pada zaman inilah muncul istilah Human Resource Management. Kalau di dalam Personnel Management, manusia dianggap sebagai cost sehingga fokus manajemen adalah untuk mengaturnya sehingga tidak meningkat besar atau kalau bisa seminimal mungkin untuk menghasilkan profit, maka pada konsep Human Resource Management, manusia dianggap sebagai asset yang harus diberdayakan dengan optimal untuk menghasilkan profit.
Pada zaman ini kita mulai melihat adanya perkembangan dalam memandang manusia dalam organisasi. Manusia mulai mendapatkan tempat yang lebih baik daripada zaman sebelumnya. Konsep-konsep mengenai meningkatkan motivasi, pelatihan, dan pengembangan mulai menjadi fokus daripada sekadar organisasi. Manusia menjadi faktor terpenting dalam pembentukan organisasi yang unggul. Tetapi cara pandang yang memperlakukan manusia sebagai aset perusahaan masih belum menempatkan manusia pada tempat yang seharusnya. Karena konsep manusia sebagai aset hanya memberdayakan keterampilan atau kemampuan manusia yang sudah ada atau sudah jelas terlihat, tetapi potensi-potensi yang terpendam atau belum dikembangkan tidak diperhatikan pada konsep ini. Manusia masih belum dianggap sebagai manusia yang seutuhnya, bahkan bisa dikatakan pada konsep ini manusia diperlakukan mirip dengan sapi perah yang kebutuhannya diperhatikan tetapi demi bisa diperah untuk melayani atau diperbudak demi kepentingan owner atau shareholder. Karena itu pemikiran mengenai manusia dalam organisasi pun masih
terus berkembang.
Modern Organization Era (Around 21st Century)
Pada zaman ini, paradigma mengenai manusia dalam organisasi berkembang. Perkembangan ini didasari dengan kesadaran akan peranan manusia yang semakin terlihat sangat penting bagi organisasi, sehingga pemikiran untuk mengembangkan manusia semakin ditekankan. Salah satu aspek yang disoroti adalah potensi yang terpendam atau masih bisa digali dari setiap personel yang ada dalam organisasi. Konsep pun bergeser dari yang sebelumnya memandang manusia sebagai aset, maka pada zaman ini manusia dipandang sebagai kapital. Jikalau pada aset yang menjadi fokus adalah pemberdayaan yang optimal, maka pada konsep kapital yang menjadi fokus adalah pengembangan dari kapabilitas manusia dalam organisasi termasuk potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut. Di dalam konsep inilah muncul istilah-istilah seperti manpower planning, konsep career path yang lebih advance. Istilah Human Resource Management pun perlahan mulai berganti menjadi Human Capital Management. Dan konsep Human Capital hingga saat ini masih terus berkembang. Salah satu yang berkembang adalah mencoba melihat manusia bukan lagi sebagai individu saja tetapi di dalam konteks komunal atau kelompok. Karena itu tema mengenai pembentukan budaya perusahaan atau assessment personel yang dilakukan langsung secara berkelompok sedang berkembang pada saat ini. Salah satu bentuknya adalah proses recruitment yang bukan lagi dengan wawancara atau tes secara individu tetapi dilakukan langsung di dalam kelompok dengan memerhatikan individu satu per satu, sekaligus interaksinya dengan anggota kelompok lainnya.
Cara pandang manusia sebagai kapital memang mengalami perkembangan yang lebih lanjut bagi manusia dalam organisasi. Manusia tidak lagi dianggap seperti spare part yang dapat dengan mudah diganti, manusia juga tidak lagi dianggap sebagai budak bagi kepentingan owner atau shareholder semata, tetapi pengembangan manusia tersebut mulai diperhatikan. Apa yang menjadi kebutuhan non-fisik dari manusia mulai diperhatikan. Oleh karena itu, pada zaman ini kita melihat perkembangan training center atau jasa-jasa pelatihan untuk karyawan perusahaan merebak di mana-mana. Apakah cara pandang ini sudah bisa mewakili cara pandang Alkitab? Belum, walaupun konsep Human Capital ini sudah bisa melihat beberapa aspek yang utama dalam manusia tetapi cara pandang ini masih belum bisa memberikan ruang kepada manusia secara seutuhnya dalam konteks organisasi.
Christian View: Man as Image of God
Perkembangan cara pandang terhadap manusia dalam organisasi mulai dari sebagai cost, lalu menjadi asset hingga sebagai capital, memberikan indikasi bahwa ketimpangan masih terus terjadi di dalam organisasi berkaitan dengan memperlakukan manusia. Kompleksnya aspek hidup manusia tidak bisa disamakan dengan hal-hal yang impersonal karena manusia adalah personal. Tidak ada cara pandang yang lebih tepat lagi, cara pandang yang menjadikan manusia sebagai manusia dengan dignitas yang seutuhnya selain apa yang dikemukakan oleh Alkitab mengenai manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia berada di dalam dunia ini sebagai ciptaan yang tertinggi untuk menggarap dunia yang luas ini. Karena itu Allah menciptakan manusia sedemikian rupa untuk dapat menjalankan tugasnya sebagai wakil Allah demi menyatakan kemuliaan Allah.
Manusia, yang adalah gambar dan rupa Allah, diciptakan dan ditempatkan dengan memiliki banyak aspek dalam hidupnya seperti aspek ibadah, sosial, keluarga, pembelajaran dan pengembangan, pekerjaan, dan sebagainya yang seluruhnya membentuk identitas diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang utuh. Salah satu cara pandang yang salah adalah pengotak-ngotakan aspek atau mereduksi hidup manusia di dalam beberapa aspek saja yang diutamakan dan aspek lainnya dibengkalaikan. Cara pandang seperti ini akan menimbulkan ketimpangan dalam diri manusia karena manusia tidak diperlakukan dengan seharusnya. Karena itu pengertian mengenai manusia yang utuh sebagai gambar dan rupa Allah harus dimiliki dan dipertimbangkan dalam konteks organisasi juga. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan mengenai manusia dalam organisasi khususnya untuk konteks pergumulan pada zaman ini.
Pertama, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik tetapi juga spiritual. Salah satu kesalahan cara pandang mengenai bekerja adalah untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhan fisik saja, sedangkan pekerjaan itu sendiri tidak dinikmati. Pekerjaan bukanlah kutukan sebagai akibat dari dosa. Pekerjaan adalah bagian dari penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Oleh karena itu melalui pekerjaan seharusnya manusia semakin memanusiakan dirinya atau dalam kalimat lain, manusia semakin menghayati dirinya sebagai gambar dan rupa Allah melalui pekerjaan yang dilakukannya. Karena itu bekerja pada dasarnya adalah aspek rohani. Kita semakin mengenal siapa diri kita dan siapa Pencipta kita melalui pekerjaan yang kita lakukan.
Manusia diciptakan dengan suatu panggilan yang Tuhan berikan kepadanya berikut dengan talenta, karakteristik, dan konteks hidup serta kesempatan sebagai modalnya. Hal ini Tuhan berikan secara unik untuk setiap individu. Oleh karena itu pekerjaan yang kita lakukan tidak boleh terlepas dari panggilan yang Tuhan berikan. Di saat hal itu terlepas, maka masalahnya bukan hanya bagi kehidupan fisik saja tetapi juga kehidupan rohani kita. Melakukan pekerjaan yang bermartabat sesuai dengan panggilan yang Tuhan berikan adalah kebutuhan dasar yang harus kita penuhi sebagai seorang manusia.
Berdasarkan pengertian ini maka di dalam organisasi setiap manusia harus diberikan ruang untuk berkembang dan belajar berdasarkan panggilan masing-masing individu. Secara konsep dasar, hal ini sudah tercakup dalam konsep human capital tetapi yang menjadi permasalahan dari konsep human capital adalah pengembangan yang disediakan oleh organisasi masih memaksakan manusia untuk mengikuti sistem organisasi dan belum bisa mengakomodir para pekerja dalam mencari apa yang sesuai dengan panggilannya. Bisa dikatakan juga bahwa organisasi menjadi salah satu tempat di mana para pekerja bisa bergumul untuk menemukan akan panggilan hidupnya. Apakah hal ini berarti organisasi harus tidak memiliki sistem? Tidak, organisasi tetap akan memiliki sistem tetapi sistem yang dimengerti di sini bukan lagi suatu sistem yang kaku tetapi menjadi suatu sistem yang organis, yang terus berkembang seiring dengan perkembangan organisasi serta manusia yang ada di dalamnya.
Kedua, kehidupan berorganisasi atau berkomunitas adalah natur, anugerah, serta tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Berkomunitas adalah natur manusia, tidak mungkin manusia menjadi pribadi yang seutuhnya dengan memiliki kehidupan yang anti-sosial. Melalui berinteraksi dengan manusia lain di dalam komunitas kita memperoleh kebijaksanaan. Dan di dalam komunitas juga, kita belajar untuk menerapkan prinsip keadilan, pengorbanan, dan kasih yang diajarkan Alkitab. Maka di sini kita lihat bahwa organisasi memiliki peranan penting sebagai wadah di mana manusia dapat menjadi pribadi yang lebih utuh dan kehendak Tuhan juga dijalankan melalui organisasi. Yesus Kristus datang ke dalam dunia menjalankan kehendak Bapa dengan melibatkan orang lain. Oleh karena itu kehidupan berkomunitas tidak bisa dipisahkan dari manusia sebagai gambar Allah.
Di dalam organisasi, kita harus belajar melihat manusia bukan sebagai sarana dalam mencapai profit. Tetapi kita harus dapat melihat manusia lainnya sebagai rekan kerja yang bersama-sama bekerja untuk mencapai suatu tujuan. Di dalam kerja sama ini pasti melibatkan prinsip keadilan terutama berkaitan dengan upah dan tunjangan. Tentu saja kompensasi yang adil harus disertai dengan tanggung jawab, di dalam kerja sama inilah kita juga belajar bagaimana bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi tugas kita, sehingga hak dan kewajiban dengan seimbang dijalankan. Di dalam organisasi juga manusia belajar rela untuk menajamkan maupun ditajamkan sesamanya. Konsep manusia dalam organisasi seperti ini adalah yang seharusnya dibentuk dalam sebuah organisasi, sehingga organisasi sebagai wadah di mana manusia dapat bergumul dan menjalankan akan panggilannya dapat benar-benar terlaksana dan organisasi ini menjadi organisasi yang hidup karena manusia yang berada di dalamnya berperan sebagai manusia yang sejati yaitu sebagai gambar dan rupa Allah.
Ketiga, perbedaan kemahiran atau talenta bukanlah suatu diskriminasi tetapi keberagaman yang Tuhan berikan. Adanya perbedaan kompensasi adalah suatu fakta yang tidak mungkin terhindarkan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemahiran dari setiap manusia dan juga konsep mekanisme pasar yang berkembang. Sehingga ada kemahiran tertentu yang memiliki sisi supply yang sedikit sementara sisi demand cukup besar, dan hal ini berimplikasi dengan besarnya kompensasi yang diterima oleh pekerja tersebut.
Tetapi di sini kita harus dapat melihat bahwa perbedaan kemahiran atau talenta dari manusia bukanlah diskriminasi yang adalah kutukan dosa, melainkan perbedaan ini merupakan bagian dari ciptaan yang Tuhan berikan kepada setiap manusia. Di dalam perbedaan inilah kita justru belajar untuk saling memberi dan menerima antarsesama manusia. Inilah yang menjadi salah satu karakteristik yang mengikat di dalam organisasi. Berkaitan dengan perbedaan kompensasi yang berujung pada gap antara yang kaya dan miskin, Alkitab memberikan tanggung jawab kepada yang kaya untuk dapat memberi kepada yang miskin dan dengan jelas Alkitab memberikan prinsip bahwa yang diberi banyak akan dituntut banyak.
Dengan adanya fakta perbedaan talenta di dalam setiap manusia, adalah tanggung jawab organisasi untuk bisa menjaga keharmonisan interaksi antarmanusia di dalam saling melengkapi satu dengan yang lain dan juga menempatkan orang yang tepat dalam posisi yang tepat. Posisi yang penting harus diisi oleh orang yang memang memiliki kualitas dan kapabilitas yang memadai dan diakui. Alkitab memberikan prinsip banyak anggota tetapi satu tubuh untuk menghadapi konteks ini. Masalah posisi dan jabatan seharusnya bukan urusan siapa yang lebih dekat dengan atasan tetapi seharusnya merupakan urusan kualitas, kapabilitas, serta panggilan. Orang yang berusaha untuk menempati posisi yang di luar kapabilitasnya, hanya akan menghancurkan dirinya. Sebaliknya orang yang ditempatkan pada posisi yang di bawah kapabilitasnya hanya akan menjadi pemborosan yang disayangkan. Dan inilah tanggung jawab organisasi dalam menyeleksi dan menempatkan setiap orang dalam posisi yang tepat.
Conclusion
Suatu fakta yang menyedihkan, saat kita menjumpai berita di mana perlakukan yang tidak berperikemanusiaan terjadi di dalam organisasi. Bahkan yang lebih menyedihkan adalah orang-orang Kristen yang merelakan dirinya melakukan pekerjaan yang menghancurkan dignitas dirinya sebagai gambar Allah, termasuk banyak pemuda yang demi memperoleh materi atau popularitas yang besar, rela mengorbankan banyak aspek dalam hidupnya. Banyak organisasi yang lupa akan tanggung jawab yang dimilikinya untuk mengurus orang-orang yang bekerja di dalam organisasinya. Maka di sinilah tugas dan panggilan kita sebagai orang Kristen untuk menjadi garam dan terang dunia dengan membawa terang firman Tuhan ke dalam konteks organisasi. Isu mengenai manusia di dalam organisasi sangatlah luas. Begitu banyak masalah yang berkaitan dengan tema ini yang harus kita jawab dan selesaikan berdasarkan sudut pandang Alkitab.
Mengembalikan konsep manusia dalam organisasi kembali kepada konsep Alkitab harus dilakukan baik dari level individu, organisasi itu sendiri, sosial, maupun dari pemerintahan yang ikut juga mengatur masalah organisasi dan tenaga kerja. Selain karena institusi-institusi ini berkaitan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya, kita sebagai orang Kristen juga dipanggil untuk menjalankan firman Tuhan secara utuh di dalam setiap area hidup kita, baik secara personal maupun komunal. Mengembalikan dignitas manusia sebagai gambar dan rupa Allah, bukan demi manusia itu sendiri tetapi demi manusia itu menjadi manusia sejati dalam menjalankan panggilannya untuk kemuliaan nama Tuhan.
Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung