Sejarah umat manusia begitu kompleks dengan segala perubahan yang terus-menerus terjadi, sampai-sampai ada orang yang berkata bahwa sejarah umat manusia adalah seperti pendulum yang senantiasa mengalami perubahan. Dari berbagai kisah yang menceritakan kejayaan dan ketenaran suatu bangsa sampai dengan keruntuhan dan kehancurannya. Roda ini seakan-akan terus berputar dalam perjalanan sejarah manusia. Namun bagaimanakah sikap kita sebagai orang Kristen dalam memahami dan mengkaji sejarah yang terus berubah ini dari sudut pandang firman Tuhan?
Dari sejarah dunia, kita dapat mempelajari banyak hal yang baik meskipun seluruh isi dunia sedang menuju kepada kematian yang pasti. Tak dapat disangkal bahwa sejarah umat manusia selalu diwarnai dengan gelapnya dosa. Kejahatan yang sedemikian merajalela dan terus-menerus terulang dalam sejarah manusia. Dari penganiayaan sampai pemberontakan, dari pemaksaan sampai kesadisan, dari ketidakadilan sampai perampasan, semuanya terus-menerus terulang dalam sejarah. Meskipun demikian, mengapa sejarah tetap menjadi sesuatu yang signifikan sampai sekarang? Sejarah menjadi sesuatu yang kerap dipelajari oleh orang-orang yang mungkin mereka sendiri tidak/belum ada dalam sejarah waktu itu.
Seorang filsuf dari Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mengemukakan dalam pemikirannya tentang pentingnya sejarah: “Inilah yang diajarkan oleh sejarah dan pengalaman: bahwa manusia dan pemerintahan tidak pernah belajar apapun dari sejarah atau prinsip-prinsip yang didapat darinya.” Kalimat ini diulang kembali oleh negarawan dari Inggris Raya, Winston Churchill, katanya: “Satu-satunya hal yang kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak benar-benar belajar darinya.” Atau seperti yang ditulis oleh seorang filsuf dari Spanyol, George Santayan, katanya: “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”
Dari uraian di atas, sepintas kita melihat akan pentingnya kita belajar dari sejarah, namun bagaimana mungkin ada sesuatu yang baik di dalam sejarah dunia yang penuh dengan kegelapan dosa? Mungkinkah kita belajar dari sejarah? Ya, hal itu menjadi mungkin karena kita percaya bahwa Allah yang adalah Sang Pencipta, sekaligus juga adalah Allah yang memelihara dunia ini. Allah yang pada saat ini menopang hidup saudara dan saya, juga adalah Tuhan yang berdaulat atas jalannya sejarah umat manusia, baik di negeri Tiongkok, Eropa, Amerika, dan sebagainya. Di dalam sejarah, Allah menyatakan anugerah-Nya, dan di dalam sejarah itu juga, Allah mewahyukan kebenaran-Nya. Alkitab yang kita baca dan pelajari itu pun merupakan buku yang menceritakan sejarah dunia sejak awal ia diciptakan sampai kesudahannya nanti. Oleh karena itu, dengan kacamata firman Tuhan, kita percaya ada hal-hal yang kita sebagai orang Kristen dapat pelajari dari narasi yang Tuhan telah berikan kepada umat manusia.
Melalui artikel kali ini, pembahasan akan berbicara mengenai sejarah di negeri Tiongkok. Sejarah Tiongkok merupakan topik yang menarik dan di dalamnya terkandung banyak anugerah umum Allah yang Ia bubuhkan.
Di dalam artikel yang terdahulu telah dituliskan tentang keberadaan Dinasti Qin sebagai titik tolak yang memberikan sumbangsih besar dalam sejarah Tiongkok, yaitu mempersatukan seluruh daratan Tiongkok di bawah kolong langit (Tian Xia). Suatu dinasti yang diawali dengan kepercayaan bahwa “semua manusia pada dasarnya adalah jahat”, sehingga dinasti ini dijalani dengan adanya keabsolutan terhadap hukum yang mengikat. Inilah suatu dinasti yang dipimpin oleh seorang kaisar yang mengklaim diri sebagai “Raja di atas segala raja”, yaitu Qin Shihuangdi, yang dengan segala kebengisannya menyebabkan dinasti ini berumur pendek dan tidak bertahan lama. Sehingga, tidak heran ketika kaisar pertama Dinasti Qin meninggal, banyak pihak berusaha untuk memberontak dan kemudian diakhiri dengan munculnya Dinasti Han.
Masa Dinasti Han merupakan masa kejayaan dan penuh kekuatan bagi Tiongkok. Dinasti Han mencapai puncak kejayaannya pada zaman pemerintahan Kaisar Han Wudi. Kemajuan yang begitu besar dalam bidang penemuan, ideologi, ekonomi, dan perdagangan telah mengiringi dinasti ini. Kejayaan Dinasti Han inilah yang menjadikan orang Tiongkok memiliki satu identitas kebangsaan yang sampai saat ini orang Tiongkok menyebut diri mereka sebagai “people of Han” (orang Han).
Pergantian Dinasti Qin menjadi Dinasti Han bukan hanya sekedar pergantian kaisar. Bukan juga sekedar perkembangan atau pencapaian kejayaan yang luar biasa secara fisik. Namun, di balik itu semua ada sebuah arus pemikiran besar yang tengah mengalami masa kejayaannya. Dan arus pemikiran inilah yang sebenarnya mempengaruhi dan mendasari hampir seluruh aspek kehidupan semasa Dinasti Han. Arus pemikiran ini dikenal dengan nama Konfusianisme. Dinasti Han inilah yang merupakan titik perubahan ideologi dari Legalisme yang dijunjung tinggi semasa Dinasti Qin menjadi ideologi Konfusianisme.
Semasa Dinasti Qin, ide Konfusianisme tidak diminati bahkan lebih cenderung ingin dimusnahkan. Namun, keadaan berubah pada masa Dinasti Han. Ide mengenai Konfusianisme kini menjadi suatu bagian yang sangat diagung-agungkan dan merupakan ajaran yang paling banyak dipelajari serta dicari orang pada masa itu. Bahkan, pada masa Dinasti Han hampir semua orang yang memegang jabatan dalam pemerintahan merupakan sarjana Konfusianisme.
Seperti ada pepatah mengatakan bahwa untuk menaklukkan suatu bangsa dapat dilakukan dari punggung kuda, namun suatu bangsa tidak dapat diperintah dari sana. Berbeda dengan Legalisme (Fa Jia) pada Dinasti Qin, Konfusianisme tidak mendasarkan ideologinya pada kekerasan hukum (Fa), melainkan lebih menekankan pada perhatian, moralitas, kebajikan (Ren) dari pemerintah kepada rakyat. Pemerintahan berdasarkan hukum diganti dengan pemerintahan berdasarkan kebajikan. Nilai-nilai moral kemasyarakatan sangat dijunjung tinggi dalam Konfusianisme.
Salah satu tema pokok yang ada dalam ajaran Konfusianisme adalah toleransi dan perikemanusiaan. Sikap toleransi terlihat dalam keterbukaan untuk menerima ajaran ataupun pendapat yang sama sekali berbeda dari pendapat pribadi. Suatu sikap perdamaian yang dijunjung tinggi dan memberi ruang kepada pluralitas yang luar biasa. Sikap perikemanusiaan dinyatakan dalam pemikiran Konfusianisme yang lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusialah yang selalu menjadi pusat di dalam ajaran Konfusianisme. Di saat kebudayaan Yunani masih berpendapat bahwa manusia dan dewa-dewa dikuasai oleh suatu nasib (Moira); dan ketika kebudayaan India masih mengajarkan bahwa hidup manusia di dunia ini tertahan dalam roda reinkarnasi yang berputar terus-menerus, maka di Tiongkok sudah diajarkan bahwa manusia sendiri dapat menentukan nasib dan tujuan hidupnya. Dikatakan bahwa prinsip utama (Dao) dari realitas adalah jalan manusia, artinya manusia sendirilah yang dapat menjadikan Dao luhur dan mulia kalau ia hidup dengan baik.
Awal Dinasti Han
Seorang petani yang menjadi pemimpin salah satu pemberontakan pada masa itu bernama Liu Bang. Dalam pemberontakannya, ia membutuhkan waktu enam tahun untuk mengambil alih kekuasaan di Tiongkok. Setelah berhasil, ia mengganti namanya menjadi kaisar Han Gaozu. Sejak masa itulah, Tiongkok memasuki era berdirinya Dinasti Han yang merupakan salah satu dinasti yang paling bersejarah.
Dinasti Han berdiri dengan mewarisi daratan Tiongkok dengan segala kondisinya yang sangat kacau balau akibat keruntuhan Dinasti Qin. Hal itu disebabkan karena Dinasti Qin diakhiri dengan banyaknya pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Dengan begitu, tugas pertama yang harus dilakukan pada saat permulaan Dinasti Han adalah mempersatukan kembali propinsi/negara yang memberontak ke dalam naungan pemerintah pusat serta melakukan pemulihan terhadap setiap sektor kehidupan. Dan tugas ini pertama kali diemban oleh seorang yang dulunya adalah petani, bernama Liu Bang.
Sistem Pemerintahan
Pertama-tama, Liu Bang membenahi sistem pemerintahan di negeri Tiongkok. Semasa Dinasti Qin sistem pemerintahan dilakukan secara totaliter, yaitu kaisar memiliki kuasa absolut atas seluruh negeri. Liu Bang tidak percaya akan sistem seperti itu. Ia melakukan perubahan dengan membagi pemerintahan menjadi pemerintahan dalam dan luar. Kaisar akan menjadi bagian dari pemerintahan dalam beserta sekelompok orang terpelajar yang dipilih untuk membantunya. Sedangkan pemerintahan luar dikoordinasi oleh seorang perdana menteri serta sekelompok orang (kabinet) yang bertanggung jawab mengatur berbagai bidang seperti militer, perdagangan, dan pajak negara.
Dengan membentuk sistem pemerintahan seperti ini, kaisar tidak lagi menjadi penguasa tunggal yang absolut, melainkan ia menjadi terbuka kepada nasihat dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama dengan pemerintahan luar dalam mengatur bidang kemasyarakatan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Dinasti Qin yang mana kaisar menjadi penguasa mutlak sehingga semua yang bertentangan dengannya dianggap sebagai pemberontak yang harus dimusnahkan.
Sistem Ujian Kenegaraan
Sistem pemerintahan yang baru memungkinkan orang-orang untuk berpartisipasi dalam mengatur urusan kenegaraan, maka kaisar harus mampu menilai kemampuan setiap orang yang melamar. Oleh karena itu, Liu Bang dan kaisar Han setelahnya memberikan ujian kepada orang-orang yang akan dipilih untuk menjalankan tugas kenegaraan.
Sistem ujian ini adalah sebuah tes yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang mampu menangani tugas kenegaraan atau tidak. Seseorang membutuhkan pendidikan yang baik untuk bisa melewati ujian ini. Pada mulanya, ujian dilakukan hanya terfokus pada kemampuan seseorang akan tugas yang hendak diembannya. Kemudian, mereka juga menguji pengetahuan akan ajaran seorang penulis dan pemikir yang bernama Konfusius. Selama bertahun-tahun, sistem ujian ini terus dilakukan dan dikembangkan.
Menurut Konfusianisme, manusia dilahirkan baik dan dapat diajarkan nilai-nilai kebaikan/moral. Namun, Alkitab menyatakan bahwa semua manusia telah jatuh ke dalam dosa (Roma 3:23) dan tidak ada kebaikan yang dapat muncul dari manusia tanpa Allah yang terlebih dahulu melahirbarukannya. Pada masa itu, begitu banyak orang yang belajar ajaran Konfusianisme demi menjabat di pemerintahan bukan didorong oleh motivasi yang murni (membangun negara), melainkan oleh karena kekuasaan dan uang yang akan diperoleh setelahnya. Orang yang dipilih berdasarkan sistem ujian ini mungkin lolos dalam hal keahlian, namun masalah hati tetap tidak terbereskan.
Meskipun begitu, sistem ini tetap membantu kaisar dalam menentukan orang yang memiliki keahlian dan mencegah orang-orang di pemerintahan untuk memberikan jabatan kepada teman atau sanak saudara yang mungkin tidak berkualitas. Sistem ujian semacam ini masih banyak diberlakukan di berbagai negara sampai hari ini.
Sosial Ekonomi
Selain menata sistem pemerintahan, Liu Bang juga melakukan perbaikan terhadap kehidupan rakyat jelata. Ia menghentikan pembakaran buku-buku seperti yang dilakukan semasa Dinasti Qin dan memberi hak kepada mereka untuk membaca buku dengan bebas. Ia juga melakukan penghematan ketat dalam perekonomian, meringankan pajak, dan menghapuskan hukuman-hukuman yang sadis/keras. Pajak yang diperoleh digunakan untuk membuat jalan dan hal-hal lain yang berguna bagi rakyat. Selain itu, Liu Bang juga mendorong setiap rakyat untuk berproduksi sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Pertanian
Liu Bang dan penerusnya banyak melakukan perubahan dalam metodologi pertanian yang akhirnya meningkatkan perekonomian seluruh negeri. Pertanian mengalami kemajuan yang sangat signifikan semasa Liu Bang menjadi kaisar. Oleh karena ia berlatar belakang seorang petani, maka kaisar Han Gaozu mengetahui apa saja yang dibutuhkan oleh seorang petani dan ia sangat tertarik untuk meningkatkan kondisi pertanian. Ia menjanjikan lahan bagi orang yang ingin bertani dan mendorong para petani untuk menemukan berbagai peralatan pertanian yang efektif. Para petani yang kaya mulai menggunakan metal sebagai alat untuk membajak sawah, mencangkul, maupun mengairi sawah.
Perkembangan penting lainnya pada masa itu adalah mulai digunakannya pupuk dan sistem rotasi tanaman. Para petani menemukan bahwa menanam tanaman yang sama tiap tahun akan memberikan hasil yang sedikit. Sedangkan dengan melakukan rotasi atau perubahan jenis tanaman yang ditanam tiap tahun akan meningkatkan produktivitas. Mereka juga menemukan cara untuk menyuburkan tanah dengan menambahkan zat-zat seperti kotoran binatang. Pengairan yang baik dan nutrisi yang cukup meningkatkan hasil panen di daratan Tiongkok.
Peningkatan efektivitas dan produktivitas pertanian ini memberikan keuntungan yang besar bagi perekonomian di Tiongkok. Hal ini memicu munculnya pembangunan di berbagai bidang lain seperti industri porselen, pengolahan garam, pembuatan sutra, sampai kepada ditemukannya kertas yang sangat berguna bagi pendidikan dan pencatatan.
Pertahanan Militer
Di bawah pemerintahan kaisar Han Wudi (140 – 87 BC), Dinasti Han menggunakan jalan politik dan militer untuk memperluas teritorial. Akibatnya, kekuasaan Dinasti Han menyebar luas sampai ke arah Barat hingga Tarim Basin (daerah Xinjiang-Uygur pada saat ini). Selain itu, daerah kekuasaan juga sampai ke bagian utara Vietnam dan bagian utara Korea.
Pada masa kaisar Han Wudi, terdapat suku pengembara di daerah Utara Tiongkok yang sudah lama melakukan penyerangan terhadap daerah Tiongkok Utara. Ancaman dari luar ini mengganggu daerah tersebut dan menghambat pembangunan di sana. Maka kaisar Han Wudi mulai menaruh penjaga di sepanjang Tembok Besar Tiongkok yang telah dibangun untuk mengusir para pengganggu. Ia menggunakan militer untuk menyerang dan mengusir mereka sampai ke gurun Gobi. Kaisar Han Wudi kemudian membangun kembali dan memperpanjang Tembok Besar Tiongkok tersebut.
Perdagangan
Kaisar Han Wudi mengirimkan seorang bernama Zhang Qian untuk memulai interaksi dengan negara lain di Barat. Pada mulanya, ia hanya berniat untuk menemukan negara lain yang mau bergabung dengan Tiongkok dalam memberantas para penyerbu yang ingin menginvasi Tiongkok. Namun pada akhirnya hubungan terus berkembang menjadi interaksi perdagangan antar negara.
Hal ini menimbulkan ketertarikan bangsa-bangsa Barat terhadap penemuan dan barang-barang hasil produksi Tiongkok. Barang yang sangat terkenal dari negeri Tiongkok salah satunya adalah kain sutra, yang mana tidak ada seorangpun di seluruh dunia pada masa itu yang mengetahui cara membuatnya. Kain ini begitu indah dan merupakan barang yang sangat penting bagi perdagangan Tiongkok, sehingga jalur perdagangan yang menghubungkan Tiongkok dengan bangsa-bangsa lain dikenal dengan nama Jalur Sutra (the Silk Road). Interaksi ini merupakan interaksi perdagangan yang paling awal antara Timur dan Barat.
Akhir dari Dinasti Han
Selama empat ratus tahun, Dinasti Han menghasilkan kemakmuran yang besar bagi negeri Tiongkok. Mereka mendorong peningkatan dalam bidang pertanian yang menyebabkan bahan makanan yang berlimpah. Keuntungan demikian membawa kepada penemuan-penemuan penting seperti kertas, sutra, dan porselen. Daerah kekuasaan dan perdagangan di daerah Utara dan Barat juga meluas. Namun memang ternyata tidak setiap orang adalah orang kaya dan tidak setiap orang adalah pedagang. Maka, dari ketidakmerataan sosial inilah muncul masalah.
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah makin kurang dalam mencukupi kebutuhan rakyat jelata. Ia mulai membebankan pajak yang semakin banyak untuk menyokong kebutuhan militer guna meningkatkan keamanan di Jalur Sutra. Mereka mengenakan pajak untuk hal ini terhadap barang-barang yang paling banyak digunakan orang seperti garam dan besi. Hal ini memang menguntungkan bagi mereka yang menggunakan jalur perdagangan, namun ini semua tidak berfaedah bagi yang lain. Sebaliknya, membayar pajak yang kian besar hanya membuat hidup mereka makin sulit.
Dana yang diperoleh dari pajak kian banyak dialokasikan ke bidang militer. Penekanan di bidang militer mengakibatkan pemerintah harus mengurangi dan mengorbankan pembangunan di aspek lain seperti sistem irigasi pada pertanian dan pembuatan jalan antar daerah dalam negeri. Semakin melemahnya sistem irigasi yang baik menyebabkan hasil pertanian yang mulai menurun. Pembangunan jalan yang buruk menimbulkan hambatan dalam arus transportasi dan perdagangan dalam negeri, sehingga mengakibatkan perekonomian rakyat terhambat. Hal ini tentu saja membawa dampak buruk bagi seluruh rakyat jelata, baik kaum petani maupun para pedagang. Dan kelaparan pun mulai terjadi, terutama di kalangan para petani miskin.
Kisah terus berlanjut dengan munculnya orang-orang yang mulai bangkit memberontak terhadap pemerintah. Begitu pula dengan kehadiran bangsa-bangsa lain yang mencoba menginvasi negeri Tiongkok. Hal ini mengakibatkan pemerintahan menjadi begitu lemah dalam melindungi dan mempertahankan persatuan negeri. Maka, Dinasti Han mulai pecah dan pemerintah pusat mulai kehilangan kontrol atas daerah-daerah di Tiongkok yang diambil-alih oleh kelompok-kelompok militer lokal. Demikianlah, Dinasti Han perlahan-lahan mulai menghentikan pembangunan di aspek-aspek penting seperti pertanian dan jalur akses dalam negeri yang telah membawa Tiongkok kepada kemajuan ekonomi, kehidupan rakyat stabil, tenteram, serta makmur. Dinasti Han akhirnya runtuh dan Tiongkok perlahan-lahan mulai terpecah/terbagi kembali menjadi negara-negara kecil.
Analisis
Meskipun Dinasti Qin begitu dikecam karena kekerasan dan kesadisannya, namun konsep kesatuan politik yang dicetuskan oleh Qin Shihuangdi tetap dipertahankan semasa Dinasti Han. Bagi negeri Tiongkok, prinsip kesatuan ini merupakan poin penting yang perlu dipertahankan, yaitu menyatukan seluruh negeri di bawah kolong langit (Tian Xia). Namun, kini persatuan negara dijalankan dengan cara yang berbeda. Pada Dinasti Han, persatuan tidak lagi diikat oleh adanya hukum yang keras dan mengerikan, melainkan persatuan negara diwarnai dengan sesuatu yang disebut kasih atau kebaikan (Ren).
Hal ini nyata dalam ajaran Konfusianisme yang mengatakan bahwa pemerintahan harus berada di dalam tangan manusia yang bermoral, dan hanya orang bermoral sajalah yang mampu memimpin Negara. Dikatakan bahwa, “To put the world in order, we must first put the nation in order; to put the nation in order, we must put the family in order; to put the family in order, we must cultivate our personal life; and to cultivate our personal life, we must first set our heart right.” To “set our heart right” according to Confucius we need to possess five qualities. These are integrity, righteousness, loyalty, altruism and ren (to respect all living things). Sehingga tujuan dari pemerintahan itu sendiri adalah kemakmuran bagi seluruh rakyat. Demikianlah, prinsip kebaikan (Ren) menjadi sesuatu yang melandasi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Ini merupakan suatu prinsip yang sangat baik karena Alkitab sendiri juga mengajarkan kepada kita bahwa tanpa kasih segala sesuatu menjadi tidak ada faedahnya (1 Korintus 13). Kasih harus menjadi sesuatu yang mengikat dan mendasari setiap relasi kita, baik relasi dengan Allah maupun sesama. Namun pertanyaannya, apa itu kasih? Kasih yang seperti apa? Dari mana kita mendapatkan kasih itu?
1 Yohanes 4:16b mengatakan, “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” Di sini dikatakan bahwa Allah adalah kasih itu sendiri. Allah yang adalah Sang Kebenaran juga adalah Sang Kasih. Dengan demikian, kasih merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kebenaran dan hanya bersumber dari Allah saja. Hal ini merupakan titik tolak berangkatnya kasih orang Kristen di tengah-tengah dunia ini, yaitu menyatakan kebenaran Allah (theosentris). Penyataan kasih harus merupakan penyataan kasih Allah di atas dunia ini melalui kita.
Selain itu, Konfusianisme mendefinisikan kasih di atas dasar relasi sesama manusia berdosa di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dan oleh karena anugerah umum Allah saja, kasih yang demikian masih dapat dipakai untuk menopang kerusakan yang diakibatkan oleh dosa. Kasih yang tidak didasari Kebenaran Allah mungkin akan menghasilkan “kebaikan” tetapi bukan kebenaran. Kasih yang demikian mungkin saja dapat menyenangkan dan diterima banyak orang tetapi tidak memberikan pengharapan. Dan ajaran-ajaran humanisme seperti ini sangat menjunjung tinggi orang yang “baik”, tetapi sering kali menolak orang yang benar. Dengan demikian, kita harus intropeksi diri, apakah kita sering kali hanya senang ketika orang berbuat baik kepada kita, tetapi menolak orang bahkan Tuhan yang benar tapi tidak “baik” menurut versi saya? Jadi apakah perbuatan baik kita dilandasi oleh kebenaran atau hanya semangat humanisme belaka?
Demikian pula dengan sikap kasih kita terhadap diri sendiri. Ketika kita sungguh-sungguh menyangkal diri karena kebenaran, maka di situlah kita sesungguhnya telah mengasihi diri kita. Adakah kasih seperti demikian pada kita, kasih yang membawa diri yang dicipta kembali kepada Diri yang mencipta? Karena pada kenyataannya, kebenaran sering kali menyakitkan dan selalu menuntut penyangkalan diri yang berdosa yang tidak menginginkan kebenaran.
Lebih jauh lagi, kasih yang benar harus mengembalikan manusia kepada posisi yang seharusnya, dan itulah gunanya komunitas gereja yang saling membangun dalam kasih. Sehingga, teguran serta peringatan yang mungkin menyakitkan namun membawa kita kepada kebenaran harus lebih diutamakan daripada gengsi diri.
Selain itu, dalam ajaran Konfusianisme juga dikatakan bahwa kasih (Ren) itu merupakan sesuatu yang dapat diajarkan. Manusia pada dirinya sendiri, mampu mencapai Ren dengan melakukan serangkaian proses latihan yang meliputi peningkatan kebajikan diri dan kemampuan berinteraksi di dalam kehidupan bermasyarakat secara harmonis. Apabila seseorang yang telah menguasai keseluruhan sifat luhur maka ia layak disebut seorang yang budiman atau gentleman (Jun Zi). Di sini Konfusianisme kembali menekankan otonomi manusia. Manusia sebagai pusat yang dapat mengetahui jalan kebenaran dari dirinya sendiri (man-centered). Padahal manusia yang mencari kebenaran, tidak mungkin dirinya sendiri adalah penentu kebenaran. Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” (Roma 3:10-12) Manusia yang relatif ini bergantung sepenuhnya kepada Allah yang absolut, bahkan dalam hal mencari kebenaran dalam dunia ini sekalipun, apalagi setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Tanpa Allah yang terlebih dahulu berinisiatif aktif mewahyukan Firman dengan iluminasi Roh Kudus, tidak ada seorangpun di dunia yang berdosa ini mampu belajar ataupun mengetahui kebenaran.
Konfusius pernah ditanya oleh muridnya mengenai apa yang akan dilakukannya apabila ia memerintah sebuah negara. Ia menjawab: “Satu-satunya hal yang pertama kali diperlukan adalah membetulkan nama-nama. Hendaklah penguasa menjadi seorang penguasa, menteri menjadi seorang menteri, ayah menjadi seorang ayah, dan anak menjadi seorang anak.” Dengan kata lain, itu merupakan pengembalian masing-masing individu kepada posisi yang seharusnya karena setiap orang dilahirkan untuk menjalani hubungan tertentu dan setiap orang mempunyai kewajiban tertentu. Oleh karena itu, harus ada sinkronisasi antara jabatan dengan esensi yang sebenarnya, dan setiap nama dengan aktualisasi yang seharusnya. Dengan demikian, relasi hubungan sosial masyarakat akan menjadi harmonis dan damai.
Sepintas, hal ini nampaknya mirip dengan konsep panggilan (calling) yang ada dalam kekristenan, bahwa setiap orang harus menjalankan posisi dan panggilannya masing-masing. Namun ternyata, sekali lagi Alkitab memberikan sebuah definisi yang unik dan berbeda. Kehidupan yang harmonis dan damai (shalom) yang sejati hanya dapat terwujud ketika kita berada pada posisi yang seharusnya di hadapan Allah dan bukan di hadapan manusia. Permasalahannya bukan bagaimana kita berespons di hadapan manusia berdasarkan nama/esensi yang diberikan oleh masyarakat kepada kita. Melainkan, bagaimana dalam setiap tindakan detail kita hanya merupakan respons atas kehendak Allah saja. Karena itulah yang merupakan esensi kita sebagai gambar dan rupa-Nya, umat Allah yang ditebus. Dan inilah yang seharusnya mendasari keharmonisan relasi kita dengan sesama. Relasi kita dengan Allahlah (vertikal) yang harus mendasari relasi kita dengan manusia (horisontal). Hal ini nyata dalam Kitab Kolose pasal yang kelima.
Sering kali kesulitan kita ketika hidup dalam dunia ini adalah ketidaksadaran akan posisi kita di hadapan Allah sebagai anggota kerajaan-Nya. “Kerajaan Allah” menjadi suatu prinsip/ide yang mengawang-awang dalam benak kita dan tidak pernah ternyatakan dalam hidup kita. Jika kita ingin jujur, posisi dan tindakan kita lebih sering terdefinisikan berdasarkan tekanan dunia dan relasi dengan manusia yang tanpa menghadirkan kerajaan Allah di dalamnya. Bahkan mungkin kita lebih peduli dan memikirkan bagaimana kita menyenangkan orang lain atau sesama kita daripada menyatakan kemuliaan Allah dan menghadirkan kerajaan-Nya atas mereka. Pedulikah kita terhadap posisi kita di hadapan Allah? Sungguhkah kita mendasarkan hidup kita di dalam shalom yang sejati, yaitu ketika Allah menjadi Allah kita dan kita menjadi umat-Nya?
Kelengkapan dan keutuhan dari prinsip Kebenaran di atas dunia ini tidak ada dalam Dinasti Qin maupun Han. Tidak ada dalam ajaran Fa Jia maupun Konfusianisme. Dalam ajaran tersebut kita dapat menemukan kebenaran parsial yang Tuhan anugerahkan kepada mereka sehingga kita dengan kacamata firman Tuhan dapat melihat percikan keagungan Allah dalam ajaran itu. Sedangkan kepada kita, umat-Nya, Allah mewahyukan segala keutuhan kebenaran yang mendasari seluruh dunia ini melalui Firman-Nya. Kita seharusnya mengucap syukur dan kagum akan Alkitab kita, yang meski ditulis oleh tangan manusia, namun berisi segala rahasia kebenaran yang Allah hendak wahyukan kepada kita. Melalui Alkitablah dinyatakan seluruh prinsip kebenaran yang mendasari seluruh realitas dunia ini. Sadarkah kita akan keagungan Alkitab? Tahukah kita di mana letak keagungan yang tak tertandingi dari Alkitab? Sadarkah kita bahwa Alkitab merupakan standar satu-satunya yang dipakai Roh Kudus untuk membawa kita kepada pengetahuan yang benar sebagai dasar bagi seluruh aspek kehidupan kita di dalam dunia berdosa ini? Kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan dan keinginan untuk mencari dan menghidupinya.
Andre Winoto, Dorothy, Rebecca Puspasari
REDS – Culture
Referensi:
1. Ivan Taniputera, History of China.
2. Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Tiongkok.
3. http://indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter14/chapter140105.htm
4. http://www.tionghoa.com/83/dinasti-han-barat/#more-83
5. http://funahmed.blogspot.com/2009/02/filsafat-confusianisme.html
6. http://iccsg.wordpress.com/2006/02/06/kitab-klasikfilsafat-confucianisme-dan-daoisme-2/
7. http://www.montgomeryschoolsmd.org/curriculum/socialstd/resources/phan.html