Tak Ada Rotan, Akar pun Jadi
Ada pepatah di dalam bahasa Indonesia, “Tak ada rotan, akar pun jadi”. Kalimat inilah yang dihidupi oleh orang-orang yang kepepet, terpaksa, yang berjuang untuk maju dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik; tapi mereka tergolong pelit, nyentrik, bahkan mengerikan seperti Paman Gober.
“All things are possible in Indonesia”… Mulai dari cerita tukang asongan di pinggir jalan atau bahkan tukang jagal ayam dari daerah yang merantau ke Jakarta sampai menjadi sukses, semua cerita ini bisa saja muncul di Indonesia. Termasuk kisah “Teh Botol Sosro” (yang sekarang sudah ada kemasan kotaknya seperti Teh Kotak tetapi masih dengan nama merek Teh Botol) yang awalnya berasal dari daun teh jelek yang tidak bisa dijual tetapi masih dapat menghasilkan minuman yang baik. Semua kisah inspirasional ini sangat mungkin disenangi oleh generasi pascamodern kita ini, termasuk mereka yang berada di negara maju. Negara bhinneka kita itu selain gado-gado dari berbagai budaya juga merupakan gado-gado dari berbagai zaman. Lihat saja televisi, yang menjadi lambang zaman informasi, telah masuk desa dan mempengaruhi penduduk yang masih animisme. Pramodern sampai pascamodern dapat kita temukan di dalam negara kita bahkan di dalam satu masyarakat ataupun di dalam diri satu orang. Bandingkan dengan negara Singapura yang maju dengan sistemnya yang kaku. Begitu seseorang keluar dari sistem maka matilah dia; tidak ada hak dan perlindungan untuknya. Mau ini tidak bisa, mau itu tidak boleh.
Jika penduduk desa dengan televisinya tadi menjadi bagian yang pasif maka kita juga melihat tumpang tindihnya kebudayaan dari mereka yang hidup berjuang melawan arus dan berada di luar sistem. Apakah teman-teman pernah mendapat kesempatan melihat encik-encik kaku yang hidup sangat sederhana atau pemuda perantau dari Cina yang hidup hanya membawa satu panci dan sepasang sumpit ke mana-mana untuk menunjang hidupnya? Seperti itulah kira-kira gambaran lain dari mereka yang kepepet. Perantau ini kalau makan mi instan, ya di panci itu dan pakai sumpit itu. Kalau menggoreng telur, ya di panci itu dan pakai sumpit itu. Entah telurnya lengket karena tidak ada teknologi teflon ataupun hangus karena panci semacam itu cepat sekali panas. Lantas, bagaimana dengan spaghetti bolognaise yang telah dia pelajari dan masak sendiri ketika merantau? Ya, pakai panci itu dan sumpit itu. Spaghetti yang dimakan pakai sumpit itu menjadi momen when east meet west.
Sesuai dengan tema Pillar mengenai Chinese Culture, ada perayaan Chinese New Year yang baru lalu. Di tengah hingar-bingar tersebut, mungkin saja ada yang kesepian dan memesan pizza untuk dimakan sendirian seperti Mr. Bean. Ada juga yang dengan penuh cinta kasih memasakkan menu terbaik yang dapat diberikan yaitu Spaghetti Oglio Olio dari Eropa dan ayam Woku dari Manado untuk teman-temannya. Saya termasuk orang yang beruntung karena kecipratan cinta kasih yang indah itu.
Pengganggu Penulis (fiktif yang ada di pikiran penulis): “Eits, dasar orang kampung dan nggak berbudaya. Kamu ya seperti encik-encik Cina kaku itu, kamu nggak tahu ya apa itu fine taste and delicacy kebudayaan? Kamu orang Cina tapi nggak punya akar Cina. Katanya “Tak ada rotan, akar pun jadi”, tapi akar pun kamu nggak ada, gimana sih?! Kamu nggak tahu ya menikmati harumnya masakan Cina diiringi indahnya permainan kecapi? Kamu nggak tahu momen-momen bertukar pikiran melalui syair dan pepatah Cina sambil belajar menulis kaligrafi? Masak makanan Eropa dan Manado dimakan oleh orang Jawa di Singapura pada waktu perayaan Chinese New Year, nggak nyambung kali….”
Penulis yang merasa terganggu (yang juga ada di pikiran penulis): “Saya tahu, saya tahu. Tapi aku juga tahu lagu dari Slank yaitu “Makan nggak makan asal kumpul”. Itu asli Indonesia lho meskipun itu nggak berarti aku ambil akarku dari situ yah. Justru salah satu akar Cina mungkin ada di dalam encik-encik itu dengan sifat perantauannya yang pantang menyerah. Apalagi aku masih makan, bukannya nggak makan alias kumpul-kumpul doang sambil makan angin. Apalagi, kamu juga nggak tahu yah kalau Tuhan sudah lama berkenan pada perbuatan kita. Jadi, lebih baik ya makan dan minum asal senang[1]. Apalagi kamu juga nggak tahu ya, bahwa hidup lebih penting dari makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian?[2] Jangan lupa, aku juga ada kesempatan lain untuk ber-LoHei (Cantonese) atau Yusheng (Mandarin), yang kata tradisi mereka itu dipercaya untuk menambah kemakmuran[3]. Dan Yusheng ini dipopulerkannya di Singapura. Lagipula, kamu bisa muncul di pikiranku itu karena aku juga pernah mengalami Chinese New Year dan diajak main mahjong, mengamati petikan kecapi dan sajak puisi karya kaligrafi dari temanku yang ngajak saat itu. Jadi, jangan ge-er, kamu ada karena aku ada. Jadi, kamu diam saja.”
Pengganggu Penulis: “Oke, oke. Ampun Bos. Kita belajar tentang makanan ini sama-sama aja.”
Hidup: Makanan dan Pakaian?
Di zaman baheula, sebelum ada internet, komputer, telepon seluler, televisi, maupun surat kabar sebagai alat komunikasi, kita sudah melihat adanya produk kebudayaan yang berhubungan dengan makanan dan pakaian. Karena perkembangan komunikasi dari umat manusia ditandai dengan penemuan tulisan seperti cuneiform dan hieroglyph, yang menandakan perubahan dari zaman prasejarah ke sejarah, tentu saja perkembangan kebudayaan dalam makanan dan pakaian yang sudah ada sejak zaman prasejarah, muncul terlebih dahulu. Lihat saja keberadaan cobek yang sampai sekarang masih ada untuk menggerus dan meng-uleg cabe atau sambal yang berasal dari zaman Flintstone itu. Kalau mau bukti lain yang kelihatan akademis, bisa dilihat di artikel Discovery Channel mengenai ditemukannya fragmen-fragmen dari dapur prasejarah yang membuat barbecue Mammoth[4]. Bahkan perkembangan alat masak juga tak habis-habisnya sampai sekarang dengan ditemukannya teknologi teflon, panci anti hangus, penggorengan untuk telur tanpa minyak, parutan keju atau parutan kelapa atau parutan wortel, blender, pengocok telur khusus, mixer, toaster, dan seterusnya. Di sisi yang lain, pakaian juga demikian. Tidak usah jauh-jauh ke luar Indonesia. Bagi suku pedalaman kita sendiri yang tergolong ke dalam unreached people group (dalam hal ini lebih spesifik dan literal yaitu mereka yang terisolasi dan belum tersentuh kebudayaan di luar komunitas mereka), mereka sudah tahu apa itu pakaian dari kulit binatang tetapi belum mengerti alat komunikasi selain mulut, bahasa tubuh, dan simbol-simbol sederhana. Kalau kita melihat pada Alkitab, hal ini juga terlihat dengan jelas bahwa sejak di taman Eden manusia sudah mengenal buah-buahan dan tumbuhan berbiji sebagai makanan; sejak Nuh manusia mengenal bahwa binatang juga dapat diolah sebagai makanan; begitu juga dengan pakaian dari kulit binatang yang diberikan Tuhan Allah sebagai ganti pakaian dari daun ara untuk menutupi ketelanjangan manusia. Bahkan, di zaman Musa, jumbai pada puncak baju pun diatur sebagai lambang hubungan bangsa Israel dengan Tuhan[5]; begitu pula dengan pakaian imam yang begitu rumit pembuatannya, yang dikuduskan dan dikhususkan untuk pekerjaan rumah Tuhan. Tidak lupa perkembangan pakaian yang banyak ditandai dalam pesta kostum sejak berabad-abad silam maupun desain fashion terkini.
Kita telah melihat betapa makanan dan pakaian ternyata berada di tempat yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Masih ingat pelajaran IPS bahwa kebutuhan primer manusia adalah sandang, pangan, dan papan? Walaupun papan tidak banyak dibahas di artikel ini, papan/shelter[6] itu sendiri merupakan konsep yang sangat penting baik di dalam Alkitab maupun kebudayaan karena sangat berkaitan erat dengan kebutuhan mendasar dan hajat hidup setiap umat manusia. Tetapi justru Yesus, yang berasal dari Atas dan melampaui semua yang berasal dari bawah, mengatakan agar kita jangan mengkhawatirkan hal-hal itu seperti orang yang tidak mengenal Allah, karena hidup lebih penting dari makanan dan tubuh itu lebih penting dari pakaian. Dan kalau kita mau jujur, alat komunikasi memang muncul belakangan daripada makanan dan pakaian, tetapi komunikasi itu sendiri tidak. Jika makanan dan pakaian ada sebagai bagian yang sangat penting dan erat kaitannya atau tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia, maka komunikasi itu menyatu dengan hidup itu sendiri. Tidak ada kehidupan tanpa komunikasi karena kita diciptakan sebagai makhluk yang segambar dan serupa dengan Allah. Allah kita sebagai Allah Tritunggal adalah Allah yang berkomunikasi baik di dalam diri-Nya maupun dengan ciptaan yang di luar diri-Nya. Sama halnya dengan kita, manusia yang dicipta sebagai makhluk individu dan sosial yang dapat berkomunikasi di dalam dirinya sendiri dan juga dengan orang lain di luar dirinya, serta dengan Sang Pencipta di luar wilayah ciptaan. Sebelum manusia diciptakan, Allah sudah berkomunikasi di dalam diri-Nya; sejak manusia di taman Eden, Allah sudah berkomunikasi dengan manusia; dan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, manusia sudah tahu apa itu artinya tidak ada makhluk yang sama seperti dia. Orang bisa menjadi gila tanpa ada kesempatan berkomunikasi di dalam hidupnya.[7] Komunikasi telah ada dan bersifat sangat mendasar sebelum apa yang disebut makanan dan pakaian itu berkembang. Agaknya, Slank lebih mengerti hidup sosial dan menikmati kebersamaan daripada kita kalau kita hidup hanya untuk makanan dan pakaian[8].
Pengganggu (datang lagi): “Huh, tuh kan! !@%#$! Dibilangin juga apa? Ternyata sama aja. Kelihatannya pakai ayat Alkitab, tapi ternyata akarnya juga balik lagi ke kebudayaan dangkal yang ngasal punya. Tadi padahal ngakunya nggak ngambil akarnya dari situ.”
Penulis yang diganggu: (Mendiamkan saja dan melanjutkan tulisannya) …
Kerajaan Allah
Seperti yang kita tahu, Yesus bukanlah dari bawah, tapi Dia dari Atas. Dia bukanlah orang dangkal yang menghambur-hamburkan hidupnya hanging out dengan teman-temannya tanpa tujuan ataupun orang rumit yang mencari kepuasan semu di dalam persahabatan yang semu. Tetapi Yesus mengatakan, “Janganlah mengkhawatirkan apa yang akan engkau makan, minum, dan pakai, tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.”[9] Rasul Paulus juga berkata bahwa Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus.[10] Inilah poin yang sangat membedakan Kristus dengan berbagai pemikiran manusia. Kerajaan Allah dihidupi, dinyatakan dengan kuasa dan proklamasi oleh seluruh kepenuhan hidup-Nya sendiri yang berasal dari Atas. Kerajaan Allah akan mencapai puncak kepenuhannya mendekati akhir zaman yang ditandai dengan orang-orang yang tidak mengerti signifikansinya dengan hidup tidak mengerti arah, mengikuti arus, dan kawin-mengawinkan serta makan dan minum.[11] Seberapa besar sih Kerajaan Allah itu? How great is Christianity? Seberapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya arti di dalam Kristus? Seberapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya hidup berkelimpahan di dalam kasih Kristus? Betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya itu![12]
Seberapa besar sih Kerajaan Allah itu? Saya percaya justru karena Kerajaan Allah itu begitu besar maka makanan, minuman, dan pakaian pun ada di dalamnya; bukan dibuang keluar daripadanya. Bukankah Yesus memberikan makan kepada lima ribu orang, yang keluar dari belas kasihan-Nya? Begitu juga iman yang hidup bukanlah iman bibir yang kosong dengan mengatakan, “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”[13] One Piece[14], selalu mengangkat pergumulan realitas yang berat sekali melalui berbagai kesulitan dan membawa kehidupan yang penuh kebebasan serta petualangan, juga sangat mengerti pentingnya makanan di dalam kisah Sanji Sang Koki. Sanji tidak bisa tidak berhutang kepada seorang tua yang memberinya makanan tersisa satu-satunya ketika mereka berdua berada di pulau terpencil tanpa makanan. Apalagi, tanpa sepengetahuan Sanji, orang tua tersebut terpaksa makan salah satu kakinya sendiri untuk bertahan hidup karena dia sendiri tak memiliki makanan. Di dalam Alkitab kita sendiri, juga nyata bahwa kepala keledai dan seperempat kab tahi merpati pun memiliki harga nilai jual-beli.[15] Bahkan, tipu menipu dan peristiwa makan anak kandung sendiri dari seorang ibu yang mengandung anak tersebut selama sembilan bulan adalah hal yang nyata![16] Christopher Columbus dan krunya harus makan makanan berbelatung karena tidak menentu dan jauhnya perjalanan menuju ke Chingay dan Cathay melewati samudera Atlantik. Lebih dekat lagi, di dalam salah satu surat kabar yang pernah saya baca kira-kira tahun yang lalu, ada peristiwa kapal hanyut yang tidak ditemukan cukup lama, sehingga ketika mereka yang bertahan hidup mengutarakan pengalaman mereka, mereka terpaksa memakan sebagian daging mayat kawan mereka yang telah mati duluan.
Bagaimana dengan persepuluhan di dalam kasus Perjanjian Lama yang hasilnya dimakan sendiri dengan bersukaria di hadapan Tuhan?[17] Bukankah Pengkhotbah sebagai manusia yang paling bijaksana, mengajak kita untuk makan roti dengan sukaria, minum anggur dengan hati senang, biarlah selalu putih pakaian kita, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatan kita?[18] Ada keindahan dan kenikmatan yang dikaruniakan Tuhan yang dimiliki oleh orang Kristen. Tetapi kita tidak lupa bahwa Pengkhotbah juga menyelipkan kata “sia-sia” di belakang kata hidup, menjadi “seumur hidupmu yang sia-sia”. Hanya dengan memiliki hidup seperti Yesus, yang berasal dari Atas, yang melampaui semua yang di bawah matahari inilah, kita dapat makan sekaligus investasi harta di dalam kekekalan yang tidak dimakan ngengat. Makan yang justru tidak mengurangi harta kita dan tidak di dalam kesia-siaan, tetapi makan dan menikmati kenikmatan yang diberikan Tuhan di dalam kehendak kekal-Nya. Di sinilah harmonisasi antara kesulitan dan kenikmatan terjadi, di mana kerelaan dan sukacita di dalam penderitaan menyatu, karena adanya kepastian dan iman bahwa pekerjaan Tuhan dalam Kerajaan Allah tidak akan sia-sia. Tahu dari mana? Tahu dari rasul Paulus yang berjuang melawan binatang buas di Efesus yang menurut para Epikuros[19] itu adalah tindakan konyol yang sia-sia karena lebih baik makan dan minum sebab besok akan mati[20]. Eschatological drive dan Millenarian vision[21] inilah yang mengunci 1 Korintus 15 dengan kalimat:
“Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”[22]
Bukankah contoh-contoh dari pahlawan iman dalam sejarah Gereja seperti Calvin dan Edwards, dan bahkan Yesus Kristus serta para rasul nyata bagi kita? Sudahkah kita mengerti zaman kita dan secara peka berinteraksi dengan sekitar kita di dalam Kerajaan Allah?[23] Calvin mengubah dan melampaui sistem kebudayaan dari tradisi Katolik Abad Pertengahan saat itu[24], ia mengatakan,
“What then is the lawful use of wine, of water, of bread, and of all other viands? Indeed to feed ourselves with them, according to the need of our infirmity, and to sustain us so in life that we may not live idly, but that first of all we may do homage to him of whom we hold our life (sic).”[25]
“… good flavors were not added to food value without a purpose, but because our Heavenly Father wishes to give us pleasure with the delicacies he provides.”[26]
Makanan itu seolah-olah begitu rendah dan tidak penting selain hanya untuk menyambung hidup, tetapi di sisi lain, adanya kenikmatan dan sukacita di dalam makanan merupakan anugerah yang telah Tuhan sediakan. Suatu etos kuliner yang langsung berkait dengan prinsip hubungan Tuhan dengan manusia dengan makanan sebagai alat persekutuannya[27].
Beberapa abad sesudah Calvin, Jonathan Edwards juga sangat memperhatikan hal ini dan kita dapat melihat contoh hidupnya di dalam memilih makanan. Bukan berarti pilih-pilih. Dia tak segan-segan untuk tidak makan malam apabila studinya sedang mengalir dengan baik dan memilih makanan yang sangat sesuai bagi kesehatan mentalnya untuk belajar. Itulah prinsip yang telah dipegang oleh Edwards sejak dia berumur 21 tahun.
By a sparingness in diet, and eating as much as may be what is light and easy of digestion, I shall doubtless be able to think more clearly, and shall gain time; 1. By lengthening out my life; 2. Shall need less time for digestion, after meals; 3. Shall be able to study more closely, without injury to my health; 4. Shall need less time for sleep; 5. Shall more seldom be troubled with the head-ache. (Works, I, xxxv)[28]
Jadi, bagaimanakah sesungguhnya kita harus hidup di hadapan Tuhan di dalam Kerajaan-Nya? Apakah kita makan dan minum karena kebudayaan, sistem, dan ikatan-ikatan lain di dalam kehidupan kita? Ataukah kita makan dan minum untuk kemuliaan Allah bagi Kerajaan-Nya? Bagaimana dengan sebagian di antara kita yang merayakan Chinese New Year yang baru lalu? Makan besar? Bukankah Yohanes Pembaptis menggenapkan kehendak Allah dengan makan belalang dan minum madu? Bukankah Yesus menggenapkan kehendak Allah dengan menerima undangan makan bersama orang berdosa? Bagaimana dengan Petrus yang didesak untuk makan makanan haram yang telah dikuduskan oleh Allah? Dan Paulus yang mencukupkan hidupnya dengan bekerja menjadi pembuat tenda? Tetapi saya percaya yang menjadi kunci untuk menginterpretasi berbagai cerita dan konteks hidup pergumulan mereka yang berbeda-beda adalah kalimat dari Yesus Kristus sesudah para murid membeli makanan tetapi sepertinya tidak dimakan:
“Pada-Ku ada makanan yang tidak kamu kenal … Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. … Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.”[29]
Makan aja koq repot… Selamat makan!
Lukas Yuan Utomo
Redaksi Bahasa PILLAR
[1] Pkh. 9:7
[2] Mat. 6:25
[3] Lo-Hei atau Yusheng adalah salad ikan mentah tradisional yang menjadi tradisi dalam perayaan tahun baru Cina
[4] Mammoths Roasted in Prehistoric Kitchen Pit. Discovery Channel. http://dsc.discovery.com/news/2009/06/03/prehistoric-bbq.html. [Diambil pada tanggal 26-02-2010].
[5] Bil. 15:38-39
[6] Taman sebagai habitat manusia mula-mula, rumah sebagai perlindungan bagi keluarga yang dimulai dengan munculnya berbagai tenda hingga kondominium dan juga kota sebagai komunitas suatu masyarakat.
[7] Di dalam film Count of Monte Cristo, dikisahkan orang yang hampir menjadi gila karena di penjara selama belasan tahun tanpa komunikasi. Pertama kali ia bertemu dengan orang lain sesudah begitu lama hidup dalam kesendirian, sukacita yang terlihat seperti bodoh atau gila tidak dapat dilukiskan.
[8] Makanan bisa ditarik lebih jauh kepada kenikmatan hidup dan Pakaian bisa ditarik lebih jauh kepada konsep image dan nilai diri dalam masyarakat dan kebudayaan
[9] Mat. 6:31-33
[10] Rm. 14:17
[11] Mat. 24:38
[12] Ef. 3:18
[13] Yak. 2:16
[14] One Piece, salah satu komik yang mampu menembus 50 edisi buku dan masih tetap menjadi salah satu yang paling diminati orang sampai sekarang karena selalu menyajikan perjuangan, pengharapan, dan makna hidup yang memang sangat dimimpi-mimpikan orang.
[15] 2Raj. 6:25
[16] 2Raj. 6:28-29
[17] Ul. 12:6-7; Saya sedang tidak membicarakan persepuluhan di sini. Siapa tahu kelak ada yang membahas bagian ini secara khusus di dalam artikel buletin Pillar yang akan datang.
[18] Pkh. 9:7-8
[19] Kis. 17:18
[20] 1Kor. 15:32
[21] Untuk studi lebih lanjut, kerangka pemikiran eskatologi ini dikembangkan oleh Geerhardus Vos (Cosmology precedes Soteriology) dan juga secara khusus pemikiran Paulus oleh Herman Ridderbos
[22] 1Kor. 15:58; yang menjadi semangat tak mau takluk kepada maut bahkan menantang maut. Tafsiran G.F. Handel mengenai ayat ini malah bersifat mengejek maut
[23] Bdk. judul buku “Aku dan Zamanku” & “Perjuangan Menantang Zaman” untuk memperingati ulang tahun pelayanan Pdt. Dr. Stephen Tong
[24] Catholic feast days, the eating fish or meat on Friday, and other parts of culinary tradition.Bowdler, J. The Joy of Calvin: Food and the Calvinist culinary ethos. http://www.pres-outlook.org/reports-a-resources/presbyterian-heritage-articles/9454-the-joy-of-calvin-food-and-the-calvinist-culinary-ethos.html [Diambil pada tanggal: 27-02-2010]
[25] Calvin, J. Sermons on the Epistle to the Ephesians. Carlisle: The Banner of Truth Trust, 1987, hlm. 544. [Diambil dari sumber kedua yang idem dengan di atas]
[26] Calvin, J. Calvin: Commentaries. Diterjemahkan oleh Joseph Haroutunian. Untuk Library of Christian Classics, Philadelphia: The Westminster Press, 1962, hlm. 349. [Diambil dari sumber kedua yang idem dengan di atas]
[27] Diterjemahkan dari sumber idem dengan di atas.
[28] Edwards, J. The Works of Jonathan Edwards. Diambil dari sumber kedua: Piper, J. The Pastor as Theologian: Life and Ministry of Jonathan Edwards. Bethlehem Conference for Pastors, 1988. http://www.desiringgod.org/ResourceLibrary/Biographies/1458_The_Pastor_as_Theologian/ [Diambil pada tanggal: 27-02-2010]
[29] Yoh. 4:32-35; Perhatikan ayat 35-38 mengenai ladang yang menguning. Inilah ayat kunci untuk mengerti konsep panggilan bahwa panggilan itu digerakkan karena tersentuh melihat kebutuhan. Bukan kebutuhan secara alamiah yang manusia perlukan seperti makanan dan pakaian, tetapi kebutuhan Kerajaan Allah. Beban Kerajaan Allah dengan fokus Kristus dan karya keselamatan-Nya (Pdt. Dr. Stephen Tong: Soteriology in Pauline Christology) yang menjadi pusat Kerajaan Allah dan meluas menyeluruh menjadi tatanan kosmos yang organik sebagai satu tubuh Kristus. Beban yang tidak bisa tidak dikerjakan. Dorongan alami itu menyatu ke dalam hidup seperti Yeremia yang mengatakan bahwa firman itu melekat pada tulangnya.