Kebanyakan dari kita pasti pernah menanyakan sebuah pertanyaan berkaitan dengan keberadaan kita di dunia. Mulai dari keisengan pikiran yang mempertanyakan “mengapa saya bisa ada?”, atau keluhan yang mempertanyakan “mengapa saya harus ada?”, hingga pergumulan besar akan “apa yang dapat saya lakukan sebagaimana saya ada sekarang?”. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, ada yang berespons dengan menikmati diri yang “berada” (baca: berkecukupan) dan menjalani hidup yang tenggelam dalam samudera kefanaan (baca: kesia-siaan). Ada pula yang terus mencari jawaban bagi pertanyaan ini di sepanjang hidupnya. Pencarian itu pun ada yang sejauh permasalahan-permasalahan yang dihadapi, ada juga yang tidak lebih jauh dari sekadar menutup mata dan melepaskan diri.
Dalam sebuah imajinasi gelap, saya pernah berharap setiap orang mempunyai suatu bisikan keras yang terus merongrong diri. Jika keberadaan diri ini di dunia hanya menambah angka kehidupan, menguras sumber daya, dan memakan ruang dalam dunia, maka ada baiknya diri ini tidak pernah ada. Memang selama ini, ketika segenap upaya sudah tidak dapat dilakukan, lebih mudah untuk menghancurkan dan memulai dari awal. Tetapi benarkah cara berpikir yang seperti ini?
Mari kita bayangkan dunia ini sebagai suatu sistem. Sistem adalah satu rangkaian komponen yang saling berinteraksi atau bergantung untuk membentuk keseluruhan yang kompleks. Setiap individu menjadi komponen yang berperan, namun interaksi antarkomponen dapat menghasilkan spektrum yang berbeda. Martin Luther percaya bahwa sistem ini merupakan bentuk campur tangan dan pengaturan Allah. Namun saat ini kita melihat semakin banyak orang yang tercekik oleh tuntutan-tuntutan dalam sistem. Suatu pola hierarkis yang tidak terlihat namun diakui bersama, menjadikan dunia ini medan perang. Semakin penting posisi yang dikejar, semakin sengit ajang persikutan. Sementara orang-orang yang hanya ingin memperoleh tempat apa pun, harus bertahan hidup di dalam sistem yang mematikan. Lalu apakah sistem itu sedemikian rusak sehingga kita harus memutuskan bahwa pencapaian hidup kita adalah melepaskan diri dari ikatan sosial kita, dan mencari posisi yang melampaui semua kekacauan dunia?
Pada akhirnya, banyak orang yang menyempitkan kehidupan, makna hidup, sistem, tatanan sosial, dan identitas ke dalam pekerjaan. Nyatanya, kerja memang memakan porsi besar dalam hidup kita. Pola lini masa hidup seseorang seolah memang adalah dilahirkan untuk bekerja, studi untuk bisa bekerja, menghidupi keluarga dengan kerja, mengukir sejarah dengan profesi, dan sebagainya. Kalimat gurauan “kerja untuk hidup sehingga hidup untuk kerja” sudah sering ditelan bulat-bulat sebagai fakta. Usaha demi usaha manusia cari untuk mendapatkan solusi bagi permasalahan tersebut.
Pandangan Zaman Yunani Kuno
Pencarian solusi dari permasalahan di atas, dapat kita telusuri hingga ke zaman Yunani kuno. Orang Yunani kuno percaya bahwa kerja tidak lain adalah sebuah kutukan akibat kondisi manusia yang bertubuh. Mereka percaya bahwa kemuliaan segala hal yang bersifat non-material melebihi sifat materi. Ketika kita sedang menyangkali keadaan fisik, berarti kita sedang mengejar keserupaan dengan para dewa. Bahwa manusia harus berkeringat untuk memenuhi kebutuhan jasmani untuk menunda kematiannya, dipandang sebagai suatu ketertundukan akan fakta biologis yang menyedihkan. Hal ini tidak jauh berbeda dari binatang yang fisiknya mati tanpa tujuan apa-apa.
Plato beranggapan bahwa jiwa berdiam dalam keberadaan supranatural yang disebut “ide”, yang kemudian mengalami kejatuhan dalam proses kelahiran fisik. Maka jiwa yang tak berpengetahuan ini harus dibatasi oleh peresapan indrawi kita yang terbatas. Untuk kembali mencapai pengetahuan yang sejati, jiwa harus melakukan reorientasi ke dalam akal budi dan menyangkali keberadaan fisiknya. Kematian menjadi sesuatu yang dinantikan karena membawa jiwa yang telah disempurnakan oleh filsafat ke dalam kebahagiaan kontemplasi murni bersama para dewa.
Meski demikian, Aristoteles percaya bahwa jiwa dan tubuh tidak dapat dipisahkan karena jiwa adalah pembentuk dan pengatur tubuh. Dengan tubuh yang disokong barulah pikiran dapat bekerja, dengan tubuh kita memperoleh bahan untuk proses menghasilkan ide. Demikianlah jiwa dan raga harus bekerja sama menghasilkan pengetahuan bagi pikiran.
Pandangan Gereja Abad Pertengahan
Pengaruh dari bangsa Yunani rupanya terbawa juga dalam pandangan gereja di Abad Pertengahan mengenai kerja. Bagi gereja saat itu, kegiatan yang mulia adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan akal budi. Kemunculan tradisi membiara adalah bentuk dari penghindaran diri akan kerja yang menjauhkan relasi manusia dengan Allah. Kebahagiaan sejati berupa pengenalan sempurna akan Allah dikejar dalam kehidupan kontemplasi dalam biara yang eksklusif.
Dilema dari pandangan ini adalah, bahwa orang-orang yang “menyucikan” diri dan mencoba meraih puncak kesempurnaan jiwa adalah mereka yang bergantung pada orang-orang rendahan yang bekerja di ladang-ladang dan kebun-kebun. Di sisi lain, pengaruh terhadap gereja Abad Pertengahan menimbulkan ironi karena ketika mereka mampu menjalankan “kasih terhadap Allah”, mereka tidak mampu menjalankan perintah selanjutnya yaitu “kasih terhadap sesama”. Meskipun Thomas Aquinas menyatakan bahwa kasih terhadap Allah menjadi utama karena menyangkut kekekalan, ada dampak lain yang mungkin menjadi titik awal kebobrokan gereja saat itu. Kehidupan yang terlepas dari perihal duniawi melalui kontemplasi cenderung menginisiasi motif tak terduga yaitu, pengejaran terhadap pembenaran dan bukan pengudusan. Ketika manusia berpikir usahanya mampu membawa kepada pembenaran, di situlah letak kegagalan iman. Karena bagi mereka ternyata karya Kristus tidak cukup sehingga diperlukan usaha manusia.
Pandangan Era Pencerahan
Era Pencerahan (Enlightenment/Renaissance) merupakan masa ketika seluruh konsep di atas dibantah, salah satunya dengan melihat kemajuan seni dan sastra. Berbagai karya seni yang agung, yang keluar dari curahan jiwa pembuatnya, membuktikan bahwa kegiatan produktif tidak sehina yang dulu dibayangkan. Melalui kegiatan aktiflah kita menyerupai Allah, dengan menjadikan kegiatan kreatif sebagai bentuk curahan jiwa. Respons manusia terhadap alam yang mampu membudidayakan, mengembangkan, dan menyempurnakan, adalah hal yang membedakan manusia dari makhluk lain. Karena respons inilah, kita berada di posisi yang lebih tinggi melampaui alam.
Seiring berjalannya waktu, ketika kegiatan produksi semakin didukung oleh perkembangan teknologi, kekhawatiran baru justru muncul. Kemampuan produksi mesin yang makin meningkat, mendorong pemilik bisnis untuk mempercepat angka produksi dan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sayangnya, lebih dari separuh populasi tidak menikmati keuntungan ini karena mereka terpaksa mengikuti fase bekerja mesin-mesin. Dengan kata lain, mereka menjadi seperti salah satu komponen dari mesin tersebut. Ternyata mimpi buruk lain yang dihasilkan Era Industri adalah perbudakan jenis baru atas manusia oleh mesin pabrik. Arti kerja sebagai curahan jiwa sudah digantikan dengan ketertundukan pada besi-besi tak berjiwa.
Pandangan Karl Marx
Kesenjangan oleh kapitalisme inilah yang ditolak Karl Marx dengan komunisme. Kapitalisme, menurut Marx, adalah sistem yang membunuh dirinya sendiri karena semakin tinggi efisiensi pekerjaan yang disebabkan oleh mesin, semakin sedikit tenaga yang diperlukan. Kaum proletar berusaha memperoleh upah yang tidak layak dari pekerjaan yang makin langka. Demikianlah semakin tidak masuk akal bagi mereka untuk merasakan manfaat dari bekerja. Sampai titik inilah Marx meramalkan sebuah revolusi yang akan menempatkan sumber daya dan alat produksi di bawah kendali publik.
Slogan “satu untuk semua, semua untuk satu” tidak bisa diartikan sebagai penghapusan milik perseorangan. Komunisme menawarkan solusi penghapusan kelas sosial dengan menjadikan status kepemilikan alat produksi sebagai milik publik. Dengan demikian, keuntungan apa pun dapat dinikmati bersama. Sebelum komunisme dapat disanjung lebih lanjut, ternyata para pemain dalam panggung komunisme juga tidak terhindar dari masalah. Meskipun hak perseorangan telah diganti menjadi hak publik, tetap ada segelintir orang yang ditunjuk untuk mengatur segala pelaksanaan ekonomi. Ini hanya mengulang kembali skenario lama dengan aktor yang berbeda.
Pandangan Sigmund Freud
Maka Sigmund Freud melihat sisi lain dari kerja yang secara utopis telah didistorsi oleh keyakinan komunisme, yaitu bahwa pemenuhan hidup manusia tidak didapat dalam kerja. Bagaimanapun kita dibayar dengan harga tinggi, pekerjaan selalu menjadi beban yang harus dipikul agar nantinya manusia memperoleh pemuasan hidup di luar kerja. Alat-alat yang tadinya dimaksudkan untuk menghindarkan manusia dari beban kerja, ternyata tetap tidak bisa menghilangkan keharusan itu. Pekerjaan adalah bentuk penyangkalan diri manusia karena ternyata tujuan hidup manusia terletak pada konsumsi, bukan produksi; bersantai, bukan bekerja.
Pernyataan Freud tampak lebih realistis, melihat kondisi aktual manusia yang memang mencari kesenangan dan disebut sebagai “organisme pencari kepuasan”. Lebih liar lagi, hakikatnya kita memiliki insting-insting biadab yang selama ini ditundukkan dalam sebuah penataan palsu. Manusia digambarkan sebagai hewan miskin kasih yang melihat sesamanya sebagai pemuas hasrat dan kebutuhan dirinya. Hal yang mempertahankan keteraturan dalam masyarakat adalah nafsu untuk menikmati hidup itu sendiri (karena seseorang membutuhkan keamanan sosial untuk dapat menikmati hidup). Hal ini, bagi Freud, merupakan tragedi karena kita akan terus melawan “kodrat” kita yang mencari kenikmatan, dengan dilimpahi kesengsaraan, untuk menikmati kenikmatan itu.
Jika itu yang terjadi sekarang, maka kita sedang menyaksikan degradasi karakter manusia yang sungguh parah. Karena kini bagi Freud kita hanya sekelompok manusia gila yang mencoba menjaga kewarasannya dengan penyangkalan diri untuk nantinya bisa berhura-hura menikmati hasil kerja. Karena kerja itu memuakkan!
Pandangan Reformasi
Ketika semua pemikir-pemikir hebat tetap tidak dapat memberikan jalan keluar, Era Reformasi gereja membawa pemahaman lain tentang kerja yang ditawarkan oleh Kitab Suci; sebuah pengenalan akan sistem yang tidak pernah diketahui Plato, Aristoteles, Marx, maupun Freud. Maka kesempurnaan jiwa dan pikiran yang diangkat oleh pemikir Yunani, konflik antara kasih terhadap Allah dan sesama dalam tradisi membiara, puncak aktualisasi diri dalam kreativitas yang dikemukakan pada Era Pencerahan, pemusnahan hierarki sosial yang diimpikan Marx, serta permasalahan nafsu manusia untuk memperoleh kesenangan, dibantah, dijawab, dan disempurnakan oleh Kitab Suci. Ketika Penciptanya menawarkan pengertian, mengapa mengambil risiko berasumsi dari pengamatan akan sistem yang telah tercemar itu sendiri? Marilah kita kembali kepada apa yang Alkitab katakan.
Penjelasan akan sistem diawali dengan pengenalan komponen-komponen secara individual, yaitu manusia. Manusia diciptakan dengan kesamaan kebutuhan sekaligus perbedaan kemampuan, menjadikannya individu yang saling bergantung satu sama lain. Maka perwujudan makna hidup akan sulit dicapai tanpa adanya relasi yang berupa pelayanan timbal balik. Rasa saling bergantung inilah yang menjadi salah satu faktor terbentuknya komunitas. Sebuah komunitas yang sejati bukanlah komunitas yang menjadikan setiap komponennya melebur menjadi satu sistem, bukan juga yang membiarkan perbedaan setiap komponen tanpa adanya sinkronisasi di antaranya. Melainkan, komunitas yang mempertahankan perbedaan atau keunikan setiap komponen dan menjadikannya satu kesatuan yang bersinergi menjadi kekuatan yang besar, inilah komunitas yang sejati. Di dalam konteks komunitas seperti inilah manusia dapat mewujudkan makna hidupnya dengan baik.
Selain itu, identitas kita sebagai gambar dan rupa Allah membuka kesempatan bagi kita untuk mengenal diri melalui pengenalan akan Allah. Sehingga kita tidak lagi memiliki ide bahwa Allah adalah pemikiran murni tanpa kehangatan, melainkan pribadi yang terus aktif dalam menopang dunia. Sadarilah bahwa fakta ini, yaitu berelasi dengan Allah, juga yang memberikan kita nilai sekaligus mencegah kita bertinggi hati karena status kita merupakan anugerah.
Selain memperbaiki relasi kita dengan Allah dan sesama, untuk bisa memaknai hidup ini dengan benar adalah dengan menyadari adanya kontaminasi dosa terhadap sistem, yang kadang menjadikan kerja komponen-komponen menjadi sesuatu yang menyiksa. Salah satu contohnya adalah konteks pemerintahan yang menyangkut kepentingan orang banyak tetapi masih saja ada orang yang menjadikannya ajang persaingan dan bukan kerja sama, padahal peranan pemerintah sangat krusial. Fakta bahwa Allah masih bersabar dan tidak menghancurkan sistem inilah yang seharusnya membuat kita berespons, bukan menjadi pasrah atau menolak mentah-mentah atau melarikan diri dari peradaban dan hidup dalam biara.
Tetapi dengan menanggapi panggilan pekerjaan sebagai kesempatan mewujudkan komunitas yang kudus, dengan menyatakan kebenaran melalui hidup kita. Allah menghendaki kita berbagian dalam karya-Nya untuk mengatur alam, sesuai identitas dan panggilan mulia manusia pada mulanya. Dan ketika manusia mencukupi isi rumah mereka, orang lain juga boleh menikmati pelayanan yang dilakukan. Inilah salah satu bentuk manusia yang memaknai hidup secara Alkitabiah.
Hal-hal ini terlihat mustahil untuk dikerjakan tetapi, biarlah ketaatan mendahului keraguan dan ketakutan kita. Seorang Musa tidak mudah menjalankan di saat ia harus kembali ke Mesir, untuk melawan bangsa yang membesarkannya dan memimpin bangsa leluhurnya tanpa kemampuan fasih lidah. Tetapi di dalam ketaatannya, ia tetap menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan karena ia mengerti krusialnya menjalankan perintah Tuhan. Ketaatan ditundukkan di bawah pengertian akan kehendak Allah. Sebab, semangat menjalankan perintah yang tak berdasar menyerupai kereta tanpa rel. Dalam mencari pengertian ini, motivasi yang tepat pun mengiringi. Motivasi yang tepat dicari dengan kejujuran dan kerendahan hati. Sebab sebagaimana Calvin nyatakan, tidak ada tugas yang terlalu rendah dan hina, yang tidak dihargai di mata Allah.
Oleh karena itu, panggilan khusus jangan direduksi menjadi segala pekerjaan yang berupah saja, tetapi sebuah undangan untuk berespons terhadap posisi yang engkau dan saya tempati, kemampuan yang Tuhan beri, serta suara keresahan yang Tuhan tanamkan dalam hati kita. Semoga Tuhan memimpin pergumulan masing-masing pemuda, sehingga peka melihat karya Tuhan yang besar pada zamannya, mengambil pilihan yang membangun kerohanian orang banyak, serta menyatakan kemuliaan Allah dalam pekerjaannya. Amin!
Yinni Lauly
Pemudi GRII Bandung
Referensi:
Hardy, Lee. 2009. The Fabric of This World. Michigan. Wm. B. Eerdmans Publishing Co.