“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik, dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Matius 5: 13-16)
Penulis telah lama berpikir untuk menulis mengenai “Pelajar Kristen” sebelum akhirnya ia mendapat kesempatan untuk melakukannya. Namun kendati telah lama memikirkannya, penulis tetap percaya bahwa apa yang ia hasilkan adalah sebuah anugerah. Sebab ketika penulis memikirkan apa yang harus ia tuliskan, ia semakin sadar bahwa ia tidak tahu apa yang harus ia tuliskan. Ia mencoba masuk ke dalam pemikiran bagaimana seharusnya orang Kristen sebagai pelajar itu, namun semakin dalam ia berpikir, semakin ia kehilangan arah – seperti seseorang yang hilang di tengah labirin yang gelap, tidak ada titik tolak baginya untuk menentukan arah. Hingga suatu saat penulis sadar bahwa memang tidak mungkin baginya untuk melihat bagaimana seorang pelajar Kristen itu seharusnya, tanpa terlebih dahulu melihat bagaimana seorang Kristen itu seharusnya. Ketika penulis masuk ke dalam pemikiran ini, barulah ia dapat melihat bagaimana seorang pelajar Kristen itu seharusnya. Sebab hanya dari Kristus segala sesuatu yang baik dapat diturunkan termasuk pengenalan diri orang Kristen sebagai pelajar. Kiranya tulisan ini dapat menjadi berkat bagi setiap orang yang membacanya.
Penulis dulu pernah berpikir: “Setelah seseorang bertobat dan menerima Yesus, kenapa ia tidak langsung dipanggil kembali oleh Tuhan?” Kalau tujuan hidup manusia berdosa di dalam dunia (yang by the way juga sudah tercemar oleh dosa) hanyalah agar ia memiliki kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, maka sesudah ia bertobat, seharusnya Tuhan langsung mencabut nyawa orang itu supaya ia jangan membuang-buang waktunya di dunia. Tuhan yang demikian baru bisa dikatakan “efisien”. Namun mengapa Ia tidak melakukannya? Bukankah berlama-lama berada di dalam dunia hanya akan menambah kesengsaraan hidup orang beriman? Demikian pikir penulis.
Seiring dengan bertumbuhnya penulis di dalam Tuhan, penulis menyadari betapa dangkal pikiran penulis saat itu. Sebab penulis mengira bahwa tujuan hidup manusia berdosa di dalam dunia yang juga sudah tercemar oleh dosa hanyalah supaya ia dapat masuk surga. Namun demikian, walaupun saat ini penulis sudah dapat dengan yakin menjawab bahwa Tuhan tidak memaksudkan hidup manusia di dalam dunia yang sudah tercemar oleh dosa ini supaya ia dapat bertobat dan akhirnya masuk surga saja, pertanyaan “Kenapa saya masih diberikan kesempatan hidup di dalam dunia ini?” tetap tidak pernah hilang dari pikiran penulis lama setelah ia menjadi orang percaya. Sebab memang ada tujuan hidup yang “lain” di dalam dunia yang sudah tercemar ini bagi setiap orang yang telah ditebus selain dari untuk diselamatkan. Inilah tujuan itu: Tuhan di dalam kasih karunia-Nya hendak memberikan anugerah “lebih” kepada orang-orang yang telah ditebus supaya mereka dapat berbagian dalam pekerjaan baik-Nya di dalam dunia – “menebus” segenap ciptaan lain agar boleh dipersembahkan kepada Kristus (Ef. 1:22, 2:10). “Ciptaan lain” di sini tidak dimengerti sebagai jiwa manusia yang belum percaya saja, melainkan segala sesuatu yang berada di dalam alam semesta ciptaan Tuhan. Kita mengenal hal ini dengan istilah “mandat budaya”. Di sinilah kita menemukan alasan mengapa kita masih berada di dalam dunia. Tanpanya, selain untuk mengabarkan Injil, tidak ada alasan lain mengapa kita perlu berlama-lama hidup di dunia ini.
Setiap orang Kristen pasti memiliki panggilan khusus yang diberikan Allah kepadanya untuk berbagian dalam karya penebusan seluruh ciptaan-Nya yang lain, sesuai dengan kelimpahan kasih karunia-Nya (Kej. 1:26-27; 1 Kor. 12; Ef. 4:4-13). Dalam mengerjakan panggilannya, Allah tidak meninggalkan orang Kristen sendirian, melainkan memperlengkapi mereka dengan berbagai macam berkat. Segala macam berkat yang disediakan Allah bagi kita untuk menjalankan mandat budaya ini tidak berupa berkat materi, melainkan rohani – tidak berupa hal-hal yang dapat digunakan langsung dalam aplikasi-aplikasi spesifik sesuai dengan keperluan kita dalam mengerjakan panggilan khusus kita masing-masing, melainkan berupa iman dan prinsip-prinsip umum hidup sebagai orang Kristen (Ef. 1:3-14, 2Kor. 10:3-5). Sebab “musuh-musuh” yang akan dihadapi oleh orang-orang yang telah ditebus dalam mengerjakan mandat budaya ini juga tidak bersifat materi, melainkan rohani – setan, kuasa dosa, dan godaan-godaan dunia (Ef. 6:11-12, 1 Pet. 5:8, 1Yoh. 2:15-16). Karena itu penting bagi setiap kita untuk memperlengkapi diri dengan segala macam perlengkapan rohani yang diberikan oleh Allah (Ef. 6:13-18; Kol. 2:6-8).
Pada tulisannya kali ini, penulis hanya bermaksud membahas tentang prinsip-prinsip umum yang dipaparkan oleh Alkitab dalam hubungannya dengan hidup seorang pelajar. Penulis akan terlebih dahulu membahas keunikan kondisi seorang pelajar, baru kemudian mengangkat prinsip-prinsip umum yang diajarkan oleh Alkitab untuk diterapkan dalam konteks pelajar. Namun sebelumnya, penulis ingin terlebih dahulu menjawab satu kesulitan umum mengenai hal ini.
Pengertian bahwa Allah memberikan prinsip-prinsip umum melalui Alkitab – dan bukan aplikasi-aplikasi spesifik – terkadang membuat kita berpikir adalah sulit membuat aplikasi-aplikasi spesifik dari prinsip-prinsip tersebut. Kita sering berpikir bahwa kita “tidak memiliki cukup “bahan” untuk melakukannya. Ketika kita membaca Alkitab, di dalamnya kita banyak menemukan tokoh-tokoh yang berprofesi utama sebagai rasul, raja, nabi, ataupun imam. Akan tetapi jarang atau bahkan tidak pernah kita menemukan tokoh-tokoh di Alkitab yang berprofesi utama sebagai olahragawan, ilmuwan, pekerja industri, akuntan, bankir, juru masak, jurnalis, perawat, teknisi, pembawa acara televisi, ataupun pelajar. Alkitab banyak memberikan contoh-contoh bagaimana kehidupan seorang “hamba Tuhan”, namun jarang kita membaca di dalamnya kehidupan seorang yang “bukan hamba Tuhan” (padahal setiap orang Kristen sesungguhnya adalah “hamba Tuhan”). Sehingga sering kali seorang merasa kesulitan untuk mendapatkan contoh langsung dari Alkitab bagaimana seharusnya seorang dengan profesi tertentu dapat hidup sebagai orang Kristen.
Apakah Alkitab memang tidak cukup memberikan petunjuk bagi kita dalam menjalankan panggilan khusus Tuhan atas diri kita masing-masing? Tidak! Justru sebaliknya Alkitab telah cukup memberikan petunjuk bagi kita dalam mengerjakan panggilan khusus kita masing-masing. Hanya memang kita perlu mengolah prinsip-prinsip yang diajarkan Alkitab tersebut dengan baik, sebelum kita dapat memperoleh manfaat darinya. Ketika masih kecil kita belajar untuk menuliskan huruf ‘A’ sampai ‘Z’, angka ‘0’ sampai ‘9’, mungkin ditambah beberapa angka Romawi, huruf Yunani, aksara daerah, dan tanda-tanda baca. Selain itu hampir setiap kita tidak belajar menulis huruf-huruf lain yang tidak conventional – huruf-huruf Korea misalnya. Namun hanya dengan menggunakan huruf-huruf conventional (yang jumlahnya sudah tentu sangat sedikit), kita mampu menulis buku yang terdiri dari beratus-ratus bahkan beribu-ribu halaman. Sebab memang “bahan dasar” dari penulisan buku, baik beratus-ratus, beribu-ribu, maupun berpuluh-puluh ribu halaman tetap sama, yaitu huruf-huruf conventional itu! Demikian halnya dengan Alkitab yang sering memberikan prinsip umum tetapi jarang memberikan aplikasi spesifik adalah cukup bagi kita untuk menghasilkan beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan berpuluh-puluh ribu aplikasi spesifik darinya. Bukankah hanya dengan ‘0’ dan ‘1’ komputer dapat menghasilkan begitu banyak hal? Maka tugas seorang Kristen bukan untuk menciptakan prinsip-prinsip baru di luar yang diajarkan oleh Alkitab, melainkan untuk merenungkan prinsip-prinsip sederhana yang banyak diajarkan oleh Alkitab siang dan malam dan menerapkannya dalam makin banyak aspek hidupnya (Yos. 1:7-8, Mzm. 1, Mzm. 119).
Setidaknya ada tiga keunikan dalam masa kehidupan seorang sebagai pelajar yang tidak dimiliki oleh masa-masa yang lain. Pertama, masa belajar adalah masa yang penuh dengan kesempatan belajar di sekolah. Kedua, masa belajar adalah masa yang penuh dengan interaksi antar manusia melalui berbagai kegiatan, dalam jumlah besar, dan dalam waktu yang relatif lama. Ketiga, masa belajar adalah masa di mana pengenalan seseorang akan dunia mulai dibangun dan berkembang dengan sangat cepat.
Kehidupan seorang pelajar unik, bukan semata-mata karena ia dapat belajar sebab belajar dapat dilakukan di mana saja, tetapi karena ia mendapatkan pelajarannya di sekolah. Jadi, tergantung dari sekolah di mana ia belajar, seorang pelajar akan dibentuk (itulah sebabnya orang tua menyadari pentingnya memilih tempat untuk menyekolahkan anaknya). Juga tergantung dari bagaimana seorang pelajar merespons pelajaran yang diberikan kepadanya di sekolah, ia akan dinilai oleh sekitarnya. Pdt. Dr. Stephen Tong pernah berkata kepada mahasiswa-mahasiswi Kristen di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, seusai seminar tanya jawab yang diadakan oleh NTU Christian Fellowship, “As Christians, you should study hard and perform well in your academic study. If you do not, people around you will not see how you are affected by your belief. What then makes you different from non-Christians? And what will make them be interested in Christianity?” Maka, seorang pelajar Kristen harus memperhatikan pelajarannya di sekolah dan perlu bertekun dalam mempelajarinya, tidak bermalas-malasan, apalagi mengabaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pelajar. Ini adalah kriteria esensial bagi seorang pelajar Kristen yang baik.
Namun demikian, dalam bertekun seorang pelajar Kristen tidak boleh sampai kehilangan arah – tidak lagi mengenal untuk Siapa ia belajar. Jika ia sampai kehilangan arah maka ia akan jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan. Ada setidaknya dua kesalahan dimana seorang pelajar Kristen sering jatuh akibat kehilangan arah.
Pertama, adalah hilangnya integritas hidup secara utuh karena menjadikan sistem penilaian akademis di sekolah sebagai standar utama dalam mengukur kualitas hidupnya, bukan Tuhan, baik dengan sadar ataupun tanpa sadar. Setiap orang Kristen diberikan talenta yang berbeda-beda oleh Tuhan. Sistem akademis di sekolah sudah pasti tidak sanggup untuk menilai dengan tepat kapasitas manusia yang terlalu besar – memang ia tidak didesain untuk itu, ia hanya sanggup menilai satu atau dua bagian dari keseluruhan talenta yang dimiliki manusia. Sehingga terlalu rendah jika seorang menilai hidupnya sebagai pelajar Kristen berdasarkan prestasi akademisnya saja. Seorang pelajar Kristen kendati harus memperhatikan pelajarannya dengan baik, tidak boleh menempatkan itu sebagai satu-satunya pengukur hidupnya. Ia tetap harus memperhatikan bagian-bagian lain yang esensial dalam hidupnya. Jika seorang pelajar Kristen melupakan Tuhan dan menempatkan standar hidupnya atas dasar lain maka ia pasti akan jatuh ke dalam berbagai macam kesalahan. Bagi yang diberikan kemampuan lebih, umumnya tidaklah sulit bagi mereka untuk memenuhi standar penilaian akademis yang ditetapkan oleh sekolah. Karena itu, mereka dapat jatuh dengan mudah ke dalam kesalahan “belajar gampangan”. Mereka berpikir, “Saya tidak belajar keras, tapi toh sudah bisa mendapat nilai baik, jadi buat apa belajar susah-susah? Cukup deh buat saya untuk belajar seperlunya aja, ga usah repot-repot, toh saya kan termasuk orang yang pintar?” Kesalahan orang semacam ini terletak pada penilaian atas dirinya yang didasarkan pada standar yang diberikan oleh sekolah saja. Cabutlah standar itu, orang semacam ini akan langsung kehilangan dasar untuk melihat bahwa dirinya “cukup baik” apalagi “pintar”. Sebaliknya bagi yang berkemampuan kurang, mereka juga dapat jatuh pada kesalahan yang sama yaitu dengan menempatkan dirinya seolah-olah dihakimi oleh standar penilaian akademis sekolah saja. Dua respons salah yang mungkin terjadi pada orang semacam ini, yang satu menjadi anti-akademis, tidak lagi berusaha untuk belajar di sekolah sebaik mungkin, dan menganggap hina orang-orang yang belajar keras di dunia akademis, sama sekali tidak menghargai kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk belajar di sekolah, belajar semau sendiri, dan tidak mau berusaha memenuhi standar akademis sekolah. Respons lainnya adalah menganggap bahwa pelajaran yang ada di sekolah itu terlalu berat baginya, sehingga kalau ia ingin mengejarnya, maka ia berpikir bahwa ia harus mengorbankan kegiatan-kegiatan wajib lainnya. Mereka berpikir, “Belajar aja udah setengah mati, mana sanggup tambah ke gereja, ikut pendalaman Alkitab, apalagi persekutuan doa?” Semua kesalahan ini timbul dari penyembahan seorang pelajar Kristen terhadap berhala selain Allah bernama “sistem penilaian akademis sekolah” yang membuat hidupnya berespon senantiasa terhadap berhala ini, bukan Allah.
Kedua, adalah hilangnya kerendahan hati dalam belajar. Kerendahan hati yang penulis maksudkan di sini adalah yang di dalamnya mencakup pengertian bahwa segala talenta, kegagalan, dan keberhasilan, datangnya dari Allah. Tanpa kerendahan hati semacam ini, seorang pelajar Kristen tidak akan sanggup menghadapi baik kegagalan maupun keberhasilan dalam belajar, dan justru mereka akan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Tanpa kerendahan hati, mereka yang menghadapi kegagalan dalam belajar tidak akan mendapat apapun dari kegagalan tersebut, apalagi dapat mengoreksi dirinya, melainkan akan banyak mengomel. Orang Kristen semacam ini jelas tidak dapat dijadikan contoh oleh orang sekitarnya – bagaimana seseorang semestinya berespons dalam menghadapi kegagalan – ia tidak dapat berfungsi sebagai “garam dunia”. Namun tanpa kerendahan hati yang sama, mereka yang menghadapi keberhasilan dalam belajar juga tidak dapat memuliakan Allah dengan keberhasilannya. Sebab di dalam hatinya tidak ada pengakuan bahwa jika mereka berhasil itu pun pasti bukan merupakan hasil usahanya, melainkan hanya anugerah semata sehingga diri mereka terikat oleh keberhasilan tersebut. Orang semacam ini tidak dapat berfungsi sebagai “terang dunia”. Tuhan Yesus mengatakan bahwa hal utama yang membedakan orang Kristen dan non-Kristen adalah bahwa ketika orang lain melihat “terang” seorang Kristen yang “bercahaya”, bukan orang Kristen itu yang dimuliakan melainkan Bapanya yang ada di surga (Mat. 5:16). Jadi, jika seorang pelajar Kristen yang telah memperoleh keberhasilan tidak mengaku bahwa keberhasilannya tersebut berasal dari Tuhan, bagaimana ia dapat memuliakan Bapanya yang di surga? Betapa pun kerasnya usaha seorang pelajar Kristen untuk memperoleh keberhasilannya, hal itu akan tetap terlihat menjijikkan di mata Allah. Jadi, tanpa kerendahan hati tidak mungkin bagi seorang pelajar Kristen untuk mengklaim bahwa segala talentanya adalah tanggung jawab dari Tuhan, segala kegagalannya adalah pelajaran dari Tuhan, dan segala keberhasilannya adalah anugerah dari Tuhan. Semua klaim akan berhenti pada diri orang itu sendiri.
Karena keterbatasan tempat, pembahasan penulis mengenai keunikan pelajar Kristen pada artikel Pillar bulan ini harus berhenti di sini. Dalam artikelnya bulan depan, penulis akan melanjutkan pembahasan mengenai dua keunikan masa belajar yang lain dan bagaimana keunikan-keunikan tersebut dapat menjadi berkat atau kutuk tergantung dari bagaimana seorang Kristen merespon hal tersebut.
Ian Kamajaya
Pemuda GRII Singapura