Pada artikel Pillar bulan lalu, penulis telah membahas satu dari tiga keunikan yang dimiliki oleh seseorang dalam masa belajarnya dibandingkan dengan masa-masa lainnya, yaitu bahwa masa belajar adalah masa yang penuh dengan kesempatan belajar di sekolah. Penulis juga telah memaparkan bagaimana masa yang penuh dengan kesempatan belajar di sekolah ini dapat menjadi kesaksian yang baik maupun bumerang bagi seorang pelajar Kristen, tergantung dari bagaimana ia meresponi masa belajarnya. Ada tiga sikap dasar yang diperlukan oleh seorang pelajar Kristen supaya ia dapat meresponi kesempatan belajar yang diberikan Tuhan padanya di sekolah dengan baik, yaitu: ketekunan, integritas, dan kerendahan hati. Tanpanya, seorang pelajar Kristen hanya akan membuang-buang masa hidupnya sebagai pelajar di sekolah. Pada artikel Pillar edisi bulan ini, penulis akan melanjutkan dengan membahas dua keunikan lain yang dimiliki seseorang dalam masa belajarnya, yaitu: masa belajar adalah masa yang penuh dengan interaksi antar manusia melalui berbagai kegiatan, dalam jumlah besar, dan dalam waktu yang lama; dan masa belajar adalah masa di mana pengenalan seseorang akan dunia mulai dibentuk dan berkembang dengan sangat cepat.
Kehidupan seorang pelajar juga unik, bukan semata-mata karena ia memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga karena interaksi ini terjadi melalui berbagai kegiatan, dalam jumlah (orang) yang besar, dan dalam waktu yang lama. Pada masa belajar, seseorang berinteraksi dengan orang-orang lain dalam berbagai aktivitas – belajar, berolahraga, bermain, berlomba-lomba, kegiatan organisasi, ekstrakurikuler, kerja kelompok, retreat sekolah, kegiatan sosial bersama, dan lain-lain. Signifikansi dari interaksi melalui berbagai kegiatan ini adalah dalam masa belajar (mau tidak mau, sadar atau tidak) seorang menjadi “terbuka” satu sama lain. Segala kelebihan, kekurangan, serta keunikan karakter seorang pelajar lebih tidak tersembunyi satu sama lain dibandingkan dengan masa-masa lain. Hal ini terjadi walaupun pelajar itu sendiri tidak memiliki sifat terbuka. Sebab sekalipun seorang pelajar memiliki sikap tertutup, sikap tertutupnya tersebut tetap terlihat oleh orang lain dan dengan demikian “terbuka”. Hampir setiap kita setidaknya masih mengetahui, bahkan yang paling tertutup di antara teman-teman yang pernah sekelas dengan kita. Sebab terhadap orang-orang yang lama berada bersama kita, kita memiliki semacam perasaan familiar, dan itu membuat kita setidaknya mau mengetahui sesuatu tentang mereka. C. S. Lewis dalam bukunya, The Four Loves, menyebut perasaan semacam ini sebagai “affection” (storge). Jadi, tidak mungkin bagi seorang pelajar untuk tidak “terbuka”.
Selain itu, karena sekolah adalah sebuah komunitas di mana banyak orang berkumpul di dalamnya, maka mau tidak mau seorang pelajar akan memiliki lingkungan sosial yang luas. Setiap pelajar adalah “artis” dan “penonton” bagi pelajar lainnya. Hal ini berarti bahwa di satu sisi, apapun yang ada di dalam diri seorang pelajar dapat dengan mudah keluar dan dibaca oleh lingkungannya (artis). Jika apa yang berada dalam diri seorang pelajar itu buruk, buruk pula apa yang akan dikeluarkannya; jika yang berada dalam diri seorang pelajar itu baik, baik pula yang akan dikeluarkannya. Namun di sisi yang lain, ini juga berarti apapun yang ada di dalam lingkungan sekolah, dikarenakan “dikeluarkan” oleh pelajar-pelajar yang lain, adalah senantiasa “tersedia” di hadapan seorang pelajar (penonton). Agama, pola pikir, dan sikap hidup apapun dapat dengan mudah diamati (maupun diadopsi) oleh seorang pelajar karena mencontoh pelajar lainnya. Maka selama masa belajar: ke dalam, seorang pelajar dapat belajar untuk melihat dirinya dari buah-buah yang keluar darinya, dan dengan membandingkan buah-buah yang keluar darinya dengan buah-buah yang keluar dari diri orang lain; dan ke luar: seorang pelajar dapat “menyediakan” buah-buah bagi orang sekitarnya untuk diamati maupun diadopsi.
Maka dari itu jangka waktu di mana para pelajar saling berinteraksi, yaitu jangka waktu yang lama menjadi penting. Sebab waktu interaksi yang panjang antar pelajar lain memungkinkan mereka untuk melihat konsistensi maupun perubahan hidup dalam diri orang-orang di sekitarnya, yang tidak mungkin dapat dilakukan jika seorang hanya mengenal orang lain dalam waktu singkat. Di samping itu, jika dikaitkan dengan yang faktor sekolah sebagai komunitas dalam jumlah besar yang dijelaskan sebelumnya, seorang pelajar juga dimungkinkan untuk melihat konsensus dalam kehidupan pelajar-pelajar lainnya secara umum. Jadi, jangka waktu di mana seorang pelajar saling berinteraksi, berbagai kegiatan di mana seorang pelajar turut berpartisipasi, dan besarnya jumlah orang yang berhubungan dengan seorang pelajar di sekolah, membentuk satu kesatuan unik dalam lingkungan sosial seorang pelajar. Lingkungan sosial seperti ini mendukung kesempatan penyebaran pengaruh dari pribadi ke pribadi lebih daripada lingkungan sosial lainnya.
Di dalam kondisi yang demikian, bagaimanakah seorang pelajar Kristen seharusnya hidup di tengah lingkungan sosialnya? Di tengah lingkungan sosial yang mempunyai potensi terbesar bagi antar pribadi untuk memberikan pengaruh satu sama lain seperti ini, seorang pelajar Kristen yang baik seharusnya mengambil kesempatan emas dengan terjun ke tengah lingkungan sosialnya dan membiarkan “buah-buah” Kekristenannya sebanyak mungkin dinikmati oleh orang sekitarnya, tanpa mengorbankan nilai-nilai Kekristenan yang dipegangnya. Pelajar Kristen seperti ini mampu menggunakan kesempatan belajarnya bukan saja untuk belajar tetapi juga untuk menjadi berkat bagi orang-orang sekitarnya. Hal ini bukan tanpa kesulitan seperti yang akan dijelaskan pada bagian-bagian berikutnya. Akan tetapi hal ini tetap merupakan hal yang seharusnya bagi seorang pelajar Kristen untuk dilakukan di lingkungan belajarnya, terlepas dari berhasil tidaknya ia mengerjakan hal ini.
Setidaknya ada dua kecenderungan di mana seorang pelajar Kristen umumnya jatuh dalam hal ini. Yang pertama adalah kecenderungan seorang pelajar Kristen untuk mengikuti arus populer yang ada dengan mengorbankan nilai-nilai Kekristenan yang dipegangnya. Yang kedua adalah kecenderungan seorang pelajar Kristen untuk menjauhi lingkungan sosial yang ada dengan mengorbankan kesempatan emas di tengah lingkungan sosialnya sebagai pelajar. Kecenderungan seorang pelajar Kristen untuk mengikuti maupun menjauhi – arus populer yang penulis maksud di sini adalah yang bermakna peyoratif, yang berarti excessive (berlebihan) dan tanpa penilaian yang tepat.
Dari penjelasan mengenai lingkungan sosial sekolah di atas, dapat dikatakan bahwa lingkungan sekolah telah menjadi seperti sebuah masyakat “demokrasi” kecil di mana orang-orang di dalamnya berinteraksi dan saling menyebarkan pengaruh berdasarkan karakter mereka masing-masing, dan menghasilkan suatu corak hidup sekolah yang berasal dari “voting” orang-orang di dalamnya. Yang pengaruhnya kuat (atau dengan kata lain “populer”) akan mendominasi corak kehidupan di sekolah, sedang yang pengaruhnya lemah (dengan kata lain “tidak populer”) akan mengikuti “corak hidup” yang dominan di sekolah. Corak hidup yang terbentuk di sekolah semacam inilah yang penulis maksud dengan arus populer.
Yang menjadi masalah dari suatu corak hidup (atau arus populer) di sekolah atau di mana saja, tentu bukan apakah corak hidup tersebut populer atau tidak, melainkan apakah corak hidup tersebut benar atau tidak. Segala macam sikap yang mewarnai corak hidup yang benar: ketekunan, sportivitas, penghematan, kejujuran, sikap tolong-menolong, semangat persatuan, tanggung jawab, sopan santun, dan lain-lain, ditawarkan di sekolah. Namun sebaliknya, segala macam sikap hidup yang mewarnai corak hidup yang buruk: ketagihan, kemalasan, pemborosan uang, waktu, dan tenaga, humor-humor kotor, sikap saling menjatuhkan, memecah-belah, suka bergosip, kecurangan-kecurangan belajar, pergaulan tidak sehat, dan lain-lain, juga muncul sedari masa belajar di sekolah! Jadi di sini unsur penilaian terhadap suatu corak hidup menjadi sangat menentukan. Jika seorang pelajar Kristen tidak mampu memberikan penilaian yang tepat terhadap corak hidup yang berkembang di sekitarnya, maka ia akan sangat mudah mengikuti (baca: terseret) arus populer yang ada dan niscaya akan jatuh ke dalam berbagai bentuk kesalahan, sebab tidak semua arus yang populer adalah benar. Kesalahan orang semacam ini adalah kurangnya penilaian yang dimilikinya atas dunia, oleh karena ia tidak memilih untuk takut akan Tuhan dan memperoleh pengertian darinya (Ams. 1:7, 22, 29). Ketika seorang Kristen tidak lagi “memperdengarkan telinganya pada hikmat” (Ams. 2:2) yang datang dari Tuhan (Ams. 9:10, Yak. 3:17-18) dan “mencarinya seperti perak” (Ams. 2:4), “kesukaran dan kecemasan akan datang menimpanya” (Ams. 1:27). Pada saat itu “kebijaksanaan akan menertawakan celakanya” (Ams. 1:26) namun “ketika ia mencari kebijaksanaan, ia tidak akan ditemukan olehnya” (Ams. 1:28).
Di sisi yang lain, kendati seorang pelajar Kristen telah mempunyai penilaian yang tepat terhadap corak hidup yang baik dan yang buruk, ia tetap dapat terjatuh pada suatu bentuk kesalahan lain yang umumnya terjadi, yaitu kecenderungan untuk menjauhi lingkungan sosialnya. Seorang pelajar Kristen yang mampu memberikan penilaian terhadap lingkungan sekitarnya akan segera menyadari begitu banyak sesungguhnya kerusakan-kerusakan yang ada di lingkungan sekitarnya sebab dunia ini memang sudah rusak karena dosa. Begitu banyak nilai-nilai Kekristenan yang berlawanan dengan dunia berada di dalam lingkungan sekolah: kejujuran untuk memperoleh hasil yang diinginkan, ketekunan dalam belajar, semangat menyangkal diri demi kepentingan orang lain, bertanggung jawab terhadap setiap aktivitas yang dilakukan, selalu berkata benar, menjauhi segala bentuk imoralitas seksual, dan lain-lain, sudah tentu sangat tidak populer. Hal ini dapat membuat seorang pelajar Kristen mungkin memiliki pandangan yang sangat pesimis terhadap dunia sekitarnya, yaitu lingkungan sekolahnya, seolah tidak ada pengharapan apapun yang bisa ia temukan dari dalamnya, bahkan ketika ia menjalankan nilai-nilai Kekristenan yang dipegangnya dengan ketat – memang tidak ada! Karenanya ia dapat dengan sangat mudah jatuh pada semangat “menarik diri dari lingkungan” yang negatif, yaitu menarik diri yang disebabkan oleh kekecewaan terhadap lingkungannya. Sikap seperti ini jelas tidak ada dalam semangat Kekristenan yang sesungguhnya, sebab Yesus sendiri berkata, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18) walaupun “dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya” (1Yoh. 2:17).
Namun mengapa masih juga seorang Kristen dapat jatuh pada sikap seperti ini? Jawabnya adalah karena orang Kristen tersebut tidak meletakkan harapannya pada Allah. Ketika seorang Kristen salah meletakkan arah harapannya maka ia tidak akan menemukan pengharapan apapun di dalam dunia. Ia hanya akan berkerja berletih lesu di dunia ini walaupun ia adalah seorang muda yang penuh dengan kekuatan (Ams. 20:29, Yes. 40:30). Tetapi ketika ia mengarahkan harapannya pada Tuhan, Alkitab berkata, “Mereka mendapatkan kekuatan baru, mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah” (Yes. 40:31). Seorang Kristen ditempatkan Allah di dalam dunia memang bukan untuk berharap kepadanya, melainkan memberikan pengharapan kepadanya, sebab ada tertulis, “Dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya” namun di ayat yang sama Rasul Yohanes langsung melanjutkan dengan, “tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya” (1Yoh. 2:17, bandingkan Mzm. 1, Yer. 17:5-8). Hal ini benar bagi orang Kristen secara umum, benar juga bagi setiap pelajar Kristen.
Masa belajar juga unik karena masa belajar adalah masa di mana seseorang mulai membangun kerangka pandangnya terhadap dunia yang berkembang dengan sangat cepat. Penekanannya adalah pada kata mulai dan cepat. Memulai sesuatu selalu tidak mudah dan mengandung bahaya sebab tidak ada pengalaman di belakang suatu hal yang baru saja dimulai. Demikian halnya dengan masa belajar. Apalagi pembangunan fondasi kerangka berpikir seseorang dalam masa belajar bukan saja hanya baru dimulai, tetapi juga berkembang dengan sangat cepat. Hal ini membuat masa belajar menjadi lebih krusial. Penulis sendiri berpendapat bahwa di antara tiga keunikan masa belajar, yang ketiga ini adalah yang paling penting, yang darinya, jika diresponi dengan benar akan membuat seorang pelajar Kristen mampu juga meresponi dua keunikan dalam masa belajar lainnya dengan benar. Keunikan ketiga ini menjadikan masa belajar ibarat seorang yang meletakkan fondasi untuk bangunan rumahnya. Tergantung dari seberapa kokoh fondasi tersebut dibentuk, ia akan mempengaruhi keseluruhan struktur bangunan di atasnya.
Kalau demikian bagaimanakah seorang Kristen harus meresponi keadaannya ini? Jawabannya adalah dengan mulai membangun kerangka pandangnya atas dunia berdasarkan fondasi yang tak akan pernah goncang, yaitu yang kekal, dan senantiasa berpegang teguh pada hal tersebut supaya di atasnya dapat dibangun segala sesuatu yang lain dengan kokoh – dengan cepat ataupun lambat. Dan jika seorang pelajar Kristen yang baru saja memulai membangun cara pandangnya atas dunia tidak meletakkan fondasinya pada dasar yang kekal, maka pasti keseluruhan struktur cara pandangnya terhadap dunia akan roboh – cepat ataupun lambat. Sebab ada tertulis, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya” (Mzm. 127:1). Maka penulis berpendapat adalah lebih penting bagi seorang pelajar Kristen untuk mengenal Siapa yang ia percaya sebelum ia mengenal apa yang ia percaya. Supaya dari Dia yang layak dipercaya, yaitu Yesus Kristus, batu karang satu-satunya yang kekal, seseorang dapat memperoleh segala kebenaran yang tidak akan binasa (1Ptr. 1:25) – dan bukan dari yang lain.
Namun mengenal Siapa yang layak dipercaya hanyalah menjadi awal dari perjalanan seorang pelajar Kristen yang mulai membangun cara pandangnya terhadap dunia. Dalam perjalanan berikutnya, ia harus bertekun di dalamnya dan menjadi semakin dan semakin mengenal, bukan hanya Siapa yang ia percaya tetapi juga apa yang ia percaya. Kecenderungan yang sering terjadi dalam kehidupan seorang Kristen adalah pemisahan dari kedua hal ini, sehingga orang Kristen sering terlihat sebagai orang yang bodoh karena dianggap mempercayai seseorang secara buta. Hal ini tidak pernah diajarkan di dalam Alkitab sebab Alkitab menuliskan, “Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya” (1Yoh. 2:3). Namun kendati Alkitab mengajarkan bahwa seorang yang menuruti kehendak Allah adalah yang mengenal Allah, ia juga mengajar dengan tegas bahwa Allah tidak mungkin terselami seluruhnya (Yes. 55:8-9, Rm. 11:33-34). Jadi, tidak pernah ada ruang bagi manusia untuk tidak bergantung pada Allah dan berusaha semakin mengenal-Nya, juga tidak pernah ada ruang bagi manusia yang bergantung pada Allah dan berusaha untuk mengenal-Nya melalui ketaatan untuk makin tidak mengenal-Nya.
Mazmur 119 adalah salah satu pasal favorit penulis. Sebab di dalamnya terkandung rahasia bagi semua orang saleh (Kristen) yang telah mengenal Tuhan untuk dapat hidup makin berlimpah di dalam pengenalan mereka akan Tuhan. Penulis merasa bahwa pasal yang sama dapat juga menjadi pegangan yang sangat baik bagi seorang pelajar Kristen. Tidak sering dalam Kitab Suci tertulis sesuatu yang ditujukan secara khusus bagi seorang muda. Lebih jarang lagi yang ditujukan dalam bentuk pertanyaan. Namun dalam Mazmur 119:9, keduanya muncul. Dan dari ayat ini dituliskan bahwa cara untuk membuat seorang muda untuk menjaga jalannya bersih adalah, bukan dengan trial and error, bukan dengan berspekulasi, bukan pula dengan bergantung pada diri sendiri maupun orang lain, tetapi dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan. Dan orang yang menjaga jalannya di hadapan Tuhan, yang merenungkan firman Tuhan itu siang dan malam, meskipun masih muda, Alkitab mencatat, dapat menjadi “lebih bijaksana daripada musuh-musuhnya, lebih berakal budi daripada pengajar-pengajarnya, dan lebih mengerti daripada orang-orang tua” (Mzm. 119:97-100) dan seperti “Pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya” (Mzm. 1:3). Sebab, “Firman Tuhan adalah pelita bagi kaki[nya] dan terang bagi jalan[nya]” (Mzm. 119:105). Dengan menjaga sesuai firman Tuhan, segala jalan yang ditempuhnya, segala aspek, segala jalan, segala perbuatan, segala pemikiran, segala pengetahuan, segala-galanya harus didasarkan kepada firman Tuhan. Pengetahuannya adalah benar adanya ketika sesuai dengan prinsip firman Tuhan, dan pengetahuannya salah ketika tidak sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Demikianlah firman Tuhan menjaga seluruh jalan hidup seorang pelajar Kristen.
Betapa indahnya kehidupan yang Tuhan hendak berikan kepada kita di dalam Dia! Kiranya kita yang telah berada dalam kasih karunia-Nya karena mengenal Anak-Nya, Yesus Kristus, mau terus bertumbuh di dalam kasih karunia demi kasih karunia-Nya yang semakin besar, melalui ketaatan kepada dan di dalam Firman-Nya.
Ian Kamajaya
Pemuda GRII Singapura