Politik dan Hiperrealitas

Indonesia sedang menyambut pemilihan presiden yang dilakukan secara langsung untuk kedua kalinya. Media, khususnya televisi, dipenuhi hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden serta berbagai macam tayangan iklan yang menjagokan calonnya.

Politik adalah sebuah area yang serius, apalagi pemilihan presiden. Politik suatu negeri akan menentukan arah perjalanan hidup suatu bangsa, demikian juga dengan presiden suatu negeri. Ia akan menentukan kesejahteraan rakyatnya dan martabat bangsa yang dipimpinnya. Lalu apa kaitannya dengan hiperrealitas?

Jean Baudrillard, seorang teoritis postmodern, adalah tokoh yang paling dikaitkan dengan istilah hiperrealitas. Secara singkat, hiperrealitas adalah suguhan ‘realitas’ yang lebih nyata dari aslinya, tempat di mana batas antara yang nyata dan maya sulit dibedakan. Sebuah dunia yang melebur. Menurut Baudrillard, televisi adalah sebuah tempat suguhan hiperrealitas karena televisi memiliki kemampuan untuk membangun sebuah realitas sosial (social constructed reality).

Richard J. Middleton dan Brian Walsh dalam buku ‘Truth Is Stranger Than It Used To Be’ mengutip pendapat Walter Truett Anderson yang menyebut Presiden Amerika Serikat (AS), Ronald Reagan, sebagai politisi postmodern pertama. Reagan memakai seluruh kemampuan profesionalnya yang sukses di perfilman ke dalam dunia politik. Ia tidak perlu lagi mengembangkan konsep kebenaran apapun, karena kebenaran adalah apa yang menghibur. Di dalam diri Reagan, terdapat kemenangan style atas prinsip, retorika atas argumentasi, dan citra atas substansi. Hiperrealitas ala Reagan mengaburkan realitas yang ada yaitu meningkatnya hutang publik, melebarnya jurang kaya miskin, membengkaknya anggaran militer, berbohong kepada Kongres, bahkan secara umum membawa AS ke dalam kemerosotan ekonomi dan moral. Kaget? Itulah sihir hiperrealitas yang mengaburkan fakta. Sekarang mestinya Anda sudah melihat keterkaitan antara politik dan hiperrealitas ….

Ketika Anak Allah menjadi manusia Yesus Kristus, Ia tidak datang dalam gemerlap dan hiruk pikuk hiperrealitas televisi. Ia tidak menjajalkan penonton-Nya dengan sekumpulan citra yang membaurkan fakta dan ilusi. Raja semesta alam datang dalam rupa seorang hamba. Penguasa langit dan bumi, yang mengangkat dan menurunkan raja-raja dan pemerintah-pemerintah, ‘menyaru’ dalam pencitraan yang tidak sesuai dengan realitas-Nya. Mengapa?

Kembali ke persoalan politik dan pemilihan presiden negeri ini. Berhati-hatilah untuk tidak terjebak dalam suguhan hiperrealitas calon presiden. Gunakan pikiran dan bijaksana Firman untuk membedakan mana yang asli dan mana yang ilusi. Renungkanlah antara ‘pencitraan’ Yesus Kristus sebagai pemimpin sejati dengan semua pencitraan dan kemungkinan hiperrealitas yang ditawarkan calon pemimpin negeri ini. Selamat memilih ….

 

Maya Sianturi

Pembina Remaja GRII Pusat