Introduksi: Saling Claim
Pertama-tama, saya harap tulisan ini menjadi tulisan ringan yang dapat dibaca dan direnungkan pembaca sekalian yang berkecimpung di dunia sains. Kegelisahan saya bermula dari fenomena saling klaim antar agama atau pemikiran bahwa agamanya atau pemikiran kelompoknyalah yang seharusnya mendapat kredit atas awal berkembangnya suatu pengetahuan alam yang kita mengerti saat ini. Misalnya, banyak netizen di India memberikan klaim bahwa ketiga hukum Newton meminjam prinsip dari ucapan-ucapan Sanskerta dan teori gravitasi Newton sebenarnya berasal dari suatu kitab sutra. Ujung-ujungnya klaim seperti ini sebenarnya mau mengatakan bahwa Newton pernah terekspos dengan tulisan atau ajaran tersebut dan meminjamnya tanpa mengutipnya.
Arah pemikirannya adalah mengatakan bahwa sains modern sekarang dengan sengaja mengubur sejarah pemikiran lampau dan hanya menyebutkan pengaruh pemikir Barat saja. Selain itu, sudah tentu pembaca di Indonesia pernah mendengar tentang zaman keemasan sains dalam era Islam dengan nama-nama terkenal seperti Ibnu Sina (yang akhirnya berubah fonik menjadi Avicena saat sampai ke tanah Eropa), al-Khwarizmi yang darinya kita mengenal aljabar, dan lain-lain. Jika menelaah secara sejarah, saat ini setidaknya tidak ada yang meragukan pengaruh penting kebudayaan yang dibangun oleh kerajaan Islam di erakeemasannya. Saat itu, Eropa sedang mengalami masa “gelap” setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi. Pemikiran-pemikiran dari “Barat” atau lebih tepatnya Athena, Yunani, seperti pemikiran Plato dan Aristotle diselamatkan dan dikembangkan oleh pemikir-pemikir di Persia. Dari mereka inilah, para penikmat pengetahuan di Eropa selanjutnya mendapatkan percikan api yang akhirnya kembali menggugah mereka di Abad Pencerahan. Hal seperti ini ekuivalen seperti mendapatkan video viral di internet.
Sikap Sebagai Orang Kristen
Tentunya kita sebagai orang Kristen, apalagi di Gerakan Reformed Injili ini, pernah mendengarkan klaim superioritas yang senada dengan mengatakan bahwa sains modern berkembang justru karena tumbuh di tanah yang subur akibat budaya kekristenan di Eropa. Vern Poythress, dalam tradisi Van Til secara khusus dan tradisi Reformed secara umum, juga menyodorkan pemikiran lebih lanjut bahwa kekristenanlah yang menyediakan dasar pemikiran yang sahih dan konsisten secara metafisika untuk berpikir dan bekerja dalam bidang sains. Secara singkat, Poythress mengatakan bahwa sifat-sifat hukum alam sangat mencerminkan karakter dari Tuhannya orang Kristen dan hanya theologi Kristenlah yang secara komprehensif menyediakan atribut-atribut keilahian tersebut yang di atasnya semua pemikiran akan sains dibangun. Meminjam tradisi apologetika Van Til, pemikiran Poythress hendak mengatakan bahwa setiap ilmuwan modern saat ini sebenarnya meminjam dasar pemikiran metafisika tersebut (borrowed capital) tanpa sadar, agar dapat bertindak sesuatu dalam sains. Contohnya, kita secara (tidak) sadar mengasumsikan bahwa hukum alam harus sama kemarin, sekarang, dan sampai selamanya agar kita bisa mengerjakan sains. Tentunya akan sangat aneh jadinya jika kita tidak mengasumsikan ini karena artinya eksperimen kita tidak memiliki makna apa-apa. Jika demikian, sebenarnya apa yang bisa menjamin sifat “kekekalan” dalam sains ini jika memang bukan karena diciptakan oleh Tuhan yang juga kekal? Kira-kira begitu argumentasi Poythress.
Pemikiran-pemikiran dari “Barat” atau lebih tepatnya Athena, Yunani, seperti pemikiran Plato dan Aristotle diselamatkan dan dikembangkan oleh pemikir-pemikir di Persia. Dari mereka inilah, para penikmat pengetahuan di Eropa selanjutnya mendapatkan percikan api yang akhirnya kembali menggugah mereka di Abad Pencerahan.
Sedikit banyak, saya setuju dan mengambil posisi yang mirip dengan Poythress dalam keseharian saya bekerja di bidang sains. Hanya saja, dalam tulisan ini saya mau menyodorkan beberapa pertanyaan. Apakah saya juga harus mencari hal-hal fenomenal di dalam Alkitab yang menunjukkan keunggulan Alkitab dalam sains? Sama seperti judul artikel ini, apakah Yesus superior dalam sains berarti di Alkitab akan kita temukan teori yang mumpuni tentang sains? Pertanyaan ini cukup bernuansa retorik, tetapi ya saya jawab saja, yakni, tidak!
Cara Melihat Alkitab
Jangan salah mengerti saat dikatakan Yesus menopang seluruh alam ciptaan maka artinya Alkitab harus menjadi buku sains. “Tentu saja tidak, bagaimana sih penulis ini?” Masalahnya,jika Anda memegang teori young earth, menurut saya Anda sebenarnya sedang melakukan “cocoklogi” sains dan menganggap Kitab Kejadianlah yang secara benar menjelaskan bagaimana terjadinya alam ciptaan ini. Ya, coba Anda pikir sendiri. Apa bedanya asumsi young earth ini dengan pikiran orang yang menganggap kitabnya sudah menjelaskan hukum Newton sebelum Newton lahir? Anda secara gamblang menegaskan bahwa tulisan di kitab Anda sudah menjelaskan umur bumi ini bahkan sebelum ada cara menghitung umur bumi tersebut. Sama kan?
Lalu apakah memegang old earth artinya sudah pasti betul? Yang penting menurut saya adalah proses berpikirnya di sini. Jika kita memulai bahwa Kristus berkuasa atas semesta, maka kita harus mendasarkan akan apa yang Alkitab jabarkan, namun dengan tetap menggunakan kacamata yang diwajibkan oleh Alkitab sendiri. Kenapa diwajibkan? Ya karena setiap buku di Alkitab ditulis dengan tujuan awal tertentu. Jika Anda membaca Kidung Agung dan berusaha menyelidiki dengan paradigma sejarah, maka tentu akan terkesan aneh. Jadi maksud saya adalah, cobalah selidiki apa maksud kitab Musa yang pertama tersebut ditulis. Sudah jelas buku itu bukan ditulis untuk analisis sains.
Penutup
Untuk menjawab pertanyaan sains, harusnya kita menggunakan sains. “Lo? Tetapi kan kita bisa menghitung umur bumi dong dari jumlah orang dan tahun yang disebutkan di Kitab Kejadian?” Tidak semudah itu, Ferguso! Kitab Musa ditulis dengan konteks tertentu dan untuk menjawab pergumulan tertentu. Utamanya kita harus tahu apakah hal tersebut. Saat ini kita dapat mengenal konteks mereka dengan membaca naskah-naskah Timur Dekat Kuno (Ancient Near East, atau ANE) yang kira-kira seumur dengan Kitab Musa atau setidaknya ditulis dengan tujuan umum yang sama, yakni memberikan kisah asal-usul suatu bangsa. Ingat! Yang menulis itu Musa, orang yang hidup di generasi setelah Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Lewi, dan seterusnya. Musa bukan saksi mata utama. Dia menulis dengan hikmatnya saat itu (tentu dengan pimpinan Roh Kudus) bukan dengan tujuan menjawab pertanyaan sains Anda, “Umur bumi berapa ya?”
Untuk menutup artikel introduksi ini, saya mau menyatakan bahwa supremasi Kristus secara umum dapat dilihat dari kesaksian alam ini sendiri dan juga manusia yang mempelajarinya.Secara khusus, topik selanjutnya yang akan saya bahas adalah terkait manusia sebagai pelaku yang mengeluarkan produk sains tersebut.
Sandy Adhitia Ekahana
Pengurus MRII Swiss