Tantangan
“Publish or perish!” Demikian slogan peneliti masa kini. Jika kita tidak mengeluarkan publikasi ilmiah (publish) maka karier kita akan tamat (perish). Namun tidaklah demikian realitas peneliti beberapa dekade ke belakang. Hal ini makin menjadi-jadi saat nilai seorang peneliti dilihat dari berapa banyak publikasi ilmiah yang dia bisa publikasikan, yang dari situ dia bisa meminta suatu hibah penelitian agar bisa terus melanjutkan pekerjaannya. Ini menjadi lingkaran setan: jika tidak mengeluarkan publikasi maka sulit mendapat hibah; jika tidak ada hibah, maka sulit melakukan penelitian. Jika sulit meneliti maka sudah tentu sulit publikasi. Maka dari itu, karier seorang peneliti modern harusnya dimulai dari sejak dia melakukan studi doktoral. Jika memang serius mau berkarier sebagai peneliti, maka haruslah menelurkan publikasi agar saat hendak melangkah ke jenjang selanjutnya, kita bisa menggunakan hasil penelitian doktoral tersebut di mana dana penelitiannya adalah milik dosen pembimbing kita. Jadi, kita seperti dibesarkan di sebuah rumah yang memberikan kita modal untuk tumbuh menjadi lebih besar di kemudian harinya. Inilah realitas penelitian modern saat ini.
Publikasi menjadi seperti mata uang yang mau tidak mau harus kita miliki. Memang uang bukanlah segalanya, tetapi hidup tanpa uang ya sulit juga. Maksudnya, sebagai peneliti, saya sering mendengar bahwa orang terjun ke bidang sains pertama-tama didorong rasa ingin tahu yang kuat. Rasa keingintahuan inilah yang mendorong laju penelitian dan kreasi dengan begitu cepatnya. Peneliti, terutama yang berkecimpung dalam sains dasar, bahkan tidak memikirkan utilitas penelitiannya sebagai titik akhir dari penelitiannya. Jika saat ini hasil penelitian fisika kuantum dapat menghasilkan kuantum komputer, para peneliti kuantum generasi pertama tidak memikirkan hal tersebut sebagai tujuan utama mereka. Hasil penelitian tersebut mereka terbitkan pertama-tama agar hasil tersebut dapat dikomunikasikan kepada komunitas peneliti yang lebih luas dan juga mendapatkan suatu nama bagi diri mereka sendiri. Lalu apakah mereka mempunyai target menerbitkan publikasi setiap bulan sekali atau setiap tahun sekali? Tidak. Maka dari itu, peneliti modern merasa terpaksa saat keingintahuan mereka harus selalu diimbangi dengan pertama: apakah dapat dipublikasikan?, dan kedua: apakah ini berguna bagi khalayak ramai?
Supremasi Kristus
Di mana supremasi Kristus dalam hal publikasi ini? Saya bayangkan jika Dia datang kembali, maka semua peneliti dapat kembali melakukan penelitian dengan murni didorong oleh rasa ingin tahu akan keajaiban ciptaan Tuhan belaka, tanpa embel-embel mau mendapat hibah atau bertanya, “Apakah ini berguna?” Tentu dasarnya adalah karena dosa sudah tidak ada. Maka kita sudah tentu hanya murni bekerja meneliti untuk mencari tahu apakah gerangan cara kerja Tuhan kita ini dalam mengatur alam semesta. Tetapi realitasnya kita masih hidup di dunia ini. Maka apa yang perlu kita pikirkan dan lakukan agar supremasi Kristus menjadi lebih nyata?
Berikan kepada kaisar apa yang wajib kita berikan kepadanya, dan kepada Tuhan, apa yang wajib kita berikan kepada-Nya. Perlu waktu yang cukup lama bagi saya untuk menyadari bahwa dalam dunia berdosa ini, saya harus memaksa diri menulis, menggambar, dan mengeluarkan publikasi. Saya bersyukur memiliki supervisor yang mengerti keterdesakan publikasi tersebut dalam karier saya, sehingga saya dipaksa untuk mengeluarkan sesuatu walaupun saya tidak rasa ini layak dipublikasikan. Ya, tidak semua hasil penelitian harus keluar di jurnal Nature/Science, kira-kira seperti itu. Jika memang hasilnya setingkat jurnal yang reputasinya kecil, ya haruslah dengan setia tetap dikeluarkan. Sikap perfeksionisme yang merayap masuk haruslah dikeluarkan agar hanya Kristus yang bertakhta dalam setiap tulisan kita dan bukan ego kita sendiri.
Sikap perfeksionisme yang merayap masuk haruslah dikeluarkan agar hanya Kristus yang bertakhta dalam setiap tulisan kita dan bukan ego kita sendiri.
Jika ya, katakan ya, jika tidak, katakan tidak. Selebihnya adalah dari si jahat. Dalam publikasi, ada komponen penting di dalamnya yaitu daftar penulis. Dahulu, publikasi satu atau dua nama adalah lumrah. Sekarang, publikasi satu nama sangat sulit ditemukan kecuali Anda sudah senior di bidang Anda (sehingga orang lain tahu siapa Anda) atau memang bidangnya dapat dikerjakan secara solo. Lumrahnya, ada banyak nama “penulis” dalam suatu publikasi karena terjadi suatu kolaborasi ilmiah. Biasanya, badan utama publikasi tersebut ditulis oleh anggota yang lebih muda seperti murid atau pascadoktoral, di mana nama-nama lain di publikasi tersebut memberikan kontribusi ilmiah yang signifikan dan juga berkecimpung dalam perampungan penulisan tersebut sampai publikasi.
Idealnya seperti itu. Hanya saja, dalam dunia sains modern saat ini, justru yang terjadi adalah seluruh penulisan dan tanggung jawab jatuh kepada nama pertama (first author) di mana nama terakhir adalah nama supervisor (yang memegang dana atau ide penelitian), sedangkan nama-nama di antara mereka berdua hanya ada di situ tanpa kontribusi ilmiah yang signifikan, bahkan kadang tidak pernah membaca tulisan tersebut sama sekali. Kita bisa sebut saja sebagai “tim hore!”. Jelas ini adalah efek dari dosa. Mungkin alasan klisenya adalah, “Saya ada kerjaan lain dalam publikasi lain, sehingga saya tidak begitu berkontribusi dalam publikasi ini. Saya hanya membantu first author untuk mengukur suatu konstanta yang dia perlukan.” Sedemikian lumrahnya sehingga saat ini jurnal-jurnal ternama mengharuskan agar setiap nama yang dicantumkan juga diberikan deskripsi tentang apa yang orang tersebut lakukan di dalam publikasi ini. Hal ini tentu memberikan efek supaya setiap nama yang tercantum tersebut setidaknya sudah membaca dan menyetujui hasil penelitian tersebut. Tetapi pada kenyataannya, masih sering terjadi nama titipan yang disematkan ke dalam daftar penulis walaupun kontribusinya hanyalah sebagai “pemegang dana” tanpa kontribusi ilmiah sama sekali. Sebagai seorang Kristen, apa yang akan Anda lakukan? Dalam hemat saya, biarlah kita yang berinisiatif agar nama yang dipesan tersebut setidaknya pernah berdiskusi dengan kita secara ilmiah akan temuan dalam publikasi tersebut. Tentu kita akan berkorban waktu dan tenaga, namun hal tersebut layak kita tempuh karena Tuhan yang sama juga berbicara kepada dia lewat fenomena alam yang sama. Jika tidak, maka kita sama saja sudah berbohong dalam pekerjaan kita.
Kenangan kepada orang benar mendatangkan berkat, tetapi nama orang fasik menjadi busuk. Ada suatu kebiasaan dalam dunia sains, yaitu orang-orang yang menuliskan suatu ide pertama kali akan dianggap sebagai yang mempunyai otoritas dalam membicarakan topik itu, apalagi jika dia bisa mendapatkan hadiah nobel di bidang tersebut. Jadi secara umum, seseorang akan dikenang akan pekerjaannya apalagi saat pekerjaannya mendatangkan berkat bagi orang lain. Maka dari itu, supremasi Kristus harus bisa hadir saat kita bisa berintegritas dalam pekerjaan kita, apalagi jika kita adalah penemu pertama akan suatu peristiwa, karena apa yang kita utarakan sangat-sangat dihormati. Tentunya kita tidak mau bertindak sembrono sehingga mungkin kita melakukan kesalahan dan akhirnya ditemukan oleh generasi selanjutnya. Maka dari itu, sama seperti yang sudah saya utarakan dalam artikel tentang integritas, sangat besar harapannya kepada peneliti Kristen agar kita bisa menghadirkan berkat lewat tulisan kita yang dapat dipercaya.
Selanjutnya saya akan menulis tentang politik dalam dunia sains.
Sandy Adhitia Ekahana
Pengurus MRII Swiss