Cerita
Teori Big Bang bercerita bahwa seluruh alam semesta ini mengembang, menjauh seiring berjalannya waktu. Dengan demikian, jika kita memainkan seluruh film alam semesta ini secara terbalik (putar mundur), maka pada suatu masa tertentu kita akan mendapatkan seluruh alam semesta ini berada pada suatu keadaan yang sangat tinggi kepadatannya. Bayangkan jika seluruh material ini dipadatkan ke satu titik maka akan terjadi apa? Kira-kira begitu ceritanya.
Teori evolusi bercerita bahwa seluruh makhluk hidup adalah hasil mutasi dan seleksi alam yang terjadi dalam kurun waktu yang lama hingga terjadi keanekaragaman yang ada saat ini. Anda dan saya dikatakan adalah juga hasil dari evolusi tersebut dengan pembeda yaitu suatu tingkat kecerdasan yang tinggi, adanya suatu moralitas, dan hal-hal lain yang disebut “kemanusiaan” yang membedakan Anda dengan hasil evolusi yang lain.
Kedua narasi tersebut sering dibenturkan dengan narasi Kitab Kejadian yang biasanya kira-kira seperti berikut ini: Allah mencipta! Semuanya terjadi setelah Allah berfirman. Bagaimana caranya? Tidak penting! Setidaknya Kejadian bercerita cara Adam dibuat yaitu dibentuk dari debu dan tanah. Bagaimana proses detailnya? Juga tidak penting. Intinya Allah mengembuskan roh/nafas-Nya sehingga manusia itu hidup.
Benturan
Apakah sebenarnya evolusi dan Kejadian harus dibenturkan? Mereka berdua ini seperti dua cerita yang tidak saling menjelaskan satu sama lain. Dua-duanya berdiri dan saling curiga satu terhadap yang lain. Dalam praktiknya, ada beberapa cara pandang yang dianut oleh orang Kristen pada umumnya. Pertama, narasi Kejadian dimuliakan tinggi namun narasi evolusi diinjak dan dihina. Posisi ini diambil contohnya oleh kelompok “Answers in Genesis”. Kedua, narasi evolusi dimuliakan tinggi namun narasi Kejadian dipojokkan menjadi sebuah narasi yang bersifat mitos yang hanya diambil hikmahnya saja. Posisi ini umumnya diambil oleh kelompok evolusionis sejati. Ketiga, narasi Kejadian disematkan ke dalam narasi evolusi menjadi sintesis berbentuk “theistic evolution”, di mana poros utamanya tetap bernarasi evolusi dan narasi Kejadian dibaca sebagai penerang dari narasi evolusi tersebut. Hal ini dapat dilihat seperti dari posisi John Lennox yang mencoba untuk mengaitkan kedua narasi tersebut (saya tidak pernah tahu apakah Lennox mengaku sebagai theistic evolutionist atau tidak).
Lennox berpendapat bahwa ada beberapa titik singularity yang tidak pernah dapat disentuh oleh sains (dalam bukunya “Seven Days That Divide the World”), yakni:
1. Titik dari tidak ada menjadi ada.
2. Titik dari ada yang mati menjadi ada yang hidup.
3. Titik dari ada yang hidup menjadi ada yang hidup dan bergambar-rupa Allah.
Dengan kata lain, Lennox membuka diri bernarasi evolusi dari sains, namun dia sepenuhnya skeptis saat mendekati titik singularity di atas. Baru-baru ini juga, Lennox berbincang dengan Richard Dawkins di mana (akhirnya) Dawkins mengakui bahwa dirinya “setengah salah” di saat dulu dia mengatakan bahwa teori evolusi menjelaskan “keberadaan” dan “keberagaman” makhluk hidup. Setidaknya, dari pihak atheis mengakui bahwa “keberadaan” kehidupan itu tidak dijelaskan oleh teori evolusi. Justru teori evolusi itu bergantung sepenuhnya pada “keberadaan” kehidupan untuk menjelaskan “keberagaman” kehidupan (poin ke-2 dari Lennox di atas).
Supremasi Kristus
Dengan demikian, supremasi Kristus hadir di saat peneliti Kristen memberikan cerita yang benar sesuai apa yang dibuka di dalam alam dan bisa lebih kritis pada batasan-batasan yang hanya bisa diberikan oleh Alkitab. Kita sebagai peneliti harus mengasah kemampuan kita untuk memformulasikan pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk dijawab dalam penelitian kita. Misalnya begini, kenapa perempuan sakit saat melahirkan? Tentu sebagai seorang Kristen kita menjawab, “Karena Tuhan bilang begitu di Kejadian 3.” Ini sudah berbentuk sebuah cerita, yakni “perempuan sakit melahirkan karena dosa”. Pertanyaannya adalah, apakah betul? Kita harus lebih teliti membaca bahwa yang dikatakan Tuhan adalah Ia akan melipatgandakan kesakitan dan kesusahanmu. Jadi artinya ada “multiplikasi”, artinya sebelumnya itu sudah ada sakit secara desain sebelum Hawa jatuh dalam dosa. Iya dong, kalau tidak ada (atau 0) maka multiplikasi terhadap 0 ya tetap 0. Masa Tuhan salah sebut “dilipatgandakan” padahal awalnya tidak ada? Nah, demikian saya menjawab narasi tersebut tanpa menyentuh sains sama sekali. Dari perspektif theologi pun kita sudah bisa berargumen bahwa pertanyaan “kenapa perempuan sakit saat melahirkan?” itu adalah sebuah pertanyaan sains yang sahih, karena jika pertanyaannya adalah “kenapa perempuan sangat sakit sekali saat melahirkan?” maka baru tepat dijawab dengan Kejadian 3.
Supremasi Kristus hadir di saat peneliti Kristen memberikan cerita yang benar sesuai apa yang dibuka di dalam alam dan bisa lebih kritis pada batasan-batasan yang hanya bisa diberikan oleh Alkitab. Kita sebagai peneliti harus mengasah kemampuan kita untuk memformulasikan pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk dijawab dalam penelitian kita.
Jadi kembali ke pertanyaan tadi, secara ilmiah jawabannya adalah “karena tulang pelvis perempuan membentuk lubang keluar yang diameternya lebih kecil dibanding tengkorak bayi yang mau lewat melalui lubang tersebut.” Ya, memang diameternya elastis sehingga tengkorak bayi yang juga masih elastis bisa keluar, tetapi ya tetap sakit sekali, Ferguso! Menariknya, hanya manusia yang kemungkinan besar merasakan ini. Mamalia lain tidak merasakan sesakit ini karena mereka tidak memiliki komplikasi yang dimiliki oleh manusia. Menarik, bukan? Bahkan, “sepupu” dekat kita seperti gorila, simpanse, dan sejenisnya tidak merasakan sesakit yang perempuan manusia alami (ya mereka tetap sakit juga, tetapi setidaknya kepala bayinya tidak lebih besar dari tulang mamanya). Apakah narasi tersebut dapat kita percaya sebagai peneliti Kristen yang bergerak di bidang evolusi? Apakah kita harus ngotot bahwa “tidak, kesakitan melahirkan itu dari dosa!”? Ya kalau begitu, Anda merancukan antara pertanyaan sains dan pertanyaan theologis.
Secara sains, menurut saya sudah cukup jelas bahwa “kenapa perempuan merasakan sakit saat melahirkan?” adalah karena fisiologisnya (selain memang ada alasan psikologis dan lain-lain). Jadi, jika Hawa tidak jatuh dalam dosa pun (ini sangat-sangat spekulatif sekali), dia tetap akan merasakan sakit saat melahirkan, hanya ya tidak sesakit itu. Jadi saya bayangkan jika saya bergerak di bidang kebidanan dan melihat perempuan kesakitan saat melahirkan, selain saya berpikir kritis dalam ilmu kesehatan yang saya punya, saya juga akan menghayati setiap teriakan-teriakan ibu-ibu tersebut sebagai erangan keberdosaan kita sebagai manusia. Dalam proses melahirkan itu ada proses liturgi yang sangat-sangat suci di mana kita mengingat bahwa Tuhan kita pernah seperti ini. Dia pernah hadir melewati tubuh seorang perempuan yang kesakitan.
Sebagai peneliti, kita menjalani narasi hidup kita juga di dalam pekerjaan kita saat meneliti. Setuju atau tidak, kita sedang memproyeksikan cerita tersebut dalam keseharian kita dan hasil kita menganalisis data. Ide tentang multiverse dalam fisika kuantum muncul sebagai respons atas apa yang fisika kuantum sajikan dalam matematikanya. Secara matematika, suatu keadaan benda adalah superposisi dari semua kemungkinan keadaan benda tersebut bisa terjadi sampai suatu pengukuran dilakukan. Makanya ada ilustrasi terkenal tentang kucing Schrödinger di mana si kucing bisa dalam keadaan mati atau hidup sampai kita bisa tahu sendiri lewat pengukuran kotak kucing tersebut. Masa bisa begitu? Kenapa seekor kucing bisa berada dalam keadaan mati dan hidup secara bersamaan? Apa yang akan terjadi pada sebagian kucing yang hidup jika setelah dilakukan pengukuran (dengan melihat kotak kucing itu) lalu ternyata kucingnya memang sudah mati? Apakah tindakan pengukuran tersebut mengubah keadaan kucing dari mati menjadi hidup atau sebaliknya? Jika Anda pusing membacanya, tenang, Anda tidak sendirian. Maka dari itu, ada beberapa fisikawan yang berkesimpulan, “Ya sudah, artinya ada multiverse yang terpisah di saat pengukuran dilakukan. Ada universe di mana kucing itu hidup dan ada universe di mana kucing itu mati.” Seakan ini akhirnya menyelesaikan masalah fisikanya, walau sebenarnya itu mengundang banyak lagi pertanyaan tentang kekekalan energi dan sebagainya.
Apa yang harus dilakukan fisikawan? Buat saya sendiri, saya tidak menganut multiverse theorem ini karena alasan sederhana, yaitu “tidak ada bukti eksperimental tentang itu”. Saya tidak beragumen bahwa “Tuhan saya menciptakan satu dunia” dan bergerak dari sana, tetapi saya memang secara theologis ada di dalam koridor yang tidak bisa merekonsiliasi ada “saya” dalam multiverse lain yang banyak di mana semua kemungkinan bisa terjadi. Saya kira ini jelas salah secara theologis karena Tuhan saya cuma satu, yaitu Tritunggal yang Maha Kudus tersebut, dan saya adalah seorang pribadi yang unik. Namun, saya membantah multiverse bukan dari iman saya, tetapi dari fakta bahwa tidak ada bukti eksperimental tentang hal tersebut. Apa yang terjadi jika nanti ada orang dari multiverse yang berkunjung ke universe kita ini? Ya tentunya saya akan skeptis sekali.
Satu-satunya kesempatan Tuhan Yesus berbicara tentang “what if” adalah dalam beberapa kesempatan yang serupa seperti saat Dia berkomentar tentang Yudas, bahwa “lebih baik dia tidak dilahirkan”. Toh Yudas tetap lahir dan tetap berkhianat. Tetapi Tuhan Yesus memberikan suatu pengandaian “what if”, bahwa jauh lebih baik Yudas tidak dilahirkan. Jadi multiverse di dalam Alkitab hanya sekadar pengandaian spekulatif yang bisa dipikirkan dalam kepala namun tidak terjadi. Dalam kesempatan lain pun, Tuhan memberikan skenario “what if” kepada seseorang seperti pada teriakan “bertobatlah, sebab jika tidak, maka kamu binasa”. Artinya, ya memang ada skenario “what if” di mana Niniwe tidak bertobat dan akhirnya binasa, namun yang betulan terjadi adalah Niniwe bertobat. Jadi, dalam hal ini supremasi Kristus hadir saat cerita kita tetap berada dalam koridor theologis dan kita bahkan bisa mengkritik narasi lain yang memang secara fundamental bertentangan dengan Alkitab.
Selanjutnya saya akan bercerita tentang publikasi ilmiah.
Sandy Adhitia Ekahana
Pengurus MRII Swiss