Foto jari manusia bersentuhan dengan jari robot yang mirip dengan lukisan Creation oleh Michaelangelo

Created Creator

Seiring dengan berkembangnya teknologi yang sedemikian pesat, manusia terus mengejar yang namanya efisiensi. Manusia ingin mengefisienkan seluruh pekerjaannya. Ia ingin segala pekerjaannya dilakukan dengan usaha yang seminimal mungkin dan memberikan hasil semaksimal mungkin. Ia ingin menggunakan waktu sesingkat mungkin, untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin.

Setelah revolusi industri, efisiensi dicapai dengan melakukan otomatisasi dalam segala hal. Manusia berusaha menciptakan suatu sistem yang mampu menyelesaikan pekerjaan manusia dengan lebih efisien secara otomatis. Maka muncullah mesin-mesin di pabrik yang kian mempercepat kerja manusia serta meningkatkan produktivitas dalam jumlah yang sangat besar. Hingga saat ini, sistem otomatisasi merupakan dambaan bagi setiap manusia modern. Perhitungan di bank yang dikerjakan menggunakan komputer, pencatatan data menggunakan sistem software, dan pengepakan barang produksi yang dikerjakan dengan otomatisasi mesin pabrik. Bahkan untuk mengingat tanggal ulang tahun teman kita pun, otomatisasi reminder handphone-lah yang kita gunakan.

Perkembangan ini terus berlanjut. Manusia tidak berhenti hanya sampai menciptakan mesin otomatis yang berada di bawah kontrol manusia. Manusia berusaha menciptakan suatu sistem yang mampu mengontrol dirinya sendiri, dan seminimal mungkin bergantung kepada atau bahkan terlepas dari intervensi penciptanya, yaitu manusia sendiri. Suatu sistem yang telah ditanamkan  kecerdasan layaknya manusia. Suatu sistem yang memiliki indera, dapat berpikir serta mengambil keputusannya sendiri. Suatu sistem yang memiliki “kesadaran” dan “kehendak”. Suatu sistem yang self-content serta dapat mempertahankan stabilitas dirinya. Suatu sistem yang meniru penciptanya, menjadi suatu “pribadi” yang terlepas dari kontrol penciptanya (independent). Sistem ini terus dikembangkan dan dikenal sebagai kecerdasan buatan/Artificial Intelligent (AI).

AI mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terutama sejak tahun 1990, terjadi perolehan besar dalam berbagai bidang dengan menerapkan sistem AI.

“Deep Blue, sebuah komputer permainan catur, mengalahkan Garry Kasparov dalam sebuah pertandingan 6 game yang terkenal pada tahun 1997. DARPA menyatakan bahwa biaya yang disimpan melalui penerapan metode AI untuk unit penjadwalan dalam Perang Teluk pertama telah mengganti seluruh investasi dalam penelitian AI sejak tahun 1950 pada pemerintah AS. Tantangan Hebat DARPA, yang dimulai pada 2004 dan berlanjut hingga hari ini, adalah sebuah pacuan untuk hadiah $2 juta dimana kendaraan dikemudikan sendiri tanpa komunikasi dengan manusia, menggunakan GPS, komputer dan susunan sensor yang canggih, melintasi beberapa ratus mil daerah gurun yang menantang.”
(sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_buatan) 

Mimpi-mimpi pun bermunculan dalam berbagai film fiksi yang ada seperti The Matrix, I Robot, Terminator, Ghost in the Shell, dan lain-lain. Suatu era di mana robot tidak lagi bekerja berdasarkan kontrol dari manusia, tetapi robot yang telah menjadi suatu “individu”, memiliki kesadaran, kecerdasan, dan dapat mengambil keputusan seperti layaknya manusia. Bahkan para peneliti robot meramalkan bahwa pada tahun 2050, manusia akan hidup berdampingan dengan robot. Lebih gila lagi, manusia akan memandang robot sebagai mitra yang dapat dinikahi. (sumber: http://fyrozal.blogspot.com/2007/12/menikah-dengan-robot-tidak-lama-lagi.html)

AI dalam perkembangannya berusaha meniru dan mencoba memahami bagaimana manusia dapat berpikir. AI berusaha untuk memasukkan sistem berpikir manusia, baik kemampuan manusia secara rasional, kognitif, maupun kemampuan di dalam menganalisa serta mengambil keputusan ke dalam impuls-impuls elektrik komputer atau mesin. AI berusaha melingkupi aspek kesadaran, kehendak bebas, dan “perasaan” manusia masuk ke dalam jaringan elektron-elektron yang saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk menghasilkan robot yang berintelijensi, “berperasaan”, dan berkehendak seperti manusia.

Para ilmuwan atheis memandang ilmu pengetahuan sebagai jawaban dari segala hal dalam dunia ini. Pada zaman dulu, orang membutuhkan Allah karena mereka kesulitan menjelaskan segala fenomena dalam dunia ini. Ketika mereka melihat guntur, mereka sangat ketakutan dan menafsirkannya sebagai sesuatu yang lebih besar dari diri mereka – yang mereka namakan dewa. Ketika mereka melihat gunung meletus, mereka beranggapan bahwa dewa sedang marah, dan mereka harus mempersembahkan korban kepada dewa. Tetapi sekarang, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, Allah sudah tidak dibutuhkan lagi. Manusia dengan rasionya mampu memperoleh pengetahuan dari alam ini. Mereka sanggup menjelaskan segala sesuatu dalam alam ini tanpa harus ada Allah yang mendasari segala ciptaan ini. Kita sudah membunuh Allah dengan otak kita (Rasionalisme) dan Allah sudah tidak ada.

Setiap ilmu pengetahuan yang ada dalam dunia ini pasti memiliki filsafat yang mendasarinya. Van Til mengatakan tidak ada brute facts (fakta mentah) di atas dunia ini, yaitu suatu fakta yang bersifat netral dan terlepas dari pengaruh/interpretasi dari pihak mana pun. Suatu fakta yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan, sekaligus juga bukan merupakan kebenaran firman Tuhan. Suatu fakta yang netral adanya.

Alkitab mengatakan bahwa jika kita tidak beribadah kepada Allah, berarti kita sedang beribadah kepada Mamon. Tidak ada wilayah netral. Demikian juga dalam setiap aspek hidup kita, dalam hal ini khususnya setiap ilmu pengetahuan, tidak ada yang netral. Entah kita sedang berperan sebagai covenant-keeper atau sebagai covenant-breaker.

AI muncul dan berkembang dengan filsafat Materialisme yang begitu mempengaruhinya.

Materialisme:

“The belief that mind, consciousness, cognition, and intelligence are physical processes that can be explained through normal scientific investigation of the material world.”

(sumber : www.cs.utexas.edu/~mooney/talks/FAIreligion.ppt)

Materialisme mencoba untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang riil hanyalah realm dari dunia materi ini. Realm dari dunia spiritual hanyalah sebuah ilusi yang muncul dari realm dunia materi ini. Seorang filsuf Yunani yang bernama Epicurus mengatakan bahwa alam semesta ini hanya merupakan pergerakan atom-atom yang saling bergabung dan berinteraksi satu dengan yang lainnya secara kebetulan (by chance) dan tanpa tujuan. Segala sesuatu terjadi secara kebetulan, maka sudah pasti tidak ada tujuan/makna yang mendasarinya. Ide utama dari Materialisme ini adalah atom-atom (materi) itulah sumber yang membentuk segala segala sesuatu dalam alam semesta.

Dimanakah letak dunia spiritual dalam filsafat Materialisme ini?

Dengan memandang realitas hanya sebatas realm materi saja, maka filsafat ini memiliki implikasi sebagai berikut:

Pertama, kita melihat, jika segala sesuatu yang riil hanyalah realm dunia materi ini saja, dan cara terbaik untuk memperoleh segala pengetahuan dalam dunia ini adalah secara empiris. Segala pengetahuan kebenaran, termasuk aspek spiritual kita, hanya dapat diperoleh dan dijelaskan melalui indera (sensor) kita. Melalui pergerakan atom dalam impuls-impuls elektrik di tubuh, saraf kita bekerja dan menghasilkan respon di dalam otak kita. Apa itu perasaan senang, sedih, ketakutan, dan sebagainya? Perasaan itu hanyalah produk dari interaksi atom dalam tubuh kita. Perasaan itu merupakan reaksi kimiawi yang terjadi di dalam otak manusia, sehingga menghasilkan perasaan senang, sedih, ketakutan, dan sebagainya. Segala aspek spiritual dapat dijelaskan dan hanya merupakan produk dari interaksi materi saja.

Kedua, moralitas hanyalah produk dari fenomena fisik belaka. Benar atau salah timbul serta didefinisikan berdasarkan reaksi empiris kita. Kebaikan atau good adalah ketika kita memaksimalkan kenikmatan indera atau tubuh dan meminimalisasi penderitaan dari indera/tubuh kita. Para Epicurian mengejar kebaikan dengan cara meminimalisasi penderitaan dan memaksimalkan kenikmatan tubuh ini (Hedonisme). Bila kita amati, Hedonisme kaum Epicurian berbeda dengan Hedonisme zaman sekarang yang mengejar kenikmatan secara liar. Kaum Epicurian justru meminimalisasi penderitaan tubuh dengan jalan mengekang keinginan yang liar tersebut, dan cenderung hidup asketik – bahkan seakan-akan memiliki nilai moral yang tinggi. Contoh: agar tubuh tetap sehat, seorang Epicurian akan menahan diri untuk tidak minum alkohol terlalu banyak. Sekalipun begitu, mereka tetap menempatkan moralitas sebagai hasil dari sensasi natural belaka. Segala sesuatu dalam dunia ini diinterpretasikan berdasarkan dunia materi ini.

Implikasi yang timbul dari filsafat mereka adalah tidak mendasarkan moralitas pada Allah yang transenden. Tidak ada standar moral yang berpribadi di luar realm dunia materi ini. Mereka membuang Allah sebagai pendefinisi serta penginterpretasi dunia ciptaan ini, dan mereka memakai dunia materi ini untuk menjelaskan dirinya sendiri. Mereka menghilangkan Allah yang adalah Sumber moral dan Sang Kebenaran yang berpribadi itu sendiri.

Demikian dengan filsafat ini, AI juga telah dijadikan jawaban manusia dalam menginterpretasi dunia ini. Jikalau sebuah robot yang merupakan murni materi dapat memiliki intelijensi dan pikiran, serta dapat berperilaku seperti layaknya seorang manusia, maka pikiran manusia merupakan fenomena fisik belaka. Apabila pikiran manusia hanyalah fenomena fisik saja, maka segala aspek spiritual yang timbul dari pikiran manusia hanyalah ilusi belaka (tidak ada dunia immaterial). Manusia hanya merupakan sebuah processing machine yang sangat kompleks dan diselimuti oleh daging. Tidak lain seperti sebuah robot yang ditanamkan sistem AI di dalamnya. Ia bekerja berdasarkan impuls-impuls elektrik sebagai respon dari jaringan saraf buatan serta sensor fisik sebagai media untuk memperoleh (learning) pengetahuan dari lingkungannya (empiricism).

Inilah otomatisasi yang dikejar oleh manusia berdosa, menjadi seorang self-autonomous agent yang lepas dari campur tangan Allah. Segala interpretasi atas alam ini didasarkan bukan kepada Sang Pencipta dan Penguasa alam ini. Mereka menolak Sang Kebenaran, dan sebagai akibatnya, hidup mereka akan terpecah-pecah, fragmented, bahkan saling berkontradiksi dalam segala aspek.

Ilmu pengetahuan dalam dunia ini memiliki suatu pola rasional dan logika yang teratur. Logika manusia dalam berpikir, susunan gugus DNA dalam tubuh manusia, ketepatan gaya gravitasi antar planet yang menyebabkan planet-planet tersebut tidak saling bertabrakan selama ribuan tahun, semuanya itu membawa suatu informasi (message) serta pola keteraturan di dalamnya. Apabila filsafat Materialisme mengatakan bahwa realm dunia ini dibentuk dari reaksi konfigurasi atom dan terjadi secara kebetulan, maka seluruh ilmu pengetahuan atau knowledge serta segala informasi dan keteraturan dalam alam ini menjadi tidak mungkin atau dapat dikatakan mustahil. Segala sesuatu dalam alam ini akan teracak-acak oleh ketidakteraturan yang muncul dari kebetulan tersebut. Sesuatu yang terjadi secara kebetulan (tanpa “Designer” yang merancangnya) tidak mungkin memiliki keteraturan (informasi). Ketika seorang anak kecil tanpa sengaja menjatuhkan sekumpulan mainan huruf-huruf alfabet, mungkinkah huruf-huruf alfabet yang terjatuh secara kebetulan itu membentuk sebuah karangan novel Shakespeare?

Filsafat scientific-materialism yang mereka percaya tidak dapat menjawab realita pengalaman hidup mereka. Dalam tulisan-tulisan mereka, mungkin saja mereka memaparkan bahwa dunia ini hanyalah sebuah mesin kompleks yang berjalan secara teratur dengan sendirinya. Dalam perbincangan dengan mereka, mungkin saja mereka mengatakan bahwa jiwa, pikiran, emosi, kehendak, maupun moralitas adalah ilusi yang tidak memiliki suatu dasar kebenaran atau standar. Tetapi dalam hidup sehari-hari, mustahil bagi mereka untuk dapat menghidupi filsafat tersebut secara utuh. Inilah yang dikatakan oleh Francis Schaeffer sebagai Leap of Faith (lompatan iman).

Ketika pulang dari laboratorium, mereka bertemu dengan keluarga serta teman-teman mereka, dan mereka mau tidak mau menyadari bahwa sebenarnya ideologi mereka tidak bekerja. Mereka tidak memperlakukan anak-anak mereka seperti layaknya sebuah komputer. Mereka tidak memandang perasaan cinta kepada kekasih mereka hanya sebatas processing program dalam diri mereka. Ketika memilih menu makanan di restoran, mereka harus menyadari adanya kehendak bebas dalam pilihan yang mereka tentukan. Ketika mereka pergi ke tempat dengan pemandangan alam yang begitu megah, mereka mau tidak mau harus mengakui bahwa alam ini bukan terjadi secara kebetulan. Pengalaman hidup “memaksa” mereka untuk mengakui bahwa manusia lebih dari sekedar data processing machine.

Seorang scientific-materialist bernama Marvin Minsky mengatakan, ”We are forced to believe in freedom of will, even though we know it’s false.” Mereka berusaha lari dari kenyataan dan “menekan kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Dalam dunia intelektual, mereka berdebat mempertahankan ideologi mereka dengan sangat ngotot. Tetapi dalam hidup mereka, mereka mau tidak mau harus mengakui adanya moralitas, perasaan cinta, kehendak bebas (freewill), human dignity, dan sebagainya. Mereka sendiri mengalami hal tersebut dalam hidup mereka – sekalipun hal tersebut tidak memiliki dasar dalam sistem filsafat mereka.

Seperti ada tertulis: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak” (Roma 3:10). “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Kita hidup di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa. Mustahil bagi kita untuk mengetahui Kebenaran tanpa Wahyu dan tanpa inisiatif dari Allah sendiri. Ia adalah sang Kebenaran yang absolut.

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej. 1:1). Ia menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada. Seluruh alam semesta ini diciptakan dan ditopang oleh Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan (Yoh. 1:3). Seluruh ciptaan ini, tidak tercipta secara kebetulan dan tanpa tujuan. Allah telah menetapkan arah dari setiap ciptaan, bahkan sebelum dunia dijadikan. Allah menciptakan alam ini dengan makna dan tujuan di dalamnya, yaitu untuk kemuliaan-Nya.

Dunia ini diciptakan oleh Pencipta yang berpribadi, dan tidak terbentuk secara random atau acak. Allah sebagai Sang Pencipta yang berpribadi, mendasari adanya keteraturan dalam alam ini. Keteraturan dalam sistem logika berpikir manusia, ketepatan pergerakan planet-planet yang begitu presisi, sistem koordinasi yang begitu kompleks dalam setiap sel tubuh kita, seluruhnya tidak mungkin tidak dirancang dan didasari oleh sesuatu yang berpribadi. Seperti kata pemazmur, “Engkaulah yang menetapkan segala batas bumi, …” (Mzm. 74:17). Ilmu AI sekalipun dapat bekerja karena didasari oleh sistem keteraturan logika manusia – walaupun hanya sebagian dari cakupan AI yang dapat bekerja dan diimplementasikan. Contoh: sistem pakar.

Allah yang mendasari segala sesuatu. Dialah pendefinisi dari segala sesuatu. Dialah sumber dan standar dari segala sesuatu. “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kolose 1:16-17). Seluruh kebenaran, pengetahuan, moralitas dalam dunia ini harus ada dasar yang menjamin semuanya itu. Allah Sang Penciptalah yang mendasari dan menjamin seluruhnya, karena Dialah Kebenaran itu sendiri.

Di tengah-tengah seluruh kebesaran dan kemegahan alam ciptaan ini, apakah anak manusia yang sedemikian kecil ini? Pemazmur mengatakan, “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mzm. 8:6). Allah menciptakan manusia di atas alam ini dengan kemuliaan dan keagungan yang tidak ada pada ciptaan yang lain. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah sendiri. Oleh karena itu, ia memiliki sifat-sifat Allah seperti kesucian, kekudusan, dan keadilan. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia diciptakan atas tubuh (materi) dan jiwa (spiritual), sesuatu yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Filsafat scientific-materialism berusaha untuk mereduksi aspek jiwa ke dalam tubuh materi ini. Dengan AI, mereka ber-utopia untuk mereduksi jiwa atau spiritual ke dalam mesin. Mungkinkah hal itu terjadi?

Inilah peperangan dari zaman ke zaman yang dihadapi oleh setiap orang Kristen, entah kita sadari atau tidak. Peperangan antara Kerajaan Terang dengan kuasa (bukan kerajaan) kegelapan. Di tengah-tengah berbagai filsafat yang telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, hendaklah kita mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah (Ef. 6:11) dan senantiasa rendah hati untuk diajar oleh Firman dan dirombak seluruh worldview kita. Karena kita dipanggil bukan hanya untuk menikmati anugerah keselamatan, melainkan untuk mengerjakan keselamatan itu di dalam dunia berdosa ini. Sebagai image of God, kita dipanggil sebagai wakil Allah untuk me-redeem dunia ini. Menaklukkan seluruh konsep berpikir kita di bawah Kebenaran, dan menyatakan Kebenaran itu dalam praktek hidup kita sebagai refleksi kemuliaan Allah terhadap dunia ini.

“The problem is not only to win souls, but to save minds!” – Charles Malik

Entah disadari atau tidak, mitos dari netralisme telah mempengaruhi banyak orang Kristen yang sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal. Alkitab mengatakan bahwa di dalam dunia ini hanya ada dua pilihan, entah kita berdiri dan berperan sebagai covenant-keeper atau covenant-breaker – tidak ada netral. Hidup manusia tidak netral, pemikiran manusia tidak netral, dunia ilmu pengetahuan tidak netral, bukan hanya secara arah dan tujuan tetapi juga pada dirinya. Sebagai imago Dei yang diciptakan sebagai wadah kebenaran Allah, marilah kita dengan penuh kesadaran dan kuasa Firman melihat dunia ini dengan benar, menghidupi hidup dalam dunia ini sesuai kebenaran dan memperjuangkan kebenaran itu dalam kehidupan ini.  Di dalam setiap segi kehidupan kita, di dalam bidang ilmu yang kita pelajari, biarlah kita berjuang senantiasa menjadi covenant-keeper di dalamnya: memilah truth dan heresy, memperkembangkan truth, dan mengaplikasikan truth sesuai dengan Firman Tuhan, the Truth, the only Standard bagi seluruh kehidupan kita termasuk bidang ilmu pengetahuan. Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.

Andre Winoto, Andreas Rico, dan Hansen Pitandi

REDS – Tech