Pada bulan Februari 2025, publik Indonesia dikagetkan dengan rencana diadakannya retret bagi 503 kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dari hasil Pemilihan Kepala Daerah 2024. Retret yang diadakan di Akademi Militer Magelang tersebut memiliki tujuan untuk membekali para pemimpin daerah dengan prinsip pemerintahan yang bersih dan profesional. Pertimbangan akan pentingnya pembekalan ini didasari pada besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang akan dikelola, yaitu sekitar Rp 1.300 triliun, sehingga perlu untuk dikelola dengan baik.[1] Hal ini mengundang cukup banyak komentar, khususnya dari para netizen, karena kegiatan retret ini dianggap sebagai pemborosan yang berlangsung di tengah berbagai efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun, hal lain yang menyebabkan reaksi lebih besar adalah berita yang muncul tidak lama setelahnya, yaitu adanya surat edaran dari ketua salah satu partai politik oposisi yang meminta para kadernya untuk menunda kehadiran mereka di retret kepala daerah. Instruksi tersebut dikirimkan kepada seluruh kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih yang memiliki afiliasi dengan partai tersebut.[2] Hal inilah yang akhirnya lebih banyak dibahas oleh media dan mengundang banyak perbincangan di media sosial karena dianggap sebagai suatu hal yang kontroversial, dan respons yang ditimbulkan pun beragam.
Sebagian orang berargumen bahwa para kepala daerah terpilih adalah wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, sehingga tanggung jawab yang diemban adalah mandat yang dipercayakan dari rakyat. Maka, seorang kepala daerah harus mengutamakan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu. Pihak yang berkata demikian mengharapkan terciptanya suatu pemerintahan yang kompak dan bersatu, meskipun ada kepala daerah yang berasal dari partai oposisi. Yang menjadi pertanyaan: “Apakah ini menjadi alasan yang cukup kuat bagi kepala daerah untuk selalu tunduk kepada setiap arahan dari pemerintah pusat? Apakah tidak ada ruang bagi kepala daerah untuk melakukan atau menyuarakan hal yang berbeda?”
Di sisi lain, ada pihak yang menyampaikan argumen bahwa kepala daerah terpilih tetap harus mendengarkan arahan dari partai, mengingat bahwa posisi partai saat ini adalah sebagai oposisi sehingga mampu secara lebih objektif untuk mengkritisi pemerintahan. Salah satu pendapat para netizenyang mendukung argumen ini mengatakan bahwa terdapat kejanggalan dalam beberapa program dan kebijakan pemerintah, sehingga kepala daerah juga perlu untuk menyatakan sikap dan melakukan evaluasi. Argumen ini juga menimbulkan pertanyaan: “Apakah ini berarti kepala daerah yang berada dalam lembaga eksekutif di bawah pemerintahan pusat tetap memiliki tanggung jawab untuk mengikuti arahan partai? Apakah tindakan partai untuk melakukan intervensi terhadap program pemerintah dapat dibenarkan?”
Sebagian besar dari kita saat menyaksikan hal ini mungkin hanya bisa berperan sebagai penonton dan melihat perkembangannya dari sudut pandang orang ketiga. Kita hanyalah outsider yang memperoleh informasi secara parsial. Sebenarnya, kita tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi di luar dari berita-berita yang diliput oleh media. Lebih lanjut lagi, kita tidak mengetahui pemikiran dan pertimbangan para elite politik saat mengambil tindakan tertentu. Maka dari itu, sikap yang bijak dalam menghadapi peristiwa ini adalah untuk tidak menetapkan bahwa tindakan yang diambil oleh pihak tertentu adalah mutlak salah atau benar. Terlebih penting bagi kita adalah melakukan analisis dan refleksi agar melaluinya kita dapat menemukan hal yang mampu mempertumbuhkan kita menuju kedewasaan.
Suatu hal yang dapat dianalisis adalah kondisi pemerintahan di Indonesia saat ini. Terbentuknya suatu “koalisi jumbo” yang berusaha merangkul lawan politik dan para pemimpin sebelumnya merupakan suatu gejala adanya upaya untuk melakukan sentralisasi kekuasaan. Hal ini mengingatkan kita pada tradisi kuasa di Jawa yang menempatkan posisi raja sebagai satu-satunya pribadi yang berada pada posisi sentrum dan sekaligus puncak hierarki sosial.[3] Sistem hierarki seperti ini juga adalah sistem yang dianut oleh Katolik Roma, yang berkembang dari sejak berdirinya Kekaisaran Romawi Suci dan baru mulai mengalami perbaikan sejak peristiwa Reformasi di abad ke-16. Sampai dengan saat itu, seorang paus bukan hanya merupakan pemimpin keagamaan tertinggi di gereja, melainkan juga penguasa dalam politik, karena gereja di Abad Pertengahan telah menjadi suatu kekuatan politik dan mengklaim otoritas atas para penguasa sekuler.[4] Bagi sistem pemerintahan seperti ini, oposisi akan dianggap sebagai suatu pengganggu sehingga harus ditekan dan dimatikan.
Para reformator juga menentang praktik hierarki kekuasaan yang terjadi dalam Gereja Katolik Roma. Martin Luther melalui doktrin dua kerajaan menyatakan bahwa ada pembedaan antara tujuan dari gereja (church) dan negara (state). Pemerintah negara memiliki batas cakupan sampai dengan pemeliharaan kehidupan dan properti, sehingga negara tidak berhak untuk mencampuri hal-hal spiritual.[5] John Calvin mengatakan bahwa pemisahan antara gereja dan negara juga merupakan suatu mandat Alkitabiah. Ini bukan berarti bahwa sebuah pemerintahan tidak boleh dijalankan berdasarkan prinsip kekristenan, melainkan ini adalah terkait otoritas yurisdiksi. Tuhan telah memberikan suatu otoritas kepada pemerintah dan otoritas lain yang berbeda kepada gereja, dan keduanya tidak boleh saling berebut kekuasaan.[6]
Sebagai orang Kristen, kita perlu menyadari bahwa sistem hierarki dengan sentralisasi kekuasaan atas segala aspek adalah bertentangan dengan prinsip kekristenan. Abraham Kuyper, seorang theolog dan perdana menteri Belanda di awal abad ke-20, mengatakan bahwa otoritas pemerintahan dijalankan oleh orang-orang berdosa, sehingga memiliki kecenderungan dalam setiap aspeknya untuk mengarah kepada ambisi-ambisi despotis.[7] Seorang penguasa akan berusaha untuk terus memperluas wilayah kekuasaannya demi memuaskan rasa hausnya akan kekuasaan. Dengan demikian, pembatasan dan pembagian kekuasaan adalah sesuatu yang diperlukan, dan Allah juga menyatakan prinsip ini dalam Alkitab. Dari sejak zaman bangsa Israel di Perjanjian Lama, terdapat pemisahan jabatan antara raja, imam, dan nabi. Seorang raja tidak berhak untuk berkuasa atas jabatan lain atau menjalankan fungsi yang bukan miliknya, begitu pula untuk kedua jabatan lainnya. Seseorang yang melanggar prinsip ini akan menerima hukuman, seperti dalam 1 Samuel 13—Allah menghukum Saul yang tidak sabar menunggu Samuel untuk mempersembahkan korban bakaran.
Berdasarkan prinsip inilah kemudian Kuyper mengembangkan pemikirannya mengenai sphere sovereignty, yang menyatakan bahwa dunia ini dibagi ke dalam berbagai bidang (sphere) yang independen dan memiliki hak dan prerogatifnya masing-masing, dengan seluruhnya tetap berada di bawah kedaulatan Allah.[8] Setiap bidang harus dihormati dalam dirinya sendiri dan tidak boleh ada satu bidang yang ingin menjadi dominan atau berkuasa atas bidang-bidang lainnya. Ide mengenai pemisahan jabatan ini bukanlah rancangan manusia, melainkan ditetapkan oleh Allah sendiri, seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 14:22-23. Calvin membahas hal ini dalam Institutes of the Christian Religion (Buku IV, Bab 3, Bagian 7&8), di mana ia membahas mengenai pentingnya suatu gereja menetapkan presbiter (penatua) sebagai pengawas jemaat yang berbeda dari gembala.[9] Begitu pula dalam pemerintahan, sentralisasi kekuasaan adalah suatu hal yang salah dan perlu ada oposisi sebagai suatu bentuk pengawasan, juga untuk mencegah terjadinya oligarki.
Meskipun demikian, Kuyper juga menyetujui apa yang diungkapkan oleh Calvin bahwa bagi manusia berdosa, keadaan tanpa hukum dan pemerintahan, tanpa otoritas yang berkuasa, akan menciptakan neraka di bumi; atau setidaknya menjadi suatu pengulangan dari kondisi bumi saat Allah menenggelamkannya dalam air bah. Kuyper mengatakan bahwa dalam belas kasih-Nya, Allah memberikan anugerah umum dalam bentuk tatanan pemerintahan untuk kebaikan manusia. Ini sejalan dengan pemikiran Calvin yang menyatakan bahwa anugerah umum akan memelihara dunia dan menopang mandat penciptaan.[10]
Peristiwa penciptaan menyatakan bahwa pada mulanya Allah menciptakan segala sesuatu dan Allah melihat bahwa semuanya itu baik. Seluruh ciptaan juga diciptakan dengan natur bagi kemuliaan Allah (Rm. 11:36). Kejatuhan manusia telah membuat dosa mencemari segala aspek dalam dunia ini, juga telah merusak relasi antara manusia dan Allah, sesama manusia, dan ciptaan lainnya. Menurut Kuyper, kekristenan harus merestorasi tujuan sejati dari setiap bidang sesuai dengan natur yang telah diberikan oleh Allah, yaitu untuk kemuliaan-Nya. Sebuah pemerintahan yang baik dan benar adalah suatu pemerintahan yang menegakkan keadilan dan menyatakan kasih, sesuai dengan model pemerintahan Allah (Mzm. 89:15). Prinsip ini juga perlu diterapkan dalam bidang-bidang lain, sehingga ini menjadi tantangan bagi orang percaya agar kita dapat menebus dan mengembalikan setiap bidang kepada natur sebenarnya yang Allah tetap. Kita semua memiliki panggilan untuk menjadi seperti ragi yang meresap ke dalam dunia untuk melakukan pembaruan.[11] Sekalipun di tengah suatu sistem atau budaya yang sudah tercemar oleh dosa, setiap bidang dalam kehidupan harus mempermuliakan nama Tuhan.
Maka, satu pertanyaan yang dapat direfleksikan dari kekisruhan politik di Indonesia saat ini adalah: “Siapakah tuanku?” Setiap orang, dalam setiap tahap hidupnya akan selalu berada di bawah suatu otoritas. Setidaknya sebagai warga suatu negara, seseorang harus tunduk kepada otoritas negara tersebut. Namun, meskipun seseorang mengatakan bahwa dia tidak tunduk kepada otoritas apa pun dan mengaku bahwa dia memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, sebenarnya ada otoritas lain yang jauh lebih besar yang menguasainya, yaitu otoritas yang tidak kelihatan. Calvin mengatakan bahwa dunia senantiasa berada di tengah peperangan kosmis antara Allah dan Iblis.[12] Rasul Paulus dalam Efesus 6:12 mengatakan bahwa orang Kristen berjuang melawan penguasa-penguasa yang adalah roh-roh jahat. Ini menyatakan bahwa saat ini kita sedang berada dalam peperangan rohani, dan sama seperti penguasa dunia yang ingin menguasai semuanya, Iblis juga mencari orang yang dapat ditelannya (1Ptr. 5:8). Pada akhirnya, setiap orang secara ultima akan tunduk kepada salah satu otoritas saja; jika ia tidak tunduk di bawah otoritas Allah, maka sebenarnya ia berada dalam kegelapan.
Mari kita renungkan dan tanyakan hal ini kepada diri kita: “Apakah saya sudah benar-benar tunduk kepada otoritas Allah dan menjadikan Tuhan sebagai Tuan dalam hidup? Ataukah mungkin masih terdapat hal-hal yang saya kompromikan?” Ini tidak terbatas pada tindakan, tetapi juga termasuk apa yang kita pikirkan. Mungkin saja kita terlihat baik menurut bos di dunia, tetapi sebenarnya kita melakukan hal yang keji di mata Tuhan. Hal ini juga berlaku sebaliknya, kita perlu berdoa memohon hikmat dan keberanian untuk tetap melakukan hal yang benar di hadapan Tuhan meskipun hal tersebut mengharuskan kita tidak tunduk kepada tuan di dunia. Inilah hal yang perlu dihidupi oleh setiap dari kita, bahwa seorang Kristen sejati adalah yang dengan gigih berjuang melawan Iblis yang berambisi untuk menguasai dunia dan mematikan para oposisi yang menentangnya.
Sebagai penutup, jika suatu hari kita menghadapi dilema seperti yang dialami oleh para kepala daerah dari partai oposisi, maka jawaban kita bukanlah sekadar ikut atau tidak ikut retret tersebut. Berdosa atau tidak berdosanya kita tidak sepenuhnya ditentukan oleh keputusan tersebut, melainkan ditentukan oleh apa yang menjadi motivasi dan arah hati kita. Satu hal yang membedakan, saat hari itu tiba, posisi kita bukanlah sebagai penonton ataupun outsider. Kita adalah yang menghadapi dilema itu dalam first person view. Kita memiliki informasi yang lebih banyak untuk mempertimbangkan saat mengambil keputusan, tetapi pada akhirnya hanya kita dan Tuhan yang mengetahui motivasi dari tindakan yang kita ambil. Apakah kita berani merisikokan posisi dan kenyamanan kita untuk memperjuangkan apa yang benar di mata Tuhan? Skenario serupa akan sering kita hadapi di tengah dunia yang adalah medan peperangan rohani, tetapi dengan konteks yang berbeda-beda. Dalam setiap momen inilah kita perlu benar-benar bergumul dengan tetap taat kepada firman Tuhan dan memohon pimpinan dari Tuhan.
Kiranya segala kemuliaan hanya bagi Tuhan saja.
Filbert Salomo
Mahasiswa STTRII
[1] Shela Octavia dan Ardito Ramadhan, “Alasan Kepala Daerah Wajib Ikut Retreat, Wamendagri: Tidak Semua Paham Prinsip Pemerintahan Bersih,” Kompas, 19 Februari 2025, diakses 25 Februari 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/02/19/10431011/alasan-kepala-daerah-wajib-ikut-retreat-wamendagri-tidak-semua-paham-prinsip.
[2] Jamal Abdun Nashr, “Serba-serbi Tarik Ulur Retret Kepala Daerah Kader PDIP,” Tempo, 24 Februari 2025, diakses 25 Februari 2025, https://www.tempo.co/politik/serba-serbi-tarik-ulur-retret-kepala-daerah-kader-pdip-1211473.
[3] Portal Informasi Indonesia, “Tafsir Jawa terhadap Kuasa dan Kekuasaan”, 31 Juli 2019, diakses 1 Maret 2025, https://indonesia.go.id/kategori/komoditas/890/tafsir-jawa-terhadap-kuasa-dan-kekuasaan.
[4] Paul Robinson, “The Reformation and Politics,” Concordia Seminary Newsroom, 25 April 2017, diakses 1 Maret 2025, https://www.csl.edu/2017/04/the-reformation-and-politics/.
[5] Joseph Loconte, “Martin Luther and the Long March to Freedom of Conscience,” National Geographic, 27 Oktober 2017, diakses 1 Maret 2025, https://www.nationalgeographic.com/history/article/martin-luther-freedom-protestant-reformation-500.
[6] Jonathan Leeman, “The Relationship of Church and State,” The Gospel Coalition, diakses 1 Maret 2025, https://www.thegospelcoalition.org/essay/the-relationship-of-church-and-state/.
[7] Abraham Kuyper, Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2012), 91.
[8] Richard Turnbull, “A Biblical Theology of Work, Part 3: Call and Vocation,” Religion & Liberty Online, 20 Juli 2021, diakses 1 Maret 2025, https://rlo.acton.org/archives/121990-a-biblical-theology-of-work-part-3-call-and-vocation.html.
[9] John Calvin, Institutio Christianae Religionis: Ajaran-ajaran Agama Kristen,Jilid 2(Surabaya: Momentum, 2023), 1365.
[10] Richard Turnbull, Work as Enterprise: Recovering a Theology of Work (Oxford: Centre for Enterprise, Markets and Ethics, 2018), 32.
[11] Cory C. Brock dan N. Gray Sutanto, Neo-Calvinsim: A Theological Introduction (Bellingham, WA: Lexham, 2022), bab “The Church and the World”, epub.
[12] Cassie Watson, “In the War Room with Churchill and Calvin,” The Gospel Coalition, 12 Maret 2018,diakses 25 Februari 2025, https://au.thegospelcoalition.org/article/war-room-churchill-calvin/.