Epistemological Revival: Youth, Ideology, and Terrorism

Pada awal bulan Mei kita dikejutkan oleh rentetan aksi terorisme yang dilakukan mulai dari Mako Brimob di Depok, lalu tiga gereja di Surabaya, dan beberapa kantor kepolisian. Banyak orang yang mengecam aksi tersebut karena dianggap sebagai sebuah kebiadaban terhadap manusia, apalagi yang menjadi korban kebanyakan adalah rakyat jelata. Ketika menyaksikan berita-berita seperti ini, kita mungkin tidak habis-habisnya berpikir, mengapa ada orang-orang yang mau melakukan aksi bom bunuh diri. Namun, yang lebih mengejutkan lagi pada aksi bom bunuh diri kali ini adalah, terutama pada aksi di tiga gereja di Surabaya, aksi tersebut dilakukan oleh satu keluarga yang memiliki kehidupan yang mapan. Sering kali aksi bom bunuh diri ini dikaitkan dengan orang-orang yang memiliki kesulitan ekonomi, atau orang-orang yang berpendidikan rendah. Namun kali ini dilakukan oleh satu keluarga yang mapan secara ekonomi dan memiliki rumah yang tergolong mewah, yang mengindikasikan bahwa mereka adalah orang yang cukup terdidik. Dari fakta ini setidaknya kita menganalisis adanya dua kemungkinan alasan atau motif mereka dalam menjalankan aksi bunuh diri tersebut, yaitu mereka terlibat di dalam sebuah jaringan organisasi atau mereka terbawa oleh sebuah ideologi yang tersebar melalui berbagai media. Di antara dua kemungkinan ini, kemungkinan kedualah yang lebih mengerikan dan berbahaya, karena penyebarannya sulit sekali dikendalikan, bagaikan sel kanker di dalam tubuh manusia yang menyebar dengan begitu cepat.

Ideologi dan Titik Kritis Hidup Manusia
Perkembangan ideologi di dalam sejarah umat manusia sering kali tidak disadari, dan kalaupun disadari, sering kali diremehkan. Khususnya pada zaman postmodern, ideologi dianggap sebagai hal yang personal dan merupakan ranah dari hak asasi manusia. Artinya, sebagai manusia kita diberikan hak dan kebebasan untuk memilih ideologi yang tepat menurut masing-masing pribadi kita atau yang sering kita kenal sebagai kebebasan beragama.

Kebebasan beragama merupakan titik kritis di dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, memang kita diberikan kebebasan untuk memilih agama, tetapi kita pun harus menyadari bahwa pilihan ini memiliki akibat atau konsekuensi logis yang sangat berbahaya. Pilihan yang salah akan memberikan dampak bukan hanya di dalam kehidupan sementara ini saja, tetapi juga sampai kepada kekekalan. Inilah titik kritis kehidupan manusia yang sering kali diabaikan pada zaman ini. Kita berpikir bahwa pilihan ideologi hanyalah preferensi masing-masing pribadi yang merupakan wujud dari aktualisasi diri. Namun, jarang sekali kita berpikir akan konsekuensi logis atau akibat dari pilihan ideologi kita tersebut. Ini juga merupakan kenaifan hidup para pemuda yang terjadi pada zaman ini.

Oleh karena itu, kita perlu kembali memikirkan mengenai pemilihan ideologi dari masing-masing pribadi manusia. Prinsip kekristenan tidak pernah menyangkali atau anti terhadap kebebasan agama. Kita memandang kebebasan ini sebagai bagian dari martabat manusia sebagai gambar Allah. Namun di sisi lain kita pun harus tetap juga melihat bahwa setiap pilihan hidup memiliki konsekuensi yang fatal jika salah digunakan atau salah pilih. Manusia pertama Tuhan berikan kebebasan. Namun, justru dengan kebebasannya ini manusia pertama memilih untuk berdosa dan memberontak kepada Allah. Akibatnya, kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah, bahkan hingga saat ini, terus menghadirkan pergumulan dengan dosa-dosa yang terjadi di sekitar hidup kita. Karena itulah, sebagai pemuda Kristen kita perlu menyadari bahwa pilihan ideologi atau agama adalah sebuah titik kritis kehidupan manusia yang tidak boleh kita anggap remeh. Pilihan ini adalah pilihan yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Terorisme dan Ideologi
Terorisme adalah salah satu akibat yang fatal dari sebuah ideologi yang salah. Ada beberapa hal yang menjadi kesalahan fatal dari ideologi yang berakhir dengan terorisme, tetapi masalah yang paling utama adalah kekacauan di dalam mengerti mana yang absolut dan mana yang relatif. Di dalam setiap ideologi, pasti ada prinsip atau proposisi yang harus diabsolutkan. Prinsip-prinsip ini dirangkai menjadi sebuah kerangka berpikir yang bersifat absolut, sehingga seluruh pemikiran harus mengacu kepada kerangka berpikir tersebut. Prinsip-prinsip ini dianggap sebagai kebenaran yang paling mendasar, yang tidak boleh dikompromikan. Namun, kekacauan terjadi ketika tafsiran yang bersifat relatif terhadap prinsip kebenaran dianggap absolut dan kebenaran yang absolut justru malah direlatifkan. Sehingga, masalah utama yang dihadapi adalah masalah epistemologi.

Setiap manusia tidak terhindarkan dari yang namanya interpretasi. Bahkan, Cornelius Van Til pernah menyatakan, “There is no such thing as brute facts.” Segala yang dikatakan sebagai fakta adalah interpretasi dari orang yang menyatakannya. Sehingga, permasalahan ideologi adalah peraduan dalam interpretasi, bukan peraduan antarfakta mana yang lebih jelas. Pengujian akan kebenaran sebuah ideologi adalah seberapa konsisten interpretasi tersebut dengan kebenaran yang Allah nyatakan. Setiap ideologi harus kita uji konsistensinya dengan kebenaran yang dipaparkan. Di dalam konteks ini, ideologi adalah pengajaran yang bersifat masih relatif dan perlu terus diuji, baik di dalam konsistensinya dengan kebenaran dalam aspek yang lain, maupun melalui pengujian oleh waktu.

Inilah yang gagal dilakukan oleh ideologi dari para teroris. Kebenaran yang mereka klaim sebagai kebenaran sebenarnya hanyalah interpretasi yang masih kontroversial, bahkan bertentangan dengan ajaran lain yang dengan jelas mengatakan bahwa membunuh itu adalah sebuah perbuatan yang berdosa. Permasalahan dari terorisme adalah ketika mereka mengambil salah satu interpretasi yang masih kontroversial, tetapi mereka sudah menjadikannya sebagai kemutlakan yang tidak dapat dikompromikan.

Kekristenan dan Ideologi
Sebagai pemuda Kristen kita perlu menyadari bahwa di satu sisi baik pandangan theologi, khotbah, maupun pengajaran doktrin yang kita terima melalui para pengkhotbah adalah sebuah interpretasi terhadap kebenaran. Namun, di sisi lain jikalau khotbah atau pengajaran ini memiliki konsistensi dengan aspek kebenaran yang lainnya, maka kita harus menerimanya sebagai interpretasi yang konsisten dengan kebenaran. Setiap khotbah yang memiliki unsur ini harus kita terima sebagai kebenaran, pikirkan, lalu hidupi. Perbedaan pandangan pasti akan sering kita jumpai. Namun, perbedaan ini belum tentu adalah sebuah inkonsistensi, bisa jadi perbedaan ini adalah sebuah keberagaman. Karena di hadapan kebenaran yang tidak terbatas, manusia yang terbatas hanya mampu memberikan pengertian yang terbatas pula. Sehingga manusia dapat melihat kebenaran di dalam perspektif yang berbeda-beda, tetapi memiliki unsur-unsur kesatuan atau konsistensi. Inilah unity in diversity dalam interpretasi atas kebenaran.

Berkaitan dengan interpretasi terhadap kebenaran, Poythress menyatakannya di dalam 3 perspektif: perspektif spatial, perspektif personal, dan perspektif thematic. Di dalam perspektif spatial, Vern Poythress menjelaskan bahwa kita dapat melihat kebenaran di dalam perbedaan sudut pandang. Seorang dokter dengan seorang arsitek dapat melihat sebuah kebenaran yang sama tetapi di dalam sudut pandang yang berbeda, dan hal ini dapat melahirkan keberagaman perspektif terhadap kebenaran. Di dalam perspektif personal, kita perlu menyadari bahwa pribadi yang melihat kebenaran dapat melahirkan perspektif yang berbeda. Dengan segala latar belakang budaya dan pendidikan, setiap orang dapat memiliki interpretasi atau perspektif yang berbeda akan kebenaran, dan hal ini bisa menjadi kekayaan di dalam melihat kebenaran. Perspektif yang lain adalah perspektif thematic. Kita dapat melihat kebenaran dari tema yang berbeda, dan hal ini dapat melahirkan perspektif kebenaran yang beragam. Sebagai contoh, kita dapat menginterpretasi Alkitab dengan menjadikan “Kerajaan Allah” sebagai tema utamanya, atau kita bisa juga melihatnya di dalam tema “Perjanjian Allah”. Sehingga perbedaan di dalam sudut pandang, pribadi yang menginterpretasikan, dan juga tema utama, dapat melahirkan perspektif yang beragam di dalam mengerti kebenaran.

Kesimpulan
Semangat postmodern yang meracuni para pemuda saat ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan racun yang juga merasuki para teroris. Mereka sama-sama rusak di dalam epistemologinya. Mereka sama-sama naif di dalam menentukan kebenaran yang mereka mau adopsi. Mereka sama-sama bodoh di dalam mengambil cara pandang atau pengajaran yang belum teruji. Sehingga, tidak salah jikalau kita menyebut para pemuda seperti ini sebagai pemuda bodoh seperti para teroris. Perbedaan mereka hanyalah di dalam aplikasi dari interpretasi kebenaran yang mereka pahami.  

Kebahayaan dari gaya epistemologi terorisme sering kali terjadi di dalam kehidupan pemuda yang naif. Kita sering kali tidak menyadari bahwa kita sudah dipengaruhi oleh sebuah ideologi yang belum teruji keabsahannya. Namun yang jadi masalah adalah dengan naifnya kita sudah menganggapnya sebagai sebuah cara pandang yang mutlak. Bahkan yang lebih celaka lagi, kebenaran atau pengajaran yang justru sudah teruji, baik secara konsistensinya maupun secara waktu yang panjang, kita relatifkan.

Kita perlu kembali menyadari sifat dari kebenaran yang Allah nyatakan. Kita harus menggali kebenaran Allah ini di dalam keluasannya yang disampaikan melalui berbagai aspek baik di dalam alam, diri manusia sendiri, maupun firman yang Ia nyatakan secara langsung. Setiap aspek ini dapat memberikan perspektif yang berbeda-beda, tetapi tetap memiliki kesatuannya. Ini adalah salah satu aspek yang penting di dalam epistemologi Kristen, yaitu melihat kebenaran Allah di dalam keluasan dan keutuhannya.

Simon Lukmana
Pemuda FIRES