Sebelum Kristus naik ke surga, Ia memberikan sebuah perintah yang dikenal dengan Amanat Agung yang tercatat di dalam Matius 28:19-20 yang berbunyi, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Sebuah perintah yang berkenaan dengan pemuridan yang selayaknya dilakukan minimal oleh tiga komponen di dalam masyarakat yakni keluarga, gereja, dan sekolah. Seorang individu mendapatkan pengaruh terbesar di dalam ketiga komponen tersebut. Oleh sebab itu, orang tua di rumah, pengajar di gereja, dan guru di sekolah seharusnya bekerja sama di dalam mendidik seseorang untuk menjadi murid Kristus. Oleh karena itu juga, ketiga unsur tersebut harus mempunyai konsep yang sama di dalam mendidik supaya seseorang yang Tuhan percayakan untuk dididik di dalam ketiga komponen tersebut tidak mendapatkan pengajaran yang berkontradiksi satu dengan yang lainnya.[1]
Kecelakaan dalam Dunia Pendidikan
Salah satu kecelakaan besar yang sangat mungkin terjadi di dalam pendidikan Kristen saat ini adalah tidak adanya suatu tujuan yang jelas di dalam pendidikan tersebut. Wilhoit dalam bukunya yang ditulis sekitar 20 tahun silam memberikan suatu analisis bahwa banyak orang yang terlibat langsung di dalam pendidikan Kristen seperti guru-guru sekolah minggu, pengajar penggalian Alkitab, konselor remaja sering kali tidak mempunyai tujuan dalam apa yang mereka kerjakan. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka mengajarkan Alkitab, namun pengajaran Alkitab sendiri dapat mempunyai arti yang berbeda-beda.[2] Van Til mengupas dengan lebih jelas mengenai hal ini di dalam esainya ketika beliau memaparkan antitesis antara pendidikan Kristen dengan pendidikan modern yang berkembang di dunia Barat. Antitesis yang ada bermula dari perbedaan filsafat dan kebijakan pendidikan sehingga berpengaruh pada kurikulum pendidikan serta objek pendidikan.[3] Penyebab perbedaan ini mungkin dapat diringkaskan menjadi dua hal yakni perbedaan cara pandang mengenai Allah dan manusia.
Ketika secara sekilas membaca tulisan Van Til yang membenturkan pendidikan teistik dengan ateistik, mungkin sangatlah wajar apabila komunitas Kristen di Timur tidak terlalu berempati dengan situasi yang Van Til paparkan karena pengajaran teistik di dunia Timur masih terasa kental. Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbedaan yang dimaksud di sini adalah perbedaan yang terdapat pada cara pandang mengenai Allah dan manusia; bukan semata-mata antara teistik dan ateistik, namun juga antara ajaran Alkitab dan yang bukan ajaran Alkitab. Sebuah kenyataan yang jangan-jangan telah diacuhkan oleh komunitas Kristen saat ini sehingga pengajaran Alkitab tidak lagi diterapkan di dalam pendidikan Kristen sedangkan para pengajar Kristen[4] masih merasa sedang “mengajar Alkitab” di dalam apa yang mereka kerjakan.
Tiga Pendekatan Pendidikan Sekuler
Wilhoit memaparkan beberapa pendekatan pendidikan yang bersifat humanistik namun telah menembus ke dalam pendidikan Kristen. Pendekatan pertama disebut dengan pendekatan Romantic di mana pendidikan ini berpusatkan pada individu yang dididik sehingga apa yang menjadi kebutuhan dan inklinasi dari individu tersebut menjadi kunci pertimbangan dari program pendidikan. Tidak ada hal yang dipaksakan untuk diajarkan kepada individu tersebut. Pertumbuhan diasumsikan akan mengikuti ketika individu tersebut terpenuhi kebutuhannya. Penekanan ada pada pemenuhan diri secara individual yang sering kali lebih berakibat kepada pemenuhan kebutuhan daripada membawa individu tersebut ke dalam pertumbuhan yang menyerupai Kristus. Contoh yang diberikan adalah seperti kelompok kecil yang menekankan pada sharing apa yang dirasakan dari bahan Alkitab yang dibaca daripada penggalian Alkitab secara intensif. Pengalaman seseorang menjadi penting di dalam pendekatan ini. Hal ini juga dapat terbawa di dalam khotbah yang bernuansa Romantic di mana penekanan diberikan pada pemenuhan diri. Sekalipun begitu, Wilhoit menyebutkan bahwa pendekatan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan selayaknya menghargai karunia dan passion dari setiap individu; kecenderungan setiap individu tidak boleh diabaikan.[5]
Pendekatan yang kedua bertujuan untuk menyampaikan dengan efisien dan efektif akan materi pendidikan yang mau disampaikan. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan Transmissive di mana pemberian informasi secara faktual menjadi hal yang paling penting. Secara esensi, pendekatan ini berasumsi bahwa dengan mengajarkan berbagai macam fakta tersebut maka secara otomatis nilai dan keyakinan dari pengajar akan terinternalisasi pada individu yang dididik. Di tengah-tengah derasnya arus informasi yang beredar saat ini, maka pendekatan ini akan memilih materi-materi yang harus disampaikan. Hal ini mungkin yang menjadi trend di dalam dunia pendidikan termasuk pendidikan Kristen. Pendekatan ini melihat bahwa di balik ketidaksukaan seseorang terhadap sesuatu, sering kali orang tersebut tidak sadar bahwa ia sedang kehilangan sesuatu sehingga orang tersebut harus dipaksa untuk menerima pendidikan supaya ia tidak mendapatkan kerugian. Harus diwaspadai bahwa pendekatan ini dapat mendatangkan sifat kebergantungan dari yang dididik kepada pendidik.[6]
Pendekatan yang ketiga berkaitan dengan filsafat dari John Dewey yang mengembangkan Pragmatisme. Pendekatan yang disebut Developmentalism mengembangkan pengetahuan sebagai sarana yang dapat dipakai untuk menemukan arti dalam hidup. Individu dididik sebagai ilmuwan untuk menemukan apa yang berguna di dalam kehidupannya. Dewey di sini mencoba menghubungkan pendekatan Romantic dan pendekatan Transmissive di dalam teorinya. Pendekatan ini mencoba menarik apa yang baik dari kedua pendekatan sebelumnya serta menekankan penerapan dari pengetahuan yang didapat. Sayangnya, pendekatan ini dapat membawa seseorang menjadi seorang relativis karena apa yang berguna bagi orang lain belum tentu berguna bagi dirinya.[7]
Apabila ketiga pendekatan tersebut ditinjau dari iman Kristen secara lebih mendalam, maka dapat ditemukan kelebihan dan kekurangannya. Bukan tidak ada kebenaran yang dapat dipelajari dari pendekatan-pendekatan tersebut, namun ada baiknya direnungkan apakah sebenarnya firman Tuhan telah mengajarkan kebijaksanaan tersebut sebelum dikembangkan dalam kebudayaan sekuler di mana perbedaan cara pandang tentang Allah dan manusia telah membawa kebijaksanaan tersebut ke arah yang salah. Ironisnya, para pengajar Kristen mungkin menerapkan kebijaksanaan tersebut bersamaan dengan kesalahan-kesalahan yang mengikutinya.
Membimbing Anggota Tubuh Kristus
Salah satu bagian firman Tuhan yang dapat direnungkan ketika berbicara mengenai pendidikan Kristen adalah nasihat Paulus kepada jemaat di Roma yang terdapat di dalam Roma 12:3-6 yang berbunyi, “Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: …”
Dari bagian Alkitab di atas setidaknya dapat dipetik dua hal yang penting mengenai keberadaan manusia:
1. Tiap-tiap manusia mempunyai ukuran iman masing-masing yang dikaruniakan Tuhan yang menyangkut kapasitas diri.[8]
2. Tiap-tiap manusia mempunyai tugas yang berbeda sesuai dengan bagiannya sebagai anggota tubuh Kristus.[9]
Melihat keberadaan manusia seperti ini maka apa yang dilihat oleh para tokoh pendekatan Romantic yakni manusia yang harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kebutuhan dirinya bukanlah omong kosong belaka. Setiap individu harus dididik untuk mengenali potensi yang Tuhan telah berikan secara unik di dalam hidupnya di mana dia bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi tersebut semaksimal mungkin. Tuhanlah yang meletakkan perbedaan tersebut di dalam diri setiap orang sehingga para pengajar Kristen harus menyadari hal ini ketika mendidik seorang individu. Individu yang satu tidak boleh dibandingkan dengan individu yang lainnya karena Tuhan tidak mencetak dua individu yang sama. Setiap individu harus dibimbing untuk mengenali perbedaan kapasitas tersebut tanpa menjadi superior ataupun inferior ketika melihat individu yang lain. Tidak ada semangat kompetisi karena setiap individu mempunyai kapasitas yang berbeda menurut maksud Tuhan sendiri. Hal ini bukan berarti tidak ada usaha untuk menjadi yang terbaik karena firman Tuhan berkata “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.”[10] Setiap orang harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah Tuhan berikan kepadanya secara maksimal.
Lebih jauh lagi, ayat di atas juga membicarakan mengenai perbedaan tugas dari masing-masing individu di dalam tubuh Kristus. Menjadi tanggung jawab dari para pengajar Kristen untuk membimbing seorang individu untuk mengenali tempat yang Tuhan inginkan bagi hidupnya. Sesuai tempat itu pula Tuhan akan memberikan kemampuan untuk menjalankannya. Ada tempat yang terlihat penting namun ada juga tempat yang terlihat tidak penting. Ada bagian yang terlihat berguna namun ada juga bagian yang terlihat tidak berguna. Apapun itu, sebagai bagian dari tubuh Kristus, setiap anak Tuhan selayaknya menjalankan bagian tersebut dengan setia.
Berbicara mengenai keunikan setiap individu tidak menjadikan bahwa tidak ada kesamaan dalam pembelajaran yang harus dilakukan. Manusia yang sudah jatuh mempunyai kesamaan yang besar dari dulu sampai sekarang. Ada banyak contoh pengajaran di Alkitab yang dilakukan oleh berbagai tokoh termasuk Tuhan Yesus sendiri. Tuhan Yesus sendiri memberikan perintah untuk mengajarkan apa yang sudah Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya. Dalam Perjanjian Lama, setiap orang Israel diingatkan untuk mengajarkan Taurat kepada anak-anak mereka.[11] Pemaparan ayat di atas sendiri merupakan salah satu contoh pengajaran yang harus disampaikan. Salah satu hal yang penting di sini adalah pembentukan kerangka berpikir di mana secara theologis Alkitabiah, setiap pandangan akan dibenturkan. Kerangka inilah yang juga mempengaruhi para pengajar Kristen di dalam menyampaikan pengajarannya.[12] Kerangka inilah juga yang seharusnya diajarkan kepada setiap individu supaya dia menjadi seorang yang dengan mandiri mengikut Kristus. Apa yang dituliskan Wilhoit di dalam bagian akhir bukunya dapat menyimpulkan hal ini. Christians must not just learn about the Bible, but must learn to use the Bible, both in ordering their own lives and in ministering to others.[13] Sebagai pengikut Kristus maka sudah sepatutnya meyakini bahwa kerangka berpikir yang diajarkan firman Tuhan adalah satu-satunya kerangka yang dapat diterapkan di dalam seluruh kehidupan manusia. Apa yang dikembangkan dalam pendekatan Transmissive maupun Developmentalism dapat menjadi hal-hal yang mengingatkan pada apa yang sudah diberikan di dalam Alkitab seperti yang sudah dipaparkan di atas secara singkat.
Kesimpulan
Setelah melihat tiga pendekatan di atas, maka para pengajar Kristen selayaknya kembali merenungkan apa filsafat dan pendekatan yang selama ini dikerjakan di dalam pembentukan anak-anak Tuhan. Apakah kerangka dan tujuan yang selama ini dipakai di dalam pengajaran adalah sungguh sesuai dengan firman Tuhan? Selain itu, juga patut dilihat kembali bagaimana sinergi antara ketiga komponen yang telah disebutkan bekerja sama. Apabila ada ketimpangan dalam salah satu komponen tersebut, bagaimana selayaknya ketimpangan tersebut direspons? Kiranya melalui perenungan tersebut, kecelakaan yang terjadi di dalam pendidikan Kristen dapat diperbaiki dan tujuan hidup manusia untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia bukan hanyak menjadi slogan kosong namun sungguh-sungguh terealisasi di dalam diri setiap anak Tuhan.
Victor Wibowo
Pemuda GRII Singapura
[1] Ide mengenai tiga komponen ini pertama kali didapat dari interaksi dengan Pdt. Sutjipto Subeno yang merintis sekolah Logos di Surabaya.
[2] Wilhoit, James C., Christian Education and the Search for Meaning, 2nd edition (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1991), hlm. 9-11.
[3] Berkhof, Louis & Van Til, Cornelius, Dasar Pendidikan Kristen (Surabaya, Indonesia: Momentum, 2004), hlm. 3.
[4] Ketika istilah pengajar Kristen dipakai, di sini yang dimaksud adalah tiga komponen yang disebutkan di bagian sebelumnya.
[5] Wilhoit, James C, Christian Education and the Search for Meaning, 2nd edition (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1991), hlm. 78-82.
[6] Ibid., hlm. 82-89.
[7] Ibid., hlm. 89-101.
[8] Ketika berbicara mengenai kapasitas diri, perenungan dari perumpamaan talenta yang tercatat di dalam Mat. 25:14-30 di mana setiap orang dituntut menurut apa yang dipercayakan.
[9] Paulus juga membicarakan tentang analogi tubuh Kristus ini dalam 1Kor. 12. Suatu bahan yang baik untuk direnungkan.
[10] Luk. 12:48b
[11] Ul. 6:7-9
[12] Dennis E. Johnson mengumpulkan tujuh esai dari Cornelius Van Til dan Louis Berkhof dalam satu buku yang diberi judul Foundations of Christian Education yang diterjemahkan oleh Momentum dengan judul Dasar Pendidikan Kristen. Karya ini berusaha untuk membentuk kerangka berpikir dalam dunia pendidikan Kristen.
[13] Wilhoit, James C., Christian Education and the Search for Meaning, 2nd edition (Grand Rapids, MI: Baker Book House, 1991), hlm.170.