Dengan jumlah penduduk 6.525.170.264 jiwa, bumi saat ini sedang menghadapi berbagai masalah lingkungan yang serius.[1] Enam masalah lingkungan yang utama tersebut adalah ledakan jumlah penduduk, menipisnya sumber daya alam, perubahan iklim global, kepunahan tumbuhan dan hewan, kerusakan habitat alam, serta peningkatan polusi dan kemiskinan. Dapat dibayangkan betapa besar kerusakan alam yang terjadi karena jumlah populasi yang besar, konsumsi sumber daya alam dan polusi yang meningkat, sedangkan teknologi saat ini belum bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.[2]
Para ahli menyimpulkan bahwa masalah tersebut disebabkan oleh praktek pembangunan tanpa memperhatikan kelestarian alam, atau disebut pembangunan yang tidak berkelanjutan. Di sisi lain, UN (United Nations) telah menyusun sebuah konsep Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan) untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas. Konsep ini didefinisikan sebagai: “Pembangunan yang memenuhi kebutuhan manusia saat ini dengan mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.” Hal ini tertuang secara integratif dalam Brundtland Report (“Our Common Future”) tahun 1987.[3]
Penerapan konsep Sustainable Development saat ini ternyata jauh dari harapan. Kesulitan penerapannya terutama terjadi di negara berkembang, salah satunya Indonesia. Sebagai contoh, setiap tahun di negara kita diperkirakan terjadi penebangan hutan seluas 3.180.243 ha (atau seluas 50 kali luas kota Jakarta);[4] hal ini diikuti oleh punahnya flora dan fauna langka.[5] Hal ini sangat jelas menggambarkan kehancuran alam yang terjadi saat ini.
Dapat diambil bukti nyata kerusakan alam di atas dari berbagai bencana alam yang terjadi. Di antara tahun 2005-2006 tercatat terjadinya 330 bencana banjir, 69 bencana tanah longsor, 7 bencana letusan gunung berapi, 241 gempa bumi, dan 13 bencana tsunami.[6] Dapat disimpulkan bahwa bencana longsor dan banjir disebabkan terutama oleh perusakan hutan dan pembangunan yang mengabaikan kondisi alam. Sedangkan bencana alam lainnya menimbulkan jumlah korban yang banyak karena praktek pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatikan potensi bencana.[7]
Mengambil contoh banjir yang terjadi di Jakarta, Februari 2007, kita dapat memahami betapa besar dampak pembangunan kota terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam. Menurut tim ahli Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, penyebab utama banjir di Jakarta ialah pembangunan kota yang mengabaikan fungsi daerah resapan air dan tampungan air. Hal ini diperparah dengan saluran drainase kota yang tidak terencana dan tidak terawat serta tumpukan sampah dan limbah di sungai. Akhirnya debit hujan yang tinggi menyebabkan bencana banjir yang tidak terelakkan.[8]
Yang perlu dikaji selanjutnya ialah prinsip Theologia Reformed dalam pengelolaan alam yang sejati dan implementatif. Dalam rangkaian khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah, posisi manusia dideskripsikan sebagai raja, untuk menaklukkan dan membudidayakan alam semesta. Hal ini diungkapkan sesuai dengan Kejadian 1:26-31 yang berbunyi: “Berfirmanlah Allah: ‘Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi ….’” Hal ini menegaskan bahwa tujuan Allah dalam penciptaan manusia salah satunya ialah untuk mewakili Allah untuk menguasai bumi dan segala isinya. Nampaknya konsep ini ternyata ditafsirkan oleh beberapa ahli, seperti Beissner, bahwa manusia berhak menghabiskan sumber daya alam untuk kehidupan dan kesenangan manusia karena diciptakan mengatasi alam.[9] Pernyataan ini kemudian mengundang kritik para ahli lingkungan, seperti Lynn White yang menuduh bahwa ‘Konsep Kristen’ ini telah mendasari munculnya kerusakan alam karena kapitalisme dan eksploitasi alam secara habis-habisan.[10]
Apakah benar bahwa manusia berhak menghabiskan sumber daya alam dan merusaknya? Menelaah lebih lanjut Theologia Reformed, John Calvin (1554) telah menulis bahwa:
“Adam diciptakan pertama kali untuk memelihara Taman Eden. Adam diizinkan Allah untuk menikmati hasil buah jerih payahnya secara wajar. Sebaliknya Allah juga mengingini manusia tidak mengabaikan tanah melainkan mengolahnya dengan baik. Selanjutnya sistem ekonomi dan kerajinan itu seharusnya dikembangkan karena menghormati seluruh kebaikan Allah yang kita nikmati. Dan disimpulkan bahwa setiap orang seharusnya menganggap dirinya sebagai penjaga milik Allah (dalam seluruh kepunyaannya), sehingga ia tidak mengkorupsinya atau menyalahgunakan karunia itu.” [11]
Jika kita renungkan pernyataan tersebut, kita akan mengerti bahwa prinsip yang benar dalam pengelolaan alam ialah: “Kita dapat memanfaatkan alam untuk keperluan manusia tetapi Allah juga menginginkan kita mencukupkan diri dengan berkat yang kita miliki serta menjaga kelestarian alam.” Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk meminta “hari ini makanan … yang secukupnya.” Hal ini menunjukkan adanya batasan Allah untuk manusia mengeksploitasi alam. Bahkan Firman Tuhan dalam 1 Timotius mengatakan: “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, ….” Batasan ini juga terlihat dalam penentuan Hari Sabat, di mana Allah memerintahkan manusia untuk tidak bekerja dan mengeksploitasi hamba dan hewan ternak.[12] Selain itu, dalam Perjanjian Lama, setiap tahun ketujuh, Allah juga memerintahkan orang Israel untuk tidak menabur dan mengumpulkan hasil, yang bertujuan untuk memberikan tanah perhentian dan memulihkan kondisi tanah[13] serta memberi makan orang miskin dan hewan-hewan hutan.[14] Ayat-ayat tersebut secara tegas menjelaskan tentang keinginan Allah agar alam semesta, termasuk manusia, tidak dieksploitasi secara berlebihan. Sesungguhnya masih banyak Firman yang menyajikan bagaimana alam ikut terkena hukuman oleh karena dosa manusia seperti pada kisah Adam[15], Nuh[16], Lot[17], dan Ahab.[18] Mungkin kita juga harus mengintrospeksi diri di hadapan Tuhan apakah bencana yang melanda negeri kita disebabkan karena dosa bangsa kita.
Tetapi sesungguhnya Allah menjanjikan Yesus Kristus akan menebus manusia yang percaya dari dosa. Tugas-Nya juga mencakup memulihkan hubungan antara Allah, manusia dan alam melalui kematian dan kebangkitan-Nya[19]. Bahkan dalam Kitab Wahyu disebutkan tentang langit dan bumi yang baru sebagai puncak dari karya Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus.[20]
Tentu saja seringkali pengetahuan manusia akan yang baik bukan berarti mewujudkan praksis yang baik dari pengetahuan itu.[21] Hal ini juga berlaku dalam masalah lingkungan. Banyak warga masyarakat yang mengerti untuk mengelola alam dengan baik, misalnya tidak menebang dan membakar hutan, tidak membuang sampah, tidak membuang limbah ke sungai, dan sebagainya. Akan tetapi sedikit orang yang melakukan hal itu.
Kinilah saatnya pemuda penerus dan pewaris zaman dapat memulai tindakan nyata untuk peduli terhadap lingkungan, khususnya kita yang mendapat anugerah wahyu khusus. Kata kunci yang penting dalam usaha seperti ini ialah solusi yang integratif berdasarkan Firman Tuhan serta kemitraan dan partisipasi semua pihak. Hal ini disadari karena pemuda atau Gereja hanya merupakan satu bagian kecil dari usaha ini. Diharapkan dengan melakukan usaha-usaha ini terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi lingkungan hidup, terutama di Indonesia. Amin.
Gunawan Tanuwidjaja
Pemuda GRII Singapura
[1] https://www.cia.gov/cia/publications/factbook/print/xx.html (menurut data Juli 2006)
[2] G.T. Miller (2003), “Environmental Science, Working With Earth.” 10th edition, Brooks/Cole Thomson Learning USA, hlm. 1-3.
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Brundtland_Report
http://www.are.admin.ch/are/en/nachhaltig/international_uno/unterseite02330/
[4] http://www.indonesianforest.com/
Luas Jakarta menurut Wikipedia mencakup 66.152 ha
[5] http://www.profauna.or.id/ indo/Fakta_satwa.html
Tercatat 147 spesies mamalia, 114 spesies burung, 28 spesies reptil, 91 spesies ikan and 28 spesies invertebrata punah.
[6] http://www.kimpraswil.go.id/infoStatistik/bencana/
[7] Gunawan Tanuwidjaja, “Developing a Landscape Evaluation Tool for Developing Countries, Case Studies Bintan Island, Indonesia.” MSc Environment Management Program, National University of Singapore.
[8] Joyce M. Widjaja MSc (2006), “Presentasi Mengatasi Banjir Perkotaan dengan Sistem Polder, Studi Kasus Kecamatan Kelapa Gading Jakarta.” Pusat Penelitian dam Pengembangan Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, Republik Indonesia.
[9] Beisner (1990), “Prospect of Growth.” Crossway Books, Westchester IL, hlm. 168.
[10] Lynn White (1967), “The Historic Roots of Our Ecologic Crisis” dalam Majalah Science 155
[11] Calvin B. DeWitt (2002), “Responsible Praxis in the Ecological Economy: Contributions of Science and Theology” dalam Proceedings of the Abraham Kuyper Consultation February 2, 2002 University of Wisconsin-Madison and Au Sable Institute, hlm. 13.
[12] Keluaran 20:8-10; Keluaran 23:12
[13] Imamat 25:2-4; Imamat 26:34,35,43
[14] Keluaran 23:10-11
[15] Kejadian 3:19
[16] Kejadian 6:7,13
[17] Kejadian 19
[18] 1 Raja-raja 16,17
[19] Roma 5:10; Ibrani 4:14-5:10; 1 Yohanes 2:2; 1 Yohanes 4:10
[20] Wahyu 21:1
[21] Pdt. Dr. Stephen Tong, “Difficult Passages of the Bible.” Khotbah Minggu GRII Singapura.