“Apa itu kebenaran?” Ini adalah pertanyaan yang mewakili pertanyaan dunia kita saat ini. Sebuah pertanyaan yang dahulu juga pernah ditanyakan oleh Pilatus kepada Kristus ketika ia harus mengadili atas nama kebenaran di tengah-tengah tekanan keadaan. Manakah yang benar? Membiarkan terjadinya kerusuhan massal akibat provokasi sekelompok kaum elitis agamais? Atau menuruti permintaan mereka dengan memvonis Orang Yang Tak Bersalah agar tak terjadi pertumpahan darah?
Bila kondisi dilematis di atas kita lempar kepada mayoritas pemuda saat ini secara umum, respons dan jawaban yang diberikan akan sangat beragam, tergantung persepsi dari setiap orang di dalam menafsirkan situasi dan kondisi yang terjadi. Persepsi inilah yang nantinya akan sangat memengaruhi seseorang di dalam menilai dan menentukan apa itu kebenaran.
Sayangnya, sering kali secara tidak sadar persepsi kita sesungguhnya telah berada di bawah pengaruh zaman. Warna dari semangat sebuah zaman membentuk sedemikian rupa cara kita dan masyarakat di dalam menafsirkan dunia dan kejadian di sekeliling kita.
Pada masa kini, kita sering kali melihat bahwa banyaknya persepsi dan interpretasi terhadap suatu hal adalah murni sebuah kekayaan dan keragaman; bahkan terhadap pandangan yang sangat spekulatif sekalipun. Semakin kreatif suatu persepsi, semakin seru pula ia untuk digandrungi. Padahal pada kekristenan terdapat banyak kisah Alkitab yang menggambarkan banyaknya alternatif penafsiran ternyata justru malah datang dari si setan.
Kita bukan anti terhadap kekayaan ataupun keragaman pandangan. Yang menjadi pokok perhatian kita pada titik ini adalah sampai sejauh mana sebuah persepsi mewakili kebenaran yang ia interpretasikan. Sejujurnya, akan sangat membingungkan bagi kita ketika semua orang–dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat–memberikan banyak sekali opini tanpa terlalu peduli seberapa dekat pandangan-pandangan tersebut dengan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang disebut sebagai “kekayaan” tersebut pada akhirnya malah lebih membawa kita kepada bias dan kebingungan ketimbang kejelasan dan penajaman. Hal inilah yang kini sedang terjadi pada generasi kita. Mengapa bisa sampai seperti demikian? Karena pada zaman postmodern ini sifat absolut, sebagai salah satu elemen dari apa yang disebut sebagai kebenaran, telah dicabut.
“Kebenaran itu relatif, tergantung dari mana kamu memandang.” Kalimat ini menjadi jargon yang mewakili semangat relatif yang absolut. Pernyataan ini sesungguhnya kontradiktif, namun telah menjadi suatu fakta yang aktual di tengah-tengah kita. Di sisi lain, secara fair kita pun harus mengakui bahwa tak jarang, mereka yang melabelkan diri sebagai perwakilan yang membawa “kebenaran” absolut, malah berujung pada tirani otoritarianisme, separatisme, anarkisme, dan bahkan terorisme.
Dampak dari sebuah kesalahan penafsiran memang sangat mengerikan. Persepsi yang salah memimpin kita kepada kesalahan tahap selanjutnya, yaitu kesalahan pada konstruksi tentang realitas dan respons terhadap realitas tersebut (berupa pengambilan keputusan-keputusan etis). Pada tahap inilah kita sebagai pemuda Kristen harus mulai mengerti bahwa setelah kebangunan doktrinal terjadi, ia akan membawa kita kepada kebangunan selanjutnya, yaitu kebangunan epistemologi: mengetahui apa yang benar.
Kebangunan Epistemologi: Kebenaran di antara Presuposisi, Persepsi, dan Interpretasi
Kebangunan epistemologi memang seharusnya membawa kita kepada sebuah penafsiran yang benar akan realitas tentang Tuhan, manusia, dan dunia ciptaan. Dalam menafsirkan segala sesuatu setiap orang, baik sadar maupun tidak, berangkat dari kerangka konstruksi kepercayaan mereka. Tidak peduli mereka beragama atau tidak, manusia akan selalu melangkah dari apa yang mereka percaya.
Dasar kepercayaan ini kita kenal sebagai presuposisi. Presuposisi akan selalu mendahului persepsi dan interpretasi. Sebab, sebelum sanggup memersepsikan dan menafsirkan hal di sekeliling kita, kita telah terlebih dahulu memosisikan (atau lebih tepatnya “terposisikan”) diri kita. Kerangka berpikir Theologi Reformasi melihat dunia di dalam kerangka realitas Creation-Fall-Redemption-Consummation (CFRC). Kita percaya bahwa dunia ini diciptakan, tetapi telah jatuh ke dalam dosa. Namun Tuhan melakukan karya penebusan bagi umat-Nya, dan akan membawanya menuju kesempurnaan dalam kekekalan.
Sebagai titik awal, kita perlu menyadari atau mempresuposisikan bahwa manusia adalah created, limited, and polluted (seperti yang diungkapkan oleh Pdt. Stephen Tong). Lalu presuposisi berikutnya di dalam kondisi penebusan (redemption) berangkat dari dua kalimat “syahadat” (yang saya pinjam dari Cornelius Van Til, seorang theolog Kristen) bahwa God is the Creator dan Bible is the word of God. Kedua pernyataan tersebut seharusnya menjadi dasar pengetahuan kita untuk mengerti keseluruhan realitas selanjutnya.
Kalimat pertama menjadi dasar bahwa ada sebuah Entitas di luar dunia ciptaan yang bersifat Pribadi dan yang berdaulat penuh atas segala hal. Ia adalah Awal dari segala sesuatu dan yang akan menjadi Akhir dari semuanya. Ia pula yang telah menciptakan dunia ini di dalam maksud yang telah Ia tafsirkan sesuai dengan ketetapan-Nya yang mutlak. Ia pun sanggup memelihara serta menggenapi seluruh ketetapan-Nya. Ia juga yang sanggup memelihara pengertian dan membuka seluruh penafsiran yang benar tentang maksud-Nya kepada manusia.
Namun kalimat pertama tidak cukup untuk menggambarkan tentang Allah yang menciptakan dunia ini. Diperlukan pengertian kalimat kedua yang menyatakan bahwa Allah yang menciptakan dunia ini adalah Allah yang sebagaimana telah dinyatakan oleh Alkitab. Sehingga kita mengenal Allah tersebut sebagai Allah yang Tritunggal (bukan yang lain), dan yang telah menyatakan firman-Nya melalui Alkitab. Kita harus menyadari bahwa firman-Nya adalah benar sebagaimana maksud yang hendak Ia sampaikan, dan juga bahwa Ia sanggup memelihara penyampaian maksud tersebut ke dalam semua bahasa manusia.
Dari frasa pertama, kita mendapatkan implikasi bahwa segala sesuatu yang ada di dalam dunia tidak berangkat dari sebuah kebetulan yang hampa makna. Karena segala hal berasal dari Dia, maka begitu pula dengan pengetahuan akan kebenaran. Maka mengenal kebenaran yang seutuhnya tentang segala sesuatu tidak akan pernah terlepas dari mengenal Dia; baik pengenalan akan Dia, akan manusia yang diciptakan-Nya, dan bahkan termasuk akan dalil-dalil yang Ia taruh dalam alam.
Lewat dua presuposisi dasar ini kita mengerti bahwa manusia bukan penentu segalanya. Ia bukan titik pusat yang dapat mengukur semuanya. Dari sini pula kita semakin mengerti bahwa manusia adalah makhluk yang dicipta, terbatas, dan berdosa. Bahwa dunia yang manusia tinggali ini pun telah jatuh ke dalam dosa. Sehingga kita dapat memahami bahwa persepsi yang kita terima di dalam dunia berdosa memiliki kecacatannya, dan tidak dapat sepenuhnya mendekati kebenaran yang sesungguhnya.
Tetapi apakah dengan demikian berarti tidak ada kebenaran di dalam dunia ini? Tidak seperti itu. Masih ada kebenaran, kebaikan, keadilan, keindahan, kemuliaan di dalam dunia ini karena Tuhan masih berbelaskasihan kepada ciptaan-Nya. Tuhan menopang dunia agar tidak rusak sepenuhnya. Jika tidak, dunia akan terasa seperti neraka. Namun perlu kita sadari bahwa semua yang baik dari Tuhan tersebut sedang menuju kepada kematian total oleh karena memang segala sesuatu di dalam dunia ciptaan sedang menuju waktu akhir dari Tuhan: waktu penghakiman.
Dengan demikian, persepsi dan interpretasi kita tentang realitas membutuhkan pertolongan Tuhan. Untuk dapat mengerti kebenaran yang sesungguhnya, kita perlu Tuhan mengerjakan suatu pembaruan terhadap status dan kemampuan kita di dalam mengenali Dia dan dunia milik-Nya. Di sinilah nanti kita melihat bahwa penebusan Tuhan bukan saja berkenaan dengan status kita, melainkan juga berkenaan dengan kapabilitas dari kemanusiaan kita.
Tentu saja yang saya maksud dengan kapabilitas kemanusiaan kita yang ditebus di sini bukan seperti gambaran manusia setengah dewa, yang semakin hari semakin sakti. Tetapi adalah soal bagaimana kemanusiaan kita boleh semakin bertumbuh di dalam mengenali kebenaran-kebenaran yang telah Ia nyatakan ke dalam dunia, yang nanti pada puncaknya umat Tuhan akan mengerti kebenaran secara utuh dan penuh di dalam sorga, sebagaimana yang dinyatakan oleh-Nya.
Kebangunan Epistemologi: Wahyu dan Sejarah
Sebagai umat kristiani, kita sering kali menghadapi kesulitan ketika harus membaca segala sesuatu dari sudut pandang Alkitab. Masalahnya, Alkitab tidak pernah membicarakan semua hal. Alkitab tidak membicarakan tentang ilmu-ilmu fisika, kimia, matematika, dan sebagainya. Pokok permasalahannya ada pada pemahaman kita akan kekristenan pada beberapa dekade terakhir. Kita melihat bahwa untuk mengerti Alkitab, kapasitas kita sendiri cukup di dalam mengertinya. Dengan mengatasnamakan iluminasi Roh Tuhan, kita membuang nyaris seluruh perjalanan pergumulan umat Tuhan di sepanjang zaman, yang juga berjuang untuk mengerti firman Tuhan. Kepada mereka Tuhan juga telah beranugerah di dalam memberikan pemahaman serta konteks yang khusus untuk mendapatkan pemahaman tersebut. Dan pemahaman tersebut Ia peruntukan bagi semua umat Tuhan, sekalipun hanya dibukakan pada satu zaman. Dengan kata lain, kita membuang sejarah.
Theologi Reformasi melihat kepentingan dari hadirnya sejarah di dalam dunia. Bahwa sejarah pun merupakan suatu bentuk pernyataan wahyu Allah ke dalam dunia. Bedanya adalah, Theologi Reformasi membagi wahyu ke dalam dua bentuk, wahyu umum dan wahyu khusus. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Sebab keduanya adalah kesatuan wahyu dari Tuhan. Wahyu umum bukan hanya sejarah, tetapi sejarah merupakan bagian dari wahyu umum Tuhan. Mengapa? Sebab bila Allah adalah Allah yang berdaulat secara mutlak, segala hal yang terjadi di dalam dunia tidak terlepas dari penetapan-Nya. Namun perlu diperhatikan, wahyu khusus tetaplah menjadi pemimpin di dalam relasinya dengan wahyu umum.
Di dalam sejarah, baik tentang dunia maupun perjalanan umat Allah, tersimpan kekayaan hikmat yang luar biasa kaya tentang bagaimana Tuhan menciptakan, memelihara, mengintervensi, dan bahkan hingga menghukum dalam “pembiaran-Nya” atas kejahatan. Tuhan kristiani bukanlah seperti tuhan dalam pandangan deisme, di mana Allah dipandang sebagai yang tak terlibat lagi atas jalannya dunia setelah Ia selesai mencipta. Allah kristiani adalah Allah yang terus terlibat di dalam alur perjalanan sejarah, dan bukan saja terlibat, melainkan juga yang adalah pemegang kendali penuh atas arah perjalanan sejarah.
Dengan demikian, apa yang Allah nyatakan di dalam sejarah dunia menjadi sentralitas yang pokok di dalam menumbuhkan kerangka epistemologi kita, baik kegagalan maupun keberhasilan, baik kejatuhan maupun kebangkitan, baik penyimpangan maupun terobosan pemahaman tentang firman sebagai warisan dari zaman ke zaman. Perjalanan sejarah dunia menjadi suatu konteks dan wadah supaya kita boleh memahami wahyu umum dari Tuhan. Keduanya saling melengkapi dan menopang kekuatan iman kita di dalam mengerti kebenaran, mengerti realitas dari Tuhan.
Karena itulah, kembali kepada kasus dilematis dari Pontius Pilatus, umat kristiani sesungguhnya mendapatkan sebuah kisah pembelajaran sejarah yang sangat aktual dan berharga. Bahwa dalam setiap kondisi yang teramat sulit, kita diajar untuk melihat segala sesuatunya dari persepsi Allah yang telah merancang perjalanan sejarah (baik secara mikro maupun makro). Situasi dan kondisi di sekeliling kita tidak serta-merta menjadi preferensi tunggal di dalam membaca realitas keadaan.
Kebangunan Epistemologi: Upaya Komunal Lintas Generasi
Kebangunan epistemologi kini seharusnya dimengerti bukan sebagai usaha pribadi; sebab memang mustahil. Untuk dapat mengerti kebenaran, kita memerlukan seluruh warisan yang dikumpulkan segenap umat Tuhan yang mendahului kita. Kebenaran ini Tuhan pelihara dari zaman ke zaman melalui orang-orang yang Tuhan bangkitkan. Sehingga, di dalam pembelajaran setiap kebenaran kita tidak bisa lepas dari memosisikan diri di bawah orang-orang yang Tuhan berikan bagi zaman, bagi umat Tuhan.
Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah kebenaran yang sangat lumrah. Bukankah demikian pula kita belajar di dalam dunia pendidikan formal kita? Bahwa memang transfer pengertian, dan bahkan kehidupan, tidak terlepas dari formasi relasi antara guru dan murid. Ibrani 13:7 menyatakan dengan gamblang bagaimana perjalanan mengerti kebenaran ini mutlak bersifat komunal.
Akhir kata, kebangunan epistemologi ini tidak pernah bisa terlepas dari kebangunan doktrinal yang mendahuluinya, serta harus berlanjut kepada kebangunan berikutnya, yaitu kebangunan etika. Mengerti firman, mengerti kebenaran dengan benar tidak mungkin tidak membawa kita kepada keputusan-keputusan etis dalam hidup. Dengan kata lain, seharusnya kehidupan keseharian menjadi sebuah ekspresi yang paling nyata dari kebenaran yang kita mengerti dan terima.
Mengenal Tuhan pasti mengubah kehidupan, yang selanjutnya akan terekspresikan ke dalam pelayanan dan mandat budaya. Dengan demikian, pergumulan dari lima kebangunan ini akhirnya akan menjadi sebuah untaian kebangunan rohani yang sejati. Melalui pembelajaran doktrinal yang membentuk basis kerangka presuposisi kita, persepsi dan interpretasi kita kembali diarahkan kepada suatu pengetahuan yang benar akan kebenaran.
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Bacaan untuk pembelajaran lebih lanjut:
1. In Defense of the Faith – A Survey of Christian Epistemology, Cornelius Van Til.
2. Pengantar Theologi Sistematika, Cornelius Van Til.
3. God-Centered Biblical Interpretation, Vern S. Poythress.
4. In the Beginning Was the Word, Vern S. Poythress.