Beberapa hari lagi kita akan merayakan Natal. Berbeda dengan Paskah, Natal sering kali dirayakan dengan begitu meriah. Menjelang hari Natal, kita dengan mudah melihat pernak-pernik Natal menghiasi pusat perbelanjaan, mulai dari pohon Natal hingga lampu-lampu dekoratif yang menarik perhatian. Stasiun televisi pun bersemangat menayangkan film-film bertema Natal, seperti Home Alone yang terus diulang tiap tahun. Selain itu, hari Natal tercatat sebagai hari libur nasional di kalender, menambah kesan spesial dan perayaan besar-besaran. Sebaliknya, Paskah hampir selalu terasa sunyi. Hampir tidak ada dekorasi khas, tidak ada tayangan khusus di televisi, dan di kalender pun hari Paskah sering kali terlihat seperti hari Minggu biasa tanpa kesan libur Paskah. Dalam pengamatan saya terhadap orang Kristen di sekitar saya, perayaan Natal sering diwarnai dengan tradisi kumpul-kumpul keluarga, berbagi hadiah, atau open house. Sebaliknya, pada Paskah, tradisi semacam itu jarang terlihat.
Namun, bukankah seharusnya Paskah, dengan kisah kebangkitan Tuhan Yesus sebagai kemenangan atas maut, menjadi momen yang paling heroik dalam iman Kristen? Lalu mengapa euforia Natal terasa jauh lebih besar dibandingkan Paskah? Bahkan mungkin dalam hati banyak orang Kristen pun, sukacita Natal lebih dirasakan dibanding sukacita Paskah. Apakah memang kisah kelahiran lebih menggugah daripada kisah kebangkitan sehingga kemewahan Natal lebih kita rasakan di zaman ini?
Kemeriahan Natal sangat dipengaruhi oleh tradisi kekristenan di Barat. Tanggal 25 Desember yang kita rayakan merupakan produk kekristenan Barat yang berbeda dengan kekristenan Timur, yang merayakan Natal pada tanggal 7 Januari. Di Barat, Natal pertama kali dirayakan pada tanggal 25 Desember setelah tanggal tersebut disahkan oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 336. Perlu dicatat bahwa Kaisar Konstantinus adalah kaisar Romawi pertama yang menjadi Kristen dan menghentikan penganiayaan terhadap orang Kristen pada abad-abad awal. Di bawah kepemimpinannya, kekristenan menjadi agama yang dominan dan menuju terbentuknya Christendom. Oleh karena itu, sebelum masa Kaisar Konstantinus, tidak ada yang disebut dengan hari raya Natal. Kelahiran Tuhan Yesus tidak dirayakan. Bahkan, tanggal 25 Desember sebelumnya adalah hari perayaan orang-orang pagan atas kelahiran dewa-dewanya. Sebagai upaya kristenisasi oleh Kaisar Konstantinus, tanggal 25 Desember diubah menjadi perayaan kelahiran Yesus. Oleh sebab itu, kebiasaan yang sebelumnya dilakukan dalam perayaan pagan, seperti minum minuman beralkohol, tari-tarian, nyanyi-nyanyian, dan berbagai bentuk keceriaan lainnya, turut dilakukan pada malam Natal.
Hari Natal dan kebudayaannya menyebar ke berbagai negara Barat dan menuai kontroversi di kalangan tertentu. Di Inggris, tepatnya pada tahun 1645, perayaan Natal dilarang secara hukum oleh kaum Puritan karena dianggap tidak menghormati Tuhan dengan bentuk perayaan yang berlebihan. Di Amerika, pada tahun 1884, Washington Irving dalam bukunya yang berjudul The Sketch Book of Geoffrey Crayon menuliskan cerita-cerita pendek yang menggambarkan suasana Natal yang harmonis dengan semangat kekeluargaan. Mengambil inspirasi dari St. Nikolaus, ia menciptakan karakter ramah keluarga bernama Santa Claus dengan kereta rusa yang kita kenal sekarang ini. Tulisan ini juga merupakan respons terhadap suasana Natal yang terkesan gaduh karena menjadi ajang pesta mabuk-mabukan. Karya ini menjadi salah satu pengaruh bagi temannya, Charles Dickens, untuk menulis buku berjudul A Christmas Carol. Dalam buku tersebut, Dickens menggambarkan Natal dengan nuansa yang lebih intim antara keluarga inti. Bahkan, ia juga mengkritik tindakan kapitalis yang memanfaatkan Natal hanya untuk keuntungan diri sendiri, dengan menggambarkan seorang tokoh pemungut pajak yang kikir berubah menjadi sosok kebapaan yang hangat dan murah hati yang suka memberi hadiah.
Keyakinan Dickens terhadap Natal yang altruistik ternyata dibajak oleh retailer kapitalis di Amerika. Tindakan memberi hadiah kepada orang lain justru dimanfaatkan sebagai strategi untuk memaksimalkan keuntungan dengan cara menawarkan berbagai Christmas sales. Mereka melihat ini sebagai peluang besar karena aktivitas belanja akan makin meningkat. Retailer berpikir bahwa ketimbang mengisi inventaris mereka dengan barang yang nilainya makin menurun, lebih baik mereka memberikan Christmas sales untuk barang-barang tersebut sehingga dapat terjual dengan harga yang lebih tinggi, atau yang sering disebut sebagai diskon cuci gudang. Misalnya, jaket musim dingin yang bersifat musiman akan diobral dengan Christmas sales agar inventaris mereka dapat diisi dengan barang yang lebih menguntungkan.
Jadi, mereka melihat bahwa dengan banyaknya orang yang berburu hadiah, mereka dapat memberikan diskon pada barang-barang yang harganya mulai turun agar cepat terjual. Di sisi lain, ikon-ikon Natal digunakan sebagai alat pemasaran, seperti Santa Claus yang menjadi “brand ambassador” Coca-Cola pada tahun 1931, yang membuat ikon ini makin populer di seluruh dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wajah Natal saat ini banyak dipengaruhi oleh karya Washington Irving dan Charles Dickens. Sementara Natal sangat dikomersialisasi karena tradisi dan menjadi sangat populer, Paskah tidak begitu dimanfaatkan oleh kapitalis, atau mungkin dimanfaatkan tetapi belum ada yang terlalu sukses karena tradisinya tidak begitu mendorong adanya aktivitas transaksi. Dengan ini, Natal menjadi lebih meriah daripada Paskah bukan karena esensi dari Natal itu sendiri, melainkan faktor-faktor eksternal seperti gaya hidup dan tradisi kebaratan yang belum tentu berhubungan dengan kisah inti kekristenan.
Walaupun masih ada orang Kristen yang menginternalisasi makna Natal, tetapi di antaranya ada kecenderungan menilai Natal lebih menarik dari Paskah karena terdapat tema “AKU” dalam kelahiran Yesus. Allah turun dari takhta-Nya untuk mendekat kepada manusia, menjadi manusia untuk menderita demi keselamatan manusia. Dalam pandangan ini, tindakan Allah menjadi manusia terasa lebih heroik dibandingkan dengan kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus, meskipun penting, mungkin tidak dirasa sespesial itu, karena kita tahu bahwa Dia adalah Allah, yang sudah Maha Kuasa sejak awal. Kebangkitan-Nya dianggap biasa saja, seperti karakter-karakter pahlawan fiksi yang memiliki “plot armor” yang kebangkitannya bukanlah hal yang mengejutkan. Dengan demikian, ada kedangkalan dalam pemahaman kita terhadap keseluruhan karya penebusan Yesus, karena kita lebih terfokus pada aspek kemanusiaan-Nya dan kurang memperhatikan makna kebangkitan-Nya.
Di sisi lain, tampaknya tema “Allah mengasihi AKU” cukup menggoda untuk menjadi penghilang rasa sakit atas penderitaan yang kita alami dan bisa mengaburkan siapa yang sebenarnya menjadi tokoh utama dalam dunia ini. Allah menjadi manusia tak jarang memberi kesan bahwa “diriku” sangat penting, bahkan yang paling penting. Memang benar bahwa Allah mengasihi kita, namun perlu diingat bahwa Allah turun ke dunia bukan hanya untuk manusia, tetapi untuk merestorasi seluruh ciptaan. Posisi kita adalah sebagai mitra Allah dalam misi merestorasi ciptaan lainnya. Artinya, ada tanggung jawab kita kepada Allah di sini, ada hal-hal yang harus kita perjuangkan untuk-Nya. Keselamatan kita bukanlah puncak dari pekerjaan Allah dan “diriku” bukanlah poros semesta. Dalam menjalankan misi-Nya, Allah dapat menggunakan siapa saja yang Ia kehendaki dan dapat menggantikan posisi kita dengan orang lain. Memang kita sebagai manusia penting, tetapi tidak sepenting itu hingga melebihi kedudukan Allah.
Kita perlu kembali pada kerangka berpikir kekristenan dalam memandang diri, yaitu Creation, Fall, Redemption, dan Consummation. Kita saat ini berada di antara tahap Redemption dan Consummation. Kebangkitan Kristus menjadi titik awal atau titik nol dari restorasi ciptaan menuju dunia yang baik, sebagaimana yang Allah rencanakan sejak awal pada tahap Creation. Titik nol ini merupakan awal dimulainya relasi intim antara manusia dan Allah, sebab Allah sendiri telah turun ke dunia pada titik terendah, yaitu lahir di palungan dan menjadi serupa dengan manusia. Natal bukanlah sebuah titik kemegahan di mana kita dapat berfoya-foya dan di situ lupa akan kehadiran Allah di tengah kita. Kita hanya dapat berjumpa dengan Allah di titik nol tersebut, yaitu bertemu dengan bayi Ilahi di tengah palungan.
Titik nol ini juga menandai dimulainya tanggung jawab manusia. Titik nol ini adalah awal dimulainya hubungan kebersamaan antara Allah dan kita, anak-anak-Nya, dalam proyek perbaikan yang sangat besar, proyek yang lebih besar daripada proyek apa pun. Proyek ini mencakup perbaikan diri kita sendiri serta perbaikan atas ciptaan Tuhan lainnya yang telah dirusak oleh dosa. Memang Allah dapat menggunakan siapa saja untuk mengisi posisi kita saat ini, namun penting untuk diingat bahwa Allah telah menempatkan kita dalam posisi yang sangat penting dalam proyek besar ini—sebagai anak, pekerja, mahasiswa, atau sebagai orang Indonesia. Seperti halnya dalam sebuah proyek, kita bertanggung jawab untuk menjalankan posisi-posisi tersebut dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan rasa takut dan gentar.
Kita perlu kembali pada kerangka berpikir kekristenan dalam memandang diri, yaitu Creation, Fall, Redemption, dan Consummation. Kita saat ini berada di antara tahap Redemption dan Consummation. Kebangkitan Kristus menjadi titik awal atau titik nol dari restorasi ciptaan menuju dunia yang baik, sebagaimana yang Allah rencanakan sejak awal pada tahap Creation.
Perayaan Natal biasanya lebih meriah daripada Paskah bukan karena esensi keduanya, melainkan karena faktor-faktor eksternal seperti liburan, tradisi kumpul keluarga, dan pengaruh komersialisasi yang membuat Natal dirayakan secara besar-besaran. Selain itu, memandang diri yang lebih utama dari Allah juga menjadi faktor Natal lebih menarik daripada Paskah. Jika kita termasuk dalam golongan orang Kristen yang seperti ini, kita perlu merenungkan kembali makna keselamatan dan memosisikan Allah sebagai pusat hati kita. Jika Tuhan turun kepada titik nol pada hari raya Natal, di manakah kita dalam menyambut kehadiran bayi Yesus pada akhir tahun ini?
Charis Hulu
Christopher Kornelius
Alumni Calvin Institute of Technology
Situs Internet
https://www.britannica.com/story/why-is-christmas-in-december