Akhir-akhir ini, korupsi sedang menjadi sorotan di Indonesia. Setiap Badan Usaha di Indonesia “mengadu” besar jumlah uang yang dikorupsi satu badan usaha dengan yang lain. Korupsi di Indonesia bukan hanya miliaran, bukan hanya triliunan, tetapi sudah mencapai kuadriliun. Ini sangat menghancurkan hati kita sebagai orang Indonesia. Jika kita melihat Indeks Persepsi Korupsi (IPK), pada tahun 2014 Indonesia memiliki skor 34, lalu membaik di tahun 2019 dengan skor 40, tetapi di tahun 2023 skornya kembali ke 34 dan tahun 2024 hanya naik skor menjadi 37[1]. Ini sungguh menyedihkan karena tidak adanya keseriusan dalam pemerintahan untuk memberantas korupsi. Kita mungkin senang karena ada direktur PT. Pertamina yang tertangkap dengan hasil korupsi 1 kuadriliun. Tetapi apakah ini adalah tindakan yang sungguh-sungguh ingin menyelesaikan korupsi atau hanya mengganti manusia tamak yang lama dengan manusia tamak yang baru?
Artikel ini akan membahas permasalahan korupsi di Indonesia melalui perspektif neurosains. Pembahasan mengenai cara kinerja otak akan menjadi sebuah lensa dalam memahami budaya korupsi dan permasalahan cara berpikir individu. Namun, tidak berhenti di sana, penulis juga akan menjelaskan bagaimana tindakan korupsi dan permasalahan otak dapat dipahami melalui terang iman Kristen, yaitu apakah benar bahwa tindakan menyimpang yang kerap kali terjadi di Indonesia merupakan sebuah konsekuensi dari otak atau memang itu adalah refleksi dari pemberontakan yang terjadi dalam hati manusia.
Sebelum kita masuk ke dalam inti dari pembahasan, saya akan menjelaskan tentang apa itu reward system, limbic system, dan frontal cortex. Reward system adalah struktur otak yang aktif ketika kita menerima penghargaan atau kesenangan. Komponen dalam reward system terdiri dari Ventral Tegmental Area (VTA), Nucleus Accumbens (NAcc), Prefrontal Cortex, Amygdala, dan Hippocampus. Ini terjadi di area limbic system yaitu kumpulan struktur otak yang berperan dalam mengatur emosi, memori, motivasi, dan perilaku. Limbic system berada di dalam otak bagian tengah, di sanalah reward system terjadi. Ketika orang mengalami kesenangan, maka reward system akan aktif dan mengeluarkan dopamin. Ada dua jalur untuk mengirimkan dopamin yaitu Mesolimbic Dopamine Pathway dan Mesocortical Dopamine Pathway. Mesolimbic pathway adalah jalur dopamin dari Ventral Tegmental Area (VTA) yang dikeluarkan dan dikirimkan ke daerah limbic system yaitu Nucleus Accumbens (NAcc), Amygdala, dan Hippocampus. Mesocortical pathway adalah jalur dopamin dari VTA yang dikeluarkan dan dikirimkan ke daerah prefrontal cortex (PFC). Jika ada yang menerima dopamin terlalu banyak, seperti penyalahgunaan obat dan narkoba, itu akan berbahaya dan akan mengganggu bagian yang lain, terutama di bagian NAcc. Jika orang yang memakai narkoba mengalami kecanduan, maka dopamin dan reseptor dopaminnya akan berkurang dan menginginkan sesuatu (obat) yang lebih banyak untuk meningkatkan dopamin.
Berdasarkan neurosains, kita dapat melihat keserakahan, tindakan moral, dan rasa takut seseorang dari otaknya. Nucleus accumbens, bagian dari sistem limbik yang juga dikenal sebagai “pusat kesenangan” otak, memainkan peran kunci dalam keserakahan.[2] Studi yang dilakukan oleh Knutson et al. (2008) dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) menunjukkan bahwa nucleus accumbens dapat aktif ketika kita melihat sebuah gambar. Aktivasi ini lebih kuat pada individu yang menunjukkan tingkat keserakahan yang lebih tinggi dalam tes psikologis. Hal ini menunjukkan bahwa, pada beberapa individu, sensitivitas terhadap reward finansial secara biologis lebih tinggi, yang dapat menjadi faktor predisposisi untuk perilaku menyimpang seperti korupsi.[3]
Dikatakan juga dalam berita ini, “Salah satu temuan signifikan dari kajian perilaku koruptif dalam sudut pandang neurosains adalah peran korteks prefrontal (PFC), terutama korteks prefrontal ventromedial (vmPFC) dan korteks orbitofrontal (OFC). Bagian otak ini bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan etis, kontrol impuls, dan pertimbangan konsekuensi jangka panjang.”[4] Di dalam buku The Mindful Brain, PFC memiliki sembilan fungsi yaitu sebagai Regulation Body, Attuned Communication, Emotional Balanced, Response Flexibility, Empathy, Insight (Self-knowing Awareness), Fear Modulation, Intuition, dan Morality.[5]
Lebih lanjut lagi, bahwa hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa individu yang jujur menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di korteks vmPFC mereka; sedangkan individu yang cenderung berbohong menunjukkan aktivitas yang lebih rendah. Temuan ini mengindikasikan bahwa kerusakan fungsi atau penurunan aktivitas di area prefrontal dapat berkontribusi pada perilaku tidak etis.[6] Nah ini yang dimaksud juga dalam buku Anatomy of the Soul, yang disebut juga sebagai low road jika kita mengambil keputusan yang tidak benar dan tidak jujur. Saya kutip dari buku tersebut, “The low road, therefore, represents a dis-integration of the prefrontal cortex. Essentially, important data that would help us assess and respond appropriately to our situations is left outside our conscious awareness.”[7]
Yang lebih bahaya lagi jika tindakan menyimpang yang berulang terjadi, dia bisa menjadi candu yang memengaruhi otak. Studi oleh Volkow et al. (2011) tentang adiksi menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap reward, seperti uang hasil korupsi, dapat mengakibatkan desensitisasi, penguatan jalur neural, dan pengurangan kontrol impuls.[8] Sehingga jika sudah menjadi candu maka dia akan menginginkan sesuatu yang lebih dari yang sudah “dikonsumsi”. Jika orang sudah korupsi 1 miliar, dia akan korupsi lebih besar dari itu, apalagi jika dia tidak ketahuan korupsi atau bekerja sama, maka rasa takutnya akan hilang jika tidak segera dihukum. Seseorang tidak berhenti korupsi karena dia sudah mendapatkan uang yang besar. Malah, seseorang justru akan melakukan korupsi yang lebih besar karena sudah terbiasa dengan hype tindakan penyimpangan yang dia perbuat.
Amigdala, bagian dari sistem limbik, berperan dalam respons “fight or flight” dan pengolahan rasa takut. Penelitian oleh LeDoux (2003) menunjukkan bahwa disfungsi amigdala dapat menyebabkan berkurangnya rasa takut terhadap konsekuensi negatif.[9] Jadi orang melakukan korupsi karena berkurangnya rasa takut disebabkan ada disfungsi dalam otaknya di amigdala, ada keinginan untuk terus korupsi karena NAcc yang terus ingin dipuaskan, dan terganggunya PFC untuk mengambil keputusan yang etis dan benar.
Apakah ini yang menyebabkan orang korupsi karena terganggu otaknya? Apa kita anggap ini sebagai penyakit yang kita bisa toleransi seperti penyakit Alzheimer atau cedera otak yang menyerang otak sehingga kita harus memahami orang yang mengalami penyakit tersebut? Ada seorang pria yang dianggap saleh di dalam hidupnya tetapi setelah terkena Alzheimer, dia suka melontarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada kaum wanita dan bersikap amat menuntut terhadap orang sekitarnya. Dalam contoh yang lain, ada seorang laki-laki yang sudah menikah tetapi kecanduan pornografi; ini menjadi masalah di pernikahannya. Bahkan dia mengajak istrinya untuk menonton film porno yang ekstrem walaupun istrinya tidak menyukainya. Tetapi, setelah dia meminum obat antidepresan yaitu Prozac maka dia hidup normal dan pernikahannya baik dan dia tidak menyukai film porno lagi. Cerita ini ada di introduksi dari buku Listening to Prozac.[10] Apakah penyakit ini hanya masalah di dalam otak yang dapat disembuhkan dengan obat dan bukan dengan Injil Kristus?
Dalam iman Kristen, kita percaya bahwa seseorang berdosa yaitu dari hati, bukan karena otaknya yang bermasalah. Dalam kasus korupsi, ada hati yang terikat pada ketamakan (greed). Tuhan Yesus mengatakan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Luk. 12:15). Yesus juga mengatakan, “[S]ebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7:21-22). Ditambah lagi oleh Paulus yang mengatakan kepada Timotius akar dari segala kejahatan adalah cinta uang (1Tim. 6:10a).
Ketamakan adalah hasrat yang salah arah. Tuhan menciptakan manusia dengan suatu hasrat. Pada waktu itu, semua hasrat adalah baik. Akan tetapi, setelah manusia jatuh ke dalam dosa, manusia memakai hasrat yang baik itu dengan tujuan yang salah. Kita mengetahui ketamakan itu dengan sangat baik dan itu mengintai di dalam hati setiap orang kaya dan orang miskin, orang yang paling jahat dan orang beriman. Thomas Aquinas juga menjelaskan, “Hasrat adalah untuk mendapatkan keuntungan yang tidak mengenal batas.”[11]
Dalam hubungan antara hati dan otak, Edward Welch dalam bukunya menulis bahwa gerak hati atau roh akan selalu ditunjukkan atau diekspresikan dalam aktivitas kimiawi otak. Saat memilih baik atau jahat, keputusan ini akan diiringi oleh perubahan aktivitas otak.[12] Gejala yang muncul pada otak atau tubuh itu mengekspos apa yang ada di dalam isi hati. Jika isi hati kita tamak atau senang akan uang, maka aktivitas kimiawi otak kita akan mengikuti isi hati kita yang cinta akan uang. Di dalam buku ini mengatakan ada 4 prinsip:
- Otak tidak dapat menyebabkan seseorang berbuat dosa atau menghalangi orang untuk mengikuti Yesus dalam iman dan ketaatan.
- Kemampuan setiap orang–kelebihan dan kelemahan-kelemahan pada otak–adalah unik, dan patut dipelajari dengan cermat.
- Masalah otak dapat membuka masalah hati.
- Hati yang berdosa dapat menyebabkan penyakit jasmani dan hati yang benar membawa kesehatan.[13]
Jadi apa yang menjadi masalah adalah hati kita yang penuh dengan ketamakan yang direaksikan dengan otak. Mungkin kita bisa melihat seseorang tamak melalui otaknya, yang diwarnai dengan corak penuh keserakahan sebelum dia melakukan korupsi atau masuk ke dalam pemerintahan. Inti keberadaan manusia bukan di otak, melainkan di dalam hati. Hati yang berdosa harus ditebus oleh Kristus yang mati dan bangkit menjadi suatu hati yang baru. Kristus mati untuk membawa kita datang kepada Allah, menjadikan kita ciptaan baru, menebus keseluruhan hidup kita, yaitu tubuh (otak), hati, dan kehendak kita yang berdosa. Kiranya Kristus melalui Roh Kudus memperbaharui dan menyucikan kita selalu untuk terus mempunyai hati yang mencintai kekudusan dan bukan ketamakan dan uang.
Enrimon Elyasaf
Pemuda GRII Bandung
[1] TEMPO.CO, editor. “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.” Tempo.co, 18 Februari 2025, https://www.tempo.co/data/data/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2024-1208790.
[2] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[3] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[4] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[5] Siegel, Daniel J. The Mindful Brain: Reflection and Attunement in the Cultivation of Well-Being (Norton Series on Interpersonal Neurobiology). W. W. Norton, 2007.
[6] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[7] Thompson, Curt. Anatomy of the Soul: Surprising Connections Between Neuroscience and Spiritual Practices that Can Transform Your Life and Relationships. SaltRiver, 2010.
[8] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[9] Mulyawan, Wawan. “Penyebab Korupsi menurut Neurosains.” Tempo.co, 25 Maret 2025, https://www.tempo.co/kolom/penyebab-orang-korupsi-versi-neurosains-1223804
[10] Kramer, Peter D. Listening to Prozac. Viking, 1993.
[11] Segal, Marshall, editor. KILLJOYS: The Seven Deadly Sins. Desiring God, 2015. Hlm. 61.
[12] Welch, Edward T. Blame It on the Brain: Distinguishing Chemical Imbalances, Brain Disorders, and Disobedience. New Growth Press, 2012.
[13] Welch, Edward T. Blame It on the Brain: Distinguishing Chemical Imbalances, Brain Disorders, and Disobedience. New Growth Press, 2012.