Selfie and Self-Centeredness

Belakangan ini media massa maupun media sosial banyak menyajikan dan membahas mengenai beberapa kecelakaan yang diakibatkan oleh suatu hal yang terlihat sangat sederhana, yaitu selfie. Selfie, tindakan mengambil foto diri sendiri menggunakan kamera, sebenarnya bukanlah hal yang baru karena telah ada sejak kamera boks kodak Brownie ditemukan pada tahun 1900, namun hal ini sangat populer dalam beberapa tahun ini.

Teknologi yang berkembang juga sangat mendorong maraknya tren selfie ini. Dari sisi hardware, mulai dari kamera depan dari handphone, tongsis, hingga kemampuan kamera yang sangat tinggi kualifikasinya. Sedangkan dalam sisi software, berbagai media sosial seperti Instagram, Path, Facebook, dan Twitter, memfasilitasi tren ini dengan menyediakan wadah untuk menampilkan foto-foto tersebut dan ‘memamerkannya’. Fungsi media sosial inilah yang menjadi salah satu pendorong kuat orang-orang melakukan selfie. Contohnya seorang perempuan remaja nekat menaiki salah satu tiang penyangga pada suatu jembatan setinggi 8,5 meter hanya untuk mengambil foto dirinya di atas tiang jembatan itu agar bisa membuat kagum teman-temannya. Namun sungguh tragis, ia malah terjatuh dan mengenai kabel listrik sehingga tersengat arus listrik dan meninggal.

Suatu tren yang pada awalnya terlihat wajar, tetapi semakin lama semakin menjadi tren yang ekstrem. Tren ini hanyalah sebuah gejala dari spirit zaman yang sedang terjadi pada saat ini. It’s only peak of an iceberg, sebuah fenomena yang menunjuk kepada permasalahan utama yaitu sebuah ‘teriakan zaman’ yang termanifestasi dalam suatu tindakan yang menjadi tren. Lalu apa yang menjadi teriakan zaman ini?

Motivasi
Pertama-tama mari kita menggali beberapa motivasi dari orang-orang yang suka melakukan selfie. Jika selfie merupakan bagian dari tindakan potret, maka motivasi melakukan hal tersebut seharusnya berkaitan dengan fungsi dari memotret. Fungsi utama dari memotret adalah mengambil suatu gambar dari suatu kondisi saat gambar diambil, di mana kondisi saat itu dianggap suatu kondisi berharga yang layak diabadikan. Jadi apa pun yang dipotret, hanya ada satu alasan normal mengapa orang memotret hal tersebut, yaitu ingin mengabadikan hal tersebut dalam sebuah gambar, baik karena hal tersebut adalah suatu momen yang unik, sesuatu yang indah, maupun sesuatu yang mengerikan, dan lain-lain. Mengabadikan suatu momen tentu merupakan hal yang baik. Allah sendiri pernah mengajarkan bangsa Israel untuk mengabadikan beberapa peristiwa. Salah satu contohnya adalah ketika bangsa Israel yang dipimpin oleh Yosua menyeberangi Sungai Yordan, Allah memerintahkan mereka untuk membawa 12 batu dari dasar Sungai Yordan sebagai pengingat bagi generasi selanjutnya tentang apa yang telah dikerjakan Allah bagi bangsa Israel. Mengabadikan momen dapat membuat kita mengingat kembali betapa besar pemeliharaan Allah dalam hidup kita sehingga kita akan mengucap syukur atas hal tersebut.

Tetapi, mengapa orang begitu menyenangi selfie? Mengapa orang begitu suka mengunggah gambar-gambar mereka ke media sosial? Apakah saat mereka melakukan selfie, mereka sedang mengabadikan momen atau menjadi ajang untuk memamerkan kespektakuleran diri?

Mengenali Zaman
Kita hidup di zaman postmodern. Postmodernisme ini membawa semangat subjektivisme dalam epistemologinya. Tidak ada standar mutlak yang dijadikan sebagai dasar untuk menilai sesuatu. Setiap orang (setiap subjek) bisa menilai sesuatu sesuka hatinya, tidak perlu mempertimbangkan penilaian orang lain karena penilaian orang lain adalah penilaian yang berlaku bagi diri orang itu. Jadi standar penilaian hanya berlaku pada diri sendiri. Kita yang perlu kebenaran, kemudian menilai kebenaran berdasarkan diri yang mencari kebenaran, bukankah proses ini tidak masuk akal?

Lalu, apakah standar yang kita gunakan bisa cocok dengan standar yang orang lain gunakan? Jika tidak cocok apakah orang lain bisa menerima standar yang kita gunakan? Bagaimana cara menjawab semua pertanyaan di atas sekaligus? Jawabannya adalah konfirmasi. Konfirmasi dan pengakuan adalah hal yang bisa menyelesaikan semua masalah di atas. Lalu bagaimana kita bisa mendapatkan pengakuan dari banyak orang? Solusinya ada di media sosial.

Media Sosial
Sebuah tempat berkumpulnya banyak orang yang kita kenal dan bahkan mungkin orang yang tidak kita kenal. Ketika kita mengunggah sesuatu ke media sosial dan orang-orang mulai memberikan komentar atau tanda ‘like’, di saat itulah kita akan merasakan bahwa orang-orang memberikan pengakuan kepada kita.

Bukankah yang tadi dibilang bahwa yang perlu dikonfirmasi adalah standar penilaian kita? Lalu kenapa diri kita sendiri yang perlu pengakuan? Karena di zaman postmodern ini yang menjadi standar penilaian tidak lain adalah diri setiap pribadi itu sendiri. Bagaimana pribadi tersebut, begitu jugalah standar tersebut. Standar menjadi erat hubungannya dengan diri. Jadi ketimbang mempertunjukkan standar kita kepada dunia, akan lebih mudah mempertunjukkan diri kita kepada dunia. Jika respons orang-orang seperti memberikan tanda positif, di situlah kita akan merasa puas.

Mencari Kebenaran
Mencari kebenaran di luar Allah merupakan hal yang salah. Kita seharusnya menggunakan standar kebenaran Allah untuk menilai segala sesuatu bukan menggunakan standar diri atau hanya pada rasio manusia yang tidak ditundukkan kepada kebenaran Allah. Jika kita menilai segala sesuatu menggunakan kebenaran Allah, maka tidak perlu ada konfirmasi dari orang lain. Kebenaran Allah adalah kebenaran yang mutlak dan universal. Kita tidak perlu takut bagaimanapun respons orang terhadap kebenaran tersebut karena Allahlah yang menjadi Sumber Kebenaran dan Penilai Kebenaran sejati. Dialah Sang Kebenaran sejati.

Diri Segalanya
Postmodernisme adalah semangat yang mendewakan diri. Diri menjadi pusat perhatian dan akhirnya bukan Allah yang menjadi pusat hidup. Jika kita kembali ke masalah selfie, ada satu istilah yang sangat dekat dengan selfie yaitu narsisme. Suatu istilah yang menggambarkan perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Apabila kita terlalu mencintai diri kita, maka kita sedang mencuri cinta yang seharusnya kita berikan kepada Allah. Ketika kita memusatkan diri dan memuliakan diri sendiri, kita sedang mencuri kemuliaan Allah dan hal ini sangat dibenci oleh Allah.

Di dalam Matius 10:39 Yesus berkata, “Barangsiapa berusaha mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya oleh karena Aku, ia akan mendapatkannya.” Yesus sendiri mengajarkan kita untuk mencintai Dia lebih dari kita mencintai diri sendiri.
Rendah Hati
Mari belajar dari kisah Musa yang kepribadiannya diubahkan oleh Tuhan. Musa yang dibesarkan di dalam kerajaan Firaun tumbuh menjadi sosok yang percaya diri dan bangga pada dirinya sendiri. Ketika dia melihat seorang Mesir menganiaya seorang Ibrani yang adalah saudara sebangsanya, dia membunuh orang Mesir tersebut. Dia merasa kekuasaan yang dimilikinya sebagai bagian dari keluarga kerajaan Mesir diperlukan untuk membela bangsanya. Namun hal ini tidak menyenangkan hati Allah. Musa melakukan tindakan menyelamatkan umat Israel di luar rencana yang telah ditetapkan oleh Allah. Dia bersandar pada kekuatan dan kekuasaannya sebagai pangeran Mesir bukan kepada kekuatan Allah.

Allah kemudian membiarkan Musa mengembara di padang gurun sendirian dan menjadi gembala di tanah Midian untuk mendidiknya menjadi seorang yang rendah hati dan tidak berpusat pada dirinya sendiri. Setelah 40 tahun, Allah mengutus Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Dari percakapan Allah dengan Musa di Gunung Horeb, kita bisa lihat bahwa Musa telah berubah menjadi seorang yang rendah hati dari perkataannya yang berbunyi, “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Isreal keluar dari Mesir?” Musa tidak menganggap dirinya berkuasa seperti dulu. Namun ternyata, Musa belum sepenuhnya bersandar pada Allah. Musa berusaha menolak perintah Allah dengan beralasan tidak pandai bicara, berat lidah, dan berat mulut. Ia masih mengandalkan kemampuannya dan bukan kepada kekuatan Allah. Di sini kita melihat bahwa sekalipun Musa telah belajar untuk rendah diri selama 40 tahun, ternyata masih ada sisa-sisa dari sifatnya yang berpusat pada diri. Sifat berpusat pada diri sendiri inilah sifat yang sulit untuk dihapuskan. Bahkan akar dari dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa adalah keinginan untuk meninggikan diri seperti Allah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah belajar untuk rendah hati dan tidak angkuh serta tidak berpusat pada diri kita sendiri? Musa yang dulunya begitu bangga atas kedudukannya di Mesir dan merasa dipilih oleh Allah untuk menjadi pembebas bangsa Israel akhirnya menjadi orang yang rendah hati, bahkan Alkitab menyatakan di dalam Bilangan 12:3, “Musa adalah orang yang sangat rendah hati, melebihi semua orang yang hidup di bumi ini.” Bukti perubahan kepribadian Musa terlihat di Keluaran 32:11-13, ketika Musa memohon kepada Allah untuk tidak melenyapkan bangsa Israel. Padahal momen ini adalah momen yang sangat pas bagi Musa untuk terbebas dari bangsa Israel. Ingat berkali-kali bangsa Israel mengeluh kepada Musa dan menyalahkannya karena telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Bahkan mereka menuduh Musa, mengatakan bahwa Musa membawa mereka keluar dari Mesir hanya untuk membunuh mereka. Namun ketika Allah hendak melenyapkan bangsa Israel, Musa justru menghalangi niat Allah tersebut.

Mari perhatikan apa yang dikatakan Musa.
Lalu Musa mencoba melunakkan hati TUHAN, Allahnya, dengan berkata: “Mengapakah, TUHAN, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat? Mengapakah orang Mesir akan berkata: Dia membawa mereka keluar dengan maksud menimpakan malapetaka kepada mereka dan membunuh mereka di gunung dan membinasakannya dari muka bumi? Berbaliklah dari murka-Mu yang bernyala-nyala itu dan menyesallah karena malapetaka yang hendak Kaudatangkan kepada umat-Mu. Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu, sebab kepada mereka Engkau telah bersumpah demi diri-Mu sendiri dengan berfirman kepada mereka: Aku akan membuat keturunanmu sebanyak bintang di langit, dan seluruh negeri yang telah Kujanjikan ini akan Kuberikan kepada keturunanmu, supaya dimilikinya untuk selama-lamanya.” – Kel. 32:11-13

Perhatian Musa bukanlah berpusat pada dirinya ataupun umat Israel, tetapi hanya kepada Allah. Ia ingin bangsa-bangsa tidak menghina nama Allah Israel melainkan melihat kekuatan Allah yang membebaskan dan memimpin bangsa Israel. Bahkan demi hal ini, Musa rela mengorbankan namanya dihapus dari kitab kehidupan (Kel. 32:32).
Hidup merendahkan diri bukanlah suatu sikap tanpa tujuan dan alasan. Kita merendahkan diri agar bisa meninggikan dan memuliakan Allah. Mustahil kita bisa meninggikan Allah sambil meninggikan diri. Mustahil kita bisa melayani Allah sambil melayani mamon. Mustahil kita bisa hidup di dalam terang sambil hidup di dalam gelap.

Terang Dunia
Kita harus peka terhadap perkembangan zaman dan budaya yang sedang populer di sekitar kita. Jangan sampai kita terbawa arus budaya yang salah. Paulus telah mengingatkan kita di dalam surat 2 Timotius 3:2 bahwa pada akhir zaman manusia akan semakin mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Apabila kita mengamati dunia kita, hal ini memang sedang terjadi. Lalu apakah kita harus menjauhkan diri dari budaya dunia ini dengan cara mengasingkan diri ke hutan atau padang gurun? Tentu saja tidak. Justru kita harus menjadi terang dan garam dunia yang menunjukkan kepada dunia keunikan kita sebagai orang Kristen yang tetap berpegang kepada kebenaran Allah. Kita tidak perlu mencari pengakuan dari dunia ini. Musa, ketika orang-orang Israel menghinanya karena telah membunuh bangsa Mesir, menjadi ketakutan karena telah kehilangan pengakuan sebagai seorang pemimpin bahkan dari saudara sebangsanya sendiri. Tetapi ketika dia telah mendapatkan pengakuan Allah, dia tidak peduli lagi dengan pengakuan dari orang lain. Ketika seluruh bangsa Israel menyalahkannya dan mengeluh tentang kondisi mereka di padang gurun, Musa tetap bersandar kepada Allah. Dia hanya mau mendengar suara Allah karena dia tahu bahwa Allahlah yang berkuasa dan memiliki rencana atas hidupnya dan hidup seluruh bangsa Israel. Dia tahu bahwa Allahlah yang menunjuknya sebagai pemimpin bukan bangsa Israel. Sekalipun bangsa Israel menganggap dia sebagai pemimpin yang gagal, tetapi dia hanya percaya pada penilaian Allah. Mari hidup mengejar penilaian Allah dan bukan yang lain!

Deddy Welsan
Pemuda GRII Bandung