Uncertainity of the Future and Certainity of Love

Pandemi COVID-19 dan Dampaknya

Belakangan ini, kita menghadapi krisis yang begitu besar. Dimulai dari merebaknya wabah COVID-19, berbagai macam krisis pun bermunculan. Secara kesehatan, sudah lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia yang terinfeksi oleh penyakit ini dan sudah merenggut nyawa ratusan ribu jiwa. Ini adalah suatu tragedi yang begitu besar, ketika begitu banyak orang harus kehilangan orang yang dikasihi. Bahkan ada anak kecil yang sampai harus kehilangan kedua orang tuanya karena virus ini. Di Indonesia sendiri, ada banyak kasus di mana orang takut untuk menguburkan orang yang meninggal karena COVID-19 ini. Di dalam isu kesehatan publik, negara pun bingung menghadapi jumlah pasien yang sedemikian banyaknya. Rumah sakit tidak sanggup menahan jumlah pasien yang berdatangan. Dokter dan tenaga medis harus bekerja dengan sangat keras untuk menghadapi permasalahan ini. Pasien-pasien penyakit lain menjadi kesulitan mendapatkan perawatan karena begitu tingginya permintaan untuk perawatan pasien COVID-19.

Krisis lain yang jelas muncul adalah krisis ekonomi. Ada banyak orang, termasuk juga mungkin sebagian dari kita, yang mendapatkan kesulitan dalam pekerjaan. Sebagian orang yang pendapatannya hanya bisa mencukupkan kebutuhan hariannya, dengan kondisi seperti ini, benar-benar kesulitan untuk mendapatkan makanan untuk keluarganya. Perusahaan mulai berjuang keras untuk bisa tetap meneruskan usahanya di saat-saat seperti ini. Para pemimpin perusahaan bekerja keras demi mengupayakan supaya karyawan mereka bisa tetap dipertahankan di tengah-tengah dunia bisnis yang makin lesu seperti ini. Negara pun juga kesulitan dalam menghadapi krisis ekonomi dan berusaha membuat kebijakan-kebijakan yang bisa menolong supaya keadaan ekonomi tidak makin terpuruk.

Krisis: Ketika Realitas Menghancurkan Ilusi Kita

Ketika melihat semua kondisi ini, kita pun mungkin mulai bertanya-tanya. Sampai kapankah situasi ini akan berlangsung? Apakah saya dan keluarga saya akan tetap aman dengan kondisi seperti ini? Mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi? Apa yang bisa menjadi pengharapan kita di saat-saat seperti ini? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Sangatlah wajar jika pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kedatangan pandemi ini begitu mendadak dan menghilangkan rasa aman yang selama ini kita pegang.

Keberadaan krisis seperti ini sesungguhnya membuka realitas yang sudah ada dari dahulu, baik di saat mudah maupun di saat sulit dalam hidup kita, yaitu bahwa hidup kita ini seperti uap yang ada sebentar saja dan bisa hilang kapan saja. Bahwa kita tidak bisa mengendalikan masa depan. Selama ini, kita mungkin sudah hidup di dalam suatu ilusi, yaitu ilusi bahwa kita akan hidup terus dan kita juga bisa mengendalikan masa depan dengan keputusan-keputusan kita. Dari fenomena ini, kita sungguh-sungguh ditampar oleh Tuhan, disadarkan bahwa kita benar-benar makhluk yang lemah, yang bisa sewaktu-waktu dipanggil oleh Tuhan dan harus menghadap-Nya, dan juga kita tidak mampu mengendalikan masa depan kita sepenuhnya. Masa depan dipegang oleh Tuhan.

Krisis ini makin membuka realitas bahwa di dunia yang fana ini, ada begitu banyak ketidakpastian. Sebelum wabah ini merebak, tidak ada yang menyangka bahwa akan ada suatu wabah yang begitu besar yang melanda seluruh dunia seperti ini. Di dalam perencanaan yang kita buat, kita mengasumsikan kalau dunia ini tidak akan terkena wabah dan akan berjalan seperti biasanya. Karena ilusi yang kita hidupi ini, ketika kita diperhadapkan dengan realitas yang berbeda dari ilusi kita, kita pun akan terkejut. Dan di saat-saat itu juga, kita pun akan memikirkan apakah yang bisa kita pegang di saat-saat seperti ini.

Pengharapan Kristen

Bagi kita, umat Tuhan, kita perlu menjawab pertanyaan ini dengan melihat kembali kepada Alkitab. Pengharapan apakah yang ditawarkan oleh Alkitab dengan kepastian? Apakah Alkitab menawarkan janji bahwa krisis yang kita hadapi ini akan segera berlalu? Sepertinya tidak, karena di zaman Yeremia, nabi-nabi palsu berkata bahwa krisis yang bangsa Israel sedang hadapi saat itu (yaitu pembuangan di Babel) akan berlalu dengan cepat (dua atau tiga tahun), sementara Yeremia, sebagai nabi Tuhan, berkata bahwa krisis akan bertahan selama tujuh puluh tahun. Dan itulah rancangan damai sejahtera dari Tuhan, bahwa mereka akan menghadapi krisis itu selama tujuh puluh tahun (Yer. 29:11). Jadi, sepertinya tidak ada janji bahwa krisis yang kita hadapi akan cepat berlalu.

Lalu apakah janji yang pasti yang kita miliki? Salah satunya adalah bahwa Tuhan tidak pernah berubah, salah satunya dalam kasih-Nya. Maksudnya adalah Tuhan akan terus mengasihi dan menjaga umat pilihan-Nya hingga kesudahannya. Tetapi bukankah kita lebih butuh supaya masalah ini berlalu dibandingkan hanya kasih yang tidak bisa berbuat apa-apa? Dan terlebih lagi, bukankah kasih seharusnya berbuat sesuatu untuk menghilangkan penderitaan orang yang dikasihi?

Kasih yang Sejati

Mengapa Tuhan tidak langsung mengangkat semua penderitaan ini? Ada banyak alasan untuk menjawab ini. Dalam kesempatan ini, kita akan merenungkan dua alasan saja. Yang pertama, kasih yang sejati tidak melepaskan orang dari kesulitan dengan instan, tetapi menemani dan membimbing di tengah-tengah kesulitan. Ketika kita masih kecil, orang tua kita tidak langsung membelikan mainan setiap kali kita memintanya. Jikalau anak kecil itu selalu dimanja dan apa pun selalu diberikan kepadanya, itu bukanlah kasih yang sejati, melainkan kasih yang salah yang bisa merusak anak tersebut. Jikalau anak kecil menangis karena mainan yang rusak, mungkin respons terbaik orang tua (meskipun perlu melihat kasus demi kasus juga) adalah dengan menghibur, menemani, dan mengajarkan anak itu perlahan-lahan mencari jalan keluar dari masalahnya (misal mengajarkan bagaimana mengubah mainan rusak jadi mainan baru). Dan itulah yang dilakukan Tuhan! Dia tidak langsung mengangkat semua penderitaan ini, tetapi Dia berjanji menemani kita dan memimpin kita terus dalam setiap kesulitan yang ada. Daud bahkan berkata bahwa sekalipun dia berjalan dalam lembah kekelaman, dia tidak takut bahaya karena Tuhan besertanya (Mzm. 23:4).

Alasan kedua adalah Tuhan sering kali mau memberikan kesempatan kepada manusia yang lemah dan hina ini untuk menjadi alat-Nya untuk mengangkat penderitaan yang ada. Waktu Tuhan mendengar seruan bangsa Israel ketika mereka begitu menderita dijajah oleh Mesir, Tuhan memakai Musa untuk menjadi alat-Nya! Inilah kasih yang begitu besar karena Tuhan masih mau bersabar memakai manusia yang hina, walaupun Dia bisa mengerjakan semua itu sendiri. Marilah di saat-saat seperti ini, kita juga mau dipakai Tuhan untuk membagikan kasih Tuhan, mengangkat penderitaan satu sama lain.

Obat dari Ketidakpastian

Kembali lagi kepada permasalahan awal kita, apakah pengharapan yang bisa kita pegang di tengah-tengah segala ketidakpastian ini? Jawabannya, yang sudah dibahas di atas juga, adalah bahwa Tuhan mengasihi kita. Kita tahu jelas hal ini karena Alkitab telah menyatakan demikian, dan kasih yang terbesar sudah dinyatakan melalui pengorbanan Kristus, sang Anak Allah, di atas kayu salib demi dosa-dosa kita. Jikalau ketika kita masih musuh Allah, Tuhan mau menyerahkan Anak-Nya sendiri untuk menjadi korban pendamaian, apalagi pada saat ini, ketika kita sudah menjadi anak-anak Allah (Rm. 5:10). Kita akan terus di dalam Kristus hingga kita bertemu dengan Tuhan nanti, tidak ada satu kuasa pun yang bisa memisahkan kita dari kasih Tuhan. Meskipun perasaan kita jauh dari Tuhan, ataupun pengalaman buruk menimpa hidup kita, Tuhan tetaplah mengasihi kita. Dan Dia akan terus menuntun hidup kita.

Apa konsekuensi dari Tuhan mengasihi kita? Yaitu hidup dan mati kita berada di dalam tangan Tuhan yang mengasihi kita. Apa pentingnya hal tersebut? Bukankah lebih penting kalau masalah ini semuanya langsung selesai? Bagi seorang anak kecil, ketika dia berada dalam kesulitan, keberadaan orang tua yang menemani di saat-saat sulit sungguh memberikan damai sejahtera dan kekuatan bagi anak kecil tersebut. Marilah kita belajar untuk bisa sungguh-sungguh menyadari bahwa hidup dan mati kita berada di tangan Tuhan dan menjadi tenang mengetahui hal ini. Jangan terus berharap pada kondisi eksternal supaya membaik (seperti virus cepat berlalu) karena kondisi eksternal tidak bisa dipegang selama kita ada di dalam dunia yang fana ini. Sebaliknya, marilah kita belajar melihat kasih dan penyertaan Tuhan yang selalu menemani kita dalam kesulitan hidup kita. The antidote to uncertainty of the future is the certainty of love. Kepastian akan kasih (certainty of love) inilah yang bisa menjadi pegangan yang tidak tergoncangkan di tengah kesulitan yang ada! Semoga kita makin menyadari dan bersandar pada kasih dan penyertaan Tuhan dalam hidup kita. Amin.

Jerry Hermanto

Pemuda GRII Singapura