Beberapa waktu yang lalu, headline mingguan BRW (Business Review Weekly) di Australia sempat mengangkat topik utama yang amat eye-catching sekaligus menimbulkan perasaan miris di hati banyak orang Kristen: God’s Millionaires. Mungkin yang dibahas adalah para Australian businessman yang beragama Kristen? Oh sama sekali bukan. Bagian ini mengulas hal ikhwal pertumbuhan gereja-gereja Pentakosta yang mengalami perkembangan amat pesat dan dikelola persis seperti commercial company menjalankan bisnis mereka. Bedanya, corporations wajib membayar pajak, sedangkan yang ini bebas pajak karena mengaku sebagai not-for-profit religious organisations.
Karena BRW majalah bisnis, maka berita yang disorot tentulah seluk beluk bisnis yang terlibat di dalamnya. BRW mencatat gereja terbesar dalam aliran ini memiliki 18.000 anggota dengan perputaran dana tahun lalu sekitar A$40 juta. Salah satu gereja bercita-cita membuka 1.000 cabang dengan rata-rata kehadiran 500 orang pada tahun 2020. Tidak heran dalam kurun lima tahun (1996-2001), jumlah kehadiran jemaat Pentakosta
melesat 30% menjadi hampir 200.000 orang per minggunya menempati peringkat runner-up di bawah gereja Katolik yang turun 13% dalam periode yang sama. Menurut statistik dari NCLS, setiap empat hari satu gereja baru dari aliran ini didirikan. Bahkan mereka pun sudah merambah ke panggung politik dengan mendirikan parpol sendiri, Family First Party, yang berhasil meraih satu kursi senat pada federal election 2004 yang lalu.
Ini semua tentu sah-sah saja, bahkan ada yang berkomentar apa salahnya mematok target ini dan itu? (Toh mereka juga) memotivasi orang untuk mengabarkan Injil dan membawa orang kepada Kristus. Memang tidak salah dan sedikit pun kita tidak merasa iri melihat rumput tetangga lebih hijau. Namun sebaliknya, apabila kita membaca lebih jauh dan mengetahui latar belakang theologis dari semua itu, maka sepatutnya kita merasa sedih dan gelisah menyaksikan pola perkembangan Kekristenan secara kuantitas ala Pentakosta (Karismatik) semacam itu.
Coba simak pernyataan-pernyataan berikut yang diucapkan oleh para pemimpin gereja aliran yang baru muncul di awal abad ke-20 ini sebagaimana dikutip oleh BRW:
“We are scratching where people are itching.”
“The success of Pentacostalism can be attributed to offering a service that people want.”
“Prosperity is definitely the result of applying God’s Word to your life. It’s God’s will for you to prosper.”
“Success is aligned with salvation and heaven, failure is aligned with sin and hell.”
Bahkan ada seorang istri pendeta yang membuat CD berjudul Kingdom Women Love Sex yang berisikan kiat memiliki kehidupan seks yang hebat sampai tips melangsingkan tubuh. Sungguh tidak dapat dimengerti mengapa begitu banyak orang kok mau-maunya beribadah di “gereja” seperti ini dan disuapi makanan rohani oleh pemimpin macam begini. Apakah memang ide kekayaan dan kesuksesan begitu mencengkeram pikiran mereka sehingga mereka langsung setuju begitu sang pendeta berseru di atas mimbar, “Kalau you kaya, you sukses, itulah tandanya Tuhan berkenan kepadamu”? Apakah mereka tidak kemudian memikirkan antitesisnya: Jadi kalau aku hanya sedang-sedang saja, tidak kaya dan tidak miskin, berarti aku kurang berkenan kepada Allah? Apalagi yang miskin? Berarti mereka sama sekali tidak berkenan kepada Allah donk? Ini ajaran dan logika yang 180 derajat berlawanan dengan ajaran Kristus yang mereka sembah (Mat 6:19-24, Luk 12:16-21, Mrk 10:16-25). Berarti para konglomerat, koruptor kelas kakap, dan CEO-CFO yang superduper wealthy itu semua dikenan oleh Tuhan (padahal jelas-jelas sudah jadi headlines berkali-kali di media massa karena memanipulasi pembukuan perusahaan yang mengakibatkan kebangkrutan total dan merugikan sekian banyak stakeholders)? Berarti orang-orang yang hidupnya susah, para hamba Tuhan yang setia melayani, orang biasa yang hidup jujur dan seumur hidup tidak pernah berkelebihan itu semua tidak mengasihi dan dikasihi Tuhan? Masih panjang daftar pertanyaan yang membuat saya tidak habis geleng-geleng kepala.
Saya percaya bahwa menjadi Kristen pertama dan terutama berarti ‘percaya dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang menebus dosa-dosa kita di atas kayu salib’. Tetapi apakah lantas berhenti di situ? Apakah kemudian kita mempunyai kebebasan sebebas-bebasnya menganut pengajaran Kristen lainnya yang sesuai dengan telinga kita dan cocok dengan apa yang kita mau mentang-mentang sudah beragama Kristen, sudah merasa menjadi kaum pilihan? No way! Iman Kristen tidak hanya sesempit daun kelor, hanya soal materi atau emosi saja, sebaliknya ia amat luas, limpah dan kaya (Kolose 3:16, Roma 11:33) yang perlu kita pelajari dan jalani yang juga esensial bagi pertumbuhan kerohanian yang sehat. Itulah mengapa kita mengikuti katekesasi, beribadah di gereja setiap minggu, mendengarkan Firman yang benar dan bertanggung jawab yang memusatkan pemberitaan pada Injil yang sejati. Bukan untuk dibodohi dan disesatkan oleh rupa-rupa pengajaran yang keliru demi memuaskan jemaat dalam bentuk khotbah yang berapi-api dan memicu tepuk tangan menggemuruh berulang-ulang. Numpang tanya, ini ibadah kepada Allah Yang Mahakudus di Tahta Mahatinggi atau performance seorang penceramah bertitel pendeta?
Melalui tulisan ini, saya tidak hendak menyiratkan bahwa hanya ada satu gereja yang benar, NO! Sama sekali tidak karena kita harus jujur mengaku tidak ada gereja yang sempurna dalam segala aspek namun masih ada gereja yang menyampaikan Firman Tuhan dengan jujur dan setia seturut apa yang memang hendak diutarakan oleh para penulis Alkitab (meskipun kerap tidak sesuai dengan keinginan jemaat). Inilah yang terpenting, bukan asal comot ayat tetapi serius menggali benang merah kebenaran Firman secara menyeluruh dari kitab Kejadian hingga Wahyu, bukan secara parsial. Kita beroleh anugerah keselamatan setelah Roh Kudus berkarya dalam hati kita dan kita beriman kepada Kristus. Rasul Paulus menulis: “Iman itu timbul dari pendengaran, pendengaran oleh Firman Kristus” (Roma 10:17), bukan dari musik atau gaya worship yang emosional dan katanya bikin seger—tetapi memekakkan telinga dan kok jadi keblenger?
Referensi:
BRW, May 26-June 1, 2005 dan National Church Life Survey (NCLS)
Catatan:
Pertama dimuat di RADIX (Buletin GRII Sydney) Juni 2005