Ketika kita hendak berbicara mengenai kisah Gereja Mula-mula, satu hal yang tidak dapat dilupakan dan yang telah menjadi konteks lahirnya perkembangan kekristenan adalah: penganiayaan. Ya, perkembangan kekristenan lahir di tengah-tengah konteks penganiayaan yang sangat hebat. Sekitar 300 tahun awal (67-300 AD), orang Kristen telah menghadapi banyak penganiayaan di bawah kekuasaan Kerajaan Romawi. Namun, kisah siksaan, tekanan, serta penganiayaan yang terjadi selama tiga abad tersebut justru telah memiliki dampak bagi pertumbuhan iman umat Allah sepanjang zaman sampai saat ini. Segala usaha yang dilakukan (penganiayaan, siksaan, tekanan) untuk menghancurkan kekristenan justru dipakai Tuhan untuk menyatakan keharuman, kemuliaan, dan kuasa-Nya sebagai Allah yang sejati.
“Menarik… namun apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu?”
Peristiwa Pentakosta (Kis. 2:1-13) di Yerusalem mengisahkan tentang titik mula lahirnya sekelompok orang yang mengikuti Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sekelompok orang inilah yang kemudian disebut sebagai Gereja. Sejak peristiwa Pentakosta, Gereja Tuhan ini telah menciptakan sebuah tren atau budaya hidup yang unik. Dikatakan bahwa mereka senantiasa bertekun dalam pengajaran serta persekutuan (Kis. 2:42), melakukan banyak mujizat dan tanda (Kis. 2:43), saling berbagi (Kis. 2:44), dan sebagainya. Jumlah mereka pun kian bertambah banyak. Dikatakan bahwa tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis. 2:47).
Pada masa itu, Kerajaan Romawi adalah kerajaan raksasa yang berkuasa dengan sangat hebat dan memiliki daerah jajahan yang begitu luas. Daerah kekuasaannya meliputi Mediterania, Afrika, dan sampai ke Asia Kecil. Yerusalem saat itu merupakan salah satu dari sekian banyak negara jajahan bangsa Romawi. Selain terkenal dengan ketangguhannya menguasai banyak negara, Romawi juga terkenal sebagai bangsa yang toleran. Ia memperbolehkan seluruh daerah jajahannya untuk menganut agamanya sendiri dan menyembah dewanya masing-masing. Setiap dewa dari negara jajahan yang baru akan ditambahkan ke dalam Pantheon dan bahkan dewa yang bersangkutan juga diberikan nama Romawi. Ini mengindikasikan bahwa Romawi terbuka dan menerima agama daerah jajahannya. Bahkan kalau kita melihat kasus orang Yahudi yang menganut monotheis mutlak sekalipun, terkenal keras kepala, setia mati dengan agamanya, dan sebagainya… but still.. bangsa Romawi masih menoleransi mereka (kalau tidak mau dikatakan “bohwat”). Namun mengapa bangsa Romawi tidak menoleransi orang Kristen, dan bahkan menganiaya mereka? Bukankah hal ini merupakan hal yang aneh?
Bangsa Romawi juga sangat menjunjung tinggi agama dan menganggap itu sebagai suatu hal yang penting bagi kesetiaan dan persatuan kerajaannya. Agama dilihat sebagai suatu aktivitas sosial yang berkait erat dengan persatuan. Namun lagi-lagi di sini timbul pertanyaan yang sama.. mengapa kekristenan mengalami aniaya yang sangat hebat di masa itu? Apa sebenarnya yang membuat sekelompok orang ini dianiaya oleh Kerajaan Romawi? Dan mengapa hanya orang Kristen yang dianiaya sedemikian hebatnya sedangkan bangsa atau kelompok lain tidak?
Kerajaan Romawi pada masa itu memiliki daerah jajahan yang sangat luas dengan beragam kebudayaan, peradaban, kepercayaan yang berbeda-beda. Seperti yang sudah disinggung di atas, Romawi menoleransi semua perbedaan tersebut, khususnya dalam hal agama/kepercayaan. Setiap negara jajahan tidak dipaksa untuk mengikuti kepercayaan dari bangsa Romawi, bahkan setiap mereka diberikan kebebasan untuk beribadah kepada dewanya masing-masing. Namun satu prinsip yang harus dipatuhi, yaitu: seperti Romawi telah menerima dan menoleransi agamamu, demikian engkau juga harus menerima agama Romawi, ikut serta dalam ritual penyembahan dewa pagan, termasuk aktivitas penyembahan kepada kaisar. Di sini Romawi menggunakan toleransi dan kebersamaan antar umat beragama sebagai sarana untuk membentuk persatuan di seluruh daerah jajahannya. Bukankah hal ini nampak seperti sebuah solusi persatuan yang win-win solution?
Memang win-win solution yang merupakan hasil kesepakatan dari manusia berdosa selalu akan nampak fine-fine saja dan mampu mengakomodasi kesenangan, kepentingan, dan kebutuhan semua orang. Tetapi ketika suatu persatuan dibentuk tanpa menghadirkan kebenaran Allah di dalamnya, solusi demikian merupakan kekejian bagi Allah walaupun selalu nampak baik bagi banyak orang. Gereja Mula-mula sadar akan hal ini. Mereka menjadi sekelompok orang yang “aneh”, eksklusif, dan yang tidak mau bersatu/melebur dengan ritual agama pagan yang ada (pluralisme).
Gereja Mula-mula dipandang sebagai sekelompok orang eksklusif yang merusak tatanan kerukunan dan persatuan masyarakat yang ada. Mereka dianggap sebagai ancaman bagi seluruh kebudayaan dan tatanan masyarakat karena menolak pluralisme. Namun, bukankah Yahudi juga memiliki prinsip monotheisme mutlak dan tidak mau menyembah Allah lain? Ya benar, namun tampaknya kekristenan memang berbeda dengan Yahudi. Kekristenan muncul dengan membawa arus pertumbuhan dan perkembangan baru yang pesat, yaitu kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Arus ini cenderung berkembang menyebar dan tidak seperti agama Yahudi yang cenderung untuk eksklusif pada teritorinya sendiri. Kekristenan muncul sebagai arus yang mendobrak segala lapisan dan teritori. Dari Yerusalem, Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Hal ini membuat orang Kristen dibenci oleh orang Yahudi maupun Romawi. Maka, lengkaplah sudah musuh orang Kristen. Orang Yahudi dan bangsa Romawi memiliki musuh bersama yang disebut dengan Kristen.
Mereka sadar bahwa Allah mereka hanya satu dan tidak ada apa pun yang dapat disandingkan dengan-Nya. Ini prinsip yang sangat krusial dan mendasar bagi setiap gereja Tuhan. Inilah prinsip yang harus dipegang tanpa kompromi sedikit pun, karena apabila orang Kristen kompromi dalam hal ini, maka kekristenan akan rusak dari prinsipnya yang paling mendasar. Seperti ada sebuah kutipan yang mengatakan, “If Christ is not Lord of all.. then, He is not Lord at all.”
Satu hal yang penting di sini, bahwa Gereja Mula-mula sadar akan identitas mereka sebagai umat Allah, dan kesadaran itu ternyatakan dalam setiap tindakan serta perilaku mereka. Bukan sebaliknya, menerima segala bentuk aktivitas yang ada yang justru malah menghilangkan esensi/identitas yang sejati. Inilah yang bangsa Romawi coba untuk jalankan. Mereka meleburkan segala macam ritual/aktivitas keagamaan yang justru menghilangkan identitas dari agama tersebut dan menelannya menjadi sebuah Kerajaan Romawi. Hal seperti ini jika tidak kita sadari akan sangat berbahaya. Ini hanya akan menghilangkan identitas kita sebagai Gereja Tuhan. Kekristenan bukanlah sebuah aktivitas belaka. Kekristenan merupakan suatu identitas yang memiliki dasar yaitu Kristus sebagai satu-satunya Tuhan. Berapa banyak orang Kristen zaman ini yang sudah tidak lagi sadar akan identitas ini? Mereka menerima cara hidup orang dunia berdosa, mengatasnamakan persaudaraan dan toleransi, sehingga menggantikan kekristenan dengan hanya sekadar aktivitas agamawi belaka. Masihkah kita tetap setia menyatakan identitas kita tanpa kompromi?
Cara hidup Gereja Mula-mula juga mengakibatkan kekristenan dituduh sebagai kelompok atheis, karena dianggap membangkang terhadap dewa-dewa pagan yang dikenal secara umum dan dipercaya telah menjaga kemakmuran dunia selama ini. Apabila terjadi musibah atau bencana alam, kelompok pertama yang pasti menjadi tersangka adalah orang Kristen, karena dianggap mereka telah membuat marah semua dewa-dewa pagan. Sikap membangkang mereka telah membuat mereka dijadikan “kambing hitam” yang harus dilemparkan kepada singa-singa. Sekitar 196 AD, Tertullian mengatakan, “The Christians are to blame for every public disaster and every misfortune that befalls the people. If the Tiber rises to the walls, if the Nile fails to rise and flood the fields, if the sky withholds its rain, if there is earthquake or famine or plague, straightway the cry arises: ‘The Christians to the lions!’”
Selain itu, kesalahmengertian masyarakat zaman itu terhadap kekristenan juga terjadi. Kekristenan dipandang sebagai agama kanibal, karena masyarakat melihat Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh orang Kristen secara keliru. Masyarakat menuduh bahwa orang Kristen memakan daging dan darah pada saat Perjamuan Kudus.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa gambaran singkat tentang penganiayaan yang terjadi selama kurang lebih tiga abad pertama.
NERO (54-68 AD)
Umat Kristen telah menjadi objek tuduhan dari peristiwa kebakaran dahsyat di kota Roma (64 AD). Beberapa orang menduga bahwa Nero sendiri yang telah menyulut kebakaran tersebut, dan kemudian dengan mudahnya dia menuduh orang Kristen yang memang saat itu merupakan musuh yang dibenci banyak orang. Philip Schaff – seorang ahli sejarah Gereja – mengatakan, “There began a carnival of blood such as even heathen Rome never saw before or since… A ‘vast multitude’ of Christians was put to death in the most shocking manner.” Beberapa orang Kristen disalibkan, ada yang dijahit dengan kulit binatang dan dilemparkan kepada anjing, ada yang dipaku di tiang dan dibakar hidup-hidup sebagai lilin yang menerangi jalan kota Roma. Inilah penganiayaan yang dilakukan oleh Kaisar Nero kepada orang Kristen di masa kekuasaannya.
TRAJAN (98-117 AD)
Penganiayaan terjadi dengan hebat di wilayah Siria dan Palestina selama pemerintahan Trajan. Pada 107 AD, ia pergi ke Antiokhia dan meminta setiap orang untuk mengadakan persembahan bagi para dewa-dewa. Namun, seorang uskup di Antiokhia bernama Ignatius dan beberapa jemaat dari Rasul Yohanes menolak untuk melakukannya. Sehingga mereka mati martir dengan cara dilemparkan menjadi makanan bagi binatang liar. Sebelum kematiannya, Ignatius menulis pesan kepada Policarpus (murid Rasul Yohanes), bunyinya, “Let the fire, the gallows, the wild beasts, the breaking of bones, the pulling asunder of members, the bruising of my whole body, and the torments of the devil and hell itself come upon me, so that I may win Christ Jesus.”
SEPTIMIUS SEVERUS (193-211 AD)
Pada masa ini, Clement of Alexandria mengatakan, “Many martyrs are daily burned, confined, or beheaded, before our eyes.” Pada 202 AD, Septimius memberlakukan undang-undang yang melarang penyebaran agama Kristen dan Yahudi. Hal ini merupakan peraturan pertama yang melarang orang berpindah agama menjadi Kristen. Penganiayaan hebat terjadi di Mesir dan Afrika Utara. Pada masa ini, seorang bernama Leonides, ayah dari Bapa Gereja Origenes, dihukum mati dengan dipenggal. Penganiayaan kepada orang Kristen agak mereda setelah Septimius meninggal, namun tidak beberapa lama kemudian, penganiayaan dilanjutkan dengan penuh dendam di bawah pemerintahan Decius Trajan.
DECIUS TRAJAN (249-251 AD)
Dalam beberapa tahun yang pendek ini, Kaisar Decius Trajan mencoba untuk mengembalikan semangat Romawi kuno. Pada 250 AD, ia menerbitkan sebuah dekrit yang mengajak masyarakat untuk kembali kepada agama-agama pagan. Menurut Philip Schaff, “This was the signal for a persecution which, in extent, consistency, and cruelty, exceeded all before it.” Ini adalah suatu masa yang menghasilkan martir lebih dari penganiayaan-penganiayaan lainnya. Apabila ada seseorang yang dicurigai sebagai orang Kristen, maka ia diberikan kesempatan untuk mempersembahkan korban kepada dewa-dewa pagan di hadapan pemerintah agar memperoleh sertifikat kesetiaan terhadap agama-agama pagan. Konteks ini memberikan tekanan yang sangat besar pada setiap orang Kristen pada masa itu. Orang Kristen yang setia pada imannya akan dipenjara, dibunuh, disiksa, dan terus-menerus didesak untuk menyangkal imannya.
DIOCLETIAN (284-305 AD)
Diocletian berkuasa pada 284 AD, dan selama dua puluh tahun ia menegakkan hukum toleransi yang dibuat oleh kaisar sebelumnya. Istri dan anak perempuannya adalah orang Kristen, yang sama seperti sebagian besar petugas pengadilan dan kasim. Akan tetapi, Diocletian kemudian dibujuk oleh dua rekan bupatinya untuk mengusik orang-orang Kristen. Empat undang-undang yang dikeluarkan pada 303-304 AD adalah: “Gereja-gereja Kristen harus dibakar, semua salinan Alkitab harus dibakar, semua orang Kristen harus kehilangan jabatan publik dan hak-hak sipil, dan terakhir, semua orang tanpa kecuali harus mempersembahkan korban kepada dewa-dewa”. Akibat dari semua ini, lagi-lagi orang Kristen harus mengalami penganiayaan yang luar biasa. Schaff mengatakan, “All the pains, which iron and steel, fire and sword, rack and cross, wild beasts and beastly men could inflict, were employed.” Bahkan sampai dikatakan bahwa para algojo yang bertugas menyiksa orang Kristen pun kelelahan menjalankan tugasnya.
Itulah sekilas kisah yang terjadi pada masa Gereja Mula-mula.
Demikianlah, pada masa itu orang Kristen melihat kekristenan sebagai sesuatu yang identik dengan keberadaan dirinya secara total. Pada masa itu, menjadi Kristen itu sama artinya dengan siap dibakar menjadi obor jalan raya di kota Roma. Pada masa itu, menyebut Yesus Kristus sebagai Tuhan sama artinya dengan siap melihat anggota keluarganya satu per satu dimakan singa tepat di depan mata. Pada masa itu, mereka sungguh-sungguh mengalami apa artinya hidup dan mati bagi Kristus, seperti yang dituliskan oleh Rasul Paulus di Roma 14:7-9.
Ironis pada zaman ini… Kita hidup dalam konteks di mana kekristenan tidak lagi dianiaya secara kejam seperti zaman dulu. Sehingga tanpa disadari, kekristenan mungkin sudah tidak lagi menjadi keberadaan total diri kita. Kekristenan hanya dipandang sebagai salah satu bagian dalam hidup saja. Berapa banyak orang Kristen yang mungkin berpikiran seperti demikian? Merasa cukup dengan hidup baik-baik, kerja baik-baik, dan kemudian mengambil sedikit aktivitas kekristenan untuk dijadikan sebagai label yang menempel guna menenangkan hati nurani. Kekristenan sebagai bagian “pelengkap” hidup. Ini kecelakaan yang mungkin tidak kita sadari, di mana Kristus tidak lagi menjadi Tuhan secara total atas hidup dan mati Saudara dan saya. Kristus tidak lagi menjadi Tuhan atas seluruh tindakan dan keputusan yang kita ambil. Kristus tidak lagi menjadi Tuhan atas seluruh waktu, uang, tenaga, talenta, bahkan seluruh kesenangan yang sering kali kita klaim adalah milik kita.
Zaman sekarang, kita mungkin sulit untuk memiliki konteks pergumulan yang sama seperti pada zaman Gereja Mula-mula. Kondisi kita saat ini sudah jauh lebih nyaman dan kita tentu tidak mengalami penganiayaan hebat seperti dulu. John Stott pernah berkata, “Salah satu ciri yang melekat terhadap gereja yang sejati adalah penderitaan.” Ya, penderitaan memang terkadang dapat berlaku sebagai cermin untuk menyatakan dengan jelas seberapa besar sebenarnya iman kita dan cinta kita kepada Tuhan kita.
Biarlah melalui sejarah Gereja yang Tuhan berikan kepada kita, dan dengan firman Tuhan yang hidup dan selalu menuntun kita, serta Roh Kudus yang selalu menyertai Gereja Tuhan sepanjang zaman, kita boleh terus-menerus mengoreksi dan menumbuhkan cinta kasih kita kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menebus dan menyelamatkan kita. Biarlah kita rindu untuk mempersembahkan diri kita dengan segenap tenaga berperang bagi Kerajaan Sorga. Hidup bagi Yesus Kristus, Tuhan dan Raja kita. Pro Rege!
Andre Winoto
Pemuda FIRES
Referensi:
Rick Wade, “Persecution in the Early Church”.
John Phillis, “History of the Church. Lesson 4: Expansion and Persecution – AD 100-313”.
Dr. Everett Ferguson, “Persecution in the Early Church: Did You Know?”.