Aksi, Relasi, dan Makna: Sebuah Sudut Pandang dalam Penginjilan

Mengapa rangkaian kalimat singkat dalam puisi lebih indah dibaca daripada sejilid karya tulis ilmiah? Mengapa kita dapat menertawakan lelucon yang satu tetapi tidak terhadap lelucon yang lain? Apa yang dikerjakan pikiran kita ketika kita mempelajari sesuatu? Mengapa suatu kisah dapat dinikmati? Bagaimana suatu hal dapat memiliki makna?

Puisi merupakan seni dalam menemukan keindahan relasi di antara kata-kata. Lelucon adalah tentang mengaitkan sesuatu yang familiar dengan sesuatu yang absurd, tetapi pengaitan yang dipaksakan menghasilkan lelucon yang buruk. Pengetahuan baru diperoleh ketika kita menemukan hubungan dari beberapa data. Kisah-kisah yang semakin terkait dalam waktu menjadi jalinan cerita yang semakin dapat kita nikmati dalam sebuah film. Ini semua hanyalah contoh dari beberapa hal yang dapat kita pandang sebagai relasi. Dan relasi itulah yang memberikan makna.

Pemikiran di atas tidak timbul begitu saja tanpa pertanyaan yang sering didengungkan manusia-manusia dunia ini. Pertanyaan yang akhirnya juga menjadi pertanyaan saya yaitu, “Apa arti hidup ini?” dan diikuti dengan berbagai upaya pencarian makna hidup. Kita sudah terlatih sejak kecil untuk mencari penghargaan bagi diri sendiri. Piala-piala kuningan yang diberikan kepada siswa-siswi seolah menandakan posisi mereka yang sudah cukup berarti. Banyaknya upaya manusia untuk menemukan jati diri, mencapai suatu posisi, atau menemukan seseorang yang berarti dalam hidup, membawa saya pada kesimpulan bahwa perjalanan hidup kita adalah sebuah cerita mengenai pencarian makna dan makna.

Hidup ini penuh dengan aksi dan reaksi, memberi dan menerima, seperti loncatan-loncatan elektron dalam senyawa kimia untuk mencapai kestabilan dengan menghasilkan senyawa baru. Mungkin karena siklus memberi dan menerima ini telah berlangsung terlalu lama, kita tidak lagi bisa melihat mana yang terjadi lebih dulu. Lebih banyak orang menyukai menerima terlebih dahulu ketimbang memberi. Puji Tuhan karena kita mengenal Allah Tritunggal yang merupakan awal segala sesuatu. Dari-Nyalah kita mengetahui bahwa menerima tidak dapat terjadi tanpa adanya memberi. Oleh sebab itu, seperti puisi yang menjadi bermakna dalam relasi tiap kata, kita pun menemukan makna dalam hal apa pun ketika kita menemukan suatu ikatan, where we can relate to them.

Mendekati momen Natal tahun lalu, saya mendapat kesempatan membaca “Yesus Kristus Juruselamat Dunia” oleh Pdt. Dr. Stephen Tong. Disebutkan dalam buku tersebut bahwa dosa merupakan pergeseran posisi. Ternyata hingga hari ini, kita masih terus saling sikut mencari posisi bagi diri sendiri. Kita memilih lepas dari ikatan dengan Allah demi mendapatkan posisi Allah. Akhirnya rusaklah segala ikatan dengan sesama dan alam semesta, dan berakhir pada ketidakberadaan yang tak bermakna.

Inilah yang ingin dibereskan Yesus Kristus ketika Ia memilih untuk lahir di palungan malam itu, yaitu agar kita kembali mengenal makna hidup bahkan memperoleh hidup itu sendiri melalui relasi dengan Dia. Sehingga, kita tidak perlu lagi dengan sia-sia memosisikan diri seperti dunia ini yang hanya berujung pada ketidakberartian. Dengan kasih-Nya Ia mendorong kita yang dulunya “malas” untuk terlibat menjadi rela mengenal pribadi lain terlebih dahulu.

Kristus telah datang untuk menyelesaikan permasalahan relasi, lalu rencana apa lagi yang telah Tuhan siapkan agar manusia mengetahui berita baik ini? Penginjilan. Dari berbagai aspek hidup yang dapat dibahas dari sudut pandang relation dan meaning, saya memilih untuk membahas penginjilan.

Saya melihat penginjilan sebagai pekerjaan mengembalikan manusia pada relasi yang indah di dalam Allah. Bayangkan partikel kesepian yang melayang-layang di tengah kehampaan, yang katanya sedang melepaskan diri dari nafsu dan keinginan. Di satu sisi, partikel lainnya berusaha mengikat diri pada ilusi kekayaan dan kemakmuran. Bayangkan partikel-partikel tersebut kini digerakkan oleh sebuah energi, bukan yang impersonal, dan mulai terikat dengan partikel lainnya membentuk ikatan yang menjadi bermakna dan bukan lagi sekadar kekosongan. Aksi memberi dan menerima elektron itu menciptakan kestabilan yang hidup. Netral bukanlah kondisi diam tanpa aksi, tapi suatu perputaran pemberian yang konstan yang diiringi dengan penerimaan. Inilah yang menciptakan ikatan antar partikel; kitalah partikel itu. Maka saya kembali teringat pada perkataan Pdt. Stephen Tong bahwa perbaikan relasi manusia dengan Tuhan akan memperbaiki relasi manusia dengan sesamanya, termasuk dengan diri sendiri.

Kesadaran akan hal-hal di atas dapat mengubah banyak hal dalam penginjilan. Penginjilan bukan lagi soal memenangkan argumen atau memperlakukan jiwa-jiwa sebagai aset atau objek. Fokus kita bukanlah pada persiapan amunisi-amunisi argumen dan pembelaan, tetapi hati. Bagaimana sebuah pesan dapat diterima jika tidak ada sesuatu dalam pesan itu yang dapat dimaknai orang tersebut? Bagaimana pula pesan itu dapat bermakna bagi orang lain ketika ia tidak bermakna bagi diri pemberi pesan?

Saya kira kita tidak akan memiliki ketakutan atau kekhawatiran ketika kita sudah menemukan posisi kita dalam Allah dan menemukan makna keberadaan kita. Kesaksian yang tulus lebih berarti daripada argumen yang kuat, namun kesaksian yang delusional lebih merusak daripada apologetika yang disampaikan dengan tersendat-sendat. Pengertian dan hati harus bekerja bersama-sama. Tidak ada alasan untuk berhenti memperdalam pengenalan kita akan Allah, tetapi ketika kita memenangkan suatu perdebatan mungkin saat itu kita sedang kehilangan satu jiwa.

Kembali pada momen Natal 2015 yang lalu, ketika keluarga kita dapat berkumpul, adakah kita berlutut di hadapan Tuhan untuk memohon kebijaksanaan dalam berkata-kata? Namun lebih dari itu, atas dasar kasih, adakah kita berdoa bagi orang-orang terdekat kita yang ternyata belum sungguh-sungguh kita kenal? Kiranya kesempatan yang ada untuk menjalin ikatan boleh dikerjakan, sehingga kita dapat mengetahui pertanyaan dalam hati mereka, bukan hanya demi relasi antar sesama saja, terlebih dari itu agar kita dapat menunjukkan bahwa Kristus adalah jawaban dengan membagikan pengertian yang dapat mereka maknai. Seperti Yesaya yang mampu berdoa bagi suatu bangsa maupun Musa yang memuat umat Tuhan dalam hatinya, marilah kita berdoa agar relasi dalam Allah yang dianugerahkan kepada kita boleh mereka nikmati juga, sehingga masing-masing kita kembali pada posisi kita yang saling berelasi di dalam Allah dan kembali menemukan makna hidup sesungguhnya.

Yinni Lauly
Pemudi GRII Bandung