Seorang teman saya mengatakan, “Menurut saya, wahyu khusus itu untuk kebenaran yang bersifat teologis, sedangkan wahyu umum untuk kebenaran ilmu pengetahuan.” Sekilas kalimat ini tidak memberikan kesan bermasalah. Tetapi teman saya ini melanjutkan dengan berkata, “Karena wahyu khusus, spesifiknya Alkitab, adalah untuk kebenaran theologis maka kita tidak bisa bergantung sama sekali mengenai science pada Alkitab karena secara scientific Alkitab mengandung kesalahan. Untuk hal-hal science kita harus percaya kepada para ahli science.” Jikalau perkataan yang teman saya ucapkan ini benar maka ini berarti wahyu umum dan wahyu khusus harus dipisahkan di dalam wilayah masing-masing. Ini berarti di dalam ilmu pengetahuan, Alkitab sama sekali tidak ada tempatnya, dan mengenai kerohanian, ilmu pengetahuan sama sekali tidak diperlukan. Apakah ini adalah pandangan yang benar? Kalau iya, maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang yang mendengar mendengar firman Tuhan tetapi tidak menggumulkannya di dalam hidup mereka, baik di bidang studi yang mereka geluti, pekerjaan, hobby, kebiasaan sehari-hari, dan lain-lain. Bukankah ini merupakan suatu bentuk hidup yang dualisme?
Kita mengakui bahwa Alkitab berotoritas atas hidup kita, tetapi hanya di dalam wilayah iman saja. Tetapi di dalam rasio, itu otonomi saya untuk menentukan saya mau melakukan apa, Alkitab sama sekali tidak ada hubungan. Pemikiran seperti ini yang mungkin sering muncul di dalam hidup kita, tetapi sadarkah kita bahwa pemikiran seperti ini justru mengandung kebahayaan yang sangat besar dan bukan kehidupan Kristen? Kehidupan yang terpecah-pecah atau terkotak-kotak, tidak memiliki integrasi di dalam hidup, bercampur-baurnya pemikiran yang melawan Allah dengan pemikiran Kristen sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan ajaran Alkitab, semua ini bermula daripada keinginan manusia yang menghendaki otonomi diri dan tidak mau takluk sepenuhnya kepada Allah. Kita harus sadar bahwa segala yang manusia berdosa anggap sebagai kebenaran bukanlah kebenaran sejati tetapi merupakan distorsi kebenaran yang sama sekali tidak bisa disebut kebenaran. Dan yang paling celaka adalah manusia berbangga diri dengan distorsi kebenaran tersebut dan mengatakan bahwa dirinya memiliki kebenaran yang utuh (integratif) serta luas (aplikatif). Ini sungguh merupakan suatu realita yang menyedihkan karena distorsi kebenaran atau pergeseran kebenaran atau pemalsuan kebenaran bukanlah kebenaran.
Lalu bagaimana seharusnya kita mengerti mengenai relasi wahyu umum dan wahyu khusus? Sebagaimana sudah di bahas dalam 2 edisi Pillar sebelumnya, kita harus melihat wahyu umum sebagai platform di mana wahyu khusus itu diberikan dan wahyu khusus itu menjadi presuposisi atau kacamata di dalam kita melihat wahyu umum. Van Til mengatakan bahwa wahyu umum dan wahyu khusus tidak bisa dipisahkan karena kalau terpisah itu berarti kita sama sekali tidak mengerti mengenai wahyu. Wahyu Allah harus dimengerti di dalam keutuhan dan keluasannya.
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa, manusia mengalami yang namanya total depravity. Seluruh aspek hidup manusia sudah rusak. Manusia tidak bisa lagi melihat dan mengerti kebenaran dengan tepat. Segala sesuatu yang mereka mengerti mengalami distorsi. Kebenaran yang mereka mengerti daripada wahyu umum bukan lagi kebenaran melainkan hanyalah serpihan kebenaran yang terkandung di dalam interpretasi mereka yang mengalami distorsi. Di dalam kondisi yang seperti ini, peranan wahyu khusus sangatlah penting. Ini tidak berarti bahwa wahyu umum menjadi lebih tidak penting daripada wahyu khusus melainkan kedua wahyu ini sama-sama penting, hanya posisi wahyu khusus menjadi sangat unik di dalam kondisi manusia yang sudah berdosa. John Frame menyatakan bahwa peranan wahyu khusus adalah: 1. untuk mengarahkan interpretasi kita akan wahyu umum; 2. untuk mengoreksi pengertian berdosa kita yang mendistorsi pengertian wahyu umum; 3. untuk membawa kita kepada janji keselamatan yang diberikan melalui Kristus di mana pesan ini tidak terdapat dalam wahyu umum. Dari ketiga poin ini seharusnya membawa kita untuk semakin giat menggumulkan bagaimana seharusnya kita berespons terhadap wahyu yang Tuhan berikan. Bukan dengan cara yang dualisme tetapi dengan cara yang holistik atau mengaitkan wahyu umum dan wahyu khusus secara organik dengan kehidupan kita yang juga merupakan wahyu itu sendiri.
Sebagai contohnya saja, masalah refreshing. Kalau kita ditanya, “Apa yang kalian lakukan di dalam leisure time ?” Maka kita akan menjawab, bermain, tidur, liburan, hang out bareng temen, dan lain-lain. Dan yang menjadi alasan adalah karena hal-hal tersebut bisa memberikan suatu refreshing bagi diri kita yang sudah penat oleh aktivitas kita baik itu di kampus, tempat kerja, dan lain-lain. Di dalam budaya zaman ini, sudah merupakan suatu hal yang sangat wajar untuk mengisi leisure time kita dengan bersenang-senang, sehingga seolah-olah pikiran kita sudah terprogram bahwa kalau leisure time kita pakai untuk bersenang-senang, tanpa kita kembali berpikir apa yang Alkitab katakan mengenai mengisi leisure time kita. Diri kita sudah terbiasa dengan yang namanya rekreasi itu adalah dengan pergi bermain atau aktivitas lainnya yang kita tentukan sendiri dengan otonomi diri. Tetapi benarkah ini merupakan hal yang benar di hadapan Allah?
Waktu Alkitab menyatakan bahwa Tuhan menciptakan kita, kita diberikan suatu tujuan atau fokus yaitu, secara general, untuk memuliakan Dia dan menikmati Dia. Segala hal yang kita lakukan di dalam hidup kita seharusnya selalu berfokus kepada tujuan tersebut. Maka, di saat mengisi apa yang menjadi leisure time kita, kita pun harus ingat bahwa itu pun adalah suatu tindakan yang seharusnya masih berfokus kepada tujuan kita. Tetapi kalau kita melihat realitanya maka seringkali di dalam mengisi leisure time kita, fokus kita menjadi blur, kita tergoda oleh tawaran-awaran dunia ini yang membawa kita untuk tidak lagi berpikir apakah tindakan kita itu masih mengarahkan kita kepada fokus hidup kita. Dan alasan yang kita berikan adalah untuk berisitrahat. Memang isitrahat adalah hal yang Tuhan berikan kepada kita di dalam keterbatasan keberdosaan kita, tetapi apa yang kita lakukan di dalam istirahat haruslah dipikirkan.
Agustinus di dalam bukunya Confession menyatakan demikian: “You have prompted him that he should delight to praise You, for You have made man for Yourself and restless is the human heart until it comes to rest in You.” Dari perkataan Agustinus ini kita bisa mengerti bahwa diri kita tidak mungkin mendapatkan suatu refreshing yang sejati kalau kita tidak kembali kepada Tuhan. Maka di saat kita mengisi leisure time kita dengan liburan atau hal-hal lainnya, kita harus sadar bahwa itu tidak akan memberikan suatu ketenangan yang sejati. John Frame menyatakan bahwa ibadah itu adalah suatu bentuk istirahat yang paling cocok dan ibadah akan memberikan kita suatu bentuk istirahat yang dapat membawa kita untuk tetap berfokus kepada tujuan kita yaitu memuliakan Allah. Di sinilah kita harus belajar untuk kembali memikirkan apa yang menjadi rest dan delight di dalam hidup kita, apakah kita melakukan semuanya itu dengan tetap masih berfokus kepada Allah atau justru merupakan suatu tindakan otonomi yang merupakan suatu keberdosaan di hadapan Allah. Hal ini pun dapat kita lihat di dalam realitanya, seorang yang refreshing dengan bermain game dibandingkan dengan seorang yang refreshing dengan melakukan suatu ibadah, maka sangatlah berbeda. Orang yang beribadah akan jauh mendapatkan kekuatan, kesegaran yang lebih besar daripada orang yang bermain game karena memang Tuhan sudah mendisain diri kita untuk mendapatkan suatu rest dan delight di dalam Dia.
Dari contoh ini kita bisa belajar bahwa apa yang wahyu khusus, dalam hal ini Alkitab, nyatakan mengenai refreshing sinkron dengan wahyu umum, yaitu hati atau jiwa kita, dan keterkaitan antara kedua bentuk wahyu ini saling menopang satu dengan lainnya. Karena itu kita harus belajar untuk terus menggumulkan akan apa yang kita pelajari daripada wahyu khusus dan merelasikannya secara organik dengan wahyu umum yang berada di sekitar kita. Dengan demikian, kita menghidupi apa yang kita imani, keutuhan dan keluasan dari wahyu Allah, wahyu khusus dan wahyu umum.
Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung