Hembusan angin yang bertiup di sela-sela perbukitan tandus di sebuah desa di Maroko, bunyi-bunyi bebatuan yang berseteru tertiup angin serta langkah kaki di lahan berpasir, menyibakkan serentetan cerita yang dijalin dengan begitu apik oleh sang sutradara dalam sebuah film yang berjudul Babel—suatu gambaran sederhana yang mencoba berbicara mengenai hubungan manusia antar manusia yang begitu rapuh (orang tua dengan anaknya, suami dengan istri, dan sesamanya), serta hubungan manusia dengan dunia di mana mereka hidup, bermukim, dan bergumul. Gersang, tandus, dan kering yang ditampilkan di awal film memberi suatu kesan kegersangan, ketandusan, dan kekeringan hubungan antar tiap karakter dalam film tersebut. Melalui plotnya yang tidak beraturan namun menarik, setting-nya yang terbagi dalam berbagai tempat (Maroko, Jepang, Meksiko, AS), serta runtutan peristiwa yang tidak linier, film ini menyusun suatu gambaran singkat akan manusia serta corak budayanya yang beragam, maupun metafora dari kondisi global dunia saat ini.
Gambaran kebingungan (scene of confusion) dan percampuran berbagai bahasa yang saling tidak dimengerti (confused mixture of many voices of languages) merupakan makna harafiah dari kata Babel tersebut. Tak heran, tema utama dalam film tersebut adalah mengenai suatu kebingungan akan bahasa yang diutarakan, dan kebingungan berbahasa itu dipuncakkan melalui salah satu tokohnya yang tak mampu mendengar (mute-deaf), bahwa manusia saling berkomunikasi namun tidak saling memahami, berelasi namun terasing. Padahal salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi—saluran perumusan maksud, pikiran, perasaan untuk disampaikan pada orang lain. Padahal bahasa—yang merupakan hasil dari suatu budaya—adalah salah satu agen pemersatu. Jika memang demikian adanya, mengapa bahasa malah menjadi salah satu aspek yang menghancurkan relasi antar manusia? Dan tidak dapat dielakkan lagi bahwa tema keterasingan menjadi barang laris yang kerap diolah dalam kurun dekade terakhir, dengan impian agar terlepas dari keterasingan ini.
“Our civilization is decadent, and our language—so the argument runs—must inevitable share in the general collapse … it is clear that the decline of a language must ultimately have political and economical causes.[1]” Bahasa telah menjadi suatu senjata untuk saling menghancurkan ataupun menyakiti, suatu serangan ‘teror’ yang menakutkan, maupun suatu ancaman yang mencekam. Sepotong gambaran dalam film Babel, bagaimana bahasa ‘politik’ yang gencar dipromosikan oleh sebuah negara yang ternama karena ke-hawkish-annya, mengenai isu dan serangan teroris yang mengancam kepentingannya (yaitu kebijakan imigrasi yang makin diperketat [US-Mexican border] dan terlebih menyoal ancaman terorisme global yang menyatakan sekali lagi tentang ketidakamanan dunia pasca 9/11), sehingga membenarkan segala tindakan yang secara literal disebutkan dalam upaya menumpas ancaman tersebut. Inilah praktek penggunaan bahasa secara politis layaknya yang dipaparkan Orwell: “Political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable….”
Demikian gambaran keputusasaan mengenai manusia dan dunia tempatnya berada. Pastinya bukanlah gambaran yang indah, yang dengan sinis dituliskan Allen Ginsberg dalam puisinya “Is About”[2]:
The world is about overpopulation, Imperial invasions, Biocide,
Genocide, Fratricidal Wars, Starvation, Holocoust, mass injury and murder, high technology
Super science, atom Nuclear Neutron Hydrogen detritus, Radiation Compassion Buddha, Alchemy
Communications is about monopoly television radio movie newspaper spin on Earth, i.e. planetary censorship.
Sebuah bukti pupusnya sebuah harapan indah akan manusia dan dunia yang pernah bersemi merekah di masa sebelumnya, yang dengan segala optimismenya akan manusia hingga mengagungkan rasio, serta ide-ide absolut yang membawa manusia pada hal-hal positif seperti kemajuan IPTEK, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM, dan demokratisasi, inilah sebuah karya besar Grand Narration yang sedang diciptakan manusia. Namun itu semua kandas diterjang oleh hal-hal yang membawa manusia pada dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, konsumerisme, Perang Dunia, belum lagi mimpi buruk tentang ancaman nuklir serta hegemoni budaya dan ekonomi.
Ini merupakan sebuah gambaran yang nyata tentang kehidupan manusia yang semuanya dipetakan sedemikian pekat dan gelap. Gambaran dosa yang berakibat langsung bagi manusia dan dunia adalah sebuah fakta yang tidak mungkin dapat dielakkan lagi—fakta yang selalu dilupakan oleh manusia, yang kemudian dinyatakan dengan kesucian Allah di tengah dunia yang berdosa. Dosa bukan sekedar sebuah kejadian belaka, namun suatu ancaman yang terus menerus serta gangguan seluruh tatanan kosmis. Ia meluluhlantakkan semua relasi yang ada, baik itu relasi manusia dengan alam, manusia dengan manusia, lebih jauh lagi manusia dengan dirinya sendiri, dan yang terutama hubungan manusia dengan Tuhan. Dosa pulalah yang membuat manusia tidak lagi mampu memancarkan kasih yang sedianya berpatokan pada ketritunggalan Allah sebagai model dasarnya.
Malahan yang terjadi adalah: pertama, hidup yang berpusat pada dirinya sendiri sehingga berpuncak pada penolakan akan sesamanya, meningkatkan rasa kebencian yang semakin meninggi, penciptaan akan sebuah ‘neraka’ yang tak terhindari dalam tiap berelasi dengan orang lain, bahwa “…each of us will act as torturer…,” seru salah satu tokoh dalam drama karya Sartre yang akhirnya dikonklusikan dalam “Hell is other people!”[3] Tetap saja semua kegelisahan dan kengerian hidup ini pun berakhir dalam suatu kebuntuan yang mencekam (No Exit). Kedua, musuh atas dirinya sendiri yang membuat manusia kehilangan ketenangan spiritual, keamanan, dan keyakinan akan makna hidup, karena dosa dengan tegas menyatakan bahwa kehidupan yang harmonis adalah suatu kemustahilan. Karena dosa berarti lari dari target yang telah ditetapkan Allah, semenjak kejatuhan manusia dalam dosa, pandangan akan tujuan dan target yang ditetapkan Allah itu menjadi kabur dan salah.
Babel demi Babel dibangun manusia dalam keterhilangannya dalam dosa. Pengejaran tujuan manusia hanya semata membangun Babel yang semakin tinggi sebagai pemberontakan manusia kepada Allah. Bagaimana dengan gereja Tuhan? Apa yang kita bangun? Gerejakah atau Babel? Kiranya Tuhan memberikan kita kekuatan membangun tubuh-Nya seturut kehendak-Nya dalam dunia berdosa ini dan bukan membangun Babel dalam gereja.
Gita Margareta
Pemudi GRII Pusat
[1] George Orwell. Why I write. Penguin Books: 2004.
[2] David Lehman and James Tate. The Best American Poetry 1997. Scribner: 1997.
[3] Jean-Paul Sartre. No Exit and Three other plays. Vintage International Edition: 1989.