Menjadi seorang Kristen di zaman ini memang nyaman; atau bahkan, menyenangkan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, tampaknya keberadaan iman kita tidak terlalu diganggu oleh penganiayaan. Betul memang ada tekanan-tekanan yang belakangan ini terjadi, seperti larangan beribadah, penutupan gereja secara sepihak, pembubaran perayaan hari keagamaan sekalipun sudah berizin, dan sebagainya. Tetapi secara mayoritas, kita sebagai orang Kristen masih dapat menjalankan aktivitas keagamaan kita dengan cukup bebas. Keberadaan umat kristiani di Indonesia tidak sampai diburu oleh negara; seperti pada negara-negara komunis misalnya, di mana intelijen negara selalu berada di mana-mana, menguntit dan mengawasi gerak-gerik orang Kristen.
Pertanyaannya adalah, mana yang lebih mengerikan bagi eksistensi iman kita, penganiayaan atau kenyamanan? Penganiayaan itu memang mengerikan, tetapi kenyamanan lebih mematikan. Kondisi aman dan nyaman, di mana tak pernah ada tantangan, tekanan, dan ancaman terhadap pilihan untuk memeluk iman ternyata justru malah mengerdilkan pertumbuhan kekristenan. Kita menjadi begitu lemah dalam banyak hal. Ketika harus bersaksi, ketika harus menyatakan integrasi, dan bahkan ketika harus berdiri dan sedikit berkonfrontasi, jujur kita memble.
Tentu kerjaan kita bukan membuat keributan dan mencari permusuhan. Sebab, mengadakan permusuhan menjadi hak “prerogatif” milik Tuhan. Tuhan menetapkan bahwa memang akan ada sebuah permusuhan yang kekal antara keturunan ular dan keturunan perempuan. Permusuhan ini adalah sebuah keniscayaan. Melawan fakta ini sama seperti melawan Tuhan itu sendiri. Namun, sering kali kita memang lebih berani melawan Tuhan demi menghindari konflik yang memang harus ada.
Menciptakan perpecahan di dalam Gereja Tuhan mungkin memang salah satu dosa yang tak termaafkan. Begitu juga dengan mengompromikan tulang punggung iman atas nama “keharmonisan”, tak pernah kalah derajatnya. Untuk hal yang kedua, mungkin kisah J. Gresham Machen, sekalipun pahit, bisa menjadi salah satu pelajaran yang perlu bagi kita.
Raksasa Itu pun Akhirnya Rebah
Presbyterian Church in the United States of America (PCUSA, 1789–1958) adalah denominasi Presbyterianpertama dan tertua di Amerika yang menjadi tempat di mana Machen melayani. Denominasi ini berakar dan tumbuh berkembang di dalam konteks iman yang ortodoks dari sayap Calvinisme. PCUSA dalam sejarahnya memang bermula dari sekumpulan orang-orang Reformed Skotlandia yang bermigrasi ke Amerika. Gereja ini memiliki struktur formasi iman Protestan turunan dari Gerakan Reformasi Skotlandia pada tahun 1559; dengan tokoh besarnya yang bernama John Knox.
Setelah terus bertahan memelihara iman di dalam perjalanan panjang yang berliku, memasuki abad ke-20, PCUSA pun akhirnya rebah. Bermula dari makin populernya sebuah disiplin baru di dalam cara menafsirkan Alkitab, lahirlah pandangan-pandangan baru terhadap pokok-pokok iman Kristen yang ortodoks. Melalui disiplin baru, yang dikenal dengan istilah higher criticism ini, timbullah suatu arus pengajaran baru yang mulai mempertanyakan iman dasar Kristen tentang otoritas Alkitab.[1] Tokoh yang terdepan di dalam membawa kontroversi ini ke dalam tubuh PCUSA ialah Charles A. Briggs, seorang profesor yang mengajar di Union Theological Seminary, New York;[2] sebuah seminari milik PCUSA sendiri.
Pada tahun 1891, Briggs membawakan khotbah yang menyatakan bahwa Alkitab mengandung kesalahan. Posisi ini jelas bertentangan dengan Pengakuan Iman Westminster yang dipegang erat oleh PCUSA. Pengakuan Iman Westminster memeluk pengertian bahwa Alkitab adalah sepenuhnya firman Allah dan tidak ada kesalahan di dalamnya.[3][4]
Merespons pernyataan Briggs, pada tahun yang sama, 63 tua-tua gereja mengajukan petisi kepada Sinode PCUSA untuk mengambil tindakan tegas. Sinode PCUSA menggunakan hak vetonya untuk membatalkan pengangkatan Briggs sebagai pemilik dari kursi studi biblika di Union Theological Seminary (UTS). Dua tahun kemudian, Briggs dinyatakan bersalah karena telah mengajarkan bidat dan diskors dari segala bentuk pelayanan. Namun, UTS menolak untuk mencopot Briggs dari posisinya sebagai profesor, dan malah memilih untuk memutuskan hubungannya dengan PCUSA.[5] Jujur, di sini saya jadi bingung. Ibaratnya yang salah itu cowok lain, tetapi malah gua yang diputusin. Apa salah PCUSA?
Pada tahun 1892, para tokoh konservatif di dalam Sinode PCUSA berhasil mengeluarkan sebuah dokumen pernyataan. Isi dokumen ini menegaskan bahwa kepercayaan gereja terhadap ketidakbersalahan Alkitab adalah mutlak, dan harus diterima oleh semua pihak yang melayani di bawah denominasi PCUSA. Setiap orang yang tidak dapat menerimanya dipersilakan untuk keluar dari pelayanan di dalam tubuh PCUSA. Melalui dokumen pernyataan ini, Briggs “ditendang” dan ditegaskan untuk selamanya tidak dapat lagi melayani sebagai pastor di denominasi tersebut.
Namun, waktu memang selalu menjadi saksi sejarah yang paling tragis. Sebab, persis 30 tahun kemudian, Harry Emerson Fosdick membawa khotbah liberalnya yang bertajuk “Shall the Fundamentalists Win?” di depan jemaat First Presbyterian Church of New York pada tahun 1922. Masuknya suara liberal ke dalam mimbar dari gereja Presbyterian ini bermula dari tua-tua yang memberikan lisensi/hak berkhotbah kepada sekelompok orang yang bahkan tidak mengakui kelahiran Kristus sebagai kelahiran dari anak dara Maria.
Arus liberal yang menamakan diri sebagai kelompok Modernist ini secara terang-terangan menyerang pokok-pokok iman Kristen dari dalam gereja, terutama melalui mimbar gereja itu sendiri. Perhatikan bagian ini, dengan membawa jargon “lawan intoleransi!”, Fosdick menyikut dan menyudutkan kelompok yang mereka sebut sebagai kaum fundamentalis;[6] kelompok yang masih memegang teguh pokok-pokok iman Kristen yang ortodoks.
Setelah peristiwa ini, umur PCUSA tak pernah panjang lagi. Melalui perseteruan yang sengit, di dalam sidang sinode tahun 1929, kelompok konservatif kalah. Pokok-pokok iman dari pandangan kelompok liberal/modernis menjadi dominan, serta diadopsi sebagai hasil keputusan yang berkekuatan tetap pada sidang tersebut. Pada tahun yang sama, Machen beserta beberapa koleganya mengundurkan diri dari PCUSA. Kini, giliran orang yang memegang teguh iman ortodoks yang “ditendang” keluar dari gereja. Hanya dalam kurun waktu, kurang lebih, 30 tahun saja. Betapa cepat pembalikannya, dan dimulai dari dalam gereja.
Akhirnya pada tahun yang sama, Machen bersama beberapa koleganya dari Princeton Theological Seminary, yang masih setia kepada iman Reformed, keluar dan mendirikan Westminster Theological Seminary. Selanjutnya pada tahun 1936 ia mendirikan Orthodox Presbyterian Church.
Postmodernisme: Ketika Maling Teriak Maling dan Penghuni Rumah Malah Kebingungan
Teriakan Fosdick mirip dengan suara-suara pada zaman kita. Jargon-jargon seperti, “Kurang cinta kasih!”, “kita semua saudara seiman”, “perbedaan pandangan itu adalah kekayaan dalam kekristenan”, dan masih banyak lagi, sudah banyak bernyanyi di telinga kita. Bahkan mereka telah membentuk tekanan dan ketakutan di dalam hati kita, sebab kita tak mau dilabelkan sebagai seorang “fundamentalis”, “radikalis”, dan “kaum intoleran” bukan?
Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak perlu mengekspresikan cinta kasih, memusuhi saudara seiman, ataupun anti terhadap perbedaan pandangan, bukan. Yang saya maksudkan adalah harus adanya kewaspadaan dalam diri kita ketika merespons pernyataan-pernyataan seperti demikian. Pernyataan-pernyataan mereka bisa jadi benar secara literal, namun sering kali bercabang pada pemaknaan, penafsiran, dan konteks penerapannya. Pernyataan-pernyataan yang akhirnya menjadi (dan dijadikan) ambigu. Ini adalah ciri khas dari warna postmodern, persis seperti teriakan Fosdick kepada kaum fundamentalis. Sambil mengobok-obok iman Kristen dari mimbar gereja, ia berteriak, “Intoleran!” kepada orang-orang yang mau memelihara iman gereja. Jadi sebenarnya, siapa penjahatnya? Yang berteriak intoleran atau yang diteriaki intoleran? Bingung bukan?
Pada konteks postmodern ini, kekristenan sepertinya mendapatkan hantaman yang keras dari dua area. Sekularisme yang berkembang dari luar masuk ke dalam, dan liberalisme yang berkembang dari dalam. Ekspresi arus liberalisme pada zaman kita sudah bermutasi bentuknya, namun substansinya tetap sama, yaitu membebaskan diri dari ikatan keharusan ortodoksi (dan ortopraksi).
Jikalau sekularisme dikandung sedari masa Pencerahan, mungkinkah bibit liberalisme muncul pada saat terjadi Reformasi? Nanti akan kita telusuri. Sekularisme berangkat dari kebangkitan arus Pencerahan yang merayakan lepasnya mereka dari ikatan institusi religius di Eropa. Dari namanya sendiri, “Aufklärung” memang menjadi suatu respons terhadap Abad Pertengahan yang gelap (the Dark Ages). Tidak ada yang maju pada masa itu, selain dari tingkat kemiskinan, kematian, dan keterbelakangan ilmu pengetahuan. Selain karena memang pada masa itu institusi keagamaan (yang diwakili oleh kekristenan dan gereja) korup, dan pusat pembelajaran yang serius sudah tidak berada di dalam biara-biara lagi.
Melalui hadirnya Gerakan Pencerahan, masyarakat mulai sadar bahwa mereka justru baru bisa berkembang ketika membebaskan diri dari kungkungan agama dan antek-anteknya. Dan buahnya terbukti! Dengan mengandalkan kedua tangan dan kaki sendiri, serta kemampuan rasio manusia secara mandiri, peradaban kemanusiaan “dapat keluar” dari keterpurukan Abad Kegelapan. Mereka merasa tak perlu hal rohani untuk maju. Justru orang-orang yang berpola pikir rohanilah yang selama ini telah memenjarakan mereka dari kemajuan kemanusiaan. Semenjak saat itu nilai-nilai rohani banyak hilang dari ruang publik. Salah satunya adalah dalam bidang sains.
Kemunculan liberalisme lebih ironis. Bibit liberalisme justru muncul melalui garis Reformasi Protestan. Perspektif dari kritik historis menemukan akarnya pada ideologi Reformasi, yaitu ketika pendekatan terhadap interpretasi Alkitab menjadi bebas dari pengaruh tradisi.[7] Hal ini tidak serta-merta menyatakan bahwa Gerakan Reformasi yang dikerjakan oleh Luther dan kawan-kawan menjadi penyebab munculnya liberalisme. Liberalisme muncul karena mengambil sebagian sisi saja dari arus Reformasi.
Luther “melawan” posisi gereja pada saat itu karena memang gereja sedang dikuasai oleh oknum-oknum yang menafsirkan (serta memanfaatkan) fungsi dan status gereja secara salah. Luther tidak ingin menghancurkan gereja, juga tidak ingin membuang seluruh tradisi gereja yang benar pada saat itu. Luther juga tidak pernah ingin memecah gereja. Ia menyatakan bahwa pemimpin dan para aparatur gereja telah menyimpang secara ortodoksi dan ortopraksi, maka dari itu harus ada pertobatan. Tetapi karena akar yang korup telah menancap terlalu dalam pada institusi gereja saat itu, Luther “ditendang”. Upaya pengoreksian Luther dan kawan-kawan Reformator ini telah salah dibaca oleh orang-orang di sekitar mereka, dan generasi selanjutnya. Melawan korupsi di tubuh gereja berarti juga melepaskan diri dari seluruh tradisi gereja, sekalipun tradisi-tradisi tertentu adalah tetap baik adanya bagi iman Kristen. Akibatnya, muncullah benih liberal dengan beberapa ciri pokoknya: membuang sejarah, membuang tradisi, dan membuang otoritas.
Menghadapi dua arus di dalam zaman postmodern ini, generasi muda kekristenan sungguh amat mampus. Di luar gereja, sekularisme membuat hal-hal rohani seolah lumpuh, tak dibutuhkan, dan dianggap tak ada sumbangsihnya bagi pengembangan hidup. Di dalam gereja, spirit pembebasan liberal-postmo membuat generasi muda Kristen enggan menelusuri ke belakang (apalagi meneruskan) garis tradisi dan pergumulan iman gereja. Mereka alergi terhadap kebertundukan yang benar kepada otoritas gereja, dan nanggung-nanggung dalam pemahaman akan sejarah perjalanan iman.
Belum lagi dalam beberapa dekade terakhir, gereja telah menjadi terlalu berorientasi pasar, dan menawarkan kenyamanan agar jemaat lebih betah. Gereja jadi tidak bisa mendidik jemaat, karena begitu mereka tidak merasa betah, mereka tinggal pindah ke gereja lain yang bisa menawarkan lebih banyak kenyamanan dari gereja sebelumnya. Hal ini paling banyak terjadi pada kelompok kaum muda. Mereka tidak berakar, berorientasi pada kenyamanan diri, antiotoritas, dan kurang memiliki ikatan komitmen terhadap ortodoksi dan ortopraksi dalam gereja.
Menghadapi Sekularisme dan Liberalisme: Akankah Radikalisme menjadi Jawaban?
Terminologi “radikal” dan “fundamental” sudah memiliki konotasinya sendiri pada konteks ke-Indonesia-an. Sayangnya, konotasi itu berbau negatif. Istilah radikalisme sudah terasosiasi dengan sekelompok orang yang bercirikan anarkis, intoleran, tak jarang barbar, dan terutama tak terpelajar. Kita akan segera menjadi alergi ketika label radikal atau fundamental dikenakan kepada kita, tak peduli sekalipun yang menyatakannya hanya sekadar asal mengumpat.
Padahal berangkat dari akar kata dalam bahasa Latin “radix”, yang berarti “akar”, makna yang hendak disampaikan adalah soal “keberakaran” seseorang secara mendalam terhadap apa yang mereka pegang. Makna ini sesungguhnya sangat positif. Bahkan, radikalisasi dalam konotasinya yang positif justru adalah sebuah jawaban (dan sebuah keniscayaan) untuk menghadapi arus sekuler dan liberal pada kepercayaan apa pun. Berakar adalah sebuah konsekuensi logis. Agama apa pun, ideologi apa pun, bahkan termasuk atheisme sekalipun, secara sadar maupun tidak, akan memilih jalan menjadi radikal terhadap pandangan yang mereka anut.
Betul bahwa setiap gerakan radikalisasi memiliki efek samping. Mengambil contoh radikalisme dalam konteks keislaman belakangan ini, adalah radikalisme yang membawa sekelompok orang kepada aksi terorisme. Tentu bukan itu radikalisasi yang kita harapkan. Di dalam pandangan dari sekelompok cendekiawan Muslim, radikalisasi yang semacam demikian justru lahir akibat kedangkalan dalam memahami perjalanan sosio-historis dan theologis kepercayaan mereka.[8] Di sisi lain, radikalisasi yang mengakar secara mendalam justru menghasilkan kelompok yang jauh lebih moderat sikapnya, dan intelektual pandangannya. Ini menandakan bahwa memang ada dua keluaran yang jauh berbeda dari proses radikalisasi.
Hanya saja, kelompok kristiani sudah terlebih dahulu alergi, takut, dan bahkan malu terhadap istilah radikal. Entah, apa karena kedangkalan kita di dalam memahami perjalanan sosio-historis dan theologis dari iman kita sendiri? Saya tidak tahu. Padahal, dengan tidak memilih jalan yang mengakar akan ortodoksi dan ortopraksi keimanan kita, kita telah memilih untuk menjadi makin radikal di dalam sekularitas dan liberalisme hidup kita. Pada akhirnya kita tetap akan menjadi seorang yang radikal.
Beban dari Gerakan Reformed Injili: Membangun Generasi yang Mengakar
Mendidik sebuah generasi untuk membangun iman yang mengakar tak pernah mudah. Menemukan orang yang berani menanggung beban dan menjadi teladan jauh lebih tak mudah; bahkan amat sangat susah. Bermain aman adalah posisi, yang dengan jujur, memang kita pilih secara mayoritas. Pdt. Stephen Tong di usianya yang ke-78 (2018) tetap memilih jalur yang tidak populis; terus meningkatkan jumlah aktivitas pelayanannya di kala usianya yang sudah semakin senja.
Beliau pernah membeberkan bahwa untuk menghasilkan sebuah generasi Kristen yang mengakar di dalam cinta kepada Tuhan, harus terjadi lima kebangunan. Kelimanya harus ada, saling menopang dan saling bergantung. Lima poin kebangunan ini pernah disinggung dalam artikel PILLAR yang bertajuk “Siapakah Pemuda Reformed Injili?”[9] Lima kebangunan itu mencakup kebangunan doktrin, epistemologi, etika, pelayanan, dan mandat budaya. Kebangkitan doktrin menjadi yang sulung, mendahului kebangunan yang lain, dan harus bermuara kepada kebangunan mandat budaya sebagai hilirnya.
Lima kebangunan inilah yang harus menjadi tulang punggung kita di dalam aspek selanjutnya, yaitu aspek Injili. Jikalau dunia sudah, dan terus berjalan di dalam arus sekularismenya, maka Injil dan penginjilan (di dalam segala keutuhannya) menjadi sebuah jawaban yang sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka. Bagaimana dengan tidak malu, dan dengan tidak mengubah substansinya, Injil dapat tetap dibawa kepada dunia sekuler yang sudah penuh dengan kebanggaan atas “pencapaian-pencapaiannya” di muka bumi. Beban Gerakan Reformed Injili adalah sekali lagi membawa iman, pengharapan, dan kasih yang mengakar pada firman Tuhan ke dalam hidup manusia, baik secara individual, maupun masyarakat sosial.
Panggilan Pemuda Gerakan Reformed Injili: Menjadi Mereka yang Radikal?
Jangan salah kaprah bahwa yang dimaksud sebagai pemuda Gerakan Reformed Injili hanya terbatas dan dibatasi pada mereka yang berjemaat di dalam Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII). Pdt. Stephen Tong pernah menyatakan bahwa Gerakan Reformed Injili bukanlah sebuah gerakan yang eksklusif dimiliki oleh GRII, sebab gerakan ini lebih besar dan lebih luas dari GRII. Sesungguhnya semangat panggilan pemuda Gerakan Reformed Injili adalah panggilan bagi seluruh pemuda Kristen. Gerakan Reformed Injili adalah milik, dan sekaligus beban, semua pemuda Kristen yang mengasihi Tuhan.
Akhirnya, adalah sebuah panggilan dan tanggung jawab kita kepada Tuhan serta seluruh generasi umat Tuhan, baik sebelum dan sesudah kita, untuk memikirkan dan menanggung beban dari Gereja Tuhan di tengah-tengah zaman. Jikalau semangat sekularisme yang telah tertancap dalam pada benak kita memimpin kepada suatu pola hidup yang merancang karier, cita-cita, dan keluarga hanya bagi diri kita, maka gereja cuma jadi pelengkap saja. Maka kali ini, maukah kita melihat bahwa pembangunan “Rumah Allah” justru adalah yang utama, dan sisanya hanyalah berupa pelengkap saja?
Sebagai umat Tuhan, sekali lagi kita dipanggil untuk memikirkan nama Tuhan, memikirkan kehendak Tuhan dalam zaman, memikirkan iman, memikirkan Gereja Tuhan, memikirkan umat Tuhan, dan memperjuangkan semuanya itu. Adalah salah bila kita melihat beban ini hanya sebagai sebuah pekerjaan dari orang-orang yang berprofesi sebagai hamba Tuhan. Panggilan ini, beserta bebannya, tidak pernah bersifat individual saja, melainkan komunal.
Salah satu contoh yang paling jelas dalam Perjanjian Lama adalah pada Kitab Keluaran pasal 31, ketika Tuhan memerintahkan pendirian Kemah Pertemuan beserta segala perkakasnya. Mulai dari tukang kayu, tukang batu, tukang emas, tukang tembaga, tukang kain, dan sebagainya, semuanya terlibat di dalam pembangunannya. Kesalahan kita mengerti pada masa postmodern ini adalah, “Itu semua kerjaan dari hamba Tuhan, bukan kami jemaat awam.” Bila demikian, mungkin memang ada satu hal lagi yang harus kita pikirkan secara saksama, yaitu memikirkan sampai sejauh mana sesungguhnya kesetiaan kita.
Apendiks: Mengharapkan Masa Keemasan Kekristenan?
Calvin pernah menyatakan, “Zeal without doctrine is like a sword in the hand of a lunatic.” Tetapi pada saat yang bersamaan dia juga menyatakan, “Doctrine without zeal is like a sword… it lieth still as cold and without use, or else it serveth for vain and wicked boasting.” Ya, semangat yang berkobar-kobar namun tanpa kerangka iman yang solid bagaikan pedang di tangan orang gila. Ia menebas sesukanya, dengan girang dan penuh sukacita. Namun, pembelajaran doktrin yang tidak membawa kita kepada semangat yang bergairah bagi Tuhan dan Gereja Tuhan juga sama konyolnya, kata Calvin.
Di dalam salah satu kesempatan berdoa bersama, ada satu pokok doa yang menggoyang hati saya. Ketika pembaca doa mengajak kami berdoa untuk satu hal, yaitu mengharapkan datangnya masa keemasan dari Reformed Injili, di sana saya tertegun. Apa yang dimaksud dengan masa keemasan Reformed Injili? Bayangan apa yang muncul tentang sebuah era keemasan dari kekristenan? Apakah suatu masa di mana kekristenan penuh dengan kebesaran, keagungan, kemegahan, dan banyak orang berbondong-bondong menjadi Kristen? Atau justru suatu masa di mana kekristenan begitu ditekan, ditindas, dianiaya, tampak begitu gembel, lemah, tak berdaya, dan banyak orang berbondong-bondong menertawakannya, serta memandangnya rendah dan hina?
Gambaran yang pertama dimulai ketika kaisar di Kekaisaran Romawi, Konstantin “bertobat”. Kekristenan dijadikan agama negara, (dan sebenarnya menjadi “alat” pemersatu kekuasaan politik dari kaisar). Orang jadi berbondong-bondong membeli label Kristen itu karena segala keuntungan yang ditawarkannya. Menjadi “Kristen” saat itu keren. Nyaman, aman, dan hidupnya terjamin oleh negara, siapa yang tidak mau? Tetapi setelahnya kekristenan justru masuk kepada suatu zaman yang dikenal sebagai Abad Kegelapan (the Dark Ages), yang berlangsung selama lebih dari satu milenium!
Sedangkan gambaran yang kedua adalah ketika jemaat mula-mula dijadikan obor hidup di taman-taman kaisar seperti Nero, dan diumpankan kepada binatang buas di Koloseum. Masa itu terus dikenang oleh seluruh orang percaya di sepanjang zaman sebagai sebuah masa di mana umat Tuhan bernyanyi (literally bernyanyi) di hadapan kematian. Mereka memuji Tuhan di hadapan kekejaman yang Tuhan izinkan menimpa mereka. Kesaksian iman pada masa itu justru terus menjadi puji-pujian yang harum bagi orang percaya hingga hari ini, dan juga yang tidak pernah bisa dimengerti oleh orang-orang di luar sana.
Jikalau gambaran yang kedua membawa pujian dari banyak orang percaya, gambaran yang pertama malahan membawa caci-maki, bukan saja dari kalangan kristiani, melainkan juga dari orang-orang dunia. Jadi apakah gambaran yang pertama adalah gambaran yang sesungguhnya tentang masa keemasan iman Kristen? Sudah pasti bukan. Tetapi, jikalau gambaran yang kedua adalah gambaran yang sesungguhnya tentang era keemasan dari iman orang-orang Kristen, benarkah kita mengharapkan kedatangannya?
Nikki Tirta
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Longfield, Bradley J. (2013), “Presbyterians and American Culture: A History”, Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press. pp 121, 125.
[2] Hart, D. G.; Meuther, John (2005), “Turning Points in American Presbyterian History, Part 8: Confessional Revision in 1903”, New Horizons.
[3] Longfield, Bradley J., op. cit., pp 125-126.
[4] Hart, D. G.; Meuther, John, loc. cit.
[5] Hart, D. G.; Meuther, John, loc. cit.
[6] Longfield, Bradley J., op. cit., pp 149.
[7] Gerhard Ebeling (1963), “Word and Faith”, Philadelphia: Fortress Press.
[8] Wahid, Abdurrahman (ed.) (2009), “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia”, Indonesia: The Wahid Institute. Darraz, Muhammad Abdullah (ed.) (2017), “Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme”, Bandung: Mizan Pustaka.
[9] Lukmana, Simon. Februari 2018. “Siapakah Pemuda Reformed Injili?”. Buletin PILLAR, hlm. 4 & 5.